Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Petugas Pajak di Riau Sita 16 Aset Karena WP Menunggak

    Petugas Pajak di Riau Sita 16 Aset Karena WP Menunggak

    Bisnis.com, PEKANBARU – Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau melaksanakan penyitaan aset milik wajib pajak (WP) yang menunggak. Aksi penguasaan aset pengemplang pajak ini melibatkan delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Riau.

    Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Riau, Bambang Setiawan mengatakan dalam operasi tersebut, DJP Riau berhasil menyita 16 aset dari 15 wajib pajak dengan nilai taksiran mencapai Rp4,8 miliar. 

    “Aset yang disita terdiri atas 10 unit kendaraan senilai Rp2,7 miliar dan 6 rekening dengan total Rp2,1 miliar,” ungkapnya Kamis (4/9/2025).

    Menurutnya tindakan penyitaan merupakan langkah penagihan aktif yang dilakukan setelah tahapan penyampaian surat teguran, surat paksa, dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 

    “Upaya persuasif selalu diutamakan. Namun karena wajib pajak tetap tidak melunasi tunggakannya, maka dilakukan tindakan penyitaan,” ujarnya.

    Dengan penyitaan ini, aset WP berada dalam penguasaan negara sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Jika utang tidak dibayarkan dalam jangka waktu yang ditentukan, aset dapat dijual melalui lelang atau dialihkan ke kas negara khusus untuk rekening bank.

    Seluruh tahapan ini dijalankan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pasal 12.

    DJP Riau juga mengapresiasi kerja keras petugas di lapangan dalam penegakan hukum pajak dan mengamankan penerimaan negara.

    “Tindakan ini diharapkan memberi efek jera bagi penunggak pajak sekaligus edukasi bagi wajib pajak lain bahwa DJP memiliki kewenangan penuh melakukan penyitaan atas tunggakan pajak,” pungkasnya.

  • Pemerintah himpun Rp7,71 triliun dari pajak ekonomi digital per Juli

    Pemerintah himpun Rp7,71 triliun dari pajak ekonomi digital per Juli

    Kontribusi pajak dari sektor ekonomi digital menunjukkan tren positif,

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah menghimpun pajak senilai Rp7,71 triliun dari usaha ekonomi digital sepanjang Januari hingga Juli 2025.

    “Kontribusi pajak dari sektor ekonomi digital menunjukkan tren positif,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rosmauli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

    Secara rinci, penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) tercatat sebesar Rp5,72 triliun, pajak atas aset kripto Rp462,67 miliar, pajak fintech (P2P lending) Rp841,07 miliar, dan pajak Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp684,6 miliar.

    Untuk PPN PMSE, total setoran sejak 2020 hingga 2025 mencapai Rp31,06 triliun. Setoran itu diserahkan oleh 201 PMSE dari 223 PMSE yang telah ditunjuk.

    Sepanjang Juli 2025, terdapat tiga penunjukan baru, yaitu Scalable Hosting Solutions OÜ, Express Technologies Limited, dan Finelo Limited.

    Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mencabut penunjukan tiga pemungut PPN PMSE, yakni Evernote GmbH, To The New Singapore Pte. Ltd., dan Epic Games Entertainment International GmbH.

    Untuk pajak kripto, total penerimaan mencapai Rp1,55 triliun sepanjang 2022 hingga 2025. Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp730,41 miliar penerimaan pajak penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan dan Rp819,94 miliar penerimaan PPN dalam negeri (DN).

    Untuk P2P lending, total setoran masuk mencapai Rp3,88 triliun sepanjang 2022 hingga 2025.

    Penerimaan pajak dari sektor ini terdiri dari tiga jenis pajak, di antaranya PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp1,09 triliun, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri (WPLN) sebesar Rp724,25 miliar, dan PPN DN atas setoran masa Rp2,06 triliun.

    Untuk SIPP, total penerimaan tercatat sebesar Rp3,53 triliun dari 2022 hingga 2025, terdiri dari PPh sebesar Rp239,21 miliar dan PPN sebesar Rp3,29 triliun.

    Rosmauli mengatakan, kontribusi pajak dari sektor ekonomi digital tidak hanya memperkuat ruang fiskal, tetapi juga menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital.

