Kementrian Lembaga: BSSN

  • Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Bisnis.com, SURABAYA — Anggota Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Mahfud MD angkat suara mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan bagi anggota Polri untuk dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil, selama masih berstatus aktif.

    Mahfud menjelaskan bahwa putusan yang telah dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025) lalu tersebut secara otomatis telah bersifat mengikat dan wajib untuk dijalankan pasca pengesahannya.

    “Ya, itu [putusan MK] mengikat dong. Tidak ada kaitannya dengan tim reformasi Polri. Itu putusan MK, itu putusan hukum. Kalau putusan reformasi Polri itu administratif, nanti ya. Kalau [putusan tim] reformasi [Polri] itu administratif, disampaikan ke presiden, tapi kalau MK itu putusan hukum dan mengikat,” beber Mahfud saat ditemui usai ibadah salat Jumat di Masjid Nuruzzaman Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (14/11/2025).

    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemananan (Menko Polhukam) tersebut menegaskan kembali, dengan disahkannya Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, maka Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

    Walau begitu, Mahfud menjelaskan bahwa putusan tersebut juga tidak mengharuskan jajaran legislatif untuk menyusun ataupun merombak kembali Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menurut MK bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, putusan MK tersebut, lanjut Mahfud, telah berlaku secara otomatis dan menggugurkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’.

    “Enggak, putusan MK itu enggak usah harus mengubah [penjelasan] undang-undang, langsung berlaku. [Penjelasan] undang-undangnya kan langsung dibatalkan. Itu ‘kan isinya ‘atau ditugaskan oleh Kapolri’, itu ‘kan sudah dibatalkan. Berarti, sekarang karena batal ya sudah, enggak usah diubah lagi undang-undang. Nah, itu langsung berlaku,” beber Mahfud.

    Oleh sebab itu, Mahfud yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK tersebut berharap banyak putusan tersebut dapat dijalankan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh institusi terkait, usai diketok palu pada Kamis (13/11) kemarin. Ia pun meminta prosedur pemberhentian aparat yang masih menduduki jabatan sipil juga harus secepatnya diatur oleh lembaga terkait.

    “Menurut undang-undang, putusan MK itu berlaku seketika. Begitu palu diketokkan itu berlaku. Sehingga proses-proses pemberhentian itu harus segera diