Kementrian Lembaga: Dewas KPK

  • Bukan Pejabat Negara, Hasto Pertanyakan Penetapan Status Tersangka oleh KPK

    Bukan Pejabat Negara, Hasto Pertanyakan Penetapan Status Tersangka oleh KPK

    Bisnis.com, JAKARTA – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali mempertanyakan soal penetapan status tersangkanya oleh KPK meskipun bukan bagian dari penyelenggara negara.

    Hasto mengklaim tidak ada kerugian negara sepeser pun yang ditimbulkan oleh dirinya terkait perkara dugaan tindak gratifikasi PAW DPR periode 2019 yang melibatkan Harun Masiku. Dia membeberkan KPK saat ini sedang dimanfaatkan oleh penyidik yang bernama AKBP Rossa Purbo Bekti.

    Menurutnya, putusan pengadilan yang telah diputus juga mengungkapkan bahwa Hasto tidak terlibat dalam perkara suap eks kader PDIP Harun Masiku.

    “Jadi saya ini bukan pejabat maupun penyelenggara negara dan tidak ada kerugian negara atas kasus itu. Namun mengapa saudara Rossa Purbo Bekti menggunakan KPK untuk kepentingan dia,” tuturnya di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

    Maka dari itu, Hasto menegaskan bahwa dirinya tidak akan pernah berhenti untuk melawan KPK. Hasto mengklaim hal tersebut dilakukan dirinya untuk menjaga marwah KPK agar kembali ke khittahnya.

    “Sikap kami ini adalah dukungan nyata kepada KPK dan seluruh jajarannya,” katanya.

    Hasto juga berharap agar Dewas KPK bersikap profesional dan transparan menindaklanjuti laporan yang dilayangkan PDIP terkait sikap sewenang-wenang yang dilakukan penyidik AKBP Rossa Purbo Bekti.

    “Dewas KPK juga harus bertindak adil dan memiliki kedaulatan penuh,” ujarnya.

  • Hasto Akan Laporkan Penyidik AKBP Rossa ke Dewas KPK

    Hasto Akan Laporkan Penyidik AKBP Rossa ke Dewas KPK

    Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto akan melaporkan peyidik KPK AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Hasto menilai, ada sejumlah pelanggaran etik dan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Rossa selama proses penyidikan kasus Harun Masiku.

  • Hasto Sebut Tim Hukum PDIP Bakal Adukan Penyidik Rossa ke Dewas KPK

    Hasto Sebut Tim Hukum PDIP Bakal Adukan Penyidik Rossa ke Dewas KPK

    PIKIRAN RAKYAT – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa tim hukum partainya akan melaporkan penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti, ke Dewan Pengawas KPK pada Rabu, 19 Februari 2025.

    Menurut Hasto, pengaduan ini dilakukan karena dugaan pelanggaran etik dan kesalahan dalam penanganan perkara oleh Rossa.

    “Saudara-saudara sekalian, tim hukum PDIP akan mengadukan sodara Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas KPK atas tindakan pelanggaran etik dan kesalahan penanganan yang dilakukan,” ujar Hasto di Kantor DPP PDIP Perjuangan, Jakarta Pusat, Selasa, 18 Februari 2025.

    Hasto menegaskan bahwa pengaduan ini bukan untuk melawan KPK, melainkan agar lembaga tersebut kembali menjalankan misinya dalam pemberantasan korupsi.

    Ia yakin Dewas KPK akan bertindak adil tanpa intervensi pihak lain. Selain itu, ia juga percaya bahwa Rossa akan diperiksa terkait dugaan pelanggaran dalam proses penegakan hukum.

    “Kami percaya bahwa Dewas KPK akan bertindak adil dan memiliki kedaulatan penuh tanpa intervensi pihak manapun, untuk berani memeriksa saudara Rossa yang nyatanya telah melakukan intimidasi dan proses penegakan hukum yang melanggar undang-undang,” kata Hasto.

    “Sikap kami ini bukanlah untuk melawan KPK tetapi sikap kami ini justru untuk menjaga marwah KPK agar kembali pada misi utamanya,” tambahnya.

    Dalam konferensi pers tersebut, hadir penasihat hukum Ronny Talapessy, Maqdir Ismail, dan Johannes L Tobing. Selain itu, sejumlah pengurus DPP PDIP turut hadir, seperti Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun, Wiryanti Sukamdani, dan Deddy Sitorus. Hadir pula Wasekjen Adian Napitupulu, Yoseph Arto Adhi Dharmo, serta Wabendum Yuke Yurike.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Diduga Lakukan Intimidasi, Tim Hukum PDI Perjuangan akan Laporkan Rossa Purba Bekti ke Dewas KPK

    Diduga Lakukan Intimidasi, Tim Hukum PDI Perjuangan akan Laporkan Rossa Purba Bekti ke Dewas KPK

    JAKARTA – Tim Hukum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan akan mengadukan Rossa Purba Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Hal ini lantaran adanya intimidasi dan proses penegakan hukum yang melanggar undang-undang terkait kasus yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

    “Sikap kami ini bukanlah untuk melawan KPK. Sikap kami ini justru untuk menjaga marwah KPK agar kembali pada misi utamanya. Sikap kami ini adalah dukungan nyata pada KPK dengan seluruh jajarannya,” ujar Hasto, dalam keterangan resminya, Selasa, 18 Februari 2025.

    Menurutnya, Rossa Purba Bekti yang merupakan penyidik KPK telah melakukan intimidasi dan melanggar undang-undang. Seperti tindakan yang dilakukan terhadap Kusnadi, dengan menyamar, membohongi, mengintimidasi, merampas barang-barang miliknya dan DPP PDI Perjuangan, serta memeriksa selama hampir 3 jam tanpa surat perintah panggilan.

    “Adanya intimidasi yang dilakukan Rossa Purba Bekti terhadap Tio. Demi ambisi menangkap saya, Tio diintimidasi dan dibujuk dengan gratifikasi hukum sebesar Rp 2 miliar. Syaratnya, Tio harus menyebutkan keterlibatan saya. Apa yang disampaikan Tio tersebut dilakukan dibawah sumpah. Sumpah di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Tidak hanya itu, Tio juga diminta menyebut orang-orang di lingkaran pertama Ibu Megawati Soekarnoputri agar bisa dibidik para penyidik tersebut,” tuturnya.

    Demi melancarkan aksinya, Rossa Purba Bekti sampai mengebrak meja dan mendesak untuk mengganti penasehat hukum Tio. Tak hanya itu, Tio pun dicekal untuk tidak bisa berobat ke luar negeri akibat kanker yang dideritanya.

    “Padahal jauh sebelum kasus ini naik lagi ke permukaan, Tio sudah berulang kali berobat untuk ke Guangzhou bagi penyembuhan penyakitnya. Namun agenda kemanusiaan ini pun diabaikan oleh Rossa Purba Bekti. Saya meyakini, jika Tio mengikuti kemauan Rossa, pencekalan itu pasti tidak akan terjadi,” ucapnya.

    Dirinya berharap hal ini dapat menjadi momentum bagi seluruh anak bangsa untuk benar-benar berjuang bagi terwujudnya Indonesia yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.

    “Kita semua adalah anak-anak Republik Indonesia yang lahir dari keberanian melawan kekejaman hukum kolonial dan kolonialisme Belanda. Apakah hal ini akan kita biarkan kembali, ketika hukum bisa dijadikan sebagai alat penindasan baru? Pesan Prof Dr Megawati Soekarnoputri sangat jelas, kita adalah warga negara yang merdeka, warga negara yang sah, warga negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum. Karena itulah, jangan takut menyuarakan kebenaran,” tegasnya. (bbs)

  • Hasto PDIP Muncul ke Publik, Bakal Laporkan AKBP Rossa ke Dewas KPK

    Hasto PDIP Muncul ke Publik, Bakal Laporkan AKBP Rossa ke Dewas KPK

    Bisnis.com, JAKARTA — PDI Perjuangan (PDIP) akan melaporkan kembali penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas alias Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik sekaligus penyalahgunaan wewenang.

    Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa pelaporan ini merupakan pelaporan yang kedua kalinya karena pelaporan yang pertama tidak dilanjutkan oleh Dewas KPK pada tahun 2024 lalu.

    Maka dari itu, Hasto kembali melaporkan penyidik KPK AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewas KPK karena diduga melanggar etik seorang penyidik dan melakukan tindakan seenaknya.

    “Besok kami akan memajukan Rossa ke Dewas KPK atas tindakan pelanggaran etik dan kesewenang-wenangan,” tutur Hasto di DPP PDIP Jakarta, Selasa (18/2/2025).

    Hasto menegaskaN bahwa pelaporan itu bukan upaya dari PDIP untuk melemahkan KPK, tetapi agar marwah KPK tetap terjaga dari tindakan oknum di dalamnya.

    “Sikap kami bukan untuk melawan KPK ya, sikap kami justru untuk menjaga marwah KPK agar kembali pada misi utamanya,” kata Hasto.

    Hasto mengingatkan bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri merupakan sosok penting yang melahirkan KPK di masa pemerintahannya dulu.

    “Makanya kami tidak ingin dibenturkan KPK karena KPK itu bu Mega yang melahirkan,” ujarnya.

  • KPK Bawa 142 Bukti Tertulis di Sidang Praperadilan Hasto
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Februari 2025

    KPK Bawa 142 Bukti Tertulis di Sidang Praperadilan Hasto Nasional 10 Februari 2025

    KPK Bawa 142 Bukti Tertulis di Sidang Praperadilan Hasto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tim hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) membawa 142 bukti tertulis dalam
    sidang praperadilan
    yang diajukan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP
    Hasto Kristiyanto
    di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (10/2/2025).
    Selain itu, KPK juga membawa 11 bukti berupa barang elektronik yang disita dari pihak-pihak terkait perkara tersebut.
    Namun, barang bukti tersebut baru bisa diserahkan kepada hakim pada Selasa (11/2/2025).
    “Kami menghadirkan barang bukti termohon, itu ada 153. Tapi 11 di antaranya berupa barang bukti elektronik dan hakim mengagendakan pada hari ini adalah sidang bukti tertulis, sehingga untuk pelaksanaannya, untuk barang bukti elektronik diminta ditunda untuk besok pagi,” kata Plt Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto di PN Jakarta Selatan, Senin.
    Iskandar mengatakan, bukti tertulis yang diserahkan kepada hakim berupa surat-surat administrasi penindakan seperti surat penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyitaan, dan berita acara pemeriksaan (BAP).
    “Dan kemudian juga, ada yang terpenting dari keterangan lampirannya berupa konfirmasi dari Dewas KPK berkenaan dengan peristiwa penggeledahan dari Pak Kusnadi (Staf Hasto) yang pernah dilakukan pengajuan ke Dewas dan itu sudah dilakukan pemeriksaan oleh Dewas dan memang hasilnya tidak ada pelanggaran etik dalam konteks itu,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Iskandar mengatakan, pihaknya akan menghadirkan empat orang ahli yang akan menjelaskan proses penegakan hukum oleh penyidik KPK.
    “Karena untuk keseimbangan kemarin, pemohon mengajukan ahli, kami juga akan mengajukan ahli 4 orang,” ucap dia.
    Untuk diketahui, Hasto mengajukan gugatan praperadilan untuk menggugurkan statusnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi yang ditetapkan oleh KPK.
    KPK menduga Hasto turut menyuap komisioner KPU Wahyu Setiawan demi meloloskan eks kader PDI-P Harun Masiku menjadi anggota DPR periode 2019-2024 lewat mekanisme pergantian antarwaktu.
    Hasto juga disangka merintangi penyidikan terhadap Harun Masiku yang masih berstatus buron sejak tahun 2020.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengamat: Revisi Tatib, Bukti DPR Ambisius Agar Terlihat Super Power – Halaman all

    Pengamat: Revisi Tatib, Bukti DPR Ambisius Agar Terlihat Super Power – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Revisi Tata Tertib (tatib) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan betapa ambisiusnya mereka untuk dapat terlihat adidaya. 

    Hal itu disampaikan oleh Pengamat Politik dari Citra Institue, Efriza saat diwawancari ihwal pendapatnnya terkait langkah para wakil rakyat itu pada Sabtu (8/2/2025).

    Namun, ambisi itu dinilai tidak sejalan dengan kinerja DPR yang bahkan tidak mengerti fungsi tatib justru untuk mengatur kelembagaan di dalam bukan ke luar.

    ”Ini yang disebut DPR ambisius ingin terlihat superpower, tapi malah menghadirkan DPR yang berkinerja baik saja tidak bisa mengatur urusan internalnya,” ujar Efriza.

    “Dengan tatib saja tak becus, tapi maunya kewenangannya melampaui dan merecoki lembaga-lembaga negara lain,” sambungnya. 

    Tatib DPR ini bahkan disebut Efriza tak hanya sebagai ajang untuk tampak gagah saja di mata lembaga lain, namun lebih dari itu disinyalir punya niatan buruk.

    “DPR ingin menjadi lembaga legislatif heavy, sehingga lembaga-lembaga negara lainnya tidak dihargai sisi independensinya, banyak lembaga-lembaga negara seolah di bawah DPR Senayan,” tuturnya.

    Semestianya DPR dalam membuat tatib memuat semangat pembenahan internal, mengingat para legislator di dalamnya dinilai masih belum sepenuhnya punya kinerja yang baik.

    Bukan alih-alih sibuk dengan urusan politis untuk melangkahi lembaga negara lainnya. 

    “Semestinya DPR dalam membuat tata tertib semangat pembenahan internal. Mereka menyadari para legislatornya saja banyak bolos, tak banyak bicara di rapat, tak mengerti kondisi masyarakat yang harus disuarakan mereka, tetapi mereka malah sibuk urusan politis dengan mengangkangi lembaga-lembaga negara lainnya,” pungkas Efriza.  

    Sebagai informasi, DPR melakukan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

    Tata tertib itu telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).

    DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

    Dengan adanya revisi tata tertib ini, sejumlah pejabat yang telah ditetapkan DPR melalui rapat paripurna dapat dievaluasi kinerjanya secara berkala.

    Pejabat tersebut antara lain adalah Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA).

  • Pengamat: Revisi Tatib, Bukti DPR Ambisius Agar Terlihat Super Power – Halaman all

    Pengamat: Revisi Tatib Semakin Menambah Citra DPR yang Sudah Buruk – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Revisi Tata Tertib (tatib) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semakin membuat citra lembaga wakil rakyat itu kian buruk. 

    “Kinerja anggota-anggota DPR dan juga penilaian atas lembaga DPR selalu dapat sentimen negatif dari publik bahwa DPR dianggap tidak mewakili masyarakat,” kata Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza saat dikonfirmasi, Sabtu (8/2/2025). 

    “Malah tatib ini membenamkan DPR bercitra buruk dengan haus kekuasan dan selalu berusaha melampaui kewenangannya,” sambungnya.

    Lebih lanjut, Efriza menegaskan tatib ini jadi bentuk perwujudan supremasi parlemen yang tidak sesuai dengan semangat reformasi dan amandemen konstitusi. 

    “DPR juga mengabaikan semangat supremasi konstitusi, hal mana mengedepankan kedaulatan rakyat dengan menghormati lembaga-lembaga lainnya,” tutur Efriza.

    Tatib DPR ini juga disebut membuat DPR menciptakan hubungan antar-lembaga negara dalam pusaran konflik sebab ranah kekuasaan DPR kni melampaui kewenangannya. 

    Sebagai informasi, DPR melakukan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

    Tata tertib itu telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).

    DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

    Dengan adanya revisi tata tertib ini, sejumlah pejabat yang telah ditetapkan DPR melalui rapat paripurna dapat dievaluasi kinerjanya secara berkala.

    Pejabat tersebut antara lain adalah Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA).

     

     

  • DPR Kini Bisa Copot Kapolri, Panglima TNI, Pimpinan KPK, hingga Hakim MK dan MA? Begini Klarifikasinya

    DPR Kini Bisa Copot Kapolri, Panglima TNI, Pimpinan KPK, hingga Hakim MK dan MA? Begini Klarifikasinya

    PIKIRAN RAKYAT – Sempat ramai beredar informasi bahwa DPR kini bisa mencopot Kapolri, Panglima TNI, Pimpinan KPK, hingga Hakim MK dan MA. Namun, wakil rakyat itu mengklarifikasi bahwa apa yang bisa mereka lakukan adalah melakukan evaluasi, bukan pencopotan.

    “Pada intinya, yang dilakukan satu proses uji kelayakan baik itu fit and proper test dan sebagainya di komisi masing-masing. Maka calon-calon itu yang sebelum diparipurnakan. Dan setelah diparipurnakan di sisipkan pasal 228A itu dalam tata tertib itu, dijelaskan dapat dilakukan evaluasi itu 228A secara berkala,” tutur Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, Jumat 7 Februari 2025.

    “Jadi bukan mencopot. Ya pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR yang mencopot, tapi kita melakukan evaluasi karena kita punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu,” katanya menambahkan.

    Oleh karena itu, DPR kini memiliki kewenangan baru untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Kewenangan ini tertuang dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa 4 Februari 2025.

    Dengan perubahan ini, DPR memiliki ruang lebih besar untuk menilai kinerja pejabat yang sebelumnya telah mereka tetapkan.

    Bob Hasan menjelaskan bahwa evaluasi ini bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian jika pejabat yang bersangkutan dianggap tidak menunjukkan kinerja optimal.

    Evaluasi Pejabat: Bukan Pemecatan Langsung

    Bob Hasan menegaskan bahwa revisi ini tidak berarti DPR bisa langsung mencopot pejabat negara.

    “Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” ujarnya.

    Menurutnya, evaluasi yang dilakukan DPR bersifat mengikat dan hasilnya akan disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti. Namun, keputusan akhir terkait pemberhentian tetap berada di tangan lembaga atau pejabat berwenang.

    “Iya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR itu. Itu kan pejabat yang berwenang, mekanisme yang berlaku itu kan pejabat yang berwenang, ya kan,” tutur Bob Hasan.

    Siapa Saja yang Akan Dievaluasi?

    Pejabat yang akan masuk dalam mekanisme evaluasi berkala ini meliputi:

    Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) Panglima TNI dan Kapolri Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

    Sebelumnya, pejabat-pejabat ini menjalani fit and proper test di DPR sebelum disahkan dalam rapat paripurna. Dengan adanya revisi tata tertib ini, kinerja mereka bisa dinilai kembali secara berkala.

    Bagaimana Mekanisme Evaluasi Ini?

    Revisi tata tertib ini memasukkan Pasal 228A, yang berisi dua ayat penting:

    DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Hasil evaluasi bersifat mengikat dan akan disampaikan oleh Komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.

    Wakil Ketua Baleg DPR, Sturman Panjaitan menegaskan bahwa revisi ini dibahas dengan cepat setelah mempertimbangkan pendapat dari seluruh fraksi.

    “Materi muatan yang dirumuskan dalam Rancangan Peraturan DPR RI tentang Perubahan atas Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yaitu, di antara Pasal 228 dan Pasal 229 disisipkan 1 Pasal, yakni Pasal 228A,” ucapnya.

    DPR Mengawasi, Bukan Memberhentikan Langsung

    Meskipun DPR kini memiliki kewenangan untuk mengevaluasi pejabat negara secara berkala, keputusan pemberhentian tetap berada di tangan lembaga yang berwenang, seperti Presiden atau Komisi Yudisial. Evaluasi ini diharapkan bisa memperkuat fungsi pengawasan DPR terhadap kinerja pejabat negara agar tetap sesuai dengan harapan masyarakat dan kepentingan nasional.

    Dengan adanya aturan baru ini, publik bisa berharap bahwa pejabat yang dipilih melalui fit and proper test tidak hanya teruji di awal, tetapi juga terus dipantau agar tetap menjalankan tugasnya dengan baik.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Soal DPR Bisa Copot Kapolri, Pengamat: Konyol, DPR Tak Tahu Batas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Februari 2025

    Soal DPR Bisa Copot Kapolri, Pengamat: Konyol, DPR Tak Tahu Batas Nasional 6 Februari 2025

    Soal DPR Bisa Copot Kapolri, Pengamat: Konyol, DPR Tak Tahu Batas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
    Bambang Rukminto
    menyatakan,
    revisi Tata Tertib
    DPR yang memberi wewenang bagi DPR untuk mencopot kapolri adalah hal yang konyol.
    Bambang menilai, DPR seolah tidak mengetahui batas-batas kewenangannya karena tata tertib semestinya hanya megnatur internal DPR, tidak ke luar lembaga.
    “Membuat tatib yang berisi sesuatu yang jelas melanggar undang-undang selain mengarah pada
    abuse of power
    , juga kekonyolan. Seolah DPR tidak mengetahui batasan-batasan kewenangannya,” ujar Bambang saat dihubungi
    Kompas.com
    , Kamis (6/2/2025).
    Bambang menilai, revisi tatib ini justru menjadi indikasi kalau DPR tidak mampu melakukan kontrol dan pengawasan kepada Polri.
    Padahal, proses pengawasan ini bisa dilakukan dengan mengaudit kinerja Polri.
    Kemudian, hasil audit ini bisa disampaikan secara terbuka kepada publik atau langsung kepada presiden.
    “Jadi, tidak mungkin DPR bisa mencopot Kapolri atau Panglima TNI.
    Kewenangan DPR
    hanya sebatas melakukan pengawasan pada kebijakan yang diambil Kapolri atau Panglima TNI,” lanjut dia.
    Bambang mengatakan, pencopotan dan penunjukan Kapolri maupun Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden.
    Sebelumnya, DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (
    fit and proper test
    ) di DPR.
    Hal ini tertuang dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).
    Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan, revisi ini memberi DPR ruang untuk meninjau kembali kinerja pejabat yang telah mereka tetapkan dalam rapat paripurna.
    Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.
    “Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” ujar Bob Hasan di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).
    Bob menegaskan bahwa hasil evaluasi ini bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian bagi pejabat yang dianggap tidak menunjukkan kinerja optimal.
    Dengan adanya
    revisi tata tertib
    ini, sejumlah pejabat yang telah ditetapkan DPR melalui rapat paripurna dapat dievaluasi kinerjanya secara berkala.
    Pejabat tersebut antara lain adalah Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.