Kementrian Lembaga: Dinkes

  • Sengkarut Masalah di Balik Ribuan Anak Keracunan Makanan Bergizi Gratis

    Sengkarut Masalah di Balik Ribuan Anak Keracunan Makanan Bergizi Gratis

    Jakarta

    Program makan bergizi gratis (MBG) yang sedang digencarkan pemerintah kembali menuai kritik setelah berulang kali terjadi kasus keracunan pangan di berbagai daerah. Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menilai kejadian ini bukanlah insiden wajar, melainkan sinyal kegagalan sistemik dalam tata kelola keamanan pangan.

    “Ini bukan soal sekali-dua kali salah masak. Ini kegagalan sistemik food safety dan governance pengadaan,” ujar Dicky kepada detikcom, Jumat (26/9/2025).

    Menurut Dicky, pola keracunan yang berulang dan bahkan terjadi lintas daerah hampir selalu mengindikasikan adanya masalah di banyak titik rantai makanan.

    Masalah pertama biasanya muncul dari kontrol suhu dan waktu. Dalam standar internasional, makanan tidak boleh terlalu lama berada di ‘zona bahaya’ antara 5 sampai 60 derajat Celsius, karena pada rentang ini bakteri berkembang biak sangat cepat.

    Idealnya ada aturan praktis yang disebut ‘2-jam/4-jam rule’, tetapi di lapangan sering dilanggar. Pendinginan cepat menggunakan teknologi seperti blast chiller jarang tersedia, begitu pula fasilitas penyimpanan panas. Akibatnya, makanan yang seharusnya aman justru menjadi medium pertumbuhan bakteri.

    Kedua, sistem distribusi dan logistik juga sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Banyak makanan yang harus menempuh perjalanan jauh tanpa wadah dingin khusus atau data logger untuk memantau suhu. Kemasan pun kerap tidak kedap udara dan mudah disusupi bakteri.

    Ketiga, higiene dan sanitasi dapur, menurutnya masih menjadi persoalan klasik. Mulai dari cuci tangan yang tidak disiplin, peralatan masak yang bercampur antara bahan mentah dan matang, hingga air bersih yang tidak terjamin. Kontaminasi silang menjadi hal sangat mungkin terjadi, apalagi jika tidak ada sistem kontrol hama.

    Selain itu, kualitas bahan baku dan pemasok juga rawan. Banyak bahan pangan berisiko tinggi seperti telur, ayam, nasi, santan, atau saus kelapa tidak melalui proses uji mikrobiologi maupun sertifikasi. Dalam praktiknya, pergantian pemasok lebih sering didasarkan pada harga murah atau kejar volume, bukan pada rekam jejak keamanan pangan.

    “Tak kalah penting adalah lemahnya sistem mutu dan tata kelola. Standar seperti HACCP atau ISO 22000 yang seharusnya memastikan keamanan pangan, sering kali hanya berhenti di tataran administratif. Audit dilakukan sebatas dokumen, tanpa menelusuri kondisi nyata di lapangan. Kontrak pengadaan pun tidak mencantumkan aturan ketat tentang suhu dan waktu penyajian, apalagi sanksi, mekanisme recall, atau asuransi jika terjadi insiden,” sorotnya.

    “Terakhir, perencanaan menu juga sering tidak adaptif. Menu dengan bahan rawan, misalnya berbasis santan atau saus basah, tetap disajikan walaupun disimpan berjam-jam pada suhu ruang. Padahal, jenis makanan seperti ini justru paling sering memicu insiden keracunan,” lanjutnya.

    Tidak Bisa Disamaratakan

    Dicky menekankan, Indonesia tidak bisa memaksakan satu model penyediaan makanan untuk seluruh wilayah. “Konteks kita besar, bukan hanya geografis, tapi juga budaya dan akses. Kalau dipaksakan seragam, justru berisiko,” jelasnya.

    Menurutnya, konsep hybrid lebih realistis. Di kota besar, sekolah bisa bekerja sama dengan katering berskala besar yang memiliki rantai dingin dan sistem distribusi digital. Di daerah dengan akses sedang, penyediaan makanan bisa melibatkan warung atau unit pangan lokal dengan pengawasan ketat dari dinas kesehatan.

    Sementara itu, untuk wilayah terpencil dengan transportasi sulit, pendekatan berbeda diperlukan: misalnya penyediaan dry pack atau ready-to-cook pack seperti abon atau kacang kedelai. Produk-produk ini lebih tahan lama, bergizi tinggi, bisa difortifikasi dengan zat besi, vitamin A, serta protein hewani, dan juga berfungsi sebagai cadangan darurat (emergency supply).

