Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Beredar di Medsos Penghasilan PSK Dipajaki, DJP Sebut Isu Menyesatkan

    Beredar di Medsos Penghasilan PSK Dipajaki, DJP Sebut Isu Menyesatkan

    Jakarta

    Viral di media sosial pekerja seks komersial (PSK) bakal dikenakan pajak penghasilan (PPh). Kabar itu sontak memicu perdebatan karena status pekerjaannya yang tidak diakui secara legal.

    Menanggapi itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan tidak ada kebijakan khusus untuk memungut pajak dari PSK. Isu itu awalnya muncul dari pernyataan Direktur Jenderal Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP tahun 2016, Mekar Satria Utama yang diangkat kembali oleh pihak tidak bertanggung jawab.

    “Bersama ini disampaikan klarifikasi bahwa tidak ada kebijakan khusus untuk memungut pajak dari PSK,” kata Plh Direktur Jenderal Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama kepada detikcom, Jumat (8/8/2025).

    Menurut Yoga, saat itu Mekar Satria Utama sedang memberikan penjelasan akademis mengenai unsur subjektif dan objektif sebagai wajib pajak sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pernyataan tersebut bukan pengumuman kebijakan dan konteksnya tidak relevan untuk diberitakan saat ini.

    “DJP memandang isu ini menyesatkan masyarakat sehingga media dan pihak-pihak yang mengangkatnya diharapkan memperhatikan relevansi dan keakuratan sumber informasi agar tidak menimbulkan kebingungan publik,” ucap Yoga.

    Masyarakat diimbau untuk selalu memeriksa kebenaran informasi melalui kanal resmi Kementerian Keuangan dan DJP, atau sumber berita yang terpercaya agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

    “Fokus pemerintah saat ini adalah mengoptimalkan penerimaan pajak melalui peningkatan pelayanan, edukasi, pengawasan dan penegakan hukum, guna mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di Indonesia,” tegasnya.

    Sebelumnya, ramai di media sosial bahwa Kementerian Keuangan akan mengumumkan PSK dikenakan pajak penghasilan. Di dalamnya terdapat pernyataan Mekar Satria Utama selaku Direktur Jenderal Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, padahal saat ini dirinya sudah tidak lagi menjabat.

    Saat itu, Mekar Satria Utama mengatakan bahwa kegiatan prostitusi hingga perjudian bisa ditarik pajak. Menurutnya, semua kegiatan yang menghasilkan uang bisa menjadi objek pungutan pajak.

    (aid/rrd)

  • Minat Kripto Warga RI Lompat 5%, Industri Koin Diramal Makin Kinclong

    Minat Kripto Warga RI Lompat 5%, Industri Koin Diramal Makin Kinclong

    Jakarta

    Mata uang kripto kian digandrungi warga RI saat ini. Hal ini tercermin dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana investor kripto di Indonesia tercatat sebanyak 15,85 juta per Juni 2025. Jumlah itu meningkat 5,18% dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 15,07 juta.

    Chairman Indodax, Oscar Darmawan, menilai catatan ini menjadi bukti tingginya minat masyarakat terhadap aset digital. Saat ini, ia menyebut aset kripto semakin diterima sebagai alternatif investasi.

    Di sisi lain, Oscar menyebut pemerintah tengah berupaya untuk memperkuat pengawasan dan tata kelola industri kripto. Hal ini terlihat dari peralihan tugas pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi ke OJK.

    “Saya optimistis bahwa ke depan kita akan melihat peningkatan kepercayaan publik, regulasi yang lebih terintegrasi, dan perlindungan konsumen yang makin baik,” ujar Oscar kepada detikcom, Jumat (8/8/2025).

    Sementara untuk penerapan pajak baru bagi kripto, Oscar mendukung kebijakan pemerintah, termasuk penyempurnaan regulasi pajak terhadap aset kripto. Menurutnya, pajak yang jelas dan terstruktur menunjukkan posisi aset kripto setara dengan instrumen keuangan lainnya yang sah.

    Diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghapus pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto mulai 1 Agustus 2025. Hal itu dikarenakan adanya pergeseran status kripto di Indonesia dari komoditas menjadi aset keuangan digital dengan karakteristik surat berharga.

    Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Aturan ini menggantikan aturan sebelumnya yang menjadikan aset kripto sebagai objek langsung PPN dengan besaran 0,11% (Bappebti) dan 0,22% (non Bappebti).

    “Kami percaya bahwa dengan sinergi antara regulator dan pelaku industri, pertumbuhan industri ini akan semakin berkelanjutan dan inklusif di masa depan,” ungkapnya.

    Kendati secara transaksi melemah 34,83% dari Rp 49,57 triliun di bulan Mei 2025 menjadi Rp 32,31 triliun pada Juni, Oscar meyakini fondasi industri kripto akan mengalami pertumbuhan secara jangka panjang.

    “Jadi meskipun ada fluktuasi jangka pendek dalam volume transaksi, secara fundamental industri ini terus bertumbuh dan bergerak menuju arah yang lebih sehat dan teratur,” tutupnya.

    (kil/kil)

  • OJK sebut PMK 50/2025 beri kepastian dan pengaturan atas aset kripto

    OJK sebut PMK 50/2025 beri kepastian dan pengaturan atas aset kripto

    Jakarta (ANTARA) – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyambut baik terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto karena memberikan kepastian dan pengaturan atas aset kripto.

    Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK Hasan Fawzi menggarisbawahi salah satu poin penting dalam regulasi tersebut yaitu penguatan klasifikasi aset kripto sebagai aset keuangan digital yang dapat dipersamakan dengan surat berharga.

    Regulasi itu tertuang dalam Pasal 2 Ayat 1 PMK 50 Tahun 2025, kata Hasan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) Juli 2025 di Jakarta, Senin.

    “Sejalan dengan itu, transaksi aset kripto diperlakukan sebagai surat berharga sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN),” katanya.

    Selain itu, Hasan mengatakan, regulasi tersebut juga mencerminkan keberpihakan terhadap penggunaan platform berizin dalam negeri, dengan pengenaan tarif pajak penghasilan (PPh) yang jauh lebih rendah dibandingkan transaksi melalui platform luar negeri yang dikenakan tarif hingga lima kali lipat.

    Hasan berharap, berbagai pihak terus mendorong kebijakan dan insentif bagi industri aset keuangan digital dan kripto domestik yang masih membutuhkan dukungan pada fase awal pengembangannya.

    OJK juga menekankan pentingnya menciptakan level playing field yang sehat agar industri kripto nasional mampu bersaing di tingkat regional dan global.

    Sebagai bentuk dukungan terhadap kelangsungan usaha dan pengembangan industri aset keuangan digital (IAKD) domestik, Hasan mengatakan OJK menetapkan pemberian insentif berupa penyesuaian kewajiban pungutan tahunan bagi penyelenggara di sektor IAKD.

    Dalam hal itu, ia mengatakan OJK telah memberlakukan penyesuaian pungutan yang diberikan selama lima tahun pertama, dimulai dengan penerapan tarif pungutan 0 persen atau tidak dikenakan pungutan sama sekali untuk tahun pertama di tahun 2025.

    “Kami tentu mengharapkan bahwa upaya OJK dalam pengembangan dan penguatan industri aset kripto domestik juga mendapat dukungan dari berbagai pihak. Terutama dengan menghadirkan terus regulasi yang memenuhi kebutuhan dari industri dan di sisi lain memberikan insentif yang sangat dibutuhkan pada fase awal pengembangan industri ini,” kata Hasan.

    Hasan pun mengingatkan bahwa ke depan, implementasi PMK 50 Tahun 2025 juga perlu dimonitor dan dievaluasi secara berkelanjutan untuk memastikan kebijakan tersebut mendorong perdagangan aset kripto yang sehat, kompetitif, dan berkelanjutan.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan tarif baru pajak kripto melalui PMK Nomor 50 Tahun 2025, di mana perubahan utama terletak pada kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) 22 final dan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).

    Seiring dengan peralihan kripto menjadi aset keuangan digital yang pengawasannya berada di bawah OJK, PPh 22 final ditetapkan sebesar 0,21 persen untuk pungutan yang dilakukan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri dan 1 persen untuk pungutan oleh PPMSE luar negeri atau penyetoran mandiri.

