Kementrian Lembaga: Departemen Luar Negeri AS

  • Tembakkan Senapan Angin Dekat Sinagoge, Profesor Harvard Ditangkap

    Tembakkan Senapan Angin Dekat Sinagoge, Profesor Harvard Ditangkap

    Massachussetts

    Otoritas imigrasi Amerika Serikat (AS) menangkap seorang profesor tamu yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Harvard. Dia mengaku bersalah telah melepaskan tembakan dengan senapan angin di luar sebuah sinagoge di Massachusetts sehari sebelum hari raya Yahudi, Yom Kippur.

    Carlos Portugal Gouvea, yang seorang warga negara Brasil, seperti dilansir Reuters, Jumat (5/12/2025), ditangkap oleh Otoritas Imigrasi dan Bea Cukai AS pada Rabu (3/12) waktu setempat, setelah visa non-imigran sementaranya dicabut oleh Departemen Luar Negeri AS.

    Pemerintahan Presiden Donald Trump menyebut kasus yang menjerat Gouvea sebagai “insiden penembakan anti-Semitisme” — penggambaran yang bertentangan dengan bagaimana otoritas lokal di Massachusetts menggambarkan insiden tersebut.

    Gouvea merupakan seorang associate professor pada Fakultas Hukum Universitas Sao Paulo, yang juga mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Harvard selama semester musim gugur.

    Kepolisian di Brookline, Massachussetts, menangkap Gouvea pada 1 Oktober lalu setelah menanggapi laporan tentang seseorang yang membawa senjata api di dekat Temple Beth Zion pada malam menjelang Yom Kippur.

    Dalam keterangannya kepada kepolisian setempat, Gouvea mengatakan dirinya menggunakan senapan angin untuk berburu tikus di dekat lokasi kejadian.

    Bulan lalu, dia setuju untuk mengaku bersalah atas dakwaan menembakkan senapan angin secara ilegal dan menjalani masa percobaan praperadilan selama enam bulan. Beberapa dakwaan lainnya yang dihadapinya, seperti mengganggu ketertiban umum, perilaku tidak tertib, dan merusak properti, telah dibatalkan sebagai bagian dari kesepakatan pembelaan.

    Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, dalam pernyataan pada Kamis (4/12) waktu setempat, menyebut Gouvea telah setuju untuk meninggalkan AS menyusul kasus yang menjeratnya tersebut.

    Sejauh ini, belum ada pernyataan langsung dari Gouvea terkait penangkapannya. Sementara pihak Harvard, yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, menolak berkomentar.

    Terlepas dari klaim pemerintahan Trump, pihak Temple Beth Zion sebelumnya telah memberitahu para anggota komunitasnya bahwa insiden tersebut tampaknya tidak dipicu oleh antisemitisme. Pandangan yang sama juga diyakini oleh Departemen Kepolisian Brookline, yang menyelidiki insiden tersebut.

    Temple Beth Zion mengatakan bahwa pihak kepolisian memberitahu mereka jika Gouvea “tidak menyadari bahwa dia tinggal di sebelah, dan menembakkan senapan BB-nya di sebelah, sebuah sinagoge atau bahwa itu adalah hari raya keagamaan”.

    Penangkapan Gouvea ini terjadi ketika pemerintahan Trump mendesak Harvard untuk mencapai kesepakatan guna mengakhiri serangkaian tuduhan yang dilontarkan terhadap universitas tertua di AS tersebut, termasuk bahwa Harvard tidak berbuat cukup banyak untuk memerangi antisemitisme dan melindungi mahasiswa Yahudi di kampusnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • AS Akan Jual Ribuan Bom Senilai Rp 44 T ke Kanada

    AS Akan Jual Ribuan Bom Senilai Rp 44 T ke Kanada

    Washington DC

    Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan bom senilai US$ 2,68 miliar (setara Rp 44,6 triliun) kepada Kanada. Kesepakatan ini dicapai saat Perdana Menteri (PM) Kanada, Mark Carney, sedang meningkatkan anggaran pertahanan secara drastis di tengah ketidakpastian hubungan dengan Washington.

    Departemen Luar Negeri AS, seperti dilansir AFP, Jumat (5/12/2025), mengumumkan persetujuan Washington untuk kesepakatan penjualan bom kepada Ottawa itu pada Kamis (4/12) waktu setempat.

    Disebutkan oleh Departemen Luar Negeri AS bahwa senjata serangan udara itu akan mencakup 3.414 unit bom BLU-111, masing-masing berbobot 226 kilogram, yang mampu menghantam formasi pasukan militer, dan mencakup 3.108 unit bom GBU-39 yang dirancang untuk menghantam target dengan akurat.

    Paket senjata untuk Kanada itu juga mencakup lebih dari 5.000 kit JDAM untuk mengubah bom tak berpemandu menjadi amunisi berpemandu.