    “Tantangan berikutnya tentu variasi menu agar anak tidak bosan. Tapi secara gizi dan keamanan jauh lebih aman ketimbang memaksakan satu model distribusi nasional,” tambahnya.

    Belajar dari Negara Lain

    Dicky menegaskan, kunci keberhasilan program makan sekolah di berbagai negara terletak pada disiplin standar keamanan pangan dan transparansi penuh pada publik. Pemerintah harus berani membuka data secara apa adanya, termasuk jika ada kelemahan atau temuan lapangan.

    “Kalau mau MBG berhasil, Indonesia harus transparan, adaptif pada kondisi tiap daerah, dan tidak hanya berhenti pada administrasi di atas kertas. Standar keamanan pangan dan gizi harus nyata dijalankan di lapangan,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: PM Israel Benjamin Netanyahu Keracunan Makanan Basi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

    Gaduh Keracunan MBG

    8 Konten

    Ribuan anak sekolah dilaporkan mengalami keracunan usai menerima Makan Bergizi Gratis (MBG). Apa saja kemungkinan penyebabnya, dan bagaimana mencegahnya di kemudian hari?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Tingkatkan Layanan Publik Inklusif, Pegawai Pemkab Banyuwangi Dilatih Bahasa Isyarat

    Tingkatkan Layanan Publik Inklusif, Pegawai Pemkab Banyuwangi Dilatih Bahasa Isyarat

    Banyuwangi (beritajatim.com) – Pemkab Banyuwangi menggelar diklat Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang diikuti para petugas front office pelayanan publik. Pelatihan ini digelar sebagai bentuk komitmen daerah memberikan pelayanan publik yang inklusif bagi semua warga.

    Pelatihan diikuti 40 petugas yang menjadi frontliner di sejumlah instansi pemkab. Mulai Puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMTSP), Dinas Kesehatan, Dispendukcapil hingga pegawai kantor kecamatan.

    Diklat berlangsung selama lima hari, Senin-Jumat 22-26 September 2025 di Banyuwangi. Pemkab menggandeng Komunitas Teman Tuli Banyuwangi dan Pengajar dari SMA-LB Prop Jatim dalam kegiatam diklat.

    Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengatakan Banyuwangi terus berkomitmen untuk terus menyelenggarakan pelayanan publik terbaik bagi warga. Tidak hanya memberikan layanan yang lebih cepat dan efisien, tapi juga inklusif dan berorientasi pada pendekatan humanis.

    “Kami ingin semua warga bisa mengakses layanan publik dengan mudah dan ramah. Termasuk teman-teman disabilitas. Karenanya kami latih para petugas terdepan pada pelayanan publik untuk bisa memahami bahasa isyarat agar tidak terjadi kendala komunikasi,” kata Bupati Ipuk, Jumat (26/9/2025).

    Ipuk mengaku, pelatihan ini, menindaklanjuti hasil Rembuk Disabiltas yang diikuti puluhan rekan-rekan disabilitas. Dalam rembuk tersebut terdapat aspirasi salah satunya agar semua kantor-kantor pemerintahan yang biasa diakses warga juga dilengkapi petugas yang memahami kemampuan dasar bahasa isyarat.

    “Ini adalah upaya memenuhi hak-hak rekan disabilitas. Kami berharap kini, kantor-kantor pelayanan publik bisa diakses dengan baik dan mudah bagi rekan-rekan disabilitas. Tidak perlu ragu datang ke pusat-pusat layanan publik daerah untuk menyelesaikan urusannya,” harap Ipuk.

    Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Banyuwangi Ilzam Nuzuli menambahkan, diklat pelatihan dasar BISINDO ini secara bertahap akan diikuti seluruh pegawai front office pemerintahan.

    “Saat ini memang baru sebagian kantor, nanti semua akan didiklat sama. Porsi diklatnya lebih banyak praktek. Dimana para peserta bisa langsung mempraktekkan hasil latihannya bersama mentor,” kata Ilzam.

    Sementara itu salah satu peserta pelatihan bahasa isyarat adalah Bibin Eka Widianto, yakni seorang perawat yang bertugas di Puskesmas Kedungrejo Kecamatan Muncar. Bibin sangat mengapresiasi kegiatan pelatihan yang diikutinya karena memang dibutuhkan khususnya saat memberikan pelayanan kesehatan di puskesmas.

