Kementrian Lembaga: Dinkes

  • Jaksel tangani 13.245 penderita TBC pada 2024

    Jaksel tangani 13.245 penderita TBC pada 2024

    Jakarta (ANTARA) – Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan menangani sebanyak 13.245 penderita Tuberkulosis (TBC) pada 2024 dan mendorong semua pihak untuk terlibat aktif dalam penanggulangan penyakit tersebut.

    “Wilayah Jakarta Selatan pada 2024, pihak kesehatan sudah menangani sebanyak 13.245 kasus TBC,” kata Kasudin Kesehatan Jakarta Selatan Yudi Dimyati di Jakarta, Rabu.

    Yudi mengatakan itu dalam Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia Tahun 2025 Tingkat Kota Jakarta Selatan di Jalan Swadarma Raya, Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan.

    Dikatakannya bahwa Hari TBC Sedunia merupakan momen penting dalam upaya global untuk meningkatkan kesadaran tentang TBC dan menggalang dukungan untuk melakukan eliminasi TBC.

    “Momentum atau kegiatan ini salah satu tujuan kami untuk meningkatkan perhatian publik dan komunitas kesehatan terhadap upaya yang dibutuhkan untuk mengeliminasi TBC sebagai ancaman kesehatan global,” ujarnya.

    Karena itu peringatan ini harus dimanfaatkan bersama untuk meningkatkan komitmen dan kampanye dalam penyebarluasan informasi dan inovasi terkait TBC serta mendorong semua pihak untuk terlibat aktif dalam penanggulangan TBC.

    “Memang dibutuhkan peran yang serius dari kita semua untuk penyakit TBC ini, karena penyakit TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, namun pada aspek sosial, psikologi, dan ekonomi masyarakat nantinya,” katanya.

    Pada kegiatan tersebut turut hadir, Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Ali Murthadho, Asisten Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Kota Jakarta Selatan Tomy Fudihartono dan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati.

    Kepala Sudinkes Jakarta Selatan Yudi Dimyati, Camat Pesanggrahan Agus Ramdani, para lurah se-Kecamatan Pesanggrahan, Site Director Paragon Sony Hidajat, perwakilan RSUD se-Jakarta Selatan, Puskesmas dan PKK Kecamatan Pesanggarahan.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

  • Sebagian besar pasien Tuberkulosis usia produktif

    Sebagian besar pasien Tuberkulosis usia produktif

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Profesor Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa sebagian besar pasien Tuberkulosis merupakan usia produktif, yakni usia 45-54 tahun yang merupakan pekerja di berbagai tempat.

    Karena itu, menurut Tjandra, pencegahan dan penanganan Tuberkulosis (TB) di tempat kerja merupakan hal penting. Upaya ini bisa dimulai dari komitmen pimpinan perusahaan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk kegiatan nyata terprogram.

    “Kegiatan yang dilakukan di tempat kerja dapat berupa edukasi dan penyuluhan kesehatan, skrining, pendampingan pengobatan, dan lainnya,” ujar dia saat menjadi pembicara pada peringatan Hari Tuberkulosis sedunia di Jakarta Selatan, Rabu.

    Tjandra mengatakan, ada dua pendekatan kerja sama yang dapat dilakukan, yaitu antara perusahaan tempat kerja dengan fasilitas pelayanan kesehatan di lingkungan kerja.

    Selain itu kerja sama perusahaan tempat kerja, pemerintah dan organisasi masyarakat, seperti organisasi profesi kesehatan dan juga organisasi lainnya, seperti Pramuka.

    Dia kemudian menyoroti anggapan adanya pasien TB di tempat kerja akan merugikan perusahaan. Dia mengatakan anggapan ini salah.

    “TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dengan tuntas dan obatnya telah tersedia tanpa dipungut biaya,” katanya.

    Kalau ada pekerja yang mengidap TB, kalau disembuhkan maka bukan hanya bermanfaat bagi pekerjanya tetapi juga akan meningkatkan produktifitas kerjanya. “Pada gilirannya juga akan meningkatkan produktifitas perusahaan,” kata dia.

    Tjandra mengingatkan sumber daya manusia (SDM) adalah aset penting dalam suatu perusahaan. Karena itu tentu perlu mendapat pelayanan kesehatan yang baik pula, termasuk penemuan dan pengobatan tuberkulosis kalau sekiranya ada, seperti juga penyakit-penyakit lainnya.