    Kripto sebelumnya ditetapkan sebagai komoditas ketika diperdagangkan di bursa berjangka. Saat itu, besaran tarif PPh 22 final yang ditetapkan sebesar 0,1 persen dari transaksi yang dilakukan di PPMSE terdaftar Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan 0,2 persen dari transaksi di PPMSE tidak terdaftar Bappebti.

    Terkait dengan PPN, seiring dengan perubahan menjadi instrumen keuangan, kripto diperlakukan setara dengan surat berharga sehingga dibebaskan dari pengenaan PPN.

    Besaran tarif PPN sebelumnya ditetapkan sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi jika dilakukan melalui PPMSE yang terdaftar di Bappebti dan 0,22 persen dari transaksi yang dilakukan di PPMSE tidak terdaftar di Bappebti.

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu menyebut potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun.

    Berdasarkan laporan terakhir DJP, penerimaan pajak kripto secara akumulasi telah terkumpul sebesar Rp1,2 triliun sampai dengan Maret 2025.

    Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp115,1 miliar penerimaan 2025.

    Sebanyak Rp560,61 miliar bersumber dari pungutan PPh Pasal 22 dan Rp642,17 miliar dari PPN dalam negeri.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DJP Bali tempuh cara persuasif sikapi potensi kebocoran pajak

    DJP Bali tempuh cara persuasif sikapi potensi kebocoran pajak

    Denpasar, Bali (ANTARA) –

    Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Provinsi Bali menempuh cara persuasif menyikapi potensi kebocoran penerimaan pajak akibat munculnya akomodasi vila yang diduga tidak mengantongi izin.

    “Kami edukasi dulu supaya yang memang belum tahu kewajibannya bisa melaksanakan atau kami bisa sediakan layanan,” kata Kepala Kanwil DJP Bali Darmawan di Denpasar, Bali, Senin.

    Menurut dia, edukasi diperlukan karena pihaknya terlebih dahulu menganalisa status kepemilikan akomodasi yang diduga ilegal tersebut.

    Bisa jadi properti itu melalui pembelian, penyewaan, atau bangunan yang dijual.

    Setelah itu, pihaknya akan mencocokkan data terkait pelaporan pajak khususnya terkait pajak penghasilan (PPh) yang menjadi kewenangan DJP.

    Sedangkan, pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah di antaranya pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) misalnya makan dan minum, jasa hotel, jasa parkir, jasa hiburan hingga tenaga listrik.

    Pencocokan data itu, lanjut dia, menggunakan beragam sumber data termasuk data dari pemerintah daerah selaku pihak yang mengeluarkan administrasi perizinan, hingga data di media sosial.

    Data dari pemerintah daerah itu di antaranya mencakup nomor pokok wajib pajak daerah (NPWPD), persetujuan bangunan gedung (PBG) yang sebelumnya bernama izin mendirikan bangunan (IMB) hingga terkait status sewa atau beli.

    “Dari berbagai sumber kami kumpulkan, kami cocokkan dengan data dan kami coba lihat dari sisi kepatuhan,” ucapnya.

    Pihaknya tidak membedakan latar belakang kepemilikan akomodasi tersebut baik yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA).

    Untuk WNA, pihaknya memiliki direktorat perpajakan internasional di kantor pusat di Jakarta untuk pertukaran data misalnya di negara asal pemilik, dan berkoordinasi dengan Imigrasi dan Bea Cukai.

    Meski begitu, ia tidak secara spesifik mengungkapkan nominal potensi penerimaan pajak hilang tersebut karena perlu dianalisa dulu.

    Sementara itu, berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menyebutkan bahwa jumlah hotel dan akomodasi sejenisnya di bawah naungan asosiasi itu mencapai 370 hotel, dengan jumlah kamar diperkirakan mencapai lebih dari 1.000 unit.

    Sekretaris PHRI Bali Perry Markus menyebutkan berdasarkan biro perjalanan wisata daring (OTA) jumlah kamar di Bali diperkirakan mencapai sekitar 150 ribu unit kamar.

    Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sri Mulyani dan Bahlil sepakat tukar data migas dan tambang

    Sri Mulyani dan Bahlil sepakat tukar data migas dan tambang

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sepakat untuk bekerja sama untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan pengelolaan energi dan sumber daya mineral, termasuk dengan melakukan pertukaran data.

    Dikutip dari Instagram @smindrawati di Jakarta, Jumat, Sri Mulyani mengatakan kesepakatan itu dituangkan melalui perjanjian kerja sama (PKS) antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu bersama Direktorat Jenderal Minerba dan SKK Migas.

    “Kerja sama ini meliputi pertukaran dan pemanfaatan data, pemanfaatan Surat Keterangan Fiskal (SKF) untuk proses perizinan usaha pertambangan, peningkatan kapasitas SDM, serta koordinasi dalam penyusunan kontrak dan skema bagi hasil migas,” kata Sri Mulyani.

    Penandatangan perjanjian itu dilakukan pada kunjungan Bahlil ke kantor Sri Mulyani, di mana mereka membahas tantangan dan langkah konkret dalam mengelola sektor migas dan pertambangan secara lebih optimal dan berkelanjutan.

    Menurut Menkeu, dirinya dan Menteri ESDM mendalami isu strategis terkait optimalisasi penerimaan negara dari sektor migas.

    Keduanya juga mendiskusikan upaya memperkuat efisiensi dan pengawasan dalam pengelolaan subsidi energi dan pendapatan negara dari pertambangan.

    “Kami sepakat bahwa perbaikan tata kelola menjadi kunci untuk memperkuat fondasi fiskal dan menghadirkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat,” kata Sri Mulyani.

    Ia berharap sinergi bersama Kementerian ESDM dapat mendorong sistem pengelolaan energi dan sumber daya mineral yang lebih efisien, akuntabel dan berdampak.

    Sinergi itu juga diharapkan dapat memperkuat penerimaan negara dari sektor-sektor strategis.

    Menteri ESDM Bahlil sebelumnya mengumumkan lifting minyak pada Rabu (30/7), sudah mencapai 608 ribu barel per hari (bph), melampaui target di APBN sebesar 605 ribu bph.

    Akan tetapi, lanjut dia, angka tersebut bukanlah angka akumulatif lifting minyak untuk bulan Juli 2025.

    Bahlil menyoroti bahwa keberhasilan tersebut merupakan kali pertama bagi Indonesia mencapai target lifting minyak di APBN.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DJP: Potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun

    DJP: Potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyebut potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun.

    “Sepanjang 2-3 tahun semenjak peluncurannya, perkembangan dari penerimaan kripto ini terus meningkat. Kalau tidak salah, penerimaannya ada di antara kisaran Rp500 miliar hingga Rp600 miliar per tahun,” kata Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto dalam taklimat media di Jakarta, Kamis malam.

    Berdasarkan laporan terakhir DJP, penerimaan pajak kripto secara akumulasi telah terkumpul sebesar Rp1,2 triliun sampai dengan Maret 2025.

    Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp115,1 miliar penerimaan 2025.

    Sebanyak Rp560,61 miliar bersumber dari pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 dan Rp642,17 miliar dari pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri.

    Teranyar, Kemenkeu menetapkan tarif baru pajak kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang berlaku pada 1 Agustus 2025, seiring dengan perubahan sifatnya menjadi aset keuangan digital.

    Lewat aturan itu, kripto dibebaskan dari pengenaan PPN lantaran dianggap setara dengan surat berharga.

    Sedangkan, untuk PPh 22, tarif ditetapkan sebesar 0,21 persen untuk pungutan yang dilakukan oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri dan 1 persen untuk pungutan oleh PPMSE luar negeri atau penyetoran mandiri.

    Tarif itu lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya. Saat kripto ditetapkan sebagai komoditas, PPh 22 ditetapkan sebesar 0,1 persen dari transaksi yang dilakukan di exchange atau PPMSE terdaftar Bappebti dan 0,2 persen dari transaksi di PPMSE tidak terdaftar Bappebti.

    Menurut Bimo, kenaikan tarif PPh 22 final bertujuan untuk mengkompensasi hilangnya penerimaan PPN.