    “Penjualan ini akan meningkatkan kemampuan pertahanan Kanada yang kredibel untuk mencegah agresi di kawasan, memastikan interoperabilitas dengan pasukan AS, dan memperkuat kemampuan Kanada untuk berkontribusi pada pertahanan benua bersama,” demikian pernyataan Departemen Luar Negeri dalam pemberitahuan soal penjualan senjata itu kepada Kongres AS.

    PM Carney mengatakan pada Agustus lalu bahwa Kanada pada tahun ini akan memenuhi target NATO untuk membelanjakan dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pertahanan, beberapa tahun lebih cepat dari jadwal.

    Dia menyoroti meningkatnya ketidakpastian tentang peran AS, negara tetangga Kanada dan penjamin keamanan jangka panjang di bawah NATO, serta prospek agresi Rusia di kawasan Arktik.

    Presiden AS Donald Trump telah berulang kali mempertanyakan kebijaksanaan NATO, menuduh sekutu-sekutu NATO terlalu bergantung pada AS sementara tidak memikul beban mereka sendiri.

    Trump sering meremehkan Kanada, terutama sebelum PM Carney menggantikan Justin Trudeau sebagai PM, dengan mengatakan bahwa Kanada seharusnya menjadi negara bagian ke-51 AS.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Cabut Perlindungan Sementara Imigran Myanmar di AS

    Trump Cabut Perlindungan Sementara Imigran Myanmar di AS

    Jakarta

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakhiri perlindungan sementara bagi imigran Myanmar di negaranya. Kenapa?

    Dilansir AFP, Selasa (25/11/2025), ada sekitar 4.000 orang dari Myanmar telah tinggal di Amerika Serikat (AS) di bawah Status Perlindungan Sementara (TPS). Diketahui, TPS melindungi pemegangnya dari deportasi dan memungkinkan mereka untuk bekerja.

    TPS diberikan kepada orang-orang yang dianggap berada dalam bahaya jika mereka kembali ke negara asal mereka, karena perang, bencana alam, atau keadaan luar biasa lainnya.

    Donald Trump baru-baru ini mengeluarkan kebijakan imigrasinya secara menyeluruh. Dia memerintahkan penghapusan TPS bagi warga negara dari Afghanistan, Kamerun, Haiti, Honduras, Nepal, Nikaragua, Suriah, Sudan Selatan, dan Venezuela.

    Trump mengumumkan pada hari Jumat bahwa ia juga akan mencabut TPS bagi warga negara Somalia.

    TPS diperluas untuk warga negara Myanmar setelah kudeta militer tahun 2021. Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, mengatakan keputusan untuk mencabutnya dibuat setelah meninjau kondisi di negara tersebut.

    Myanmar terus menghadapi “tantangan kemanusiaan yang sebagian disebabkan oleh operasi militer yang berkelanjutan melawan perlawanan bersenjata,” kata Noem.

    Namun, katanya, telah terjadi perbaikan dalam “tata kelola dan stabilitas di tingkat nasional dan lokal.”

    Namun, tambahnya, telah terjadi perbaikan dalam “tata kelola dan stabilitas di tingkat nasional dan lokal.”

    Noem mengungkapkan alasan pencabutan TPS ini karena menganggap sudah ada pencabutan status darurat pada Juli lalu di Myanmar. Dia juga mengatakan bahwa akan “ada pemilu yang bebas dan adil” pada Desember mendatang di Myanmar.

    Dikritik LSM

    Langkah pencabutan TPS ini menuai kritik dari organisasi advokasi non-pemerintah seperti Human Rights Watch (HRW). Dia menilai pencabutan ini akan mempersulit warga Myanmar.

    “Kesalahan pernyataan Keamanan Dalam Negeri dalam mencabut TPS bagi warga Myanmar sangat parah sehingga sulit membayangkan siapa yang akan mempercayainya,” ujar Direktur Advokasi HRW Asia, John Sifton, dalam sebuah pernyataan.

    Kelompok tersebut mencatat bahwa “status darurat Myanmar yang seharusnya dicabut pada bulan Juli langsung digantikan dengan status darurat dan darurat militer baru di sejumlah kota di sembilan negara bagian dan wilayah.”

    Menurut, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, mengatakan “sulit dipercaya” jika Myanmar untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil dalam situasi saat ini.

    “Bagaimana mungkin ada yang bilang mereka bebas dan adil,” kata Turk dalam wawancara baru-baru ini dengan AFP.

    “Dan bagaimana mungkin mereka bisa melakukannya ketika sebagian besar wilayah negara sebenarnya tidak berada di bawah kendali siapa pun, sementara militer terlibat dalam konflik dan telah menekan penduduknya selama bertahun-tahun?” tambahnya.

    Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyatakan bahwa pemilu tersebut tidak sah, dengan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi digulingkan dan dipenjara dalam kudeta tersebut, dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpinnya dibubarkan.

    Junta militer merebut kekuasaan dengan klaim kecurangan yang tidak berdasar dalam pemilu 2020 yang dimenangkan NLD secara telak.

    Perang saudara yang melibatkan banyak pihak telah melanda Myanmar sejak saat itu, dengan junta militer kehilangan sebagian besar wilayah negara itu akibat gerilyawan pro-demokrasi dan faksi-faksi bersenjata etnis minoritas yang kuat.