    “Kami pernah mendapat pasien seorang ibu yang merupakan teman tuli yang akan melahirkan, saat itu kami sedikit kesulitan berkomunikasi. Adanya pelatihan ini menjadi bekal bagi kami untuk bisa melayani semua warga,” jelasnya. [alr/aje]

  • Cipete Selatan jadi pemenang Kampung Siaga TB 2025 di Jaksel

    Cipete Selatan jadi pemenang Kampung Siaga TB 2025 di Jaksel

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan (Pemkot Jaksel) menyatakan RW 01 Cipete Selatan terpilih menjadi pemenang dalam Penilaian Kampung Siaga TB 2025 di wilayah itu.

    “Kepada para camat dan lurah untuk dapat melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan dari Kampung Siaga Tuberkulosis yang sudah terbentuk dari tahun 2024,” kata Wali Kota Jakarta Selatan Muhammad Anwar di sela Penilaian dan Pemberian Apresiasi Kampung Siaga Tuberkulosis Tahun 2025 di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kamis.

    Juara 1 Penilaian Kampung Siaga TB Tahun 2025 di Jakarta Selatan diraih RW 03 Kelurahan Cipete Selatan, Juara 2 RW 01 Kelurahan Grogol Selatan, Juara 3 RW 07 Kelurahan Pela Mampang, Juara Harapan 1 RW 05 Kelurahan Ciganjur dan Juara Harapan 2 RW 07 Kelurahan Manggarai.

    Maka itu, Anwar meminta kepada semua sektor bergerak sesuai tugas dan perannya untuk percepatan penanggulangan Tuberkulosis Kota Administrasi Jakarta Selatan.

    “Salah satu upaya penanggulangan TB yaitu melalui Kampung Siaga Tuberkulosis (TB) yang sudah terbentuk di setiap kelurahan,” ucapnya.

    Sementara, Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Yudi Dimyati menambahkan dengan meningkatkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) serta kolaborasi yang bergerak bersama di semua sektor mulai dari tingkat kota, kecamatan, kelurahan, RW dan RT.

    Diharapkan percepatan penanggulangan TB dapat tercapai dan menjadikan Jakarta Selatan menuju Eliminasi TBC di Tahun 2030.

    “Gerakan Masyarakat Hidup Sehat sangat berperan penting dalam penanggulangan Tuberkulosis di masyarakat, salah satunya dengan meningkatkan paradigma terhadap hidup sehat,” ucap Yudi.

    Kemudian, Lurah Cipete Selatan Fuad mengatakan, dari seluruh RW yang ada di Cipete Selatan, RW 03 merupakan wilayah dengan kasus TB terbanyak yakni tujuh orang. Karena itu, Kampung Siaga TB, difokuskan di RW tersebut.

    Ia berharap, dengan adanya kampung siaga Tuberkulosis dan adanya kader Tuberkulosis, mudah-mudahan tidak ada lagi kasus Tuberkulosis (TB) di wilayah RW 03 khususnya wilayah Cipete Selatan.