    Terkait potensi penerimaan seiring dengan aturan baru, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pergerakan harga serta tren permintaan akan memengaruhi peluang setoran.

    “Kalau kripto itu kan sangat fluktuatif, jadi akan sangat bergantung di situ. Bisa melonjak, bisa turun. Bergantung dari permintaannya seperti apa,” ujar Yoga.

    Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak DJP Yon Arsal menambahkan pengenaan tarif pajak kripto yang lebih tinggi bertujuan untuk mendorong industri kripto dalam negeri tumbuh dan berkembang.

    “Orang-orang kami harapkan ikut terlibat di dalam perdagangan dalam negeri,” lanjut Yon.

    Namun, ia membuka peluang evaluasi tarif pajak kripto ke depannya. Kemenkeu akan melibatkan dan mendengar saran dari pelaku pasar dalam proses evaluasi tarif pajak kripto.

    “Tarif akan selalu kami cermati dan evaluasi dari waktu ke waktu. Tentu kami akan mendengarkan suara dari pasar dan pemangku kepentingan terkait,” tuturnya.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Semester I 2025, penerimaan pajak Jakpus Rp49 triliun

    Semester I 2025, penerimaan pajak Jakpus Rp49 triliun

    Jakarta (ANTARA) – Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Pusat (Kanwil DJP Jakpus) mencatat realisasi penerimaan pajak pada semester I-2025 mencapai Rp49,65 triliun atau 44,8 persen dari target.

    Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat Eddi Wahyudi dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, menyebutkan, kinerja pajak pada periode ini ditopang oleh penerimaan Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) sebesar Rp46,94 triliun atau 94,54 persen dari total penerimaan.

    Juga, penerimaan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) sebesar Rp2,71 triliun atau 5,46 persen dari total penerimaan.

    “Berdasarkan jenis pajaknya, mayoritas jenis pajak utama di Kanwil DJP Jakarta Pusat tumbuh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya dengan realisasi sejumlah jenis pajak utama yang menunjukkan pertumbuhan positif,” katanya.

    Ia merinci, realisasi PPh Pasal 21 sebesar Rp12,24 triliun yang berkontribusi 24,7 persen dengan pertumbuhan 19,4 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) dan PPh Pasal 25/29 Badan sebesar Rp8,8 triliun yang berkontribusi 17,7 persen dengan pertumbuhan 6,1 persen yoy.

    Serta PPN Impor sebesar Rp8,29 triliun yang berkontribusi 16,7 persen dengan pertumbuhan 26,4 persen yoy.

    Adapun jika mempertimbangkan dampak penerapan “coretax administration system” (CTAS), capaian sepanjang semester pertama 2025 itu menunjukkan pertumbuhan 9,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    CTAS adalah sistem administrasi perpajakan inti yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengelola seluruh proses administrasi pajak secara terintegrasi dan modern.

    Sementara itu, nilai restitusi yang telah dibayarkan mencapai Rp18,16 triliun, naik sebesar 55 persen secara tahunan.

    Dari sisi sektoral, mayoritas sektor usaha utama tumbuh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya dengan realisasi sejumlah sektor usaha yang menunjukkan pertumbuhan positif.

    Kontribusi dominan penerimaan pada Juni diperoleh dari sektor perdagangan sebesar Rp17 triliun dengan kontribusi 34,2 persen dan pertumbuhan 14,9 persen yoy, sektor administrasi pemerintahan sebesar Rp8,85 triliun dengan kontribusi 17,8 persen dan pertumbuhan 36 persen yoy.

    “Selanjutnya, sektor jasa keuangan dan asuransi sebesar Rp4,43 triliun dengan kontribusi 8,9 persen dan pertumbuhan 8,67 persen yoy,” kata Eddi.

    Pewarta: Ade irma Junida
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bos Pajak Jelaskan Alasan Dukcapil Serahkan Data Warga ke DJP

    Bos Pajak Jelaskan Alasan Dukcapil Serahkan Data Warga ke DJP

    Jakarta

    Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan soal penyerahan data masyarakat oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kedua belah telah menandatangani perjanjian kerja sama.