    “Penerapan pajak digital ini bukanlah pajak baru, melainkan penyesuaian mekanisme pemungutan agar lebih praktis dan efisien bagi pelaku usaha,” tutur dia.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DJP siapkan strategi kejar target pajak Rp2.357 triliun pada 2026

    DJP siapkan strategi kejar target pajak Rp2.357 triliun pada 2026

    terus memanfaatkan Coretax melalui sinergi pertukaran data, kemudian sistem pertukaran transaksi digital luar negeri dan dalam negeri

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan membeberkan sejumlah strategi guna mengejar target penerimaan pajak tahun 2026.

    Sebagaimana diketahui, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,71 triliun untuk 2026, atau naik 13,51 persen dibanding target APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun.

    Dalam Webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah akan mengandalkan implementasi Sistem Coretax guna memperluas basis perpajakan.

    “Kita lihat bahwa dari sisi administrasi kita masih akan terus memanfaatkan Coretax melalui sinergi pertukaran data, kemudian sistem pertukaran transaksi digital luar negeri dan dalam negeri,” ujarnya

    Selain itu, Yon menyebut DJP juga akan berfokus pada program bersama (joint program) dalam analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen dan kepatuhan perpajakan.

    Pemerintah pun menyiapkan insentif untuk menjaga daya beli, mendorong investasi, serta hilirisasi industri.

    Dari sisi kepabeanan dan cukai, ia menjelaskan pemerintah akan memaksimalkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau, ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC), dan intensifikasi Bea Masuk (BM) Perdagangan Internasional.

    Begitu juga dengan kebijakan Bea Keluar (BK) yang akan diarahkan untuk mendukung hilirisasi produk, sekaligus diiringi dengan penegakan hukum guna memberantas peredaran barang ilegal.

    “Di sisi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), kita berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang terkait untuk melakukan perbaikan tata kelola, inovasi, pengawasan dan pengawasan dari sistem administrasi dari sisi SIMBARA (Sistem Informasi Minerba),” imbuhnya.

    Adapun sebelumnya, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai target tinggi penerimaan pajak pada RAPBN 2026 bisa tercapai dengan syarat adanya intervensi yang mampu menambah pendapatan negara.

    Menurutnya, hal serupa pernah terjadi pada 2022 ketika tambahan penerimaan pajak mencapai Rp438,16 triliun.

    Capaian itu dipengaruhi pertumbuhan ekonomi 5,31 persen, kenaikan harga komoditas, serta implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Namun, Fajry menyoroti tidak adanya intervensi serupa pada 2023 dan 2024 sehingga tambahan pajak hanya tercatat Rp152,47 triliun dan Rp63,17 triliun.

    “Melihat secara historis, target penerimaan pajak dalam RAPBN 2026 memang terlalu optimis,” kata Fajry kepada ANTARA di Jakarta, Selasa (19/8).

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kedaulatan Digital, Kunci Masa Depan Penerimaan Pajak

    Kedaulatan Digital, Kunci Masa Depan Penerimaan Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA – Dalam laporan E-Conomy SEA 2024 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2024 mencapai US$90 miliar, naik 13% dibandingkan dengan 2023 senilai US$80 miliar. Pencapaian tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Gross Merchandise Value (GMV) tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

    Angka tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, bahkan melampaui Thailand (US$33 miliar), Malaysia (US$23 miliar), atau Vietnam (US$16 miliar). Capaian tersebut sering dianggap sebagai bukti kebangkitan ekonomi digital kita.

    Namun, di balik optimisme itu tersimpan pertanyaan penting mengenai sejauh mana negara mampu memastikan lonjakan transaksi digital benar-benar memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan pajak? Sebab, tanpa kendali dan kedaulatan atas data transaksi, pertumbuhan yang mengesankan itu berisiko hanya berakhir menjadi angka-angka di atas kertas, sementara potensi penerimaan negara malah terabaikan.

    RISIKO KEBOCORAN

    Seluruh sistem perpajakan pada dasarnya berangkat dari data. Di era ekonomi konvensional, data transaksi relatif mudah diperoleh karena mayoritas kegiatan ekonomi terjadi dalam wilayah negara dan tercatat melalui sistem perbankan atau laporan keuangan perusahaan domestik. Dengan kata lain, otoritas pajak memiliki akses langsung terhadap informasi yang menjadi basis pengenaan pajak.