    Dia lalu mengusulkan Puskesmas memiliki daftar perusahaan dan tempat kerja di wilayah masing-masing. Dinas Kesehatan DKI Jakarta, bisa membahas peran puskesmas untuk ikut menjaga kesehatan pekerja, termasuk dalam penyakit Tuberkulosis.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

  • Sosok Sugeng ASN Dinkes Temanggung Hilang saat Mendaki Gunung Merbabu, HP Sempat Terdeteksi

    Sosok Sugeng ASN Dinkes Temanggung Hilang saat Mendaki Gunung Merbabu, HP Sempat Terdeteksi

    Sosok Sugeng ASN Dinkes Temanggung Hilang saat Mendaki Gunung Merbabu, HP Sempat Terdeteksi

    TRIBUNJATENG.COM- Sugeng Parwoto (50) pria asal Temanggung, Jawa Tengah dinyatakan hilang ketika mendaki Gunung Merbabu sejak Jumat (18/4/2025). 

    Kepala Sub Bagian (Kasubag) Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGMb) Nurpana Sulaksosno membenarkan adanya kabar pendaki hilang tersebut.

    Nurpana mengatakan bahwa Sugeng mendaki bukan di jalur resmi.

    “Pendaki atas nama Sugeng Parwoto mendaki lewat Timboa bagian timur yang bukan jalur resmi,” kata Nurpana saat dikonfirmasi, Senin (21/4/2025), dikutip dari Tribun Solo.

    Nurpana menyebut, Sugeng Parwoto melakukan pendakian Gunung Merbabu pada Jumat (21/4/2025) melalui jalur ilegal Blok Timboa, Dusun Margomulyo, Desa Ngadirojo, Kecamatan Gladagsari, Kabupaten Boyolali, 

    Jawa Tengah.

    “Kami menerima laporan pendaki hilang pada Minggu (20/4/2025),” terang Nurpana.

    Lebih lanjut, Nurpana mengatakan, ponsel milik Sugeng sempat terdeteksi berada di antara pos 2 dan 3 jalur pendakian Gunung Merbabu pada Senin pukul 12.10 WIB, tepatnya berjarak 200 meter dari jalur.

    “Pukul 12.50, enam orang dari base camp Timboa berangkat untuk melakukan penyisiran di area tersebut,” jelas dia. 

    Setelah 4 jam penyisiran, tim gabungan menemukan barang-barang Sugeng di pos 5 jalur pendakian Gunung Merbabu via Timboa.

    Barang-barang milik korban yang ditemukan di antaranya berupa sepatu dan jas hujan.

    Namun sayangnya, pencarian terpaksa dihentikan sementara lantaran cuaca berkabut.

    Nurpana mengatakan, pencarian dilakukan dengan penyisiran pada tiga titik.

    Regu 1 yang berjumlah 4 orang melakukan penyisiran ke arah Gumuk Kethu, Regu 2 terdiri dari 12 orang berangkat menuju Kedung Wewe arah simpang pos 1, dan Regu 3 berjumlah 15 orang melakukan penyisiran menuju pos 3 jalur lama. 

    “Namun hari ini hasilnya nihil, survivor belum ditemukan,” jelasnya.

    Sugeng Parwoto adalah warga Karajan RT 4 RW 4 Tlogorejo, Temanggung.

    Sugeng merupakan salah satu aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Temanggung.

    Ia bertugas di Dinas Kesehatan (Dinkes) Temanggung.

    Pejabat dan sejumlah pegawai Dinkes Temanggung pun mendatangi posko pencarian di Basecamp Timboa.

    Sekretaris Dinkes Kabupaten Temanggung, Saninto Budi Setyawan juga terlihat berada di posko pencarian.

    Sugeng ternyata asisten apoteker.

    Ia telah 25 tahun bertugas di Dinkes Temanggung.