    Bimo menjelaskan pihak Dukcapil sedang mengembangkan digital ID untuk untuk menyelaraskan data NIK dengan NPWP. Hadirnya digital ID membuat informasi setiap individu menjadi lengkap dan lebih akurat, yang tujuannya untuk optimalisasi penerimaan pajak.

    “Nah dengan adanya digital ID nanti tentu informasi yang terkait dengan variabel-variable individu yang bersangkutan si penduduk ini, itu akan bisa semakin kaya. Jadi semakin bisa mengandung informasi-informasi yang dibutuhkan dalam kerangka optimalisasi penerimaan pajak,” ujarnya dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Kamis (31/7/2025).

    Bimo juga mengaitkan hal ini dengan rencana Bank Indonesia (BI) meluncurkan Payment ID. Menurut Bimo, semua kebijakan memang akan mengarah ke pemerintahan elektronik atau e-goverment.

    “Kalau teman-teman juga mendengar mungkin ada platform digital yang akan diluncurkan oleh Bank Indonesia nanti pada saat 17 Agustus arahnya nanti akan semua kesana, dalam kerangka besar digital government, jadi e-government. Referensinya adalah Peraturan Presiden terkait dengan sistem pemerintahan berbasis elektronik,” bebernya.

    Menurut Bimo kementerian dan lembaga terus melakukan integrasi data demi menghadirkan pelayanan publik yang semakin cepat, semakin pasti, semakin murah.

    “Jadi di luar itu memang setiap 3 tahun sekali itu kami perbarui, kemarin kita perpanjangan 5 tahun sekali. Jadi ini yang merupakan nota kesepahaman dan juga perjanjian kerjasama yang memang betul secara ongoing periodically kita revisi dan kita kembangkan kerjasama antar institusi dengan teman-teman di Dukcapil,” jelas Bimo.

    Sebelumnya, DJP bersama Dukcapil Kementerian Dalam Negeri menandatangani perjanjian kerja sama terkait pemberian hak akses dan pemanfaatan data kependudukan dalam layanan perpajakan. Penandatanganan dilakukan Bimo dengan Teguh Setyabudi.

    Hal ini merupakan bagian dari komitmen dalam melaksanakan reformasi perpajakan, memperkuat tata kelola administrasi perpajakan dan meningkatkan efektivitas pelayanan publik.

    “Kerja sama ini merupakan upaya integrasi dan pemanfaatan data lintas sektor untuk memperkuat basis data perpajakan dan administrasi kepemerintahan,” kata Bimo dalam keterangan tertulis, Rabu (30/7/2025).

    Sebagaimana diketahui, DJP terus memperkuat fondasi sistem administrasi perpajakan melalui pengembangan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Kerja sama ini mencakup validasi data NIK, pemutakhiran data kependudukan dan pemberian layanan face recognition untuk mendukung administrasi dan pengawasan perpajakan.

    (ily/hns)

  • DJP Pastikan Masyarakat Beli Emas Via Bullion Bank Tak Kena Pajak 0,25%

    DJP Pastikan Masyarakat Beli Emas Via Bullion Bank Tak Kena Pajak 0,25%

    Jakarta

    Pemerintah berencana mengenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga jual untuk pembelian emas batangan, termasuk emas digital, melalui lembaga jasa keuangan yang menyelenggarakan usaha bullion. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025 besok.

    Aturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, serta PMK Nomor 52 Tahun 2025.

    Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menjelaskan transaksi pembelian emas oleh konsumen akhir atau masyarakat tidak dikenakan PPh 0,25%. Pajak tersebut hanya dikenakan untuk transaksi penjualan emas dari suppplier ke bullion bank.

    “Ada pengecualian. Kalau konsumen akhir, nggak dipungut. Antam itu kan jual ke konsumen akhir, ibu rumah tangga, atau apa gitu. Tapi yang dipungut kepada pedagang, kepada pabrikan,” jelas Yoga, dalam konferensi pers di Kantor DJP, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

    Kebijakan menyangkut konsumen akhir yang tidak terkena PPh Pasal 22 tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2023 tentang PPh dan/atau PPN atas penjualan emas perhiasan, emas batangan, dan lain-lain.