    Terkait hal itu, Departemen Luar Negeri AS saat ini menyarankan warga Amerika tidak bepergian ke Myanmar karena “konflik bersenjata, potensi kerusuhan sipil”, dan “penahanan yang salah”.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Lagi-lagi Trump Kecewa ke Putin, Buntut Tak Mau Akhiri Perang”
    [Gambas:Video 20detik]
    (zap/azh)

  • Trump Perintahkan Deplu AS Tolak Pemohon Visa yang Obesitas-Diabetes

    Trump Perintahkan Deplu AS Tolak Pemohon Visa yang Obesitas-Diabetes

    Jakarta

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS untuk menolak visa bagi warga negara asing karena alasan usia dan kondisi kesehatan seperti diabetes dan obesitas. Menurut Washington, para pemohon tersebut memiliki kemungkinan tinggi menjadi “beban publik” karena masalah kesehatan mereka.

    Dalam beberapa bulan terakhir, rencana untuk mencegah lebih banyak warga negara asing datang ke AS telah mencakup jaminan hingga US$15.000 untuk pelancong dari negara tertentu, biaya US$100.000 untuk pekerja visa H-1B, dan penolakan visa berdasarkan temuan “pandangan anti-Amerika”.

    Panduan baru ini, yang akan diterapkan mulai Januari 2026, dipublikasikan dalam surat kawat yang dikirim oleh Departemen Luar Negeri AS kepada pejabat kedutaan dan konsulat di seluruh dunia pada awal November lalu. Dilansir Politico, Sabtu (15/11/2025), aturan baru ini mewajibkan kesehatan imigran dan kondisi medis tertentu — termasuk penyakit kardiovaskular dan pernapasan, kanker, diabetes, penyakit metabolik dan neurologis, serta gangguan mental — untuk dipertimbangkan, karena kondisi-kondisi ini mungkin memerlukan perawatan medis senilai ratusan ribu dolar.

    Imigran yang mengajukan visa untuk tinggal permanen di Amerika Serikat harus menjalani pemeriksaan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang disetujui pemerintah. Semua pemohon visa akan dites untuk penyakit menular, seperti TBC, dan diwajibkan untuk mengisi formulir tentang riwayat penggunaan narkoba atau alkohol, masalah kesehatan mental, atau kekerasan. Mereka juga harus menunjukkan apakah mereka telah menerima vaksinasi untuk melindungi dari penyakit menular seperti campak, polio, dan hepatitis B.

    Arahan baru ini tidak hanya memperluas daftar kondisi medis yang perlu dipertimbangkan secara signifikan, tetapi juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada petugas imigrasi untuk menerima atau menolak visa hanya berdasarkan status kesehatan pemohon dan kemampuan mereka untuk membayar perawatan medis tanpa bantuan pemerintah.

    “Apakah pemohon memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk menutupi biaya perawatan tersebut selama masa hidupnya tanpa mencari bantuan tunai publik atau perawatan jangka panjang dengan biaya pemerintah?” demikian isi surat kawat tersebut.

    Arahan tersebut juga mengimbau para pejabat untuk mempertimbangkan kesehatan keluarga pemohon, termasuk anak-anak atau orang tua lanjut usia.

    “Apakah ada tanggungan yang memiliki disabilitas, kondisi medis kronis, atau kebutuhan khusus lainnya dan memerlukan perawatan sehingga pemohon tidak dapat mempertahankan pekerjaannya?” adalah pertanyaan lain yang disertakan dalam surat kawat tersebut.

    Dilaporkan bahwa sekitar 10% populasi dunia menderita diabetes, dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Dalam konteks ini, langkah Washington ini akan menghambat kedatangan lebih banyak imigran ke Amerika Serikat.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Hamas Diam-diam Perluas Kendali Atas Gaza Saat Gencatan Senjata

    Hamas Diam-diam Perluas Kendali Atas Gaza Saat Gencatan Senjata

    Gaza City

    Kelompok Hamas sedang berupaya memperluas kendali mereka atas Jalur Gaza, saat upaya mewujudkan rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk masa depan daerah kantong Palestina itu mengalami penundaan untuk terwujud.

    Informasi terbaru ini, seperti dilansir Reuters, Jumat (14/11/2025), didapatkan dari belasan warga Gaza yang berbicara kepada kantor berita Reuters. Hal ini semakin menambah keraguan soal apakah Hamas sungguh-sungguh akan menyerahkan kekuasaan atas Gaza seperti yang mereka janjikan sebelumnya.

    Penuturan sejumlah warga Gaza menyebut Hamas mulai mengatur harga barang, mencakup harga ayam, hingga mengenakan pajak untuk rokok.

    Setelah gencatan senjata Gaza dimulai 10 Oktober lalu, Hamas dengan cepat membangun kembali kekuasaannya atas wilayah-wilayah yang ditinggalkan pasukan militer Israel. Mereka menewaskan puluhan warga Palestina yang dituduh bersekongkol dengan Israel, melakukan pencurian, atau kejahatan lainnya.

