Kementrian Lembaga: Departemen Luar Negeri AS

  • Warga AS Tewas di Tepi Barat, Keluarga Salahkan Pemukim Israel

    Warga AS Tewas di Tepi Barat, Keluarga Salahkan Pemukim Israel

    Tepi Barat

    Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengonfirmasi kematian seorang warga negaranya di Tepi Barat pekan ini. Pihak keluarga dan para pejabat Palestina mengaitkan kematian warga negara AS itu dengan aksi pembakaran yang dilakukan oleh para pemukim Israel.

    Otoritas Palestina dan para saksi, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (4/8/2025), melaporkan pada Kamis (31/7) lalu bahwa sekelompok pemukim Israel melakukan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah dan beberapa mobil di area Silwad, Tepi Barat.

    Kementerian Kesehatan Palestina dalam pernyataannya mengidentifikasi warga AS yang tewas itu sebagai Khamis Ayyad, yang berusia 41 tahun. Disebutkan bahwa Ayyad tewas karena menghirup asap akibat kebakaran yang terjadi di Silwad tersebut.

    Keluarga besar Ayyad yang tinggal di Chicago, AS, mengatakan dalam konferensi pers pada Jumat (1/8) lalu bahwa Ayyad pindah ke Tepi Barat beberapa tahun lalu, bersama istri dan anak-anaknya, namun tetap bekerja untuk sebuah perusahaan Amerika.

    Ayyad menjadi warga negara AS kedua yang tewas akibat tindak kekerasan pemukim Israel di Tepi Barat sepanjang bulan Juli. Seorang warga AS lainnya, yang tidak disebut namanya, yang berusia 20 tahun tewas akibat dipukuli oleh pemukim Israel saat dia mengunjungi keluarga di Sinjil, Tepi Barat.

    Menanggapi kematian warga AS berusia 20 tahun itu, Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, sebelumnya menuntut Israel untuk menyelidiki apa yang disebutnya sebagai “aksi kriminal dan teroris” tersebut. Namun sejauh ini Huckabee belum berkomentar mengenai kematian Ayyad.

    Saat dimintai komentar soal kematian warga AS di Tepi Barat, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan: “Kami dapat mengonfirmasi kematian seorang warga negara AS di kota Silwad di Tepi Barat.”

    Namun tidak disebutkan secara langsung nama Ayyad dalam pernyataan tersebut.

    “Kami mengutuk kekerasan kriminal oleh pihak mana pun di Tepi Barat,” tegas juru bicara yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut.

    Sementara itu, militer Israel saat dimintai tanggapan oleh AFP mengatakan bahwa “beberapa tersangka … membakar properti dan kendaraan-kendaraan di area Silwad”, namun pasukan Tel Aviv yang dikirimkan ke lokasi kejadian tidak dapat mengidentifikasi mereka.

    Disebutkan juga bahwa Kepolisian Israel telah meluncurkan penyelidikan terhadap insiden tersebut.

    Tepi Barat merupakan rumah bagi sekitar tiga juta warga Palestina, yang tinggal berdampingan dengan sekitar 500.000 pemukim Israel. Tindak kekerasan di wilayah Tepi Barat telah meningkat selama perang berkecamuk di Jalur Gaza, yang dipicu oleh serangan mengejutkan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Anwar Ibrahim Umumkan Thailand-Kamboja Sepakat Gencatan Senjata

    Anwar Ibrahim Umumkan Thailand-Kamboja Sepakat Gencatan Senjata

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim mengumumkan bahwa Thailand dan Kamboja akan memasuki gencatan senjata tanpa syarat mulai Senin (28/7) tengah malam nanti.

    “Baik Kamboja maupun Thailand mencapai kesepahaman bersama sebagai berikut: Pertama, gencatan senjata segera dan tanpa syarat yang berlaku mulai 24 jam waktu setempat, tengah malam tanggal 28 Juli 2025, malam ini,” ujar Anwar setelah perundingan mediasi di Malaysia, dilansir dari kantor berita AFP, Senin (28/7/2025).

    Perundingan tersebut dihadiri oleh para pemimpin Thailand dan Kamboja pada Senin (28/7) guna mencapai gencatan senjata atas pertempuran berdarah di perbatasan kedua negara yang disengketakan.

    Selain Malaysia sebagai Ketua ASEAN, seperti dilansir AFP dan Reuters, Senin (28/7/2025), Amerika Serikat (AS) juga terlibat dalam perundingan itu. Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Marco Rubio mengatakan bahwa para pejabat Departemen Luar Negeri AS berada di Kuala Lumpur, Malaysia untuk membantu upaya perdamaian.

    Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Perdana Menteri (PM) Thailand, Phumtham Wechayachai, mengatakan dirinya tidak meyakini Kamboja bertindak “dengan itikad baik” saat dirinya hendak terbang ke Malaysia untuk menghadiri perundingan tersebut.

    “Kami tidak meyakini Kamboja bertindak dengan itikad baik, berdasarkan tindakan mereka dalam menangani masalah ini,” ujar Phumtham saat berbicara kepada wartawan di bandara Bangkok pada Senin (28/7) saat bentrokan perbatasan memasuki hari kelima.

    “Mereka perlu menunjukkan niat yang tulus, dan kami akan menilai hal itu selama pertemuan,” imbuhnya.

    Pemerintah Thailand sebelumnya mengatakan pada prinsipnya mereka mendukung seruan gencatan senjata, namun ingin bernegosiasi secara bilateral. Sementara Kamboja menyerukan keterlibatan internasional.

    Bentrokan berdarah antara kedua negara pecah pada Kamis (24/7) lalu, dengan pertempuran lintas perbatasan memakan korban jiwa di kedua pihak. Total lebih dari 30 orang, termasuk lebih dari 20 warga sipil, tewas akibat serangan lintas perbatasan di Thailand dan Kamboja.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Kamboja Serukan Gencatan Senjata, Apa Respons Thailand?

    Kamboja Serukan Gencatan Senjata, Apa Respons Thailand?

    Phnom Penh

    Kamboja menyerukan gencatan senjata “segera” dengan Thailand, setelah dua hari pertempuran lintas batas antara dua negara bertetangga di Asia Tenggara. Thailand belum memberi komentar atas seruan ini.

    Duta Besar Kamboja untuk PBB, Chhea Keo, mengatakan negaranya meminta gencatan senjata “tanpa syarat”. Ia menambahkan, Phnom Penh menginginkan “penyelesaian damai sengketa” batas wilayah dengan Thailand.

