Saat Presiden Turun Tangan di Kasus Ibu Hamil Meninggal di Papua
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Nasib pilu menimpa seorang ibu bernama Irene Sokoy yang meninggal dunia bersama bayi yang sedang dikandungnya setelah ditolak empat rumah sakit di Jayapura, selama pergantian hari Senin–Rabu (16-19/11/2025) pekan lalu.
Kelahiran buah hati
Irene Sokoy
yang semestinya menjadi suka cita dan dinantikan oleh keluarga, justru menjadi duka.
Hal ini memicu keprihatinan banyak pihak, hingga membuat Presiden RI
Prabowo Subianto
turun tangan memerintahkan untuk melakukan audit layanan kesehatan.
Perintah audit dan perbaikan dari Prabowo itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian usai rapat terbatas (ratas) di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin, 24 November 2025.
“Saya melapor pada beliau (Presiden Prabowo). Jadi di antaranya itu, perintah beliau untuk segera lakukan perbaikan, audit,” ujar Tito.
Menjalankan perintah Kepala Negara, Tito mengaku sudah berkomunikasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk menuju Jayapura melakukan investasi terhadap peristiwa tersebut.
Tito pun mengungkapkan, audit internal itu menyasar pada rumah sakit dan pejabat-pejabat terkait. Termasuk, pejabat di dinas kesehatan, pejabat provinsi, hingga kabupaten.
“Menkes mengirimkan tim khusus juga untuk melakukan audit teknis mengenai masalah layanan kesehatan. Kita enggak ingin terulang lagi. Sama tadi pesan dari Pak Presiden jangan sampai terulang lagi hal yang sama,” ujarnya.
Bukan hanya itu, Tito menyebut, audit bakal dilakukan terhadap aturan-aturan di Kemendagri, termasuk peraturan kepala daerah.
Senada dengan Tito, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa Kemenkes telah mengirim tim untuk mengusut kasus meninggalnya ibu hamil di Papua.
“Sekarang kami sudah kirim tim, sudah sampai di sana, ya, untuk menganalisa masalahnya di mana,” kata Budi Gunadi usai agenda Sinergi dalam Menjaga Mutu dan Komperensi Tenaga Media dan Tenaga Kesehatan, di The Grand Platinum Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025).
Budi mengungkapkan, ia sudah berkomunikasi dengan Gubernur Papua Matius Derek Fakhiri agar segera menangani kasus tersebut sekaligus memperbaiki kualitas kesehatan di semua wilayahnya.
“Saya juga sudah ngomong sama Pak Gubernur. Niatnya baik. Ini kan ada di bawah pemerintah daerah, jadi kita harus sowan ke mereka. Tapi Pak Gubernur tuh niatnya baik, beliau ingin agar ini diperbaiki,” ujarnya.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Benjamin Paulus Octavianus memastikan bahwa pemerintah bakal memberikan sanksi tegas kepada fasilitas kesehatan yang terbukti melalaikan kewajibannya.
“Ya pasti dong (kena sanksi), Pak Presiden saja sudah manggil, tanya kenapa bisa terjadi. Maka kita melakukan investigasi dan itu kewajiban Kementerian Kesehatan menginvestigasi kenapa kok bisa,” kata Ben dalam kesempatan yang sama.
Ben menjelaskan kronologi Irene ditolak empat rumah sakit (RS) hingga akhirnya meninggal dunia berdasarkan hasil penelusuran sementara Kemenkes.
Saat Irene mendatangi rumah sakit pertama karena sudah mulai merasakan kontraksi, ternyata tidak ada dokter yang berjaga karena pada saat itu dokter sedang cuti.
“Kami sudah mendapatkan sedikit bahwa ada pelayanan, pasien datang ke rumah sakit pertama, dokternya sedang cuti, tidak ada, dirujuk lagi ke tempat kedua,” ujar Ben.
Ben menjelaskan bahwa Irene tidak bisa melahirkan normal atau pervaginam karena memiliki panggul yang kecil, sementara berat bayinya cukup besar.
“Berat badannya (bayi) itu sudah besar, pada waktu itu sudah disarankan bahwa pasien ini harus operasi, enggak bisa lahir pervaginam karena berat bayi lebih gede daripada panggulnya,” tutur Ben.
Berdasarkan hasil pengecekan itu, Irene berpindah lagi ke rumah sakit lain yang memiliki alat penanganan medis memadai.
“Nah itulah yang terjadi, waktu dia pindah lagi ke rumah sakit yang lainnya, terjadi gawat janin, akhirnya terjadi itu (meninggal),” tuturnya.