    “Pada hari ini RW 03 menjadi Juara 1 Penilaian Kampung Siaga TB. Dalam pelaksanaannya, para kader bersama puskesmas setiap hari mendatangi tempat yang positif TB, memberikan obat kepada pasien TB dan terus melakukan monitoring pemberian obat sampai enam bulan ke depan,” ucap Fuad.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum Bandung 25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah Jawa Barat tidak hanya dialami oleh siswa, tetapi juga telah menyasar kelompok rentan, khususnya ibu menyusui.
    Program yang merupakan niatan baik dari pemerintah untuk rakyatnya ini malah berakibat pada keracunan massal yang jumlahnya tidak sedikit.
    Ironisnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Bandung Barat, sementara ini korban keracunan telah mencapai 1.333 orang dari tiga kejadian di Cipongkor dan Cihampelas.
    Korban keracunan akibat program MBG juga sempat terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, Pelabuhan Ratu Sukabumi, Garut, hingga Tasikmalaya.
    Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Somawijaya, menelaah peristiwa keracunan massal ini dari kacamata hukum.
    Dikatakan, bila merujuk dari berbagai laporan serta temuan, pelaksanaan program MBG belakangan ini menuai sorotan tajam.
    Alih-alih membawa manfaat, pelaksanaan program justru diwarnai keracunan massal dengan jumlah korban yang tidak sedikit.
    Merujuk berbagai laporan dan temuan, lanjutnya, faktor-faktor yang diduga menjadi pemicu antara lain berupa kualitas bahan baku yang tidak terjamin, proses pengolahan yang tidak sesuai standar higienitas, lamanya penyimpanan dan distribusi sehingga makanan basi atau terkontaminasi, hingga lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyedia jasa katering atau dapur penyedia MBG.
    “Semua hal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk kelalaian apabila dapat dibuktikan bahwa pihak penyedia atau pengawas tidak menjalankan kewajiban sesuai standar operasional (SOP),” ucap Soma dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/9/2025).
    Soma menyebut bahwa kelalaian atau culpa dapat diartikan sebagai sikap kurang hati-hati atau tidak cermat yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, sementara kesengajaan atau dolus dapat terjadi apabila terdapat pihak-pihak yang ternyata sudah mengetahui risiko tetapi tetap membiarkan atau bahkan menghendaki akibat yang membahayakan.
    “Pada kasus keracunan dalam program MBG, jika terbukti hanya ada unsur kurang hati-hati (misalnya penyimpanan yang tidak sesuai prosedur), pihak-pihak yang terlibat dalam program MBG, baik pihak yang mengolah, menyiapkan, dan hingga mengirim makanan ke sekolah serta pemerintah, dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas program serta akibat yang terjadi,” terangnya.
    Dalam perspektif hukum pidana, lanjut Soma, kasus keracunan massal akibat program MBG dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana jika terbukti terdapat kesalahan berupa adanya kelalaian (culpa) atau bahkan kesengajaan (dolus) eventualis dari pihak penyedia makanan atau pihak yang bertanggung jawab dalam proses pengolahan dan distribusi.
    Misalnya, apabila dapur penyedia atau pihak distribusi mengetahui bahwa makanan sudah tidak layak konsumsi, atau tidak mematuhi standar keamanan pangan yang diwajibkan, tetapi tetap mendistribusikannya ke sekolah, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara pidana.
    “Apabila dalam proses investigasi ditemukan bukti atau petunjuk yang dapat membuktikan adanya hubungan kausalitas dan relevansi antara pihak penanggung jawab program MBG maupun penyedia makanan dengan masyarakat/siswa yang terdampak akibat dugaan keracunan, hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun perdata,” ujarnya.
    Menurutnya, dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum dapat menerapkan atau berlandaskan pada ketentuan Pasal 359–360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang sakit atau meninggal, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur keamanan pangan.
    Adapun dalam perspektif hukum perdata, bukti hubungan kausalitas tersebut dapat menjadi dasar bagi para korban atau orang tua siswa untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) maupun pelanggaran kewajiban pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen.
    “Gugatan ini dapat dilakukan secara individu maupun secara kolektif (
    class action
    ) untuk menuntut penggantian kerugian materiil seperti biaya pengobatan serta kerugian immateriil berupa penderitaan dan trauma,” tuturnya.
    Menurutnya, pemerintah daerah selaku penyelenggara program juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai dalam melakukan pengawasan atau pemilihan penyedia makanan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.
    “Dengan demikian, adanya bukti serta petunjuk berupa kausalitas tidak hanya memperkuat pembuktian unsur kelalaian atau kesengajaan dalam proses pidana, tetapi juga menjadi landasan yuridis yang kuat bagi para korban untuk menuntut pemulihan hak dan memperoleh ganti rugi melalui mekanisme perdata,” ucapnya.
    Karena itu, ke depannya, kata Soma, program MBG harus dirancang dan dijalankan dengan dasar regulasi yang jelas serta standar operasional ketat pada setiap tahap, mulai dari pengadaan bahan, pengolahan, distribusi, hingga penyajian makanan.
    “Selain itu, pemerintah daerah selaku penyelenggara wajib membuat kontrak pengadaan yang akuntabel dengan penyedia makanan, memuat kewajiban menjaga mutu dan klausul ganti rugi bila terjadi keracunan, serta melakukan pengawasan rutin,” tuturnya.
    Ia berharap, pemerintah memfokuskan evaluasi pada pengetatan seleksi penyedia makanan, peningkatan sistem distribusi dan penyimpanan, pengawasan lapangan yang lebih intensif, transparansi hasil audit kepada publik, serta penyediaan mekanisme kompensasi atau asuransi bagi korban sebagai bentuk perlindungan hukum.
    “Dengan cara ini, diharapkan program MBG tetap dapat berjalan dan menjamin makanan-makanan yang disajikan telah tepat dan sesuai dengan visi dan misi awal diadakannya program MBG ini,” tuturnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Keracunan MBG di Mamuju Ditetapkan KLB, 2 Siswa Masih Dirawat
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        25 September 2025

    Kasus Keracunan MBG di Mamuju Ditetapkan KLB, 2 Siswa Masih Dirawat Regional 25 September 2025

    Kasus Keracunan MBG di Mamuju Ditetapkan KLB, 2 Siswa Masih Dirawat
    Tim Redaksi
    MAMUJU, KOMPAS.com
    – Dinas Kesehatan Sulawesi Barat (Sulbar) mencatat total ada 27 siswa yang diduga keracunan makanan bergizi gratis (MBG) di Kecamatan Tapalang, Kabupaten Mamuju.
    Insiden ini kini ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
    Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Kesehatan Sulbar, dr. Nursyamsi Rahim, mengatakan penetapan status KLB dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju berdasarkan laporan Kejadian Luar Biasa atau wabah (W1).
    “Yang mengeluarkan penetapan sebagai KLB adalah Dinkes Kabupaten Mamuju berdasarkan laporan W1-nya,” kata Nursyamsi kepada Kompas.com, Kamis (25/9/2025) malam.
    Dari 27 siswa yang mengalami gejala keracunan, 25 di antaranya telah sembuh dan dipulangkan usai menjalani perawatan di Puskesmas Tapalang.
    Dua siswa SMPN 1 Tapalang masih dirawat di rumah sakit di Kota Mamuju setelah sempat dalam kondisi kritis.
    Tim Gerak Cepat Dinas Kesehatan Sulbar bersama Dinkes Mamuju telah melakukan investigasi epidemiologi, termasuk pengambilan sampel makanan di sekolah dan dapur MBG.
    Sampel tersebut telah dikirim ke laboratorium BPOM untuk diuji.
    Gubernur Sulbar, Suhardi Duka, menegaskan keselamatan anak-anak sekolah adalah prioritas utama dalam pelaksanaan program MBG.
    “Kami akan memastikan investigasi berjalan tuntas demi keamanan pangan di sekolah,” kata Suhardi melalui rilis resmi, Kamis malam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Pemilihan Bahan Hingga Makanan Siap Disantap

    Dari Pemilihan Bahan Hingga Makanan Siap Disantap

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Khusus Palmerah, Jakarta Barat, berbagi tips menyajikan makanan yang sehat, bergizi, aman, dan tetap berkualitas.

    Koordinator SPPG Wilayah Jakarta Barat, Yudha Permana menjelaskan, kuncinya adalah disiplin menerapkan titik kendali kritis dalam tata kelola dapur MBG. Proses tersebut meliputi pemilihan bahan baku, penyimpanan, pengolahan makanan, pendinginan, pengemasan, hingga memastikan makanan sarat nutrisi sampai ke meja penerima manfaat.

    “Fokusnya adalah memastikan critical control point-nya terjaga dengan baik. Angka kecukupan gizinya terpenuhi, begitu juga dengan kualitas bahan baku, penyimpanan, dan SOP yang harus dipatuhi seluruh pekerja SPPG,” kata Yudha di SPPG Khusus Palmerah, Selasa (23/98).

    Yudha memaparkan alur tata kelola SPPG yang harus dipatuhi, yakni dimulai pemilihan kuaitas bahan baku dari suplier yang terlebih dahulu dilakukan pengecekan oleh ahli gizi. Misal daging ayam dan sayuran harus segar.

    Setelah dibersihkan, bahan baku sumber potein hewani dan nabati wajib dipisahkan agar tidak terjadi kontaminasi. Kedua bahan juga harus disimpan di lemari pendingin berbeda. Protein hewani disimpan di freezer bersuhu di bawah -15 derajat celsius, sedangkan protein nabati disimpan di chiller dengan suhu di bawah -5 derajat celsius.

    “Jika tidak dipisah, bisa terjadi kontaminasi silang. Berpotensi menimbulkan bakteri Salmonella,” ujar Yudha.

    Pada proses pengolahan, bahan makanan dimasak dengan kematangan sempurna agar bakteri-bakteri alami yang terkandung dapat mati melalui pemasakan.

    “Kita juga pastikan adanya proses pendinginan sebelum dikemas. Tujuannya agar ketika nanti ditutup, tidak timbul keringat yang bisa menyebabkan bau dan mempercepat makanan basi,” jelas Yudha.

    Hal penting lainnya, menurut Yudha, adalah memastikan petugas melaksanakan standar operasional prosuder (SOP) yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN) maupun Kementerian Kesehatan.

    “Kita juga mengikutsertakan petugas dalam pelatihan penjamah makanan dari Dinas Kesehatan. Jadi dipastikan seluruh pegawai sudah punya sertifikat penjamah makanan,” ujar Yudha.

    Dengan sertifikasi itu, lanjut Yudha, petugas akan lebih mengerti pentingnya menggunakan APD, termasuk menjaga kebersihan. “Itu adalah tips agar SPPG yang beberapa waktu lalu kurang baik penanganannya, bisa lebih baik lagi,” tegas Yudha.

  • BPOM Kumpulkan Uji Sampel Penyebab Insiden Keracunan MBG

    BPOM Kumpulkan Uji Sampel Penyebab Insiden Keracunan MBG

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merespons insiden keracunan akibat mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan melakukan monitoring ke beberapa daerah.

    Kepala BPOM, Taruna Ikrar menyampaikan BPOM juga sudah mengambil sampel MBG di beberapa daerah untuk diuji di laboratorium.

    “BPOM melakukan monitoring insiden pangan sehingga dapat menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada BGN. Di beberapa daerah kejadian insiden pangan sudah dilakukan pengujian,” katanya kepada Bisnis melalui keterangan tertulis, Kamis (25/9/2025).

    Hasil uji lab akan di kirim ke Badan Gizi Nasional (BGN) untuk ditindaklanjuti sebagai langkah evaluasi program MBG. Nantinya pengumuman hasil lab disampaikan oleh BGN.

    Namun, BPOM tidak memerinci daerah mana saja yang telah di monitoring dan pengambilan sampel makanan MBG. Taruna menjelaskan BPOM telah mengambil peran dalam pelaksanaan MBG seperti pelatihan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI).

    Taruna juga mengaku bahwa BPOM membantu pengolahan makanan yang menjadi menu MBG.

    “Terkait dengan peran dalam program MBG, BPOM dilibatkan dalam pelatihan SPPI dan pengolah makanan untuk meningkatkan kompetensi petugas dalam mengolah pangan. BPOM juga melakukan pengujian sampel insiden pangan, apabila diminta oleh BGN,” tuturnya.

    Sebelumnya, terdapat 5.626 kasus keracunan makanan MBG terjadi di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi hingga 19 September 2025. Data ini dihimpun dari pemantauan pemberitaan dan pernyataan resmi Dinas Kesehatan di berbagai daerah.

    Di sisi lain, Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamen Sesneg) Juri Ardiantoro menyatakan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak akan dihentikan, walaupun muncul desakan sejumlah kalangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh pasca kasus keracunan massal di Bandung Barat, Jawa Barat.

    “Memang beberapa aspirasi dari beberapa kalangan yang minta ada evaluasi total, ada pemberhentian sementara, ada juga sambil jalan kita perbaiki tapi tidak perlu menghentikan secara total,” katanya dikutip dari Antara, Kamis (25/9/2025).

    Meski begitu, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansah mengatakan perlu adanya tim investigasi independen untuk menelusuri dan membenahi masalah Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Dosen Hukum Universitas Trisaksi itu menjelaskan pembentukan tim investigasi independen melibatkan publik dan tidak hanya berasal dari internal Badan Gizi Nasional (BGN).

    “Harusnya ada tim investigasi yang independen. Bukan dari internal BGN. Jadi melibatkan publik untuk ikut investigasi karena kan persoalan MBG ini kan dari hulu ke hilir. Jadi ada persoalan yang tidak saja ke tata kelola BGN, kepada dapurnya sendiri,” katanya kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).

  • Tiga anak yang alami gejala usai santap MBG di Jaksel membaik

    Tiga anak yang alami gejala usai santap MBG di Jaksel membaik

    Jakarta (ANTARA) – Badan Gizi Nasional (BGN) memastikan tiga anak yang mengalami gejala ringan usai menyantap Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang didistribusikan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Pancoran, Kalibata, pada Jumat (29/8), dipastikan membaik.

    “Pada saat kejadian, ketiga anak tersebut langsung kami bawa ke Puskesmas terdekat,” kata Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik Sudaryati Deyang saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Nanik mengatakan kejadian tersebut terjadi pada Jumat (29/8) lalu dan langsung ditangani oleh pihak puskesmas dan Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan.

    Dalam waktu dua jam, petugas kesehatan mampu menangani gejala yang dialami ketiga anak tersebut.

    “Mereka dirawat di puskesmas saat itu dan selama dua jam perawatan kondisi mereka sudah kembali membaik,” ucapnya.

    Terkait penjelasan gejala ringan yang dialami, pihaknya menyerahkan keterangan tersebut kepada Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan.

    “Penyelidikan atau analisa lab itu hasilnya 14 hari, mohon bisa ke Dinkes Jaksel,” ucapnya.

    Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat beberapa kali kejadian dugaan keracunan akibat konsumsi menu program MBG di Jakarta.

    Terkait hal itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berharap dan mendoakan agar kasus keracunan MBG tak terjadi kembali ke depannya.

    Rincian kejadian dugaan keracunan tersebut antara lain kasus pertama terjadi di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Pancoran Kalibata, Jakarta Selatan, pada 29 Agustus 2025.

    Tiga orang dilaporkan mengalami gejala ringan. Dari hasil uji laboratorium, makanan MBG positif mengandung mikrobiologi.

    Lalu, kasus kedua tercatat di SPPG Khusus Koja, Jakarta Utara, pada 8 September 2025. Sebanyak 14 orang terdampak, namun hingga kini belum ada hasil uji laboratorium yang memastikan penyebab keracunan.

    Terbarunya, tujuh siswa SMAN 15 Jakarta mengalami mual setelah menyantap MBG pada Selasa (23/9). Tiga di antaranya sempat dibawa ke rumah sakit.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pertama di Indonesia, Surabaya Raih Rekor MURI Lewat Penyuluhan TBC Terbanyak

    Pertama di Indonesia, Surabaya Raih Rekor MURI Lewat Penyuluhan TBC Terbanyak

    Surabaya (beritajatim.com) – Kota Surabaya kembali menorehkan sejarah. Untuk pertama kalinya di Indonesia, Surabaya berhasil meraih penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) lewat penyuluhan Tuberkulosis (TBC) dengan partisipasi terbanyak di tingkat RW.

    Tak tanggung-tanggung, sebanyak 1.361 RW se-Surabaya ambil bagian dalam penyuluhan bertajuk “Merdeka TBC”. Pusat kegiatan digelar di Balai RW 3 Kelurahan Jambangan, Kecamatan Jambangan, sementara ribuan RW lainnya mengikuti secara daring pada Kamis (28/8/2025).

    Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyampaikan bahwa capaian ini bukan sekadar rekor, melainkan wujud nyata gotong royong warga Kota Pahlawan dalam melawan TBC.

    “Rekor MURI ini menunjukan bahwa Kota Surabaya tidak dibangun oleh satu orang, tetapi Surabaya bergerak maju bersama seluruh warganya. Surabaya dimiliki oleh warganya karena yang melakukan sosialisasi adalah dari warga untuk warga,” kata Wali Kota Eri Cahyadi.

    Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam memberantas TBC. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pun melibatkan RT, RW, hingga kader kesehatan untuk memantau setiap rumah, melakukan edukasi, dan memastikan penderita TBC menjalani pengobatan sampai tuntas.

    “Maka dari itu, kami membentuk Kampung Pancasila dengan melibatkan RT, RW, hingga KSH supaya bisa memantau setiap rumah dan bergerak bersama melakukan sosialisasi dan pencegahan TBC,” ungkapnya.

    Meski demikian, Wali Kota Eri juga berpesan agar masyarakat tak menghakimi penderita TBC. Ia pun optimistis target eliminasi TBC pada 2030 dapat tercapai.

    “Jika ada yang batuk, sarankan pakai masker dan periksa ke Puskesmas. Kami optimis dapat menekan angka TBC dan mencapai target eliminasi pada tahun 2030,” katanya.

    Senior Manager MURI, Andre Purwandono, menjelaskan bahwa rekor ini diberikan karena jumlah lokasi penyuluhan terbanyak di tingkat RW yang belum pernah tercatat sebelumnya di Tanah Air.

    “Yang menjadi penilaian dari MURI ini adalah banyaknya RW yang melakukan penyuluhan TBC, dan ini baru pertama kali di Indonesia,” ujar Andre.