    Namun, logika itu mulai bergeser ketika ekonomi merambah ke ranah digital. Transaksi tidak lagi dibatasi oleh batas geografis, melainkan berlangsung lintas negara, lintas sistem pembayaran, bahkan lintas yurisdiksi hukum. Pergeseran ini membuka ruang bagi sejumlah perusahaan digital raksasa seperti Google, Meta, atau Amazon untuk meraup keuntungan besar di Indonesia yang notabene tidak memerlukan kehadiran secara fisik. Layanan iklan digital, langganan aplikasi, atau transaksi e-commerce kerap hanya tercatat dalam server yang berlokasi di luar negeri. Akibatnya, data yang seharusnya menjadi basis pemajakan justru berada di luar jangkauan otoritas pajak.

    Jika data transaksi ekonomi digital tidak sepenuhnya terkendali, maka proses pemungutan pajak ibarat membidik sasaran dalam kabut. Negara hanya bisa mengandalkan laporan sepihak dari perusahaan asing, yang biasanya menuntut insentif sebagai daya tawar untuk meminimalkan beban pajaknya. Di sinilah kedaulatan digital menjadi krusial.

    Ketika negara tidak memiliki kendali penuh atas data transaksi digital, potensi profit shifting atau pengalihan keuntungan ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang rendah menjadi keniscayaan. Dalam praktiknya, perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dapat memanfaatkan celah regulasi dan keterbatasan akses negara terhadap data ekonomi digital untuk melakukan praktik base erosion and profit shifting (BEPS).

    Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 1,8% (Rp25,4 triliun) dari total transaksi ekonomi digital di Indonesia (Rp1.420 triliun) yang berhasil dikonversi menjadi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Padahal secara matematis potensi penerimaan bisa sekitar Rp156 triliun. Ini bukti bahwa negara belum mampu memaksimalkan potensi fiskal dari transaksi digital.

    Selanjutnya, potensi ketidakadilan fiskal makin nyata. UMKM lokal yang berjualan di platform digital diwajibkan melaporkan dan membayar pajak sesuai aturan, sementara raksasa teknologi global bisa saja menghindar melalui rekayasa struktur bisnis. Kondisi tersebut tentunya memunculkan ironi ketimpangan, karena mayoritas pelaku usaha kecil harus tunduk pada aturan, sementara kelompok kapitalis besar leluasa mencari celah.

    Terakhir, jika semua data transaksi ekonomi hanya tersimpan di server asing, maka pemerintah kehilangan instrumen penting untuk merumuskan kebijakan fiskal yang efektif. Penerimaan negara menjadi rapuh, bergantung pada “kemauan baik” perusahaan global dalam melaporkan pendapatannya. Dalam jangka panjang, kondisi ini berbahaya, negara bisa saja tumbuh menjadi pasar digital terbesar di kawasan, tetapi tetap miskin dalam hal penerimaan pajak.

    Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sejumlah kebijakan telah diluncurkan untuk menambal celah penerimaan, salah satunya adalah penerapan PPN atas PMSE. Sejak berlaku pada 2020, beberapa perusahaan global seperti Netflix, Google, dan Spotify telah terdaftar sebagai pemungut PPN, sehingga transaksi digital masyarakat Indonesia turut menyumbang penerimaan negara.

    Selain itu, Indonesia juga terlibat aktif dalam kerja sama internasional di bawah payung OECD/G20. Melalui skema Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting, negara-negara bersepakat untuk membatasi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Salah satu terobosan pentingnya adalah kesepakatan pajak minimum global 15% dan pembagian hak pemajakan bagi negara pasar, termasuk Indonesia.

    Namun, upaya pemerintah dalam memajaki ekonomi digital masih menghadapi tantangan besar. Penerapan PPN PMSE misalnya, baru mencakup sebagian transaksi dan belum mampu menjangkau keseluruhan ekosistem digital. Di sisi lain, rencana implementasi pajak global juga membutuhkan konsensus internasional yang rumit dan proses panjang sebelum benar-benar bisa dijalankan secara efektif.

    Situasi ini makin diperumit oleh dominasi perusahaan digital multinasional yang memiliki sumber daya hukum dan finansial jauh lebih besar dibandingkan otoritas pajak negara berkembang, sehingga mereka relatif lebih mudah mencari celah untuk menghindari kewajiban pajak.