    Selain konsumen, wajib pajak (WP) yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 ini yaitu yang memiliki Surat Keputusan Bersama (SKB) pemungutan PPh Pasal 22, atau Bank Indonesia (BI). Kemudian juga transaksi yang melalui pasar fisik emas digital sesuai dengan ketentuan mengenai perdagangan berjangka komoditi.

    Ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha bulion sebelumnya telah diatur dalam PMK 48 Tahun 2023 dan PMK 81 Tahun 2024. Namun kedua aturan itu menimbulkan tumpang tindih.

    Yoga menjelaskan, dalam aturan tersebut penjual emas memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% atas penjualan kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Bullion. Sementara LJK Bulion sebagai pembeli juga memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas pembelian yang sama.

    Pokok pengaturan baru dalam PMK-51/2025 meliputi penunjukan LJK Bulion sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan, serta penetapan PPh Pasal 22 atas impor emas batangan sebesar 0,25%. Selanjutnya PMK NO. 52 tahun 2025 mengatur ketentuan PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha bulion dalam bentuk perdagangan (bullion trading).

    Ketentuan dalam kedua PMK tersebut menjelaskan bahwa pembelian emas batangan oleh masyarakat (konsumen akhir) dari Bank Bulion tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22.

    Penjualan emas kepada LJK Bulion juga dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 apabila nilai transaksinya tidak melebihi Rp 10.000.000. Namun, jika nilai transaksi lebih dari Rp 10.000.000, LJK Bulion wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian.

    (shc/hns)

  • Mulai Besok Beli Kripto Bebas PPN, tapi Kena PPh 0,21%

    Mulai Besok Beli Kripto Bebas PPN, tapi Kena PPh 0,21%

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghapus pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto mulai 1 Agustus 2025. Hal itu dikarenakan adanya pergeseran status kripto di Indonesia dari komoditas menjadi aset keuangan digital dengan karakteristik surat berharga.

    Kebijakan itu seiring terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Aturan ini menggantikan aturan sebelumnya yang menjadikan aset kripto sebagai objek langsung PPN dengan besaran 0,11% (Bappebti) dan 0,22% (non Bappebti).

    “Yang berubah di PMK baru, PPN tidak dikenai lagi karena sudah masuk kriteria karakteristik sebagai surat berharga,” kata Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam media briefing di kantornya, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

    Meski begitu, Pajak Penghasilan (PPh) 22 final atas penghasilan sehubungan dengan aset kripto ditetapkan sebesar 0,21% dari nilai transaksi aset kripto. Tarif ini mengalami peningkatan di mana sebelumnya berada di rentang 0,1-0,2%.

    “Sekarang diubah menjadi 0,21% hanya untuk PPh saja. Jadi sebenarnya masih sama beban pajaknya, walaupun ini beban pajaknya menjadi bebannya si penjual,” ucap Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama dalam kesempatan yang sama.

    Pengenaan PPh 22 final berlaku untuk penjual aset kripto, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), atau penambang aset kripto.

    Penyelenggara PMSE yang berkedudukan di luar negeri juga dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak untuk melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penjual aset kripto yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan aset kripto.

    Jika penjual aset kripto memperoleh penghasilan dari transaksi aset kripto yang dilakukan melalui penyelenggara PMSE luar negeri, maka PPh Pasal 22 final yang dikenakan adalah sebesar 1% dari nilai transaksi aset kripto.

    “Sekarang kita atur bahwa yang platformnya atau exchanger-nya dari luar negeri, justru kita kenain 1%. Tujuannya biar kalau beli kripto pakai exchanger dalam negeri saja, lebih murah kan 0,21%. Ini usulan dari OJK dan kita terima dengan baik karena ini akan lebih berpihak kepada exchanger dalam negeri,” beber Hestu.

    Penghasilan sehubungan dengan transaksi aset kripto meliputi penghasilan dari seluruh jenis transaksi aset kripto berupa transaksi dengan pembayaran mata uang fiat; tukar-menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya (swap); atau transaksi aset kripto lainnya yang dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan oleh penyelenggara PMSE.

    Lihat juga Video: Harga Bitcoin Sentuh Rp 1,8 M, Apa Penyebabnya?

    (acd/acd)