    Kekuatan asing menuntut Hamas melucuti senjata mereka dan meninggalkan kekuasaan, namun kelompok yang didukung Iran ini belum menyepakati siapa yang akan menggantikan mereka memerintah Gaza.

    Kini, belasan warga Gaza mengakui bahwa mereka semakin merasakan kendali Hamas dalam banyak hal. Disebutkan bahwa otoritas Hamas memantau segala sesuatu yang masuk ke Jalur Gaza, mengenakan pajak pada beberapa barang impor swasta, termasuk bahan bakar serta rokok, dan menjatuhkan denda kepada para pedagang yang dianggap menetapkan harga terlalu tinggi.

    Informasi itu diungkapkan oleh 10 warga Gaza, dengan tiga orang di antaranya merupakan pedagang yang merasakan langsung situasi tersebut.

    Kepala kantor media pemerintahan Hamas, Ismail Al-Tawabta, dalam tanggapannya menyebut laporan soal kelompoknya mengenakan pajak rokok dan bahan bakar tidaklah akurat. Dia membantah pemerintah Hamas menaikkan pajak.

    Dijelaskan Al-Tawabta bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan administratif yang mendesak, sembari melakukan “upaya keras” untuk mengendalikan harga. Dia kembali menegaskan kesiapan Hamas untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan teknokratis baru.

    Al-Tawabta mengatakan bahwa pihaknya hanya bermaksud menghindari kekacauan di Jalur Gaza. “Tujuan kami adalah agar transisi berjalan lancar,” ucapnya.

    Rencana perdamaian Gaza yang diusulkan Trump menyerukan pembentukan otoritas transisi, pengerahan pasukan keamanan multinasional, perlucutan senjata Hamas, dan dimulainya rekonstruksi di daerah kantong Palestina yang hancur akibat perang tersebut.

    Ketika diminta komentar mengenai laporan soal upaya Hamas memperluas kendali atas Jalur Gaza tersebut, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan: “Inilah mengapa Hamas tidak bisa dan tidak akan memerintah di Gaza.”

    Pemerintahan baru di Jalur Gaza, sebut juru bicara Departemen Luar Negeri AS, dapat dibentuk setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui rencana Trump.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Presiden Suriah Akan Bertemu Trump di Gedung Putih, Bahas Apa?

    Presiden Suriah Akan Bertemu Trump di Gedung Putih, Bahas Apa?

    Washington DC

    Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa akan melakukan pertemuan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Gedung Putih pada Senin (10/11) waktu setempat. Pertemuan ini dilakukan setelah Washington menghapus nama Al-Sharaa dari daftar sanksi AS.

    Al-Sharaa, yang memimpin pasukan oposisi Suriah dalam menggulingkan penguasa lama Bashar al-Assad akhir tahun lalu, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (10/11/2025), akan menjadi pemimpin Suriah pertama yang mengunjungi Gedung Putih sejak negara itu merdeka tahun 1946 silam.

    Direktur program AS pada International Crisis Group, Michael Hanna, menyebut kunjungan Al-Sharaa ke Gedung Putih sebagai “momen yang sangat simbolis bagi pemimpin baru negara tersebut”.

    Al-Sharaa telah bertemu Trump untuk pertama kalinya di Arab Saudi ketika sang Presiden AS itu melakukan kunjungan regional pada Mei lalu.

    Setelah tiba di Washington DC pada Sabtu (8/11) waktu setempat, Al-Sharaa selama akhir pekan melakukan pertemuan dengan Kepala IMF Kristalina Georgieva membahas kemungkinan bantuan untuk Suriah yang belasan tahun dilanda perang. Dia juga bertemu dengan perwakilan berbagai organisasi Suriah di AS.

    Utusan AS untuk Suriah, Tom Barrack, mengatakan pada awal bulan ini bahwa Al-Sharaa mungkin akan menandatangani perjanjian pada Senin (10/11) untuk bergabung dengan aliansi internasional yang dipimpin AS dalam melawan kelompok radikal Islamic State (ISIS).

    AS berencana mendirikan pangkalan militer di dekat ibu kota Damaskus, yang menurut seorang sumber diplomatik di Suriah, bertujuan “untuk mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan dan memantau perkembangan antara Suriah dan Israel”.

    Sementara itu, keputusan Departemen Luar Negeri AS pada Jumat (7/11) untuk menghapus nama Al-Sharaa dari daftar hitam sanksi AS sudah diperkirakan secara luas. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, menyebut pemerintah Al-Sharaa telah memenuhi tuntutan AS untuk berupaya menemukan warga Amerika yang hilang dan memusnahkan senjata kimia yang tersisa.

    Kunjungan Al-Sharaa ke Washington DC ini dilakukan setelah pada September lalu, dia mengunjungi markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Itu menjadi kunjungan pertamanya ke AS, di mana dia juga menjadi Presiden Suriah pertama dalam beberapa dekade terakhir yang berpidato di hadapan Majelis Umum PBB.

    Pekan lalu, Washington memimpin digelarnya voting oleh Dewan Keamanan PBB untuk mencabut sanksi-sanksi PBB terhadapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kunjungan Bersejarah Presiden Suriah Usai Dihapus dari Daftar Hitam AS

    Kunjungan Bersejarah Presiden Suriah Usai Dihapus dari Daftar Hitam AS

    Washington DC

    Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa akan melakukan kunjungan bersejarah dengan bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Gedung Putih. Kunjungan dilakukan Sharaa sehari setelah AS menghapusnya dari daftar hitam terorisme.

    Dilansir AFP, Minggu (9/11/2025), Sharaa, yang pasukan pemberontaknya menggulingkan penguasa lama Bashar al-Assad akhir tahun lalu, dijadwalkan bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada Senin (10/11) waktu setempat.

    Kunjungan ini merupakan yang pertama kali dilakukan presiden Suriah ke AS sejak negara itu merdeka pada tahun 1946. Pemimpin sementara Suriah itu sebenarnya telah bertemu Trump di Riyadh, Arab Saudi, pada Mei lalu.

    Utusan AS untuk Suriah, Tom Barrack, mengatakan Sharaa ‘diharapkan’ akan menandatangani perjanjian untuk bergabung dengan aliansi internasional pimpinan AS melawan ISIS. AS juga berencana membangun pangkalan militer di dekat Damaskus ‘untuk mengoordinasikan bantuan kemanusiaan dan memantau perkembangan antara Suriah dan Israel’.

    Keputusan Departemen Luar Negeri AS pada Jumat (7/11) untuk menghapus Sharaa dari daftar hitam sudah diperkirakan secara luas. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, mengatakan pemerintahan Sharaa telah memenuhi tuntutan AS, termasuk berupaya menemukan warga AS yang hilang dan memusnahkan senjata kimia yang tersisa.

    “Tindakan ini diambil sebagai pengakuan atas kemajuan yang ditunjukkan oleh kepemimpinan Suriah setelah kepergian Bashar al-Assad dan lebih dari 50 tahun penindasan di bawah rezim Assad,” kata Pigott.

    Juru bicara tersebut menambahkan penghapusan daftar hitam oleh AS akan mendorong ‘keamanan dan stabilitas regional serta proses politik yang inklusif, dipimpin dan dimiliki oleh Suriah’. Kunjungan Sharaa ke Washington dilakukan setelah kunjungan bersejarahnya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September lalu.

    Kunjungan itu merupakan kunjungan pertamanya ke tanah AS. Sharaa juga presiden Suriah pertama dalam beberapa dekade yang berpidato di hadapan Majelis Umum PBB di New York.

    Pada Kamis (6/11), Washington memimpin pemungutan suara oleh Dewan Keamanan untuk mencabut sanksi PBB terhadapnya. Kelompok Sharaa, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dulunya berafiliasi dengan Al-Qaeda juga telah dihapus dari daftar kelompok teroris oleh Washington pada bulan Juli.

    Sejak berkuasa, para pemimpin baru Suriah berupaya melepaskan diri dari masa lalu mereka yang penuh kekerasan. Mereka berupaya menampilkan citra moderat yang lebih dapat ditoleransi oleh rakyat Suriah dan kekuatan asing.

    “Kunjungan ke Gedung Putih merupakan bukti lebih lanjut atas komitmen AS terhadap Suriah yang baru dan momen yang sangat simbolis bagi pemimpin baru negara tersebut, yang dengan demikian menandai langkah selanjutnya dalam transformasinya yang menakjubkan dari pemimpin militan menjadi negarawan global,” ujar Direktur Program AS International Crisis Group, Michael Hanna.

    Sharaa diprediksi akan mencari dana untuk pembangunan ulang Suriah setelah 13 tahun perang saudara yang brutal. Pada Oktober lalu, Bank Dunia menetapkan ‘perkiraan terbaik konservatif’ untuk biaya pembangunan kembali Suriah sebesar USD 216 miliar.

    Lihat juga Video ‘Ancaman Trump ke Nigeria: Setop Bantuan hingga Operasi Militer’:

    Halaman 2 dari 3

    (haf/rfs)

  • Presiden Suriah Bakal Lakukan Pertemuan Bersejarah dengan Trump di AS

    Presiden Suriah Bakal Lakukan Pertemuan Bersejarah dengan Trump di AS

    Washington DC

    Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa tiba di Amerika Serikat (AS) untuk kunjungan resmi bersejarah. Hal itu dilakukan Sharaa sehari setelah Washington menghapusnya dari daftar hitam terorisme.

    Dilansir AFP, Minggu (9/11/2025), Sharaa, yang pasukan pemberontaknya menggulingkan penguasa lama Bashar al-Assad akhir tahun lalu, dijadwalkan bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada Senin (10/11) waktu setempat.

    Ini adalah kunjungan pertama presiden Suriah ke AS sejak negara itu merdeka pada tahun 1946. Pemimpin sementara Suriha tersebut telah bertemu Trump pertama kalinya di Riyadh, Arab Saudi, selama kunjungan regional Presiden AS pada Mei lalu.

    Utusan AS untuk Suriah, Tom Barrack, mengatakan bahwa Sharaa ‘diharapkan’ akan menandatangani perjanjian untuk bergabung dengan aliansi internasional pimpinan AS melawan ISIS. AS juga berencana membangun pangkalan militer di dekat Damaskus ‘untuk mengoordinasikan bantuan kemanusiaan dan memantau perkembangan antara Suriah dan Israel’.

    Keputusan Departemen Luar Negeri AS pada Jumat (7/11) untuk menghapus Sharaa dari daftar hitam sudah diperkirakan secara luas. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Tommy Pigott, mengatakan pemerintahan Sharaa telah memenuhi tuntutan AS, termasuk berupaya menemukan warga Amerika yang hilang dan memusnahkan senjata kimia yang tersisa.

    “Tindakan ini diambil sebagai pengakuan atas kemajuan yang ditunjukkan oleh kepemimpinan Suriah setelah kepergian Bashar al-Assad dan lebih dari 50 tahun penindasan di bawah rezim Assad,” kata Pigott.

    Juru bicara tersebut menambahkan penghapusan daftar hitam oleh AS akan mendorong ‘keamanan dan stabilitas regional serta proses politik yang inklusif, dipimpin dan dimiliki oleh Suriah’. Kunjungan Sharaa ke Washington dilakukan setelah kunjungan bersejarahnya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September lalu.

    Kunjungan itu merupakan kunjungan pertamanya ke tanah AS. Sharaa juga presiden Suriah pertama dalam beberapa dekade yang berpidato di hadapan Majelis Umum PBB di New York.

    Pada Kamis (6/11), Washington memimpin pemungutan suara oleh Dewan Keamanan untuk mencabut sanksi PBB terhadapnya. Kelompok Sharaa, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dulunya berafiliasi dengan Al-Qaeda juga telah dihapus dari daftar kelompok teroris oleh Washington pada bulan Juli.

    Sejak berkuasa, para pemimpin baru Suriah telah berusaha melepaskan diri dari masa lalu mereka yang penuh kekerasan dan menampilkan citra moderat yang lebih dapat ditoleransi oleh rakyat Suriah dan kekuatan asing.

    “Kunjungan ke Gedung Putih merupakan bukti lebih lanjut atas komitmen AS terhadap Suriah yang baru dan momen yang sangat simbolis bagi pemimpin baru negara tersebut, yang dengan demikian menandai langkah selanjutnya dalam transformasinya yang menakjubkan dari pemimpin militan menjadi negarawan global,” ujar Direktur Program AS International Crisis Group, Michael Hanna.

    Sharaa diperkirakan akan mencari dana untuk Suriah, yang menghadapi tantangan signifikan dalam pembangunan kembali setelah 13 tahun perang saudara yang brutal. Pada bulan Oktober, Bank Dunia menetapkan ‘perkiraan terbaik konservatif’ untuk biaya pembangunan kembali Suriah sebesar USD 216 miliar.

    Lihat juga Video ‘Presiden Suriah soal Trump Akan Cabut Sanksi: Keputusan Bersejarah!’:

    Halaman 2 dari 2

    (haf/imk)

  • Perang Sudan, Milisi RSF Terima Tawaran Gencatan Senjata

    Perang Sudan, Milisi RSF Terima Tawaran Gencatan Senjata

    Jakarta

    Pasukan Dukungan Cepat atau RSF, Kamis (6/11) kemarin, menyatakan menerima usulan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan yang dimediasi kelompok “Quad” pimpinan Amerika Serikat. Kelompok paramiliter yang dituduh membantai warga sipil di Darfur itu sudah lebih dari dua tahun berperang melawan militer Sudan.

    Gencatan senjata disepakati lebih dari sepekan setelah RSF merebut kota El-Fasher, yang sebelumnya dikepung selama 18 bulan. Kota yang usai pengungsian massal berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa itu merupakan benteng terakhir militer Sudan di Darfur.

    “RSF menantikan pelaksanaan kesepakatan ini dan segera memulai pembahasan tentang penghentian aksi permusuhan serta prinsip-prinsip dasar proses politik di Sudan, demi mengatasi akar konflik dan mengakhiri penderitaan rakyat Sudan,” demikian pernyataan resmi RSF.

    Seorang pejabat militer Sudan mengatakan kepada Associated Press bahwa pihaknya menyambut baik usulan Quad, namun baru akan menyetujui gencatan senjata bila RSF menarik diri sepenuhnya dari area sipil dan menyerahkan senjata, sesuai perjanjian damai sebelumnya.

    Jutaan warga hadapi kelaparan dan pengungsian

    Perang antara RSF dan militer Sudan pecah pada 2023. Ketegangan itu bermula dari perselisihan dua sekutu lama yang semestinya mengawal transisi demokrasi usai pemberontakan 2019.