Ben mengakui bahwa akses fasilitas kesehatan di Papua belum memadai. Ia membandingkan standar waktu tempuh menuju sarana kesehatan antara Pulau Jawa dan di Papua.
“Orang datang ke Sarana Kesehatan kurang dari dua jam di Jawa itu, harus kurang dari dua jam itu di Jawa 99 persen. Di Papua masih 70 persen, ada yang 30 persen, daerah yang lebih dari dua jam,” katanya.
“Nah itu yang menjawabkan risiko meninggal pada pasien-pasien yang membutuhkan kecepatan pelayanan ke Sarana Kesehatan,” ujar Ben melanjutkan.
Irene Sokoy, meninggal pada Senin (17/11/2025) pukul 05.00 WIT setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan dari RSUD Yowari, RS Dian Harapan, RSUD Abepura, hingga RS Bhayangkara tanpa mendapatkan penanganan memadai.
Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, yang juga mertua almarhum, menceritakan bahwa Irene mulai merasakan kontraksi pada Minggu siang (16/11/2025).
Keluarga akhirnya membawa Irene menggunakan speedboat menuju RSUD Yowari.
Namun, kondisi Irene yang memburuk tidak segera ditangani karena dokter tidak ada di tempat dan pembuatan surat rujukan pun sangat lambat.
“Pelayanan sangat lama. Hampir jam 12 malam surat belum dibuat,” ujar Abraham.
Keluarga kemudian membawa Irene ke RS Dian Harapan dan RSUD Abepura, namun kembali tidak mendapat layanan.
Perjalanan dilanjutkan ke RS Bhayangkara, tempat keluarga diminta membayar uang muka Rp 4 juta karena kamar BPJS penuh.
Ada empat rumah sakit yang menolak Irene, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari, RSUD Abepura, RS Bhayangkara, dan RS Dian Harapan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Dinkes
-
/data/photo/2025/11/23/692323596e879.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saat Presiden Turun Tangan di Kasus Ibu Hamil Meninggal di Papua Nasional 26 November 2025
-
/data/photo/2025/11/21/692049be5f094.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Rumah Sakit Menolak Pasien, Siapa yang Salah? Regional 26 November 2025
Rumah Sakit Menolak Pasien, Siapa yang Salah?
Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes
KASUS
kematian ibu hamil di Papua akibat ditolak empat rumah sakit kembali membuka luka lama dalam sistem kesehatan Indonesia.
Di tengah upaya pemerintah memperkuat layanan primer dan memperbaiki alur rujukan, kenyataan bahwa seorang ibu dan bayi telah kehilangan nyawa karena tidak memperoleh tempat perawatan darurat terasa sangat memilukan.
Pertanyaan kita bersama mengemuka, siapa yang salah? Rumah sakit? Pemerintah daerah? Pemerintah pusat? Sistem rujukan yang belum jalan? Atau kita semua yang membiarkan ketimpangan layanan kesehatan di
Papua
berlangsung puluhan tahun?
Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, tetapi penting untuk ditelisik secara jernih untuk menghindarkan agar tragedi serupa tidak lagi terulang.
Secara administratif rumah sakit memiliki standar operasional (SOP) yang ditetapkan pemilik atau direktur. SOP mengatur kapasitas tempat tidur, ketersediaan dokter spesialis, hingga kesiapan instalasi gawat darurat (IGD).
Peraturan menegaskan bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi kegawatdaruratan. Namun, di berbagai wilayah terpencil, termasuk di papua, realitasnya lebih rumit dan menyedihkan.
Rumah sakit di daerah kerap beroperasi dengan fasilitas minimal: jumlah dokter spesialis terbatas, ICU dan NICU tidak selalu tersedia, alat medis kedaluwarsa/rusak, bahkan obat-obatan tertentu seringkali kosong.
Ketika rumah sakit menyatakan tidak mampu menangani pasien, sesungguhnya mereka mengakui keterbatasan sistemik.
Menangani pasien dengan risiko tinggi tanpa fasilitas dan kompetensi memadai dapat berdampak fatal, sehingga rumah sakit memilih merujuk ke rumah sakit lain.
Masalahnya, ketika empat rumah sakit tidak dapat memberikan pelayanan dalam kondisi darurat dengan berbagai kondisi dan alasan, yang terjadi bukan lagi tentang SOP, tetapi kegagalan sistem yang jauh lebih dalam.
Papua adalah kondisi memprihatinkan. Ia menyandang sejumlah indikator terburuk di Indonesia.