    Masa depan penerimaan negara di era digital sangat ditentukan oleh sejauh mana Indonesia mampu mengukuhkan kedaulatan digitalnya. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan.

    Pertama, Indonesia perlu memperkuat regulasi atas data transaksi digital. Negara harus memiliki kewenangan untuk mengakses data transaksi yang terjadi di wilayah yurisdiksinya, terlepas di mana entitas perusahaan berada. Kewajiban berbagi data dengan otoritas pajak harus menjadi syarat bagi setiap platform yang beroperasi di Indonesia. Kedua, membangun infrastruktur digital nasional yang kuat. Langkah ini meliputi pengintegrasian sistem pembayaran lokal dengan platform e-commerce internasional, sehingga setiap transaksi yang dilakukan masyarakat dapat tercatat secara transparan dan tidak luput dari pengawasan. Investasi pada teknologi big data dan kecerdasan buatan juga diperlukan agar DJP mampu mengolah data dalam skala besar secara cepat dan akurat.

    Ketiga, Indonesia harus aktif mendorong implementasi pajak minimum global dan memastikan hak pemajakan negara pasar tidak diabaikan. Tanpa sikap tegas, potensi penerimaan dari perusahaan multinasional akan terus menguap. Keempat, pemerintah harus mendorong literasi pajak digital di masyarakat. Pemahaman bahwa setiap transaksi digital membawa konsekuensi fiskal perlu terus disosialisasikan. Pajak di era digital bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan wujud partisipasi warga negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi bangsa.

    Jika negara gagal menguasai data transaksi ekonomi digital, maka masa depan penerimaan pajak akan rapuh. Sebaliknya, jika Indonesia mampu mengelola data dengan baik, membangun infrastruktur digital yang mumpuni, dan menegosiasikan hak fiskalnya di level global, maka peluang untuk meningkatkan penerimaan negara terbuka lebar.

    Era digital sering disebut sebagai “new oil”, di mana saat ini data menjadi sumber daya paling berharga. Namun, data saja tidak cukup, negara juga harus memiliki kilang untuk mengolahnya. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi penyedia “ladang minyak” sementara nilai tambahnya diangkut keluar negeri. Pertanyaannya, apakah kita ingin terus menjadi pasar digital yang besar tetapi gagal memaksimalkan nilai tambah?

  • Pemerintah Bidik Setoran Pajak Selangit, DPR Desak Perbaikan Coretax

    Pemerintah Bidik Setoran Pajak Selangit, DPR Desak Perbaikan Coretax

    Jakarta, CNBC Indonesia – Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Ratna Juwita Sari mendesak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk segera memperbaiki sistem Coretax dan Compliance Risk Management (CRM) demi mewujudkan target rasio penerimaan pajak tahun 2026 sebesar 12,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau senilai Rp 2.692,1 triliun.

    “Jika perbaikan tidak dilakukan segera, maka target penerimaan pajak tersebut akan sulit dicapai. Pemerintah tidak boleh mengulangi berbagai hambatan teknis yang terjadi pada implementasi Coretax pada 2024 ini,” kata Ratna saat menyampaikan pandangan Fraksi PKB terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).

    Ia juga mendorong agar sistem perpajakan nasional diselaraskan dengan perkembangan global, termasuk sistem perpajakan digital terkini. Menurutnya, percepatan transformasi digital dan integrasi CRM ke dalam Coretax akan memperkuat pengawasan risiko kepatuhan wajib pajak melalui penyempurnaan regulasi dan infrastruktur perpajakan. Di sisi lain, Ratna menyoroti kebijakan insentif fiskal yang terdapat dalam RAPBN 2026.

    “Sesuai prinsip, F-PKB menyambut baik RAPBN 2026. Namun pemberian insentif fiskal untuk akselerasi investasi dan hilirisasi industri harus dipastikan tepat sasaran, terukur, dan terarah,” ujarnya.

    Lebih jauh, Politisi Dapil Jawa Timur IX itu mengingatkan bahwa defisit RAPBN 2026 diperkirakan mencapai Rp638,8 triliun atau setara 2,48% terhadap PDB. Sebab itu, ia meminta kebijakan fiskal dilaksanakan secara hati-hati guna menjaga stabilitas makroekonomi.