    Keberhasilan ini tak lepas dari peran 27 ribu kader kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Surabaya. Masing-masing kader bertanggung jawab atas 20 rumah. Komitmen ini sejalan dengan semangat Kampung Pancasila yang menumbuhkan cinta serta tanggung jawab warga terhadap lingkungannya.

    Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina, menegaskan kegiatan ini bertujuan menyebarkan informasi pencegahan, deteksi dini, hingga pengobatan TBC.

    “Kami ingin memastikan TBC tidak lagi menjadi penyakit yang menakutkan,” tegasnya.

    Selain edukasi masif, Pemkot Surabaya juga menjalankan strategi lain. Di antaranya, skrining aktif-pasif, pemberian makanan tambahan berupa susu bagi pasien TBC, pendampingan selama pengobatan, hingga memperkuat regulasi melalui Rencana Aksi Daerah (RAD) TBC dan Perwali No. 117 Tahun 2024.

    Meski data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) mencatat 6.740 kasus TBC di Surabaya sejak Januari hingga Agustus 2025, angka tersebut masih sekitar 41,87 persen dari estimasi kasus. Namun, tantangan nyata tetap ada, mulai dari mobilitas penduduk, stigma sosial, hingga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.

    “Kami berharap dengan sosialisasi yang masif dapat menekan hambatan dalam pengobatan TBC pada masyarakat, sehingga target eliminasi pada 2030 dapat terwujud,” pungkas Nanik. (adv/but)

  • SPPG Beri Tips Cegah Kasus Keracunan MBG: dari Pemilihan Bahan Baku hingga SOP Pekerja

    SPPG Beri Tips Cegah Kasus Keracunan MBG: dari Pemilihan Bahan Baku hingga SOP Pekerja

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Khusus Palmerah, Jakarta Barat, berbagi tips menyajikan makanan yang sehat, bergizi, aman, dan tetap berkualitas.

    Koordinator SPPG Wilayah Jakarta Barat, Yudha Permana menjelaskan, kuncinya adalah disiplin menerapkan titik kendali kritis dalam tata kelola dapur MBG. Proses tersebut meliputi pemilihan bahan baku, penyimpanan, pengolahan makanan, pendinginan, pengemasan, hingga memastikan makanan sarat nutrisi sampai ke meja penerima manfaat.

    “Fokusnya adalah memastikan critical control point-nya terjaga dengan baik. Angka kecukupan gizinya terpenuhi, begitu juga dengan kualitas bahan baku, penyimpanan, dan SOP yang harus dipatuhi seluruh pekerja SPPG,” kata Yudha di SPPG Khusus Palmerah, Kamis (25/9/2025).

    Yudha memaparkan alur tata kelola SPPG yang harus dipatuhi, yakni dimulai pemilihan kualitas bahan baku dari supplier yang terlebih dahulu dilakukan pengecekan oleh ahli gizi. Misal daging ayam dan sayuran harus segar.

    Setelah dibersihkan, bahan baku sumber protein hewani dan nabati wajib dipisahkan agar tidak terjadi kontaminasi. Kedua bahan juga harus disimpan di lemari pendingin berbeda. Protein hewani disimpan di freezer bersuhu di bawah -15 derajat celsius, sedangkan protein nabati disimpan di chiller dengan suhu di bawah -5 derajat celsius.

    “Jika tidak dipisah, bisa terjadi kontaminasi silang. Berpotensi menimbulkan bakteri Salmonella,” ujar Yudha.

    Pada proses pengolahan, bahan makanan dimasak dengan kematangan sempurna agar bakteri-bakteri alami yang terkandung dapat mati melalui pemasakan.  

    “Kita juga pastikan adanya proses pendinginan sebelum dikemas. Tujuannya agar ketika nanti ditutup, tidak timbul keringat yang bisa menyebabkan bau dan mempercepat makanan basi,” jelas Yudha.

    Hal penting lainnya, menurut Yudha, adalah memastikan petugas melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN) maupun Kementerian Kesehatan.

    “Kita juga mengikutsertakan petugas dalam pelatihan penjamah makanan dari Dinas Kesehatan. Jadi dipastikan seluruh pegawai sudah punya sertifikat penjamah makanan,” ujar Yudha.  

    Dengan sertifikasi itu, lanjut Yudha,  petugas akan lebih mengerti pentingnya menggunakan APD, termasuk menjaga kebersihan. “Itu adalah tips agar SPPG yang beberapa waktu lalu kurang baik penanganannya, bisa lebih baik lagi,” tegas Yudha.