    Sejauh ini, Thailand belum memberikan pernyataan publik mengenai usulan gencatan senjata tersebut. Sebelumnya, Thailand telah memberlakukan hukum darurat di delapan distrik yang berbatasan dengan Kamboja.

    Setidaknya 16 orang tewas dan puluhan ribu orang mengungsi di kedua negara, yang saling menuduh sebagai pihak yang pertama kali menembak pada Kamis.

    Artileri Thailand melepaskan tembakan ke wilayah Kamboja pada hari kedua pertikaian, Jumat (25/07) (Reuters)

    Pemimpin Thailand mengatakan bahwa pertempuran sengit antara Thailand dan Kamboja, yang telah menewaskan sedikitnya 16 orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi, dapat “bergerak menuju perang”.

    Thailand mengatakan sejauh ini korban tewas mencakup 14 warga sipil dan satu tentara. Di pihak Kamboja, otoritas negara itu menyebut sebanyak satu warga sipil tewas.

    Selain itu, bentrokan melukai puluhan orang dan membuat lebih dari 100.000 warga sipil Thailand mengungsi di Provinsi Ubon Ratchathani dan Provinsi Surin.

    Di sebuah kompleks olahraga yang telah diubah menjadi pusat evakuasi di Provinsi Surin, Thailand, mayoritas pengungsi adalah anak-anak dan lansia. Mereka mengatakan terguncang oleh serangan roket dan artileri yang mereka saksikan pada Kamis (24/07).

    Di Kamboja, sekitar 1.500 keluarga di Provinsi Oddar Meanchey telah dievakuasi.

    Para pengungsi lanjut usia yang selamat dari pemboman selama Perang Saudara Kamboja tahun 1980-an mengatakan kepada BBC bahwa pertempuran terkini adalah yang terburuk yang pernah mereka alami.

    Reaksi berbagai negara

    Berbagai negara telah menyerukan agar Thailand dan Kamboja segera memberlakukan gencatan senjata.

    Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang memimpin ASEAN, mengimbau para pemimpin kedua negara untuk segera melakukan gencatan senjata.

    “Saya menyambut baik sinyal positif dan kesediaan yang ditunjukkan oleh Bangkok dan Phnom Penh untuk mempertimbangkan langkah ini ke depan,” tulis Anwar di Facebook, Kamis (24/07) malam.

    Terlepas dari optimisme Anwar, pertempuran terus berlanjut hingga malam.

    AS juga menyerukan “penghentian segera permusuhan, perlindungan warga sipil, dan penyelesaian konflik secara damai”.

    “Kami … sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja, dan sangat sedih dengan laporan mengenai korban jiwa warga sipil,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, dalam jumpa pers.

    China, yang memiliki hubungan politik dan strategis dengan Kamboja dan Thailand, mengatakan “sangat prihatin” dan berharap kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah melalui dialog dan konsultasi.

    Australia, Uni Eropa, dan Prancis juga telah menyerukan perdamaian.

    Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa diperkirakan akan bertemu pada Jumat (25/07) untuk membahas konflik tersebut.

    Pertempuran kedua negara pertama kali berlangsung di beberapa wilayah Kamis (24/07) pagi.

    Thailand mengklaim Kamboja melepaskan tembakan terlebih dahulu. Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja menuduh Thailand sengaja mengerahkan pasukan dalam jumlah banyak, menggunakan senjata berat, dan melancarkan serangan udara guna menduduki wilayah Kamboja.

    Bagaimana kronologi versi Thailand?

    Angkatan Darat Kerajaan Thailand menyatakan insiden berawal pada Kamis (24/07), tepat setelah pukul 07.30 waktu setempat. Saat itu, militer Kamboja mengerahkan pesawat tanpa awak untuk melakukan pengawasan terhadap pasukan Thailand di dekat perbatasan, menurut juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSC) Thailand.

    Tak lama kemudian, menurut militer Thailand, enam personel militer Kamboja bersenjata lengkap, termasuk granat berpeluncur roket (RPG), berkumpul di dekat perbatasan. Tentara di pihak Thailand mencoba bernegosiasi dengan berteriak, tetapi tidak berhasil, kata juru bicara NSC.

    Juru bicara NSC menambahkan, tentara Kamboja melepaskan tembakan sekitar pukul 08.20, yang memaksa pihak Thailand untuk membalas tembakan dan mengerahkan enam pesawat tempur F-16 untuk menyerang target militer Kamboja. Militer Thailand menyatakan bahwa Komando Daerah Militer Khusus 8 dan 9 Kamboja “telah dihancurkan”.

    Thailand menuduh Kamboja mengerahkan senjata berat, termasuk kendaraan peluncur roket BM-21 dan artileri, yang menyebabkan kerusakan pada rumah dan fasilitas umum di sepanjang sisi perbatasan Thailand.

    Baca juga:

    Sesaat setelah pertempuran berlangsung, Thailand menutup semua pintu perbatasannya dengan Kamboja. Kemudian, Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh mendesak warga negara Thailand untuk meninggalkan Kamboja.

    Bagaimana kronologi versi Kamboja?

    Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja mengklaim tentara Thailand memulai konflik pada Kamis (24/07) sekitar pukul 06.30 waktu setempat. Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja menuduh Thailand sengaja melancarkan serangan udara guna menduduki wilayah Kamboja.

    Kamboja menuding Thailand melanggar perjanjian sebelumnya dengan maju ke sebuah kuil di dekat perbatasan dan memasang kawat berduri di sekitar pangkalan militernya.

    Tentara Thailand kemudian mengerahkan pesawat nirawak tepat setelah pukul 07.00, dan melepaskan tembakan “ke udara” sekitar pukul 08.30, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja.

    Pukul 08.46, tentara Thailand “secara preemptif” melepaskan tembakan ke arah pasukan Kamboja, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional, Maly Socheata. Kamboja tidak punya pilihan selain menggunakan hak membela diri, menurut surat kabar Phnom Penh Post.

    Socheata selanjutnya menuduh Thailand mengerahkan pasukan secara berlebihan, menggunakan senjata berat, dan melakukan serangan udara di wilayah Kamboja.

    Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja menyebut tindakan Thailand sebagai “agresi militer yang brutal dan ilegal” dan “pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, norma-norma ASEAN, dan prinsip-prinsip inti hukum internasional”.

    Kementerian tersebut juga mengklaim bahwa jet tempur Thailand menjatuhkan dua bom di wilayah yang dikuasai Kamboja ketika bentrokan antara kedua negara meningkat pada Kamis (24/07) pagi.

    “Tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan tidak bertanggung jawab ini tidak hanya menimbulkan ancaman serius bagi perdamaian dan stabilitas regional, tetapi juga merusak fondasi tatanan internasional,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja, Maly Socheata.

    Kementerian tersebut lebih lanjut memperingatkan bahwa militer sepenuhnya siap untuk mempertahankan kedaulatan Kamboja “dengan segala cara”.

    Bentrokan kedua negara terjadi sehari setelah Thailand menarik duta besarnya dari Kamboja, menyusul ledakan ranjau darat yang melukai seorang tentara Thailand di perbatasan.

    Pada Rabu (23/07), pemerintah Thailand juga mengatakan akan mengusir duta besar Kamboja dari Bangkok.

    BBC

    Kesaksian warga Thailand di perbatasan ‘Menegangkan dan menakutkan’

    Sutian Phiwchan, warga lokal Distrik Ban Dan di Provinsi Buriram, yang dekat perbatasan Kamboja, mengatakan kepada BBC bahwa penduduk di kawasan itu mulai mengungsi, termasuk keluarganya. Dia membawa mereka ke shelter di dekat rumahnya.

    “Situasinya benar-benar serius. Kami sedang mengungsi,” ujar Sutian.

    Dia mengatakan kondisinya menegangkan dan menakutkan. “Mereka menembak langsung ke sini. Tepat di sana [ke perbatasan Thailand, tempat penduduk bermukim]. Anak-anak dan semuanya…kami benar-benar ketakutan.”

    Ketika ditanya apakah pertempuran kali ini lebih buruk dari sebelumnya, dia menjawab: “Ya, karena sekarang mereka tidak hanya menggunaka senapan, artileri berat dilibatkan juga’.

    BBC

    Kedua negara tidak mau menurunkan tensi

    Jonathan Head

    Koresponden BBC di Asia Tenggara

    Menurut militer Thailand, pasukan mereka melepaskan tembakan setelah berhadapan dengan sekelompok tentara Kamboja yang bersenjata lengkap tepat di perbatasan yang disengketakan.

    Pihak Kamboja mengatakan bahwa pihak Thailand-lah yang melepaskan tembakan terlebih dahulu.

    Kini, penduduk di wilayah perbatasan sisi Thailand telah diperintahkan untuk mengungsi. Hal ini menyusul keputusan Thailand untuk mengusir duta besar Kamboja dari Bangkok dan menarik duta besarnya dari Phnom Penh.

    Untuk saat ini, kedua negara tampaknya belum siap untuk meredakan ketegangan. Namun, konflik ini sejatinya telah meletus bulan lalu, setelah Pemimpin Kamboja, Hun Sen, mempermalukan Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dengan membocorkan percakapan telepon mereka tentang perbatasan yang disengketakan.

    Tidak ada yang tahu mengapa ia memilih melakukan hal ini. Faktanya, ia telah merusak hubungan dekat antara kedua keluarga yang telah terjalin selama beberapa dekade.

    Paetongtarn Shinawatra kemudian diskors sebagai perdana menteri oleh Mahkamah Konstitusi Thailand, dan pemerintahannya yang tidak populer kini tidak bisa terlihat lemah dalam menghadapi Kamboja.

    Dampaknya adalah meningkatnya perang kata-kata antara kedua negara, runtuhnya perdagangan perbatasan yang bernilai miliaran dolar, dan meningkatnya risiko bentrokan yang lebih serius antara kedua negara.

    BBC

    Sejarah hubungan Thailand-Kamboja

    Ini bukan pertama kalinya terjadi ketegangan antara Thailand dan Kamboja. Setiap kali tensi meningkat, biasanya disebabkan oleh sengketa perbatasan atau ketegangan politik, seperti:

    Pada 1958 dan 1961, Kamboja mengakhiri hubungan diplomatik dengan Thailand terkait sengketa Kuil Preah Vihear.

    Pada 2003, menyusul kerusuhan dan serangan terhadap Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh, Perdana Menteri Thailand saat itu, Thaksin Shinawatra, melancarkan Operasi Pochentong. Operasi ini mengirimkan pesawat militer untuk mengevakuasi semua warga negara dan diplomat Thailand dari Kamboja dan mengusir diplomat Kamboja sebagai balasan.

    Pada 2008 dan 2011, bentrokan militer pecah di Kuil Preah Vihear.

    Pada 2009, Thailand menurunkan hubungan sebagai tanggapan atas dukungan Kamboja terhadap mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang saat itu sedang diasingkan.

    Artikel ini akan diperbarui secara berkala.

    (nvc/nvc)

  • Thailand-Kamboja Bertempur di Perbatasan, Situasi Bisa Berubah Jadi Perang

    Thailand-Kamboja Bertempur di Perbatasan, Situasi Bisa Berubah Jadi Perang

    Jakarta

    Pemimpin Thailand mengatakan bahwa pertempuran sengit antara Thailand dan Kamboja, yang telah menewaskan sedikitnya 16 orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi, dapat “bergerak menuju perang”.

    Peringatan dari Penjabat sementara Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, mengemuka ketika pertempuran di perbatasan yang disengketakan memasuki hari kedua.

    Thailand mengatakan sejauh ini korban tewas mencakup 14 warga sipil dan satu tentara. Di pihak Kamboja, otoritas negara itu menyebut sebanyak satu warga sipil tewas.

    Selain itu, bentrokan melukai puluhan orang dan membuat lebih dari 100.000 warga sipil Thailand mengungsi di Provinsi Ubon Ratchathani dan Provinsi Surin.

    Di sebuah kompleks olahraga yang telah diubah menjadi pusat evakuasi di Provinsi Surin, Thailand, mayoritas pengungsi adalah anak-anak dan lansia. Mereka mengatakan terguncang oleh serangan roket dan artileri yang mereka saksikan pada Kamis (24/07).

    Di Kamboja, sekitar 1.500 keluarga di Provinsi Oddar Meanchey telah dievakuasi.

    Para pengungsi lanjut usia yang selamat dari pemboman selama Perang Saudara Kamboja tahun 1980-an mengatakan kepada BBC bahwa pertempuran terkini adalah yang terburuk yang pernah mereka alami.

    Reaksi berbagai negara

    Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang memimpin ASEAN, mengimbau para pemimpin kedua negara untuk segera melakukan gencatan senjata.

    “Saya menyambut baik sinyal positif dan kesediaan yang ditunjukkan oleh Bangkok dan Phnom Penh untuk mempertimbangkan langkah ini ke depan,” tulis Anwar di Facebook, Kamis (24/07) malam.