    “Pemilihan sumber pembiayaan anggaran baik dari komponen pembiayaan utang maupun non-utang wajib memperhatikan keseimbangan antara cost dan risk yang tepat, sehingga tetap berada dalam level risk appetite dan tidak menimbulkan cost of fund tinggi,” ujar Ratna.

    Adapun, pemerintah menegaskan tidak akan mengenakan pajak baru pada 2026 sekaligus fokus pada reformasi internal untuk mengejar target penerimaan pajak. Target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp2.357,7 triliun, sedangkan total penerimaan negara diproyeksikan mencapai Rp3.147,7 triliun.

    Sementara itu, DJP menargetkan untuk memperbaiki Coretax pada akhir tahun ini. DJP memiliki pekerjaan rumah untuk membereskan error di 18 bisnis proses dan migrasi data dari sistem sebelumnya ke dalam Coretax.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ekonom Nilai Target Rasio Pajak 16% Prabowo Terlalu Tinggi

    Ekonom Nilai Target Rasio Pajak 16% Prabowo Terlalu Tinggi

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai bahwa target rasio pajak 16% yang diidamkan Presiden Prabowo Subianto masih relatif tinggi.

    Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir rasio pajak Indonesia tidak pernah melampaui 11%. Ketika kondisi ekonomi lebih menantang, rasio pajak akan lebih sulit untuk naik lebih tinggi.

    “Nah, padahal kita tahu berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah dalam 10 tahun terakhir. Tax Amnesty, kemudian yang terlebih, ada Coretax gitu, ya. Namun, pada kenyataannya memang belum bisa [menaikkan rasio pajak],” jelasnya kepada Bisnis, Jumat (15/8/2025).

    Menurutnya, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan perbaikan dalam administrasi perpajakan.

    Dia menuturkan kembali pernyataan otoritas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyebut Coretax sebagai game changer. Namun, karena eksekusinya terburu-buru, muncul kesulitan yang dialami wajib pajak.

    “Dan akhirnya, kan, otoritas terkait juga punya sistem alternatif yang untuk melaporkan pajak tidak melalui Coretax begitu,” jelasnya.

    Selain perbaikan sistem administrasi, Yusuf juga menilai perbaikan dapat dilakukan di sisi perekonomian, misalnya memperhatikan sektor-sektor yang berpotensi mendorong penerimaan.

    Sebagai informasi, ambisi tax ratio hingga 16% dipaparkan Prabowo pada Maret 2024, kala masih berstatus sebagai Calon Presiden (Capres) nomor urut dua.

    Kala itu, Prabowo menjelaskan bahwa tax ratio Indonesia hanya berkutat di angka 10% terhadap PDB. Angka itu lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Kamboja yang berada di kisaran 16%—18% terhadap PDB.

    Menurut Prabowo, salah satu upaya yang bakal dilakukan dirinya adalah melakukan efisiensi dalam pengelolaan anggaran dan menaikkan tax ratio.

    “Tenang saja, saya rasa itu bisa dilakukan dari 10% kita bisa naikkan menjadi 16% seperti Thailand. Kalau sekarang US$1.500 miliar dari GDP, jika naik ke 16% maka meningkat signifikan menjadi US$1.900 miliar,” katanya.

    Target rasio pajak Sri Mulyani

    Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menargetkan rasio pajak atau tax ratio terhadap produk domestik bruto sebesar 10,47% pada 2026.

    Angka itu menjadi yang tertinggi dibandingkan realisasi rasio pajak sejak 2022, tetapi masih jauh dari target yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto.

    Target rasio pajak 10,47% pada tahun depan itu sendiri terungkap dalam paparan Sri Mulyani ketika menyampaikan keterangan pers terkait Nota Keuangan dan RAPBN 2026 di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta Selatan pada Jumat (15/8/2025).

    Dalam bahan paparan, dijelaskan rasio pajak mencapai 10,39% pada 2022; 10,31% pada 2023; 10,08% pada 2024; outlook 10,03% pada 2025; kemudian target 10,47% pada 2026.

  • DJP dan BPJS Ketenagakerjaan saling tukar data untuk optimalkan pajak

    DJP dan BPJS Ketenagakerjaan saling tukar data untuk optimalkan pajak

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan BPJS Ketenagakerjaan menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) yang mengatur pertukaran data untuk mengoptimalkan serapan perpajakan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

    “Momentum ini menjadi awal sinergi yang semakin kuat, tidak hanya bagi DJP dan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara,” kata Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

    Kerja sama ini bermula dari pertukaran data yang telah berjalan sejak terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017.

    Pada 2019, BPJS Ketenagakerjaan mengusulkan pembentukan perjanjian resmi untuk mengatur pertukaran data dengan DJP.

    Sinergi tersebut makin diperkuat oleh Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 yang menugaskan integrasi data perpajakan dengan data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

    PKS DJP dan BPJS Ketenagakerjaan dituangkan dalam Nomor PRJ-140/PJ/2025 dan Nomor PER/311/082025.

    Kerja sama itu mencakup koordinasi pertukaran data, pelaksanaan kegiatan bersama, edukasi dan sosialisasi, serta langkah-langkah peningkatan kepatuhan di bidang perpajakan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

    Kolaborasi tersebut diharapkan memperkuat perlindungan pekerja di seluruh Indonesia sekaligus mendorong optimalisasi penerimaan negara.

    “Data yang kami terima telah melalui proses identifikasi dan sebagian telah diuji,” tambah Bimo.

    Sementara itu, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Pramudya Iriawan Buntoro menuturkan PKS ini ini membuka peluang besar untuk meningkatkan kepatuhan di masing-masing sektor.

    Dari sisi perpajakan, kata dia, diharapkan dapat berkontribusi dalam mendorong rasio pajak (tax ratio).

    Sedangkan, dari sisi ketenagakerjaan, kolaborasi ini diyakini akan memperkuat kepatuhan pemberi kerja demi perlindungan jaminan sosial bagi pekerja.

    “Pada akhirnya, sinergi ini akan berkontribusi signifikan pada pembangunan nasional,” ujarnya.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Penerimaan pajak Jakbar hingga akhir Juli 2025 capai Rp42,29 triliun

    Penerimaan pajak Jakbar hingga akhir Juli 2025 capai Rp42,29 triliun

    Jakarta (ANTARA) – Penerimaan pajak di Jakarta Barat (Jakbar) hingga akhir Juli 2025 mencapai Rp42,29 triliun atau tumbuh sekitar sekitar 16,34 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    “Itu tumbuh 16,34 persen, kalau dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” kata Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat Farid Bachtiar, di Jakarta, Kamis.

    Ia menjelaskan, capaian tersebut setara dengan 53,81 persen dari target penerimaan pajak untuk APBN 2025 dari Jakarta Barat sebesar Rp78,59 triliun.

    Berdasarkan jenis pajak, kata Farid, kontribusi terbesar berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dengan realisasi Rp21,72 triliun atau 51,37 persen dari total penerimaan dengan pertumbuhan sebesar 23,84 persen.

    “Kemudian disusul Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dengan realisasi Rp19,66 triliun (46,50 persen) dengan pertumbuhan 4,68 persen,” kata dia.

    Kemudian, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menyumbang penerimaan sebesar Rp63 miliar (0,15 persen), sedangkan penerimaan dari pajak lainnya tercatat sebesar Rp837,77 miliar atau sebesar 1,98 persen.

    Sementara itu, kata Farid, dari sisi sektor dominan, empat sektor utama penyumbang penerimaan pajak di Kanwil DJP Jakarta Barat, yakni perdagangan dengan Rp19,33 triliun (45,72 persen kontribusi), kemudian industri pengolahan, Rp8,9 triliun (21,05 persen kontribusi), pengangkutan dan pergudangan Rp2,78 triliun (6,59 persen kontribusi), lalu konstruksi Rp1,95 triliun (4,62 persen kontribusi).

    “Secara keseluruhan, keempat sektor ini memberikan kontribusi sebesar 77,97 persen dari total penerimaan neto,” kata Farid.

    Sementara itu, dalam hal kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Kanwil DJP Jakarta Barat mencatatkan capaian sebesar 84,78 persen dari target 402.188 SPT, dengan realisasi sebanyak 340.987 SPT telah dilaporkan hingga Juli 2025.