    (*)

  • 79 Siswa di Cianjur yang Keracunan usai Santap MBG Sudah Dipulangkan dari RS – Halaman all

    79 Siswa di Cianjur yang Keracunan usai Santap MBG Sudah Dipulangkan dari RS – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mencatat bahwa ada sebanyak 79 siswa yang menjalani perawatan di rumah sakit setelah mengonsumsi makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Puluhan pelajar dari MAN 1 Cianjur dan SMP PGRI 1 Cianjur yang mengalami gejala keracunan kini sudah dipulangkan. Mereka dipastikan tidak mengalami keluhan lagi.

    Hal ini disampaikan Kabid Pencegahan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cianjur, Frida Laila Yahya.

    “Dari 79 pelajar tersebut, 60 di antaranya siswa MAN 1 Cianjur, dan 19 SMP PGRI 1 Cianjur.” 

    “Puluhan siswa tersebut menjalani perawatan dua rumah sakit, yaitu RSUD Sayang Cianjur dan RS Bhayangkara,” katanya saat dikonfirmasi Tribun Jabar melalui sambungan telepon, Rabu (23/4/2025).

    Berdasarkan laporan terbaru, mereka sudah diperbolehkan pulang, tetapi pihak Dinkes Cianjur tetap melakukan pengawasan.

    “Kita juga tetap melakukan penanganan dan serta terus mengawasi para korban gejala ringan, atau pun yang sudah dinyatakan sembuh,” ucap Frida.

    Frida menambahkan, berdasarkan hasil pemeriksaan, dapur BMG Limbangansari mendistribusikan 788 paket makanan ke MAN 1 Cianjur dan 167 ke SMP PGRI 1 Cianjur.

    “Kasus keracunan terhadap puluhan siswa itu tidak hanya berasal dari wilayah Cianjur Kota. Kemarin ada laporan juga seperti Cilaku dan kecamatan lainnya,” tuturnya.

    Polisi Periksa 10 Orang

    Imbas kasus keracunan ini, Satreskrim Polres Cianjur memeriksa 10 orang.

    Kasat Reskrim Polres Cianjur, AKP Tono Listianto mengatakan, setelah adanya laporan keracunan terhadap puluhan siswa, tim Satreskrim Polres Cianjur dan Polsek setempat mendatangi lokasi kejadian untuk melakukan olah TKP.

    “Kita juga mengumpulkan bahan keterangan di lapangan, dan menyita beberapa sampel makanan yang diduga menjadi penyebab keracunan terhadap sejumlah korban,” ujarnya di Mapolres Cianjur, Rabu.

    Selain itu, pihaknya berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait lainnya, seperti Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cianjur dan Labkesda Provinsi Jawa Barat untuk mengirimkan sampel makanan yang telah disita.

    “Sejauh ini kami sudah meminta klarifikasi kepada pihak terkait, ada 10 orang yang sudah dimintai keterangan, mulai dari penanggung jawab CV, Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kecamatan Cianjur, Ahli Gizi SPPG, Staff tiga orang, tim pengemas, dan dua orang kurir atau pengantar makan,” tuturnya.

    Tono mengatakan, dalam penanganan kasus ini, pihaknya mengedepankan praduga tak bersalah, serta menunggu hasil uji laboratorium yang sedang dilakukan.

    “Sehingga kita belum bisa menyimpulkan apakah memang karena makanan tersebut, atau ada hal yang lainya.” 

    “Nanti kita informasikan kembali apabila sudah ada hasil pemeriksaan dari laboratorium,” ucapnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Jumlah Pelajar di Cianjur yang Keracunan Setelah Konsumsi MBG Capai 79, Begini Update Kondisinya.

    (Tribunnews.com/Deni)(TribunJabar.id/Fauzi Noviandi)

  • Dinkes Cianjur: Seluruh Siswa yang Keracunan Usai Konsumsi MBG Sudah Pulang

    Dinkes Cianjur: Seluruh Siswa yang Keracunan Usai Konsumsi MBG Sudah Pulang

    Bisnis.com, JAKARTA – Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat memastikan puluhan siswa yang keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan.

    Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Cianjur Frida Laila Yahya mengatakan total korban keracunan dari dua sekolah, yakni MAN I Cianjur dan SMP PGRI I Cianjur , mndapat perawatan di RSUD Sayang dan Bhayangkara Cianjur sebanyak 79 orang.