    Pertempuran sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 40 ribu orang dan membuat 12 juta lainnya mengungsi, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, lembaga kemanusiaan memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. Sekitar 24 juta jiwa kini mengalami krisis pangan akut, lapor Program Pangan Dunia (WFP).

    Massad Boulos, penasihat urusan Afrika dari pemerintah AS, mengatakan Washington tengah bekerja sama dengan kedua pihak untuk mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan. “Kami telah berupaya hampir sepuluh hari terakhir untuk memfinalisasi rincian kesepakatan ini,” katanya. Rencana yang dipimpin AS itu mencakup gencatan senjata selama tiga bulan, dilanjutkan proses politik sembilan bulan.

    Kerja sama kuartet: AS, Saudi, Mesir, dan UEA

    “Kami mendesak kedua pihak agar segera merespons upaya AS dalam mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan, mengingat urgensi menurunkan eskalasi dan mengakhiri penderitaan rakyat Sudan,” demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS.

    Kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, menjadi salah satu dari dua wilayah yang dilanda kelaparan parah, menurut laporan lembaga pemantau pangan global Integrated Food Security Phase Classification (IPC). Wilayah lainnya adalah Kadugli di provinsi Kordofan Selatan.

    “Penyebab utama kelaparan ini bukan bencana alam, melainkan buatan manusia,” ujar Abdul Hakim Elwaer, perwakilan regional FAO untuk Timur Dekat dan Afrika Utara. “Konflik yang terus berlangsung, ketidakamanan, dan terhambatnya jalur bantuan membuat jutaan orang tidak bisa mendapatkan makanan.”

    Bantuan kemanusiaan terhambat

    Elwaer menambahkan, selama hampir dua tahun, pembicaraan soal pembukaan koridor kemanusiaan aman belum membuahkan hasil. “Saya optimistis pada akhir tahun ini kita bisa menemukan solusi. Kita tak bisa membiarkan jutaan orang mati kelaparan hanya karena bantuan tidak sampai,” ujarnya.

    Organisasi Islamic Relief memperingatkan dapur umum yang menjadi tumpuan banyak keluarga kini terancam tutup. Survei terbaru lembaga itu menemukan 83 persen keluarga di Sudan timur dan barat kekurangan makanan.

    Sudan sejak lama digolongkan sebagai salah satu negara dengan krisis pengungsian paling parah di dunia. Setelah RSF merebut El-Fasher, gelombang pengungsi kembali melonjak. Banyak warga menempuh perjalanan ratusan kilometer menuju kamp Al-Affad di kota Al-Dabbah, Negara Bagian Utara, sekitar 350 kilometer dari ibu kota Khartoum.

    Pelarian dari El-Fasher

    Kepada kantor berita AP, sejumlah pengungsi menuturkan kesaksian mengerikan selama pelarian. Othman Mohamed, seorang guru, mengatakan ia melihat jasad bergelimpangan di sepanjang jalan saat melarikan diri pada akhir September. Banyak yang tumbang karena kelelahan dan kekerasan.

    Ia menggambarkan kehidupan di El-Fasher di tengah serangan drone dan artileri. “Makanan hampir tak ada. Kami hidup dari ombaz — sisa hasil perasan minyak kacang tanah — sampai itu pun sulit diperoleh,” ujarnya.

    Rawda Mohamed, yang berjalan berjam-jam menuju kamp Al-Affad, menambahkan, “Di El-Fasher tak ada selain pemukulan dan pembunuhan oleh drone yang tak terlihat tapi mematikan.”

    Menurut Mathilde Vu dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), warga di El-Fasher bertahan hidup dengan pakan ternak dan air hujan. Mereka berlindung di lubang yang mereka gali sendiri. Banyak yang diserang saat mencoba melarikan diri.

    “Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari, dengan rasa haus, lapar, dan kekerasan ekstrem. Beberapa akhirnya diangkut truk untuk sisa perjalanan terakhir. Ratusan harus segera dirawat. Banyak yang terlalu lemah bahkan untuk berbicara,” katanya.

    *Editor: Yuniman Farid


    (ita/ita)

  • Trump Menyerah ke China, Petaka Baru Ancam Amerika

    Trump Menyerah ke China, Petaka Baru Ancam Amerika

    Jakarta, CNBC Indonesia – Langkah Presiden Donald Trump membuka peluang penjualan chip kecerdasan buatan (AI) Nvidia ke China menuai kecaman keras dari kalangan politik dan pakar teknologi.

    Kebijakan itu dinilai bisa menjadi bumerang besar bagi dominasi AI Amerika Serikat dan menguntungkan militer China.

    Ketua House Select Committee on China, John Moolenaar, menyebut rencana penjualan tersebut setara dengan memberikan uranium tingkat senjata kepada Iran.

    Menurutnya, menjual chip AI tercanggih ke China sama saja memperkuat musuh utama Amerika.