    “Capaian ini mendekati realisasi pelaporan SPT nasional yang mencapai angka 87,14 persen,” kata dia.

    Sebagai respon atas tren penerimaan tersebut, Kanwil DJP Jakarta Barat menerapkan tiga strategi pengamanan penerimaan.

    “Yaitu melalui optimalisasi pengawasan pembayaran masa, pengawasan kepatuhan material dengan sinergi antarfungsi, serta manajemen restitusi untuk menjaga penerimaan PPN tetap stabil,” katanya.

    Selain itu, lanjut dia, pengawasan pembayaran masa terhadap setoran rutin yang masih belum dibayarkan menjadi fokus strategis untuk meningkatkan potensi penerimaan.

    “Langkah-langkah ini diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan hingga akhir tahun dan mendukung target penerimaan 2025,” kata Farid.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemenkeu Bongkar Rasio Pajak Indonesia, Sebenarnya Capai Segini – Page 3

    Kemenkeu Bongkar Rasio Pajak Indonesia, Sebenarnya Capai Segini – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia yang selama ini dilaporkan sekitar 10,2% sebenarnya belum mencerminkan keseluruhan kapasitas penerimaan negara.

    Ia menilai, definisi yang digunakan pemerintah cenderung sempit, hanya menghitung penerimaan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ditambah penerimaan yang bukan cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

    Menurut Yon, perhitungan ini berbeda dengan standar OECD yang memasukkan seluruh beban pajak masyarakat ke dalam tax ratio, termasuk pungutan yang tidak memiliki pengembalian langsung.

    “Kalau dalam OECD report, seperti PNBP SDA itu juga termasuk dalam kategori perpajakan sebenarnya. Kalau kita namainya misalnya PNBP padahal dia ada pajak karakteristiknya,” kata Yonn dalam diskusi bersama Celios, di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

    Dengan kata lain, banyak komponen penerimaan negara di Indonesia yang sebenarnya memiliki sifat pajak, namun belum dihitung dalam tax ratio resmi.

    Contohnya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA) dan pajak daerah, yang secara karakteristik di luar negeri dianggap sebagai bagian dari pajak. Di Indonesia, PNBP justru ditempatkan di luar kategori pajak sehingga tidak ikut meningkatkan rasio pajak.

    “Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

     

     

  • Herwin Sudikta Sindir Pajak PSK: Negara Kalah Kreatif dari Mucikari

    Herwin Sudikta Sindir Pajak PSK: Negara Kalah Kreatif dari Mucikari

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengenakan pajak penghasilan bagi pekerja seks komersial (PSK) mendapat tanggapan dari pegiat media sosial, Herwin Sudikta.

    Herwin menilai, kebijakan ini menjadi bukti bahwa pemerintah kini melihat prostitusi bukan lagi dari sisi moral, melainkan semata-mata urusan fiskal.

    “Pemerintah akhirnya jujur, prostitusi bukan lagi urusan moral, tapi fiskal,” ujar Herwin kepada fajar.co.id, Minggu (10/8/2025).

    Ia menyindir bahwa jika sudah menyangkut pajak, segala hal seolah dapat dimaklumi.

    Bahkan, ia mengaitkan dengan kemungkinan praktik perjudian yang suatu saat bisa diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

    “Kalau udah ngomongin pajak, semua bisa dimaklumi. Tinggal tunggu giliran judi disuruh bikin NPWP juga,” tukasnya.

    Herwin juga mempertanyakan kreativitas pemerintah dalam mencari sumber pendapatan negara.

    “Masak sih negara kalah kreatif nyari cuan daripada mucikari? Jangan dong,” pungkasnya.

    Sebelumnya, jagat media sosial dihebohkan dengan kabar pekerja seks komersial (PSK) akan dikenakan pajak penghasilan (PPh).

    Informasi tersebut langsung memicu perdebatan publik, mengingat profesi itu tidak diakui secara legal di Indonesia.

    Menanggapi isu tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan tidak ada kebijakan khusus untuk memungut pajak dari PSK.

    Pihak DJP menjelaskan, kabar yang beredar berasal dari potongan pernyataan Direktur Jenderal Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP tahun 2016, Mekar Satria Utama, yang kembali diunggah oleh pihak tak bertanggung jawab.