Angka kematian ibu dan bayi jauh di atas rata-rata nasional, cakupan tenaga kesehatan per 1.000 penduduk rendah, distribusi dokter spesialis timpang, dan kondisi geografis ekstrem membuat akses layanan kesehatan menjadi tantangan berat.
Selama bertahun-tahun, pembangunan kesehatan di Papua lebih banyak berorientasi pada infrastruktur fisik, tetapi kurang dibarengi ekosistem layanan yang memadai.
Menghadapi kondisi demikian, rumah sakit di Papua berada dalam lingkaran dilema: menjadi pintu harapan terakhir bagi masyarakat, tetapi terjebak dalam keterbatasan fasilitas yang membuat pelayanan optimal hampir mustahil.
Ketika kasus gawat darurat seperti komplikasi obstetri datang, mereka berada dalam posisi serba sulit.
Karena ketimpangan tersebut, kiranya menyerahkan tanggung jawab pada rumah sakit saja tidak cukup. Ada akar persoalan sistemik menyangkut distribusi sumber daya kesehatan yang serba terbatas secara struktural dan berlangsung lama.
Kini Pemerintah memperkenalkan mekanisme rujukan berjenjang berbasis kompetensi. Secara konsep, pasien akan dirujuk ke fasilitas yang mampu menangani kondisi kesehatannya.
Namun, di wilayah seperti Papua, konsep tersebut diperkirakan tidak akan berjalan mulus. Ketersediaan fasilitas rujukan setara atau lebih tinggi sangat terbatas, jarak antara rumah sakit bisa mencapai puluhan hingga ratusan kilometer, dan transportasi medis tidak selalu siap.
Dalam kasus ibu hamil yang meninggal di Papua, rujukan silang antarrumah sakit menunjukkan bahwa sistem tidak menyediakan alternatif yang layak dalam waktu kritis. Ketika setiap rumah sakit menolak, waktu penyelamatan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
Sistem rujukan seharusnya bukan hanya sekadar daftar rumah sakit yang bisa dihubungi, tetapi jaringan nyata yang mampu memastikan pasien mendapatkan pertolongan darurat dalam
golden period.
Tentu saja di Papua konsep demikian masih jauh dari kenyataan.
Masalah fundamental di Papua adalah ketimpangan
capacity to care.
Rumah sakit di kota-kota tertentu mungkin cukup baik, tetapi fasilitas di kabupaten lain sangat terbatas. Itulah kondisi yang dapat ditemukan di Papua.
Padahal, kasus gawat darurat obstetri seperti persalinan non pervaginam, pendarahan postpartum, dan preeklamsia tidak menunggu prosedur administrasi dapat diselesaikan terlebih dulu.
Ia memerlukan penanganan cepat dokter spesialis kandungan, ICU maternal, dan kesiapan transfusi darah, tiga hal yang belum merata di Papua.
Melihat kondisi yang terjadi, menyalahkan tenaga kesehatan atau individu tertentu adalah pendekatan yang terlalu parsial.
Banyak tenaga kesehatan di Papua bekerja dalam kondisi serba kekurangan, beban kerja berlebih, dan tidak jarang menghadapi risiko keselamatan pribadi.
Sistem yang lemah membuat mereka menolak melayani. Padahal, seringkali mereka sedang menyelamatkan pasien dari tindakan yang tidak dapat mereka tangani secara aman.
Jika terpaksa harus menyebutkan siapa yang salah, jawabannya adalah: sistem kesehatan yang timpang, pemerintah pusat dan daerah yang tidak berhasil menuntaskan pemerataan layanan kesehatan, manajemen rumah sakit yang tidak komitmen, dan kebijakan rujukan yang belum adaptif.
Dengan demikian, kesalahan tidak dapat dibebankan pada satu pihak saja. Sistem yang membiarkan keterbatasan layanan kesehatan menjadi sesuatu yang biasa.
Memperbaiki pemerataan dan kualitas layanan kesehatan di Papua membutuhkan kesungguhan semua pihak terkait.
Langkah mendesak yang dapat dilakukan seperti memperkuat rumah sakit kabupaten dengan layanan emergensi obstetri, menambah dokter spesialis dengan insentif yang layak, membangun sistem rujukan realistis berbasis waktu, kesiapan ambulans, dan koordinasi antarrumah sakit dalam kondisi darurat.
Rumah sakit di daerah dengan berbagai kepemilikannya mesti mengacu pada standar Kemenkes. Seringkali operasional rumah sakit melaksanakan kebijakan pemilik.
Kiranya Kemenkes sebagai regulator sekaligus pengawasan dan pembina dapat memberikan sanksi pada rumah sakit yang tidak berjalan sesuai standar kesehatan.
Kasus kematian ibu hamil di Papua yang menyita perhatian Presiden Prabowo tersebut telah menghentak kesadaran kita bahwa akses kesehatan bukan sekadar retorika belaka, tetapi soal hidup dan mati rakyat.
Jika negara ingin mewujudkan keadilan kesehatan, Papua harus menjadi prioritas utama, dan bukan dipandang sebagai wilayah belakang yang dapat ditinggalkan.
Selama keterbatasan tetap belum berubah, maka setiap ibu hamil yang melahirkan, setiap anak sakit, dan setiap pasien gawat darurat di Papua akan terus hidup dengan risiko yang tidak seharusnya mereka tanggung karena kesulitan akses kesehatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kasus 4 RS Tolak Ibu Hamil di Papua, Mendagri Tito dan Kemenkes Turun Lakukan Audit Regulasi dan Teknis
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan pemerintah akan mengirim tim untuk melakukan audit menyeluruh terhadap layanan kesehatan di Papua.
Langkah ini merupakan instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto, menyusul kasus seorang ibu hamil yang meninggal dunia setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Papua.
“Perintah beliau (Presiden Prabowo) adalah untuk segera melakukan perbaikan melalui audit,” kata Tito kepada wartawan seusai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Tito mengatakan telah berkoordinasi dengan Gubernur Papua, Mathius Fakhiri, untuk mengambil langkah darurat, termasuk memastikan keluarga korban mendapatkan seluruh bantuan yang dibutuhkan.
Ia juga meminta pemerintah daerah (pemda) segera mengumpulkan seluruh pimpinan rumah sakit, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, hingga penyedia layanan kesehatan swasta untuk mengidentifikasi akar persoalan.
“Saya minta Gubernur, setelah saya mendapat informasi, segera ke rumah korban. Keluarga korban harus dibantu,” ujar Tito.
Audit Paralel Kemendagri dan KemenkesTito menegaskan tim dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan turun bersama jajaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan audit paralel terhadap layanan kesehatan di Papua.
Kemendagri akan mengaudit aspek regulasi, termasuk Peraturan Bupati dan Peraturan Gubernur yang mengatur pelayanan di RSUD Kabupaten Jayapura maupun RSUD Dok II sebagai rumah sakit rujukan provinsi.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan akan mengirim tim khusus untuk melakukan audit teknis terhadap layanan di rumah sakit terkait.
-

Operasi SAR Hari Terakhir, 16 Warga Banjarnegara Masih Hilang Akibat Longsor
BANJARNEGARA — Operasi pencarian dan pertolongan (SAR) terhadap 16 warga yang masih hilang akibat longsor di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, memasuki hari terakhir pada Selasa 25 November.
Ratusan personel gabungan dan 25 unit alat berat dikerahkan untuk menyisir sektor C, area paling bawah atau yang dikenal sebagai “lidah longsoran”, yang diyakini menjadi lokasi terakhir keberadaan para korban.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan bahwa sektor C menjadi penentu akhir dari operasi pencarian yang telah berlangsung selama sepuluh hari terakhir.
“Hari ini adalah hari terakhir sesuai standar operasi SAR. Fokus pencarian difokuskan pada sektor C yang kami yakini sebagai lokasi paling potensial untuk menemukan para korban yang masih hilang. Seluruh kekuatan kami kerahkan, baik personel maupun alat berat,” ujar Abdul, Selasa 25 November.
Ia menjelaskan bahwa medan di lokasi sangat berat dan berisiko tinggi bagi tim penyelamat. Tanah yang labil, ketebalan material longsor yang mencapai lebih dari 10 meter, serta tingginya kandungan air menjadi tantangan besar dalam proses pencarian.
“Tim harus bekerja ekstra hati-hati karena kontur tanah masih sangat tidak stabil dan rawan longsor susulan. Namun, kami tetap berupaya maksimal sampai akhir,” tambahnya.
Upaya pengurangan volume air terus dilakukan melalui pembuatan sodetan, sementara operasi modifikasi cuaca (OMC) dijalankan untuk menghalau potensi hujan agar pencarian bisa berlangsung lebih aman dan efektif.
Di luar area pencarian, suasana haru menyelimuti Posko Utama Penanganan Darurat di Kantor Kecamatan Pandanarum, Senin 24 November malam. Pemerintah Kabupaten Banjarnegara bersama BNPB, Basarnas, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan sejumlah unsur terkait menggelar pertemuan dengan keluarga korban untuk memberi dukungan psikologis dan mempersiapkan mereka menghadapi keputusan akhir operasi SAR.
Keluarga korban tetap menaruh harapan, betapa pun tipisnya. Banyak yang berharap adanya kabar baik dari upaya tanpa lelah para petugas di lapangan, namun mereka juga menyatakan keikhlasan apabila hasil akhir tidak sesuai harapan.
“Setiap langkah yang dilakukan adalah untuk menghormati para korban dan memberi kepastian bagi keluarga. Kami tetap berkomitmen menjalankan tugas kemanusiaan ini dengan sepenuh hati,” tutup Abdul.
Operasi hari ini dipandang sebagai penentu, apakah akan muncul titik terang dari balik hamparan lumpur tebal, atau justru menjadi penutup dari rangkaian panjang pencarian yang dilakukan dengan totalitas dan dedikasi tinggi.
-

Viral Dokter Kandungan RSUD Muna Keluhkan soal Fasilitas, Ini Kata POGI
Jakarta –
Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof Budi Wiweko, menanggapi keluhan seorang dokter kandungan terkait fasilitas yang dinilai kurang memadai di RSUD LM Baharuddin, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Prof Budi menegaskan bahwa fasilitas yang layak bagi dokter kandungan sangat penting karena berpengaruh langsung terhadap kualitas pelayanan medis untuk masyarakat.
Ketika fasilitas tidak memadai, hal itu tentu dapat menghambat kinerja dokter spesialis kandungan, terutama saat harus melakukan tindakan operasi.
Terkait kejadian ini, Prof Budi menyampaikan pihaknya telah berkoordinasi dengan POGI cabang setempat. Komunikasi langsung dengan Dinas Kesehatan juga dilakukan untuk mencari solusi terbaik.
“Mereka sudah berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat, ya. Tentunya hal ini menjadi perhatian, ya. Kalau alat-alatnya kurang atau tidak sesuai standar, tentunya ini bisa membahayakan bagi pasien dan juga bisa membahayakan bagi dokter dalam melakukan tugasnya,” ungkap Prof Budi ketika dihubungi detikcom, Selasa (25/11/2025).
“Kualitas lainnya menjadi tidak baik ya. Misalnya operasi, penyembuhan tidak baik, akhirnya kualitas menurun. Risiko untuk tenaga medis juga meningkat,” sambungnya.
Ia berharap pemerintah dan instansi terkait nantinya bisa lebih memperhatikan kebutuhan tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya. Ini tidak hanya berlaku di RSUD Muna, melainkan di semua rumah sakit.
Prof Budi juga berharap kebutuhan-kebutuhan esensial, khususnya untuk operasi, juga bisa lebih diperhatikan lagi.
“Dan dengan kementerian kesehatan juga kita tentu sangat concern, ya. Karena kemenkes kan mereka juga punya sistem yang bisa memantau peralatan dan sebagainya di setiap rumah sakit,”
“Mungkin belum bisa semuanya terpantau ya. Kebutuhan-kebutuhan seperti kain atau linen di kamar bedah, itu mungkin tidak terpantau ya. Memang teman-teman di kabupaten itu yang bisa memantau lebih baik,” tandasnya.
Halaman 2 dari 2
(avk/suc)
-

Wakil Kepala BGN Ingatkan Pentingnya Kerja Sama Pengelola Dapur MBG di Mojokerto
Mojokerto (Beritajatim.com) – Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik Sudaryati Deyang menekankan pentingnya kerja sama seluruh pihak dalam pengelolaan dapur-dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Sosialisasi dan Evaluasi Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Mojokerto.
Nanik mengatakan bahwa sinergi antara Kepala SPPG, ahli gizi, akuntan, relawan, serta mitra atau yayasan sangat dibutuhkan agar program MBG, program prioritas Presiden Prabowo Subianto tersebut dapat berjalan dengan baik, aman, dan berkelanjutan.
“Kalau kalian malah berantem dan tidak bisa bekerja sama, bagaimana program yang sangat luar biasa ini bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya, Selasa (25/11/2025)
Dalam forum tersebut, Nanik menyoroti adanya laporan SPPG yang terpaksa berhenti beroperasi akibat perselisihan antara mitra dan pengelola.
Seperti yang terjadi di salah satu SPPG di Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, perbedaan pendapat membuat ahli gizi dan akuntan memilih mundur, disusul kepala SPPG yang jarang hadir.
“Kami baru mulai 20 Oktober, tapi baru 5 hari jalan, harus berhenti,” ujar Mitra SPPG Desa Japan, Kecamatan Sooko, Syaikhu.
Menurut Nanik, tanpa kehadiran dan kerja sama semua unsur, pengelolaan SPPG akan terhambat, termasuk proses pengajuan proposal, pencairan anggaran, hingga pemenuhan berbagai persyaratan administratif dan teknis.
Nanik juga menyoroti masih rendahnya kepemilikan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) di dapur MBG wilayah Mojokerto.
Padahal, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Mojokerto disebut telah proaktif membantu pengurusan perizinan dan pelatihan yang dibutuhkan. Di Kabupaten Mojokerto, dari 52 SPPG yang beroperasi, baru 8 SPPG yang memiliki SLHS. Sementara di Kota Mojokerto, dari 7 SPPG, baru 3 yang mengantongi sertifikat tersebut.
“Sekarang yang penting kalian daftar dulu, saya beri waktu 30 hari. Kalau dalam 30 hari belum juga mendaftar, SPPG akan kami tutup,” tegasnya.
Di akhir sambutannya, Nanik berpesan agar para pengelola dapur MBG tidak saling merasa lebih hebat atau mendominasi satu sama lain. Ia mengingatkan pentingnya sikap saling menghargai demi kelancaran program nasional tersebut.
“Kalian bisa mencontoh Pak Prabowo. Beliau saja bisa merangkul semua lawan politiknya. Masak di sini cuma tetangga kampung saja sampai musuhan begitu,” katanya. [tin/ted]
-
/data/photo/2025/11/25/69256590673f4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ibu Hamil Meninggal di Papua, Wamenkes Bandingkan Akses ke Fasilitas Kesehatan di Jawa dan Papua Nasional 25 November 2025
Ibu Hamil Meninggal di Papua, Wamenkes Bandingkan Akses ke Fasilitas Kesehatan di Jawa dan Papua
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Benjamin Paulus Octavianus membandingkan akses ke fasilitas kesehatan di Pulau Jawa dan Papua saat bicara terkait kasus kasus kematian ibu hamil di Papua.
Diketahui, seorang ibu di
Papua
bernama Irene Sokoy meninggal pada Senin, 17 November 2025, setelah tidak mendapatkan pelayanan memadai dari empat rumah sakit rujukan di Jayapura, Papua.
Menurut Ben, akses masyarakat ke fasilitas kesehatan di Papua memang belum memadai dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Dia menjabarkan, dibutuhkan kurang dari dua jam menjangkau fasilitas kesehatan di Pulau Jawa. Hal itu dikatakan berbanding jauh dengan di Papua.
“Orang datang ke Sarana Kesehatan kurang dari dua jam di Jawa itu, harus kurang dari dua jam itu di Jawa 99 persen. Di Papua masih 70 persen, ada yang 30 persen, daerah yang lebih dari dua jam,” kata Ben di The Grand Platinum Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025).
Ben lantas menyebut, lamanya waktu menuju fasilitas kesehatan tersebut yang meningkatkan risiko pasien meninggal.
“Nah itu yang menjawabkan risiko meninggal pada pasien-pasien yang membutuhkan kecepatan pelayanan ke Sarana Kesehatan,” ujar Ben.
Namun, Ben mengatakan, Kementerian Kesehatan (
Kemenkes
) telah mengirimkan tiga orang ke Papua, guna melakukan investigasi terkait kasus ibu hamil tersebut.
“Tim dari tim Kemenkes, tiga orang, dari hasilnya apa, kita bisa tahu nanti,” katanya.
Kemudian, dia memastikan bakal ada sanksi jika hasil investigasi terbukti ada kelalaian dari fasilitas kesehatan sehingga menyebabkan Irene meninggal dunia.
“Ya pasti dong (kena sanksi), Pak Presiden saja sudah manggil, tanya kenapa bisa terjadi. Maka kita melakukan investigasi dan itu kewajiban Kementerian Kesehatan menginvestigasi kenapa kok bisa,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan sudah berkomunikasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin terkait kasus
ibu hamil meninggal
dunia karena ditolak empat rumah sakit di Papua.
Menurut Tito, Menkes dan perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah menuju Jayapura untuk melakukan audit.
“Kemudian, Menkes mengirimkan tim khusus juga untuk melakukan audit teknis mengenai masalah layanan kesehatan. Kita enggak ingin terulang lagi. Sama tadi pesan dari Pak Presiden jangan sampai terulang lagi hal yang sama,” kata Tito usai rapat terbatas (ratas) di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin, 24 November 2025.
Tito mengatakan, perintah audit itu berasal langsung dari Presiden
Prabowo
Subianto.
Dia menjelaskan bahwa Prabowo membicarakan kasus itu dengan dirinya dalam kesempatan ratas usai mendapatkan laporan.
Kemudian, Presiden meminta rumah sakit hingga para pejabat di Papua diaudit. Kepala Negara ingin penyebabnya diketahui karena menyebabkan nyawa melayang.
“Saya melapor pada beliau (Presiden Prabowo). Jadi di antaranya itu, perintah beliau untuk segera lakukan perbaikan, audit,” ujar Tito.
Dia pun mengungkapkan, audit internal itu menyasar pada rumah sakit dan pejabat-pejabat terkait. Termasuk, pejabat di dinas kesehatan, pejabat provinsi, hingga kabupaten.
Tak hanya itu, Tito menyebut, audit bakal dilakukan terhadap aturan-aturan di Kemendagri, termasuk peraturan kepala daerah.
“Peraturan Bupati itu kan melibatkan Rumah Sakit Kabupaten Jayapura, kemudian juga aturan dari Peraturan Gubernur karena yang terakhir kan di Rumah Sakit Umum Provinsi,” katanya.
Sebagaimana diberitakan, Irene Sokoy meninggal dunia pada Senin, 17 November 2025, pukul 05.00 WIT setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan dari RSUD Yowari, RS Dian Harapan, RSUD Abepura hingga RS Bhayangkara tanpa mendapatkan penanganan memadai.
Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, yang juga mertua korban, mengungkapkan bahwa Irene mulai merasakan kontraksi pada Minggu, 16 November 2025, siang.
Kemudian, Irene dibawa menggunakan speedboat menuju RSUD Yowari.
Namun, di RSUD tersebut, Irene tidak ditangani cepat karena dokter tidak ada di tempat dan proses pembuatan surat rujukan berlangsung sangat lambat.
Padahal, saat itu, kondisi Irene disebut sudah mulai memburuk.
Keluarga kemudian membawa Irene ke RS Dian Harapan dan RSUD Abepura, namun kembali tidak mendapat layanan.
Perjalanan dilanjutkan ke RS Bhayangkara, tempat keluarga diminta membayar uang muka Rp 4 juta karena kamar BPJS penuh.
Setelah empat kali harus berpindah tempat pelayanan kesehatan dan tak mendapatkan pelayanan memadai, Irene akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Ibu Hamil Meninggal Usai Ditolak 4 RS di Papua, Prabowo Langsung Perintahkan Audit
Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk melakukan audit terhadap rumah sakit di Provinsi Papua.
Perintah tersebut terkait kabar seorang ibu hamil yang ditolak oleh empat rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia.
Usai melakukan rapat terbatas dengan Presiden Prabowo, Mendagri Tito Karnavian melaporkan bahwa pihaknya sudah meminta Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri, untuk mengunjungi rumah korban, sekaligus memberi bantuan.
“Perintah Beliau untuk segera lakukan perbaikan audit. Melakukan audit internal masalahnya di mana. Dikumpulkan rumah sakit-rumah sakit itu, termasuk juga pejabat-pejabat yang di Dinas Kesehatan dan lain-lain, baik provinsi, kabupaten dan yang (rumah sakit) swasta,” kata Tito saat memberikan keterangan di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (23/5/2025).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama tim dari Kemendagri juga telag berada di Jayapura untuk segera melakukan audit rumah sakit.
Tito menjelaskan bahwa audit yang dilakukan dari Kemendagri akan mencakup tentang aturan yang ada, termasuk peraturan kepala daerah.
“Peraturan Bupati itu kan melibatkan Rumah Sakit Kabupaten Jayapura, kemudian juga aturan dari Peraturan Gubernur karena yang terakhir kan di rumah sakit umum provinsi namanya RSUD,” katanya.
Sementara itu, Menkes Budi juga telah mengirimkan tim khusus untuk melakukan audit teknis mengenai masalah layanan kesehatan, guna mengetahui pokok permasalahan dan segera melakukan perbaikan, baik dari segi fasilitas, tata kelola, SDM atau aturannya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua memastikan telah menangani pasien sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku, menyusul adanya perhatian publik terhadap kasus meninggalnya seorang ibu hamil asal Kampung Hobong.
Direktur RSUD Yowari drg. Maryen Braweri mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Hasilnya, tim akan melakukan investigasi terhadap kasus ini.
-
/data/photo/2025/11/05/690b81fe65170.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Prabowo Dengar Kasus Ibu Hamil Meninggal di Papua, Langsung Perintahkan Audit Nasional
Prabowo Dengar Kasus Ibu Hamil Meninggal di Papua, Langsung Perintahkan Audit
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kasus ibu hamil bernama Irene Sokoy yang meninggal dunia usai ditolak empat rumah sakit di Papua kini sampai ke telinga Presiden Prabowo Subianto.
Presiden Prabowo
membicarakan kasus tersebut dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (24/11/2025).
Setelah menerima laporan itu, Presiden Prabowo meminta rumah sakit hingga para pejabat di Papua diaudit.
Kepala Negara ingin penyebabnya diketahui karena menyebabkan nyawa melayang.
“Saya melapor pada beliau (Presiden Prabowo). Jadi di antaranya itu, perintah beliau untuk segera lakukan perbaikan, audit,” kata Tito usai bertemu Presiden Prabowo, Senin.
Ia menyampaikan, audit internal itu menyasar pada rumah sakit dan pejabat-pejabat terkait, termasuk pejabat di dinas kesehatan, pejabat provinsi, hingga kabupaten.
Audit juga termasuk aturan-aturan di Kementerian Dalam Negeri, termasuk peraturan kepala daerah.
“Peraturan Bupati itu kan melibatkan Rumah Sakit Kabupaten Jayapura, kemudian juga aturan dari Peraturan Gubernur karena yang terakhir kan di Rumah Sakit Umum Provinsi,” ujar Tito.
Tito juga sudah berkomunikasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk melakukan audit.
Sebagai tindak lanjut, Menkes Budi dan pihak Kemendagri sudah menuju Jayapura, Papua, kemarin.
“Kemudian Menkes mengirimkan tim khusus juga untuk melakukan audit teknis mengenai masalah layanan kesehatan. Kita enggak ingin terulang lagi. Sama tadi pesan dari Pak Presiden jangan sampai terulang lagi hal yang sama,” kata Tito.
Mendagri juga meminta
Gubernur Papua
Mathius D Fakhiri memberikan bantuan kepada Irene.
“Saya sudah sampaikan, saya sudah komunikasi dengan Gubernur. Saya minta Gubernur, begitu saya dapat informasi, Gubernur Pak Mathius Fakhiri sesegera mungkin ke rumah korban, keluarga korban, semua dibantu,” kataTito.
Sementara itu,Mathius Fakhari telah meminta maaf dan menyebut tragedi tersebut sebagai bukti kebobrokan layanan kesehatan di Papua dan berjanji melakukan evaluasi total.
“Saya mohon maaf atas kebodohan jajaran pemerintah dari atas sampai bawah. Ini contoh kebobrokan pelayanan kesehatan di Papua,” kata Fakhiri usai mendatangi rumah keluarga Irene di Kampung Hobong, Distrik Sentani, dikutip dari rilis yang diterima, Sabtu (22/11/2025).
Mathius juga mengakui banyak fasilitas kesehatan di Papua tidak dikelola dengan baik, termasuk peralatan medis yang rusak.
Oleh karena itu, ia memastikan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap rumah sakit, termasuk mengganti para direktur RS yang berada di bawah pemerintah provinsi.
Ia juga telah meminta bantuan langsung kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki layanan rumah sakit di Papua.
“Saya mengaku banyak peralatan medis rusak karena tidak dikelola dengan baik,” ujar Mathius.
Peristiwa nahas itu terjadi pada Minggu (16/11/2025) ketika Iren yang sedang hamil mulai merasakan kontraksi dan dibawa menggunakan speedboat menuju RSUD Yowari.
Sesampainya di RSUD, Irene tidak ditangani cepat padahal kondisinya memburuk.
Proses pembuatan surat rujukan ke rumah sakit lainnya pun sangat lambat.
Keluarga kemudian membawa Irene ke RS Dian Harapan dan RSUD Abepura, namun kembali tidak mendapat layanan.
Perjalanan dilanjutkan ke RS Bhayangkara, tempat keluarga diminta membayar uang muka Rp 4 juta karena kamar BPJS penuh.
Irene akhirnya meninggal dunia pada Senin (17/11/2025) pukul 05.00 WIT setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan dari RSUD Yowari, RS Dian Harapan, RSUD Abepura, hingga RS Bhayangkara tanpa mendapatkan penanganan memadai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/25/6924e8074cb07.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)