    “Total 79 siswa terdiri atas siswa MAN I sebanyak 60 orang dan SMP PGRI I sebanyak 19 orang. Saat ini, seluruhnya sudah pulang ke rumah masing-masing dan tetap mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan dari puskesmas terdekat,” katanya dilansir dari Antara, Rabu (23/4/2025). 

    Kondisi puluhan siswa tersebut terus membaik sehingga diperbolehkan pulang. Namun, selama pemulihan mereka tetap mendapat pengawasan dan kunjungan dari tenaga kesehatan guna memastikan kondisi kesehatannya kembali normal dan dapat beraktivitas seperti semula.

    Pihak Dinas Kesehatan, tutur dia, sudah memberikan data ke masing-masing puskesmas terkait siswa yang mengalami keracunan, sehingga petugas dapat melakukan pemeriksaan dan pengawasan setiap harinya guna mengantisipasi gejala lain setelah mendapat perawatan.

    “Saat ini kami masih menunggu hasil uji laboratorium dari sampel makanan dan muntahan untuk memastikan penyebab keracunan dibantu tim dari dinkes provinsi. Harapan kami dalam beberapa pekan ke depan dapat keluar hasilnya,” kata dia.

    Kepala Sekolah MAN I Cianjur Erma Sopiah mengatakan puluhan siswa yang mengalami keracunan dan mendapat perawatan di rumah sakit setelah pulang diizinkan untuk tidak masuk sekolah hingga beberapa hari hingga benar-benar pulih dan bisa beraktivitas normal.

    “Kami minta siswa yang mengalami keracunan untuk beristirahat sampai benar-benar pulih, setelah pulih kembali dapat masuk seperti biasa, saat ini proses belajar mengajar masih berjalan seperti biasa,” katanya.

    Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan yang menimpa puluhan siswa dari dua sekolah di Cianjur usai menyantap MBG yang sebagian besar mendapat perawatan di rumah sakit.

    Kepala Dinkes Cianjur Yusman Faisal mengatakan tidak hanya puluhan siswa, sekitar 98 orang warga Kecamatan Mande juga mengalami keracunan setelah menyantap hidangan yang disuguhkan dalam acara hajatan salah seorang warga.

    “Sehingga total warga yang mengalami keracunan selama dua hari terakhir sekitar 176 orang dengan rincian 23 orang siswa SMP PGRI 1 dan 55 orang siswa MAN I Cianjur, dan 98 warga Kecamatan Mande,” imbuhnya. 

  • Kepala BGN Turun Tangan Seusai Puluhan Siswa Keracunan MBG di Cianjur

    Kepala BGN Turun Tangan Seusai Puluhan Siswa Keracunan MBG di Cianjur

    Cianjur, Beritasatu.com – Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana turun tangan dengan mengunjungi langsung para siswa MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur yang mengalami gangguan kesehatan atau keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program makan bergizi gratis (MBG), Rabu (23/4/2025).

    Dadan menyatakan kunjungan ini sebagai bentuk empati dan tanggung jawab atas kasus keracunan makanan MBG di Cianjur. “Saya prihatin dan merasakan kekhawatiran para orang tua. Kesehatan anak-anak adalah prioritas utama kami,” tegasnya dalam keterangan tertulis.

    BGN kini menunggu hasil laboratorium dari sampel makanan yang diperiksa di Laboratorium Kesehatan (Labkesda) Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis diperkirakan keluar dalam 7-10 hari.

    Dadan menegaskan pentingnya evaluasi total terhadap seluruh rantai distribusi MBG, meskipun dapur penyedia telah mengikuti standar. Evaluasi ini mencakup manajemen dapur, penyimpanan bahan, dan distribusi makanan terkait kasus keracunan MBG di Cianjur.

    “Kami akan memperketat pengawasan dan pelatihan bagi seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ini bukan soal menyikapi kasus semata, tetapi membangun sistem pangan sekolah yang aman dan berkelanjutan,” ujarnya.

    Dadan juga menekankan pentingnya program MBG sebagai investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. “Gizi yang baik mendukung perkembangan fisik, otak, dan kecerdasan anak,” tambahnya.

    BGN kini berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Cianjur, pihak sekolah, dan pengelola dapur untuk memperbaiki sistem distribusi pangan. Dadan meminta masyarakat tetap tenang dan menunggu hasil investigasi resmi.

    “Kami hadir, mendengar, dan bergerak. Anak-anak Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama,” tutupnya terkait kasus keracunan MBG di Cianjur.

  • Komisi IX Bakal Panggil BGN Buntut Puluhan Siswa di Cianjur Keracunan MBG

    Komisi IX Bakal Panggil BGN Buntut Puluhan Siswa di Cianjur Keracunan MBG

    PIKIRANRAKYAT – Anggota Komisi IX DPR Nurhadi menyampaikan keprihatinan atas peristiwa yang menimpa puluhan siswa MAN 1 di Cianjur yang mengalami gejala keracunan usai mengkonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Nurhadi, kejadian yang berulang-ulang itu menandakan ada persoalan serius dalam pelaksanaan program MBG di lapangan.

    “Ini adalah kejadian yang sangat memprihatinkan, terlebih karena program MBG sejatinya bertujuan mulia yaitu meningkatkan gizi anak-anak sekolah dan menekan angka stunting,” kata Nurhadi, Rabu 23April 2025.

    Nurhadi menuturkan kejadian keracunan siswa usai menyantap MBG yang terjadi secara terus menerus justru menyebabkan gangguan kesehatan.

    “Tentu ini menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama Badan Pangan Nasional (BGN) dan seluruh instansi yang terlibat,” tuturnya.

    “Apalagi kejadian ini juga bukan yang pertama, dan ini menandakan perlunya evaluasi menyeluruh, baik dari sisi penyediaan bahan baku, distribusi, hingga pengawasan keamanan pangan,” lanjutnya.

    Kejadian ini bukan insiden tunggal. Dalam kurun waktu empat bulan sejak program MBG diluncurkan secara nasional, tercatat setidaknya telah terjadi tiga masalah serupa di wilayah yang berbeda.

    Di Sukoharjo, Jawa Tengah, puluhan siswa SDN Dukuh 03 keracunan setelah mengonsumsi ayam krispi dari MBG. Kasus keracunan dari MBG juga terjadi di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara. Lalu di Batang, Jawa Tengah.

    Dia menilai serangkaian kejadian tersebut menunjukkan bahwa keracunan bukanlah kasus insidental, melainkan gejala sistemik dari persoalan mendasar dalam tata kelola program.

    Oleh karena itu, Nurhadi menegaskan Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan itu akan segera meminta penjelasan resmi dari pihak terkait, terutama kepada BGN yang merupakan mitra kerja Komisi IX.

    “Kami akan dorong agar ada audit menyeluruh terhadap vendor penyedia MBG di berbagai daerah, termasuk penguatan standar higiene dan sanitasi pangan. Jika ditemukan kelalaian atau pelanggaran prosedur, maka harus ada sanksi tegas dan transparan,” katanya.

    Nurhadi menambahkan, Komiai IX pun mendorong agar pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat lebih aktif dalam melakukan pengawasan berkala serta pelatihan bagi para penyedia makanan di sekolah-sekolah.

    “Kami di Komisi IX tetap berkomitmen agar program-program peningkatan gizi tetap berjalan, namun harus dengan pelaksanaan yang aman dan bertanggung jawab,” ujarnya.***

     

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Perjanjian Pandemi WHO, Dapatkah Capaian Global Menggapai Tatanan Lokal? – Halaman all

    Perjanjian Pandemi WHO, Dapatkah Capaian Global Menggapai Tatanan Lokal? – Halaman all

    Ditengah polarisasi dunia, Perjanjian Pandemi WHO ini menjadi harapan hidupnya multilateralisme, menunjukkan bahwa 194 negara-negara anggotanya masih dapat bekerja sama menghadapi tantangan global dengan lebih terorganisir.

    Hal penting yang dibahas dalam perjanjian tersebut terkait pencegahan dan pengawasan pandemi, pendekatan one health, transfer teknologi, serta akses pembagian data patogen yang disertai sistem pembagian manfaat.

    Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., adalah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia yang juga merupakan salah satu delegator perundingan Perjanjian Penanganan Pandemi WHO. Sosok yang terjun langsung dalam penanganan COVID-19 di Indonesia ditunjuk sebagai juru bicara pemerintah hingga memimpin tim pakar satgas Covid-19. Kepada DW Indonesia, Prof Wiku membagikan pandangannya.

    Bagaimana respon Prof. Wiku terkait draf perjanjian pandemi WHO yang baru saja rampung tersebut?

    Perjanjian pandemi WHO ini penting, pencapaian besar dunia global, meski implementasinya masih akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Untuk mendetilkan operasional perjanjian ini, menuangkannya dalam annex (lampiran) perjanjian tersebut, butuh waktu lama.

    Berdasarkan pengalaman Prof. dalam penanganan COVID-19 di Indonesia, apa saja tantangan implementasi perjanjian ini di Indonesia?

    ‘Nyawa’ perjanjian ini utamanya di pasal 4 – Pandemic prevention and surveillance (pencegahan pandemi dan pengawasan), pasal 5 – One Health Approach to Pandemic Prevention, preparedness and response (pendekatan one health untuk pencegahan pandemi, kesiapan, dan respon), serta pasal 12 – WHO Pathogen Access and Benefit-Sharing System – PABS System (akses patogen dan sistem pembagian manfaat WHO).

    Pada saat melakukan (implementasi) ketiga pasal inti tersebut, sektor yang terlibat tidak hanya sektor kesehatan masyarakat, tapi juga sektor kesehatan hewan dan lingkungan.

    Patogen sebenarnya zoonosis atau berasal dari hewan, dan surveillance (pengawasan) tidak hanya dilakukan oleh kementerian sektor kesehatan masyarakat, tapi juga melibatkan sektor peternakan, dan kesehatan hewan yang berada di bawah komando kementerian pertanian, pembagian sektor ini bisa berbeda-beda di tiap negara.

    Lantas bagaimana melakukan surveillance dan meminta data pada representasi negara di WHO, namun tidak melibatkan kementerian pertanian, kementerian kehutanan mereka? Kementrian pertanian dan kehutanan sebenarnya sudah memiliki kesepakatan tersendiri, contohnya Protokol Nagoya yang dihasilkan dari Convention on Biological Diversity. Protokol Nagoya ini adalah kerangka acuan akses sumber daya genetik dan pembagian manfaat.

    Harmonisasi antar lembaga PBB seperti WHO dengan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) dan WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) penting sekali untuk implementasi perjanjian ini, tapi belum dilakukan dengan baik oleh WHO. Perjanjian ini tidak hanya soal kesehatan manusia tapi juga melibatkan sektor lain seperti kesehatan hewan dan lingkungan.

    Harmonisasi ini di level negara anggota WHO pun banyak tantangannya – bagaimana teknis penerapan data sharing di lapangan dan tata kelolanya. Distrik, sub distrik negara-negara di seluruh dunia ini jumlahnya jutaan tapi belum terkoneksi dengan komitmen global.

    Ada ‘jurang’ yang begitu besar antara global, regional, dan lokal. Yang paling penting sebenarnya adalah sektor lokal yang harusnya terharmonisasi atau terhubung dulu.

    Perjanjian Pandemi WHO ini masih jauh dari implementasi yang efektif di seluruh dunia.

    Mungkin di level international, WHO atau WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) mereka sepakat. Tapi kalau di level lokal tidak sepakat itu tidak akan jalan.

    Bisa Prof. jelaskan lebih detil terkait kesulitan implementasi perjanjian ini di ranah lokal?

    Butuh waktu lama untuk menjadikan perjanjian ini disepakati tiap negara – karena tiap negara itu tata kelolanya berbeda-beda.
    Di ranah global ada WHO, di ranah nasional ada kemenkes, di ranah provinsi ada dinas kesehatan provinsi, di kabupaten namanya sama dinas kesehatan kabupaten/kota. Namun jika kita bicara FAO (Food Agriculture Organisation) dan WOAH (World Organisation for Animal Health) secara global, di ranah nasional namanya menjadi Kementerian Pangan dan Kementerian Pertanian.

    Di Kementerian Pertanian terdapat direktorat jendral peternakan dan kesehatan hewan dan jika direktorat ini diturunkan ke 38 provinsi di Indonesia, dinasnya di provinsi menjadi bervariasi. Dinas peternakan dan kesehatan hewan bukan bagian dari dinas kesehatan, tetapi bagian dinas pertanian dan kelautan, atau bisa juga dinas perkebunan dan kesehatan hewan. 11 Provinsi saja sudah bervariasi dinasnya. Variasi ini berdampak pada ranah kewenangan.

    Kalau di 514 kabupaten kota di seluruh indonesia ada 59 variasi dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan. Bagaimana WHO, FAO, dan WOAH bisa terkoneksi dengan baik ke tingkat distrik lokal ini dan memastikan pengawasan berjalan sama? Juga bagaimana mereka sepakat dengan protokol yang sama?

    Realitanya, sektor di level lokal tidak terkoneksi dan tidak ada koneksi yang baik (ada koneksi tapi tidak baik) antara pusat dengan daerah, hal ini terjadi di seluruh dunia.

    Sebagai contoh, di NTT saya menangani kasus Rabies, dari gigitan anjing dan puluhan manusia jadi korbannya. Tapi penanganan kasus ini terpisah-pisah antar sektor. Sulit penanganannya jika tidak ada kesatuan data. Ini tidak sekedar vaksin hewan lantas selesai. Kita perlu data lengkapnya, berapa jumlah hewan yang terjangkit virus, berapa jumlah hewan yang telah divaksinasi, berapa jumlah manusia yang digigit dan terjangkit virus ini. Dengan data yang komprehensif jadi kita bisa meredam penyebaran virus ini.

    Sebenarnya bisa kita mengusahakan sistem one health (keterkaitan kesehatan manusia-hewan, dan lingkungan) dalam satu database. saya telah mencoba menghubungkan sektor terkait di NTT dan setelah sebulan, akhirnya terbentuklah kesatuan data yang tiap harinya bisa diperbarui tiap oleh tiap sektor terkait disana.

    Adakah cara atau metode untuk membantu data sharing ini di ranah lokal?

    Bukan soal metode, yang penting adalah willingness to share (keinginan untuk berbagi). Pendekatan One Health disini berarti terkoneksi- adanya kesatuan lintas sektor. Pendekatan One health ini umurnya baru berapa tahun, sedangkan sektor-sektor ini telah berjalan puluhan tahun.
    Para petugas di ranah lokal, tidak memiliki kewajiban untuk sharing data. Belum ada aturan yang mengharuskan hal tersebut. Adanya desentralisasi membuat sektor lokal membagikan data hanya ke top level of governance, yang dalam hal ini kementerian dalam negeri, belum secara lintas sektor. Aturannya harus diperbaiki.

    Kemenkes dan WHO sendiri belum membahas isu politik and governance pada level lokal dalam perundingannya, padahal jika dibicarakan di forum negosiasi mungkin akan ditemukan jalan keluar, sehingga data sharing dapat dilakukan. Jika tidak ada benefit sharing (pembagian manfaat) untuk apa melakukan pengawasan yang membutuhkan anggaran besar? Mekanisme benefit sharing masih perlu didetilkan lagi dalam annex (lampirannya).

    Jadi menurut Prof. saat pengajuan draf perjanjian kepada World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia) Mei mendatang, akankah negara-negara anggota lantas akan serempak meneken perjanjian ini?

    Jawabannya, bisa ya atau bisa juga tidak. Jika ya berarti negara-negara akan meratifikasi dan menyesuaikan ke hukum nasionalnya, disini perlu waktu lagi untuk adaptasi ke hukum nasional. Bisa juga perjanjian ini fluid, karena negara-negara anggota ingin detil pelaksanaannya diperjelas sebelum menekennya.
    Hal-hal politis di luar perjanjian ini punya pengaruh. AS sendiri telah memutuskan menarik diri dari WHO, karena merasa organisasi ini kurang tegas kapada Cina saat pandemi Covid terjadi. Belum lagi dengan perang dagang US yang tentu berpengaruh pada sektor kesehatan dunia.

    Menurut saya, meski masih jauh dari pelaksanaan yang efektif, masih ada harapan perjanjian dapat diterapkan di ranah global hingga lokal, jika WHO melakukan harmonisasi perjanjiannya dengan lembaga PBB lainnya yang terkait dengan perjanjian ini,dan jika di ranah lokal tiap negara data sharing dengan pendekatan One Health ini sudah berjalan. Dengan demikian global dan lokal bisa terhubung.

    Pewawancara: Sorta Caroline

    Editor: Agus Setiawan

  • Banyak Siswa Keracunan, Anggota Komisi IX DPR Minta Program MBG Dievaluasi Menyeluruh – Page 3

    Banyak Siswa Keracunan, Anggota Komisi IX DPR Minta Program MBG Dievaluasi Menyeluruh – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi prihati atas peristiwa keracunan yang menimpa puluhan siswa MAN 1 di Cianjur, Jawa Barat usai mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Apalagi ini bukan kali pertama kasus keracunan menu MBG di Indonesia.

    Menurut Nurhadi, kejadian yang berulang-ulang itu menandakan ada persoalan serius dalam pelaksanaan program MBG di lapangan. Alih-alih mendapatkan gizi yang baik, dia menambahkan, kejadian tersebut justru menyebabkan gangguan kesehatan pada anak-anak didik.

    “Tentu ini menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama Badan Pangan Nasional (BGN) dan seluruh instansi yang terlibat,” tutur Nurhadi dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).

    “Apalagi kejadian ini juga bukan yang pertama, dan ini menandakan perlunya evaluasi menyeluruh, baik dari sisi penyediaan bahan baku, distribusi, hingga pengawasan keamanan pangan,” imbuh Nurhadi. 

    Oleh karena itu, Nurhadi menegaskan bahwa Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan akan segera meminta penjelasan resmi dari pihak terkait, terutama kepada BGN yang merupakan mitra kerja Komisi IX.

    “Kami akan dorong agar ada audit menyeluruh terhadap vendor penyedia MBG di berbagai daerah, termasuk penguatan standar higiene dan sanitasi pangan. Jika ditemukan kelalaian atau pelanggaran prosedur, maka harus ada sanksi tegas dan transparan,” tegasnya.

    Nurhadi meminta pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat lebih aktif dalam melakukan pengawasan berkala serta pelatihan bagi para penyedia makanan di sekolah-sekolah. “Kami di Komisi IX tetap berkomitmen agar program-program peningkatan gizi tetap berjalan, namun harus dengan pelaksanaan yang aman dan bertanggung jawab,” tutup Nurhadi.   

  • Tanggapi Kasus Kekerasan Seksual oleh Tenaga Kesehatan Menkes : Yang baik Tertutupi Ulah Oknum – Halaman all

    Tanggapi Kasus Kekerasan Seksual oleh Tenaga Kesehatan Menkes : Yang baik Tertutupi Ulah Oknum – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tegaskan kasus dugaan pelecehan seksual oleh oknum dokter tidak boleh mengaburkan dedikasi dan integritas dokter lain yang selama ini bekerja dengan profesionalisme tinggi.

    “Kita memiliki hampir 300 ribu dokter di Indonesia. Jangan sampai tindakan segelintir oknum merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter secara keseluruhan,” ujar Menkes Budi dalam keterangan persnya, Selasa (22/4/2025). 

    Ia menekankan pentingnya sikap adil dan proporsional dalam menyikapi kasus tersebut.

    “Dokter-dokter baik jumlahnya jauh lebih banyak. Jangan sampai yang baik-baik ini tertutup oleh ulah oknum yang ngaco,” tegasnya.

    Menkes juga mengakui bahwa sistem pengawasan dan penegakan etik dalam dunia medis selama ini masih memiliki kelemahan, terutama dalam aspek transparansi dan ketegasan sanksi.

    “Ketika sistem tidak transparan dan tidak tegas, oknum merasa bebas berbuat tanpa pengawasan. Akibatnya terungkap, dan kepercayaan masyarakat pun terganggu,” imbuhnya.

    Pemerintah berkomitmen untuk memperkuat sistem pengawasan profesi medis melalui implementasi Undang-Undang Kesehatan yang baru. 

    UU ini memberikan kewenangan yang lebih kuat bagi pemerintah untuk mengidentifikasi dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku pelanggaran etik, tanpa pengecualian.

    Salah satu langkah konkret adalah pencatatan rekam jejak pelaku dan pendistribusian data tersebut ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah. 

    Dengan demikian, tindakan pencegahan dapat dilakukan secara sistematis dan lebih cepat.

    “Langkah ini penting agar kita bisa melindungi mayoritas dokter yang selama ini bekerja dengan benar, profesional, dan penuh tanggung jawab,” jelas Budi