    “Kita tidak bisa menjual chip AI paling canggih kepada musuh utama negara kita,” tegas Moolenaar, dikutip dari Reuters, Kamis (30/10/2025).

    Pernyataan itu muncul setelah Trump memberi sinyal bahwa Nvidia bisa menjual versi lebih rendah dari chip Blackwell ke China. Chip AI tersebut merupakan salah satu teknologi paling kuat di dunia dan menjadi tulang punggung keunggulan Amerika di bidang komputasi AI.

    Para pakar perdagangan AS memperingatkan bahwa memberikan akses chip ini ke China dapat meruntuhkan pembatasan ekspor chip yang diberlakukan sejak 2022.

    Pembatasan itu dirancang agar militer China tidak diuntungkan oleh teknologi Amerika serta memperlambat laju pengembangan AI di negeri tersebut.

    “Jika kita mengekspor versi B30A, maka keunggulan utama AS terhadap China di bidang AI akan menyusut drastis,” ujar Tim Fist, Direktur Kebijakan Teknologi Baru di Institute for Progress.

    Menurut Fist, meski versi B30A disebut lebih lemah, chip itu sejatinya hanya berbeda dalam kemasan.

    “China bisa membeli dua kali lipat dan mendapatkan hasil yang sama, kemungkinan dengan harga yang sama,” tambahnya.

    Analisis terbaru yang diterbitkan oleh Fist dan rekan-rekannya menunjukkan, jika AS menahan ekspor chip AI ke China tahun depan, AS akan tetap memiliki kekuatan komputasi AI 30 kali lipat dibandingkan China. Namun, jika ekspor chip versi downgrade diizinkan, China bisa menyalip AS pada 2026.

    Kritik tak hanya datang dari Partai Republik. Pemimpin Mayoritas Senat dari Partai Demokrat, Chuck Schumer, bersama 11 senator Demokrat lainnya, turut mendesak Trump agar tidak mencabut pembatasan ekspor chip AI dan teknologi tinggi AS demi kesepakatan dagang dengan Beijing.

    “Chip ini seharusnya mendukung perusahaan AS yang membangun dominasi AI di masa depan, bukan memperkuat militer China,” kata Moolenaar.

    Trump mengatakan ia mungkin akan membahas chip “super-duper” Blackwell dengan Presiden China Xi Jinping dalam pertemuan mereka pada Kamis mendatang. Ia sempat menyebut akan mengizinkan penjualan versi 30-50 persen lebih lemah dari chip terbaik Nvidia.

    Namun banyak pihak menilai langkah itu tetap berisiko besar. Chris McGuire, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, menilai keputusan tersebut dapat mengakhiri seluruh sistem kontrol ekspor chip AI yang selama ini menjaga keunggulan Amerika.

    “Alasan AS unggul dalam AI adalah karena kita memiliki daya komputasi dan chip terbaik. Jika kita memberikannya ke China, skenario terbaiknya kita hanya imbang, skenario terburuknya, kita tertinggal,” tegas McGuire.

    Hasil Kesepakatan Sementara Trump dan Xi Jinping

    Pertemuan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping sudah digelar di Busan, Korea Selatan, pada Kamis (30/10). Trumpmengatakan ia telah mencapai kesepakatan satu tahun dengan China mengenai tanah jarang dan mineral penting (rare earth), serta fentanil. 

    Trump mengatakan kepada para wartawan di atas Air Force One saat meninggalkan Korsel, bahwa pertemuan dengan Xi luar biasa dan bahwa banyak keputusan telah dibuat.

    “Masalah tanah jarang telah diselesaikan,” kata Trump dikutip CNBC International.

    Menurutnya sudah ada kesepakatan 1 tahun, yang akan dinegosiasikan setiap tahun. Tarif impor China juga akan diturunkan 10% menjadi 47% dari 57%.

    Sebagai imbalannya, China akan bertindak tegas menghentikan fentanil, narkotika yang kini menyebar luas di AS. China juga akan melanjutkan pembelian kedelai Amerika dan produk pertanian lainnya.

    Trump mengatakan ia akan mengunjungi China pada bulan April, diikuti dengan kunjungan Xi Jinping ke AS. Namun khusus kedatangan Xi Jinping belum ada jadwal yang disebut.

    Pertemuan di Busan adalah pertama kalinya kedua pemimpin bertemu dalam enam tahun. Pertemuan terjadi hampir dua jam, sekitar satu jam 40 menit.

    Sebelum pertemuan, sebenarnya kedua pemimpin menyampaikan nada damai, dengan Trump menyebut Xi “sahabat lama” yang memiliki “hubungan yang sangat baik” dengannya. Sementara Xi menekankan bahwa ambisi pertumbuhan ekonomi China tidak akan merusak visi Trump untuk “Membuat Amerika Hebat Kembali”.

    Ketegangan antara dua negara adidaya ekonomi dunia ini telah memanas tahun ini. Eskalasi terbaru terjadi bulan ini, dengan kontrol ekspor Beijing dan Washington yang mengancam akan melarang ekspor perangkat lunak ke China.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]