    Terlepas dari optimisme Anwar, pertempuran terus berlanjut hingga malam.

    AS juga menyerukan “penghentian segera permusuhan, perlindungan warga sipil, dan penyelesaian konflik secara damai”.

    “Kami … sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja, dan sangat sedih dengan laporan mengenai korban jiwa warga sipil,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, dalam jumpa pers.

    China, yang memiliki hubungan politik dan strategis dengan Kamboja dan Thailand, mengatakan “sangat prihatin” dan berharap kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah melalui dialog dan konsultasi.

    Australia, Uni Eropa, dan Prancis juga telah menyerukan perdamaian.

    Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa diperkirakan akan bertemu pada Jumat (25/07) untuk membahas konflik tersebut.

    Pertempuran kedua negara pertama kali berlangsung di beberapa wilayah Kamis (24/07) pagi.

    Thailand mengklaim Kamboja melepaskan tembakan terlebih dahulu. Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja menuduh Thailand sengaja mengerahkan pasukan dalam jumlah banyak, menggunakan senjata berat, dan melancarkan serangan udara guna menduduki wilayah Kamboja.

    Bagaimana kronologi versi Thailand?

    Angkatan Darat Kerajaan Thailand menyatakan insiden berawal pada Kamis (24/07), tepat setelah pukul 07.30 waktu setempat. Saat itu, militer Kamboja mengerahkan pesawat tanpa awak untuk melakukan pengawasan terhadap pasukan Thailand di dekat perbatasan, menurut juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSC) Thailand.

    Tak lama kemudian, menurut militer Thailand, enam personel militer Kamboja bersenjata lengkap, termasuk granat berpeluncur roket (RPG), berkumpul di dekat perbatasan. Tentara di pihak Thailand mencoba bernegosiasi dengan berteriak, tetapi tidak berhasil, kata juru bicara NSC.

    Juru bicara NSC menambahkan, tentara Kamboja melepaskan tembakan sekitar pukul 08.20, yang memaksa pihak Thailand untuk membalas tembakan dan mengerahkan enam pesawat tempur F-16 untuk menyerang target militer Kamboja. Militer Thailand menyatakan bahwa Komando Daerah Militer Khusus 8 dan 9 Kamboja “telah dihancurkan”.

    Thailand menuduh Kamboja mengerahkan senjata berat, termasuk kendaraan peluncur roket BM-21 dan artileri, yang menyebabkan kerusakan pada rumah dan fasilitas umum di sepanjang sisi perbatasan Thailand.

    Baca juga:

    Sesaat setelah pertempuran berlangsung, Thailand menutup semua pintu perbatasannya dengan Kamboja. Kemudian, Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh mendesak warga negara Thailand untuk meninggalkan Kamboja.

    Bagaimana kronologi versi Kamboja?

    Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja mengklaim tentara Thailand memulai konflik pada Kamis (24/07) sekitar pukul 06.30 waktu setempat. Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja menuduh Thailand sengaja melancarkan serangan udara guna menduduki wilayah Kamboja.

    Kamboja menuding Thailand melanggar perjanjian sebelumnya dengan maju ke sebuah kuil di dekat perbatasan dan memasang kawat berduri di sekitar pangkalan militernya.

    Tentara Thailand kemudian mengerahkan pesawat nirawak tepat setelah pukul 07.00, dan melepaskan tembakan “ke udara” sekitar pukul 08.30, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja.

    Pukul 08.46, tentara Thailand “secara preemptif” melepaskan tembakan ke arah pasukan Kamboja, menurut juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional, Maly Socheata. Kamboja tidak punya pilihan selain menggunakan hak membela diri, menurut surat kabar Phnom Penh Post.

    Socheata selanjutnya menuduh Thailand mengerahkan pasukan secara berlebihan, menggunakan senjata berat, dan melakukan serangan udara di wilayah Kamboja.

    Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja menyebut tindakan Thailand sebagai “agresi militer yang brutal dan ilegal” dan “pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, norma-norma ASEAN, dan prinsip-prinsip inti hukum internasional”.

    Kementerian tersebut juga mengklaim bahwa jet tempur Thailand menjatuhkan dua bom di wilayah yang dikuasai Kamboja ketika bentrokan antara kedua negara meningkat pada Kamis (24/07) pagi.

    “Tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan tidak bertanggung jawab ini tidak hanya menimbulkan ancaman serius bagi perdamaian dan stabilitas regional, tetapi juga merusak fondasi tatanan internasional,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja, Maly Socheata.

    Kementerian tersebut lebih lanjut memperingatkan bahwa militer sepenuhnya siap untuk mempertahankan kedaulatan Kamboja “dengan segala cara”.

    Bentrokan kedua negara terjadi sehari setelah Thailand menarik duta besarnya dari Kamboja, menyusul ledakan ranjau darat yang melukai seorang tentara Thailand di perbatasan.

    Pada Rabu (23/07), pemerintah Thailand juga mengatakan akan mengusir duta besar Kamboja dari Bangkok.

    BBC

    Kesaksian warga Thailand di perbatasan ‘Menegangkan dan menakutkan’

    Sutian Phiwchan, warga lokal Distrik Ban Dan di Provinsi Buriram, yang dekat perbatasan Kamboja, mengatakan kepada BBC bahwa penduduk di kawasan itu mulai mengungsi, termasuk keluarganya. Dia membawa mereka ke shelter di dekat rumahnya.

    “Situasinya benar-benar serius. Kami sedang mengungsi,” ujar Sutian.

    Dia mengatakan kondisinya menegangkan dan menakutkan. “Mereka menembak langsung ke sini. Tepat di sana [ke perbatasan Thailand, tempat penduduk bermukim]. Anak-anak dan semuanya…kami benar-benar ketakutan.”

    Ketika ditanya apakah pertempuran kali ini lebih buruk dari sebelumnya, dia menjawab: “Ya, karena sekarang mereka tidak hanya menggunaka senapan, artileri berat dilibatkan juga’.

    BBC

    Kedua negara tidak mau menurunkan tensi

    Jonathan Head

    Koresponden BBC di Asia Tenggara

    Menurut militer Thailand, pasukan mereka melepaskan tembakan setelah berhadapan dengan sekelompok tentara Kamboja yang bersenjata lengkap tepat di perbatasan yang disengketakan.

    Pihak Kamboja mengatakan bahwa pihak Thailand-lah yang melepaskan tembakan terlebih dahulu.

    Kini, penduduk di wilayah perbatasan sisi Thailand telah diperintahkan untuk mengungsi. Hal ini menyusul keputusan Thailand untuk mengusir duta besar Kamboja dari Bangkok dan menarik duta besarnya dari Phnom Penh.

    Untuk saat ini, kedua negara tampaknya belum siap untuk meredakan ketegangan. Namun, konflik ini sejatinya telah meletus bulan lalu, setelah Pemimpin Kamboja, Hun Sen, mempermalukan Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dengan membocorkan percakapan telepon mereka tentang perbatasan yang disengketakan.

    Tidak ada yang tahu mengapa ia memilih melakukan hal ini. Faktanya, ia telah merusak hubungan dekat antara kedua keluarga yang telah terjalin selama beberapa dekade.

    Paetongtarn Shinawatra kemudian diskors sebagai perdana menteri oleh Mahkamah Konstitusi Thailand, dan pemerintahannya yang tidak populer kini tidak bisa terlihat lemah dalam menghadapi Kamboja.

    Dampaknya adalah meningkatnya perang kata-kata antara kedua negara, runtuhnya perdagangan perbatasan yang bernilai miliaran dolar, dan meningkatnya risiko bentrokan yang lebih serius antara kedua negara.

    BBC

    Sejarah hubungan Thailand-Kamboja

    Ini bukan pertama kalinya terjadi ketegangan antara Thailand dan Kamboja. Setiap kali tensi meningkat, biasanya disebabkan oleh sengketa perbatasan atau ketegangan politik, seperti:

    Pada 1958 dan 1961, Kamboja mengakhiri hubungan diplomatik dengan Thailand terkait sengketa Kuil Preah Vihear.

    Pada 2003, menyusul kerusuhan dan serangan terhadap Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh, Perdana Menteri Thailand saat itu, Thaksin Shinawatra, melancarkan Operasi Pochentong. Operasi ini mengirimkan pesawat militer untuk mengevakuasi semua warga negara dan diplomat Thailand dari Kamboja dan mengusir diplomat Kamboja sebagai balasan.

    Pada 2008 dan 2011, bentrokan militer pecah di Kuil Preah Vihear.

    Pada 2009, Thailand menurunkan hubungan sebagai tanggapan atas dukungan Kamboja terhadap mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang saat itu sedang diasingkan.

    Artikel ini akan diperbarui secara berkala.

    Tonton juga video “Warga soal Perang Thailand Vs Kamboja” di sini:

    (ita/ita)

  • Bill Gates Mendadak Bongkar Dosa Besar Donald Trump

    Bill Gates Mendadak Bongkar Dosa Besar Donald Trump

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bill Gates melontarkan kritik keras terhadap Presiden AS Donald Trump. Pendiri Microsoft tersebut menuding Trump membuat “kesalahan besar” dengan memangkas pendanaan bantuan luar negeri yang selama ini menyelamatkan jutaan nyawa, terutama di negara-negara berkembang.

    Lewat akun X (dulu Twitter), Gates menyebut dampak dari kebijakan pemotongan itu sangat fatal.

    “Dampak bencana dari pemotongan ini sepenuhnya bisa dicegah, dan masih belum terlambat untuk membalikkan keadaan,” tulis Gates dalam unggahan di X, dikutip dari CNBC Internasional, Senin (14/7/2025).

    Gates merespons laporan yang menyebut obat HIV untuk anak-anak tidak lagi dikirim ke Afrika dalam beberapa bulan terakhir, dan pasokan yang ada akan kedaluwarsa dalam beberapa minggu.

    Bahkan, dilaporkan juga terjadi kekurangan tabung oksigen untuk bayi dan obat-obatan penyakit menular seksual.

    Sebagai ketua dari organisasi nirlaba Gates Foundation, Gates juga menyampaikan keprihatinannya atas pemangkasan ini dalam pidatonya di Ethiopia pada Juni lalu.

    “Ada begitu banyak pemotongan dalam program bantuan luar negeri, dilakukan begitu tiba-tiba hingga menyebabkan pengiriman obat terganggu total. Ini bukan hanya kesalahan administratif. Ini kesalahan moral,” kata Gates dalam pidatonya.

    Tak hanya itu, Gates juga menyesalkan keputusan pemerintahan Trump yang memotong komitmen terhadap program PEPFAR dan membekukan dukungan untuk aliansi vaksin Gavi, yang didirikan oleh Gates Foundation pada 1999.

    Sebagai informasi, USAID resmi dibubarkan pada 30 Juni dan kini dilebur ke dalam Departemen Luar Negeri AS. Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyebut bantuan AS ke depan akan lebih “tertarget dan dibatasi waktu.”

    Gates sendiri diketahui menyumbangkan US$ 50 juta untuk kampanye kandidat presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris.

    Pada akhir Desember, Gates makan malam bersama Trump di resor Mar-a-Lago milik Trump di Florida. Namun, menurut laporan The New York Times, Menteri Luar Negeri Marco Rubio menolak bertemu dengan Gates sejak menjabat awal Januari.

    Pekan lalu, Rubio mengatakan bahwa ke depan, bantuan mereka akan lebih terarah dan dibatasi waktunya. USAID kini telah dilebur ke dalam Departemen Luar Negeri.

    Juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan kepada NPR pada Juni lalu bahwa pihaknya tengah meninjau pendanaan untuk President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR).

    Komentar Gates muncul seminggu setelah ia mengatakan bahwa pemangkasan bantuan ini sudah menyebabkan kematian.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pemukim Israel Tewaskan Dua Warga Palestina di Tepi Barat

    Pemukim Israel Tewaskan Dua Warga Palestina di Tepi Barat

    Jakarta

    Lapangan sekolah di al-Mazra’a al-Sharqiya, sebuah kota di Tepi Barat yang diduduki Israel, berubah menjadi tenda duka besar setelah dua pemuda tewas dalam serangan yang menurut keluarga mereka merupakan aksi terbaru pemukim Israel.

    Pihak keluarga menyatakan, Sayfollah Musallet, warga negara AS berusia 20 tahun asal Florida, tewas setelah dipukuli. Sementara Mohammed al-Shalabi, 23 tahun, ditembak saat serangan pada hari Jumat (11/06). Warga sekitar menyebut pemukim Israel menghalangi upaya penyelamatan kedua pemuda yang mengalami luka serius.

    Razek Hassan al-Shalabi, ayah Mohammed, duduk di antara warga dan kerabat yang datang melayat di halaman sekolah. “Pagi tadi dia bilang ingin menikah,” ujarnya kepada DW. “Dia berbicara tentang ingin membangun keluarga, sekarang kami harus menguburkannya.”

    Di seberang jalan, di rumah Sayfollah Musallet, para perempuan berkumpul untuk menghibur keluarga yang berduka. Saif, panggilan Sayfollah, tiba sejak Juni lalu dari kampung halamannya di Tampa, AS, untuk menghabiskan musim panas bersama kerabatnya di kota yang berjarak sekitar 20-kilometer timur laut Ramallah itu.

    “Dia seperti adik sendiri,” kata sepupunya, Diana Halum, yang juga menjadi juru bicara keluarga, kepada DW. “Kami sering bepergian bersama, bolak-balik dari AS ke Palestina. Dia datang ke sini untuk mengunjungi sepupu dan teman-temannya.”

    “Kami tidak pernah menyangka hal tragis seperti ini akan terjadi,” lanjut Halum. “Apalagi cara mereka membunuhnya. Dia dianiaya oleh para pemukim Israel yang agresif dan ilegal, lalu dibiarkan begitu saja selama berjam-jam.”

    Pihak keluarga menjelaskan, selama tiga jam petugas medis berusaha menjangkau Saif, akhirnya saudaranya sendiri yang berhasil membawanya ke ambulans. Namun Saif keburu meninggal dunia sebelum tiba di rumah sakit.

    Departemen Luar Negeri AS menyatakan mereka mengetahui laporan mengenai kematian seorang warga negara AS di Tepi Barat, namun menolak memberi komentar lebih lanjut dengan alasan “demi menghormati privasi keluarga”, meski menyatakan siap “memberikan layanan konsuler.”

    ‘Kenyataan sehari-hari’ di Tepi Barat

    Para pemuda berkumpul bersama warga lain seusai salat Jumat, menunjukkan solidaritas mereka di sebuah ladang yang menjadi lokasi bentrokan saat pemukim Israel menyerang warga yang tengah berdemo menolak kekerasan dan perampasan tanah, minggu lalu.

    Dalam pernyataan awal setelah kejadian, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim bahwa “teroris melemparkan batu ke arah warga sipil Israel,” sehingga memicu “konfrontasi kekerasan” yang mencakup “perusakan properti Palestina, pembakaran, bentrokan fisik, dan pelemparan batu.”

    IDF juga mengakui adanya laporan bahwa setidaknya satu warga Palestina tewas dan beberapa lainnya terluka. Mereka mengatakan insiden itu “sedang diselidiki.” Keluarga korban menyebut tubuh kedua pemuda menunjukkan tanda-tanda penyiksaan.

    Menjawab pertanyaan DW, IDF merujuk pada pernyataan sebelumnya dan menambahkan bahwa “penyelidikan gabungan telah diluncurkan oleh Kepolisian Israel dan Divisi Investigasi Kriminal Militer.”

    Serangan ini hanyalah satu dari sekian banyak kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Sejak insiden serangan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023 dan perang yang menyusul di Gaza, kekerasan semacam ini menjadi “kenyataan sehari-hari,” menurut Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA). Dari Januari 2024 hingga Mei 2025, OCHA mencatat lebih dari 2.070 serangan oleh pemukim yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan properti di Tepi Barat.

    Pemukim secara rutin menyerbu desa-desa atau mendirikan pos ilegal untuk mengintimidasi dan mengusir warga Palestina, seringkali dilakukan di depan tentara atau polisi Israel yang tak mengambil tindakan. Kelompok HAM Israel dan Palestina juga melaporkan bahwa beberapa pemukim telah direkrut menjadi anggota militer cadangan.

    Syok, kehilangan, kepasrahan

    Beberapa jam setelah kejadian, Razek Hassan al-Shalabi sempat mengira putranya, Mohammed, berada dalam tahanan IDF. Namun saat malam tiba dan ia mengetahui kabar itu keliru, warga mulai mencari keberadaan Mohammed. Keluarga dan Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan jasadnya ditemukan dalam kondisi tertembak di punggung dan mengalami luka parah.

    Teman-teman kedua korban berkumpul di sekolah pada hari Sabtu (12/06), tampak terkejut. Iyad, yang meminta nama belakangnya tak disebut, mengatakan Saif dan Mohammed berada dalam lingkaran pertemanan yang sama. “Mereka selalu jadi orang yang membuat semua orang bahagia. Mereka tak pernah mengecewakan siapa pun. Kalau kamu butuh bantuan, mereka pasti ada,” katanya kepada DW.

    Iyad yang juga adalah pemuda Palestina-Amerika mengatakan banyak orang di Tepi Barat percaya bahwa para pemukim melakukan serangan dengan kesan “kebal hukum”. Ia juga menilai pemerintah AS jarang membela korban maupun keluarga mereka.

    “Kasus ini mendapat perhatian hanya karena Saif adalah warga negara Amerika,” katanya. “Tapi ini bukan pertama kalinya. Sudah ada beberapa warga Amerika yang dibunuh, baik oleh pemukim maupun tentara Israel dan saya rasa pemerintah Amerika harus mulai bertindak. Jujur saja, saya kehabisan kata-kata.”

    Berasal dari California, Iyad juga sedang berkunjung ke Palestina untuk menghabiskan liburan musim panas. “Sungguh menyedihkan, ketika orang harus selalu waspada di tanahnya sendiri. Menyedihkan, karena setiap kali orang Palestina keluar rumah, nyawanya terancam,” katanya. Sejak perang di Gaza pada Oktober 2023 meletus menyusul serangan brutal teroris Hamas ke Israel, tiga pemuda Palestina-Amerika lainnya tewas di Tepi Barat. Kasus mereka, yang melibatkan pemukim maupun tentara Israel, masih belum terungkap.

    “Situasi ini membuat kami merasa tak berdaya dan sedih. Disini, di desa, kami menghadapi hal seperti ini hampir setiap hari,” kata Hafeth Abdel Jabbar kepada DW. Putranya yang berusia 17 tahun, Tawfiq, warga negara AS dari Louisiana, ditembak mati pada 2024 di dekat kota itu. Hingga kini, tak ada satu orang pun yang dituntut.

    “Yang menyakitkan, pemerintah kami malah mendukung rezim yang penuh rasisme dan ekstremisme. Mereka mendukung para pemukim, seolah-olah memperlakukan kami seperti bukan manusia. Itu yang membuat kami benar-benar bingung,” ujar Abdel Jabbar.

    Meski pemerintah AS sebelumnya pernah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pemukim radikal, semua sanksi tersebut dicabut oleh Presiden Donald Trump tak lama setelah ia menjabat.

    Razek Hassan al-Shalabi mengaku tak yakin otoritas Israel akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya terkait kematian putranya. Ia berusaha tegar saat pemakaman pada hari Minggu (13/06), saat proses pemakaman massal.

    Dalam pernyataan Razek sebelum berakhir karena terlalu sedih atas kepergian putranya, ia mengatakan, “Kami lebih dari sekadar ayah dan anak, kami adalah sahabat.”

    Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh: Iryanda Mardanuz
    Editor: Hendra Pasuhuk

    Lihat juga Video ‘Korban Tewas di Gaza Tembus 58.026 Orang’:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pemukim Israel Pukuli Pemuda Palestina hingga Tewas, Keluarga Minta Keadilan

    Pemukim Israel Pukuli Pemuda Palestina hingga Tewas, Keluarga Minta Keadilan

    Jakarta

    Para pemukim Israel membunuh seorang pria berkebangsaan Palestina-Amerika, Sayfollah Musallet (20) di Tepi Barat. Pihak keluarga korban meminta kasus pemukulan menewaskan korban diusut.

    “Sayfollah Musallet yang berusia dua puluh tahun meninggal sebagai martir setelah dipukuli habis-habisan di sekujur tubuhnya oleh para pemukim di kota Sinjil, utara Ramallah,” kata Kementerian Kesehatan dalam sebuah pernyataan, dilansir CNN, Minggu (13/7/2025).

    Pemerintah kota Sinjel mengatakan bahwa Musallet meninggal dunia setelah “serangan biadab” yang dilakukan oleh para pemukim sebagai bagian dari “serangan harian” terhadap penduduk setempat. Mereka menuduh pasukan Israel menyerbu daerah tersebut bersamaan dengan serangan para pemukim, sehingga menghalangi pekerjaan paramedis dan relawan.

    Seorang teman keluarga almarhum mengatakan awalnya ia bersama Musallet dan membawanya ke rumah sakit di Ramallah. Ia menambahkan bahwa Musallet merupakan warga negara Amerika yang lahir di Tampa, Florida.

    Sementara itu, militer Israel mengatakan pihaknya “mengetahui laporan mengenai seorang warga sipil Palestina yang tewas dan sejumlah warga Palestina yang terluka akibat konfrontasi tersebut, dan mereka sedang diselidiki oleh ISA [Badan Keamanan Israel] dan Kepolisian Israel.”

    Keluarga Korban Desak Penyelidikan

    Lebih lanjut, pihak keluarga Musallet menuntut Departemen Luar Negeri AS untuk memimpin penyelidikan atas insiden tersebut.

    “Kami menuntut keadilan,” tambah pihak keluarga Musallet.

    Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada CNN bahwa mereka mengetahui laporan kematian seorang warga Amerika di Tepi Barat, tanpa menyebutkan namanya.

    Musallet menjalankan bisnis di Tampa dan telah berada di Tepi Barat sejak 4 Juni untuk mengunjungi keluarga dan teman, demikian pernyataan keluarga tersebut.

    Selain itu, serangan Israel di Sinjel juga menewaskan pria Palestina. Pria tersebut tewas setelah ditembak di dada oleh para pemukim, kata Kementerian Kesehatan Palestina. Sepuluh orang lainnya terluka dalam serangan yang sama, tambahnya.

    Pemerintah kota mengatakan di media sosial pada Jumat bahwa para pemukim juga telah menyerang sebuah ambulans saat paramedis sedang bekerja di dekat Sinjel.

    Dalam sebuah video yang menyertai unggahan tersebut, yang telah digeografiskan CNN di pinggiran Sinjel, sebuah ambulans terlihat dengan kaca depan dan jendela belakang yang pecah.

    Menyusul serangan tersebut, Kementerian Luar Negeri Palestina mengkritik apa yang disebutnya sebagai perluasan proyek permukiman Israel di wilayah pendudukan dan menyerukan tindakan segera untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kekerasan pemukim.

    (yld/idn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tangis Korban PHK Massal Lebih dari Seribu Pegawai di AS

    Tangis Korban PHK Massal Lebih dari Seribu Pegawai di AS

    Jakarta
    Lebih dari 1.300 pegawai Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS) dipecat. Haru dan isak tangis mengiringi pegawai yang meninggalkan kantor Deplu, di Washington.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (12/7/2025), para diplomat dan staf lainnya bertepuk tangan untuk rekan-rekan mereka yang akan pergi dalam suasana emosional di kantor pusat departemen di Washington, yang menjalankan kebijakan luar negeri AS dan jaringan kedutaan global.

    Beberapa terlihat menangis saat mereka keluar sambil membawa kotak-kotak berisi barang-barang mereka.

    Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan 1.107 anggota pegawai negeri sipil dan 246 pegawai diplomatik Dinas Luar Negeri diberhentikan.

    Menurut media The Washington Post, para pegawai Departemen Luar Negeri diberitahu tentang pemecatan mereka melalui email.

    Pada Jumat (11/7) Presiden AS Donald Trump telah memerintahkan perampingan di tubuh Deplu. PHK di departemen tersebut terjadi tiga hari setelah Mahkamah Agung membuka jalan bagi pemerintahan Trump untuk mulai melaksanakan rencananya untuk merombak seluruh departemen-departemen pemerintah.

    Mahkamah Agung, yang didominasi kaum konservatif, mencabut pemblokiran sementara yang diberlakukan oleh pengadilan yang lebih rendah terhadap rencana Trump untuk memberhentikan puluhan ribu pegawai.

    Sejak menjabat pada bulan Januari, Trump telah bekerja cepat untuk menempatkan para loyalis yang gigih dan memecat sejumlah besar pegawai pemerintah veteran.

    Pengurangan Pegawai Hingga 15 Persen

    Banjir Air Mata di Washington, Ribuan Pegawai Kemlu AS Dipecat Trump (REUTERS/ANNABELLE GORDON)

    Trump, sejak kembali ke Gedung Putih pada akhir Januari lalu, telah menjadikan pengurangan tenaga kerja federal AS sebagai salah satu prioritas utamanya. Dia melakukan pemangkasan drastis terhadap lapangan pekerjaan dan pengeluaran melalui Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE), yang sebelumnya dipimpin oleh mantan penasihat dekatnya, Elon Musk.

    Menteri Luar Negerinya, Marco Rubio, mengatakan departemen kebijakan luar negeri terlalu rumit dan perlu dikurangi sekitar 15 persen.

    Asosiasi Layanan Luar Negeri Amerika (AFSA) — serikat pekerja yang mewakili pegawai Departemen Luar Negeri — mengecam “pukulan telak bagi kepentingan nasional kita.”

    “Di tengah ketidakstabilan global yang hebat — dengan perang yang berkecamuk di Ukraina, konflik antara Israel dan Iran, dan rezim-rezim otoriter yang menguji batas-batas tatanan internasional — Amerika Serikat telah memilih untuk memangkas tenaga kerja diplomatik garda terdepannya,” kata AFSA dalam sebuah pernyataan.

    “Kami menentang keputusan ini dengan sekeras-kerasnya.”

    Menurut laporan resmi, Departemen Luar Negeri AS mempekerjakan lebih dari 80.000 orang di seluruh dunia tahun lalu, dengan sekitar 17.700 di antaranya bekerja di dalam negeri.

    Halaman 2 dari 2

    (aik/aik)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Junta Myanmar Puji-puji Trump Usai Turunkan Tarif Impor

    Junta Myanmar Puji-puji Trump Usai Turunkan Tarif Impor

    Jakarta

    Pemimpin junta militer Myanmar memuji Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan memintanya untuk mencabut sanksi-sanksi. Ini disampaikan Jenderal Min Aung Hlaing pada hari Jumat (11/7) setelah surat tarif impor dari Trump, yang diyakini sebagai pengakuan publik pertama Washington atas pemerintahan junta militernya.

    Diketahui bahwa militer Myanmar menggulingkan pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi pada tahun 2021, menjerumuskan negara itu ke dalam perang saudara.

    Sejak itu, Departemen Luar Negeri AS telah memberikan sanksi kepada pemimpin junta dan lainnya karena menggunakan “kekerasan dan teror untuk menindas” rakyat Myanmar dan “meniadakan hak mereka untuk bebas memilih pemimpin mereka sendiri”.

    Para diplomat AS tidak secara resmi terlibat dengan junta militer. Namun, Trump mengirim surat kepada Min Aung Hlaing secara langsung pada hari Senin lalu, yang memberi tahunya bahwa AS akan mengenakan tarif 40 persen mulai 1 Agustus, turun dari ancaman tarif 44 persen sebelumnya.

    “Ini tentu saja indikasi publik pertama yang saya lihat tentang pengakuan AS terhadap MAH (Min Aung Hlaing) dan junta,” kata Richard Horsey dari International Crisis Group.

    Komunikasi pribadi apa pun sebelumnya “hampir pasti bukan dari Trump tentunya”, ujarnya kepada AFP.

    Min Aung Hlaing menanggapi surat tarif Trump dengan menulis surat yang dirilis dalam bahasa Myanmar dan Inggris oleh tim informasi junta pada hari Jumat (11/7).

    Di dalam surat itu, ia menyatakan “penghargaan yang tulus” atas surat Trump dan memuji “kepemimpinan kuat presiden AS tersebut dalam membimbing negara Anda menuju kemakmuran nasional”.

    Ia berusaha membenarkan perebutan kekuasaan oleh militer Myanmar, dengan mengatakan: “Serupa dengan tantangan yang Anda hadapi selama pemilu Amerika Serikat tahun 2020, Myanmar juga mengalami kecurangan pemilu yang besar dan penyimpangan yang signifikan.”

    Media-media yang didanai pemerintah AS, Voice of America maupun Radio Free Asia telah menutup operasi mereka yang berbahasa Myanmar sejak pemerintahan Trump memotong pendanaan mereka.

    Min Aung Hlaing mengatakan ia “sangat menghargai” langkah Trump tersebut.

    Min Aung Hlaing pun meminta Trump untuk “mempertimbangkan kembali pelonggaran dan pencabutan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Myanmar”, dan mengupayakan tarif sebesar 10-20 persen.

    Ia berterima kasih kepada Trump atas “undangan yang menggembirakan untuk terus berpartisipasi dalam perekonomian Amerika Serikat yang luar biasa, Pasar Nomor Satu di Dunia”.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • PHK Massal Deplu AS Segera Dimulai!

    PHK Massal Deplu AS Segera Dimulai!

    Washington DC

    Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS) mengatakan pihaknya akan “segera” menerapkan rencana pengurangan tenaga kerjanya, setelah Mahkamah Agung memberikan lampu hijau untuk PHK massal yang diajukan oleh Presiden Donald Trump.

    “Pada Mei, menteri telah meninjau dan menyetujui rencana matang yang diajukan oleh biro-biro, termasuk pengurangan tenaga kerja domestik yang ditargetkan,” kata Wakil Menteri Luar AS untuk Manajemen dan Sumber Daya, Michael Rigas, dalam pernyataannya seperti dilansir AFP, Jumat (11/7/2025).

    “Dalam waktu dekat, departemen akan berkomunikasi dengan individu-individu yang terdampak oleh pengurangan tenaga kerja ini,” ujar Rigas.

    Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, yang enggan disebut namanya, mengatakan kepada wartawan bahwa pemberitahuan melalui email akan dikirimkan “dalam satu hari”.

    Pengumuman Departemen Luar Negeri AS ini disampaikan dua hari setelah Mahkamah Agung mencabut pemblokiran yang diberlakukan oleh pengadilan yang lebih rendah terhadap rencana Trump untuk potensi pemberhentian puluhan ribu pegawai pemerintah.

    Rigas tidak menyebutkan secara detail soal jumlah pegawai yang akan diberhentikan. Namun ketika ditanya bagaimana perbandingannya dengan angka 1.800 pegawai yang tercantum dalam pemberitahuan kepada Kongres AS awal tahun ini, dia mengatakan: “Saya rasa angkanya cukup mendekati.”

    Disebutkan juga bahwa hanya para personel di wilayah AS yang akan terdampak dan saat ini tidak ada rencana untuk memangkas jumlah personel di luar negeri.

    Departemen Luar Negeri AS, berdasarkan lembar fakta, mempekerjakan lebih dari 80.000 pegawai di seluruh dunia tahun lalu, dengan sekitar 17.700 pegawai di antaranya bekerja di dalam negeri

    Pada akhir April lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan restrukturisasi besar-besaran dalam departemennya, dengan membagikan sebuah artikel di media sosial X yang membahas soal rencana pemangkasan hingga 15 persen staf.

    Trump, sejak kembali ke Gedung Putih pada akhir Januari lalu, telah menjadikan pengurangan tenaga kerja federal AS sebagai salah satu prioritas utamanya. Dia melakukan pemangkasan drastis terhadap lapangan pekerjaan dan pengeluaran melalui Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE), yang sebelumnya dipimpin oleh mantan penasihat dekatnya, Elon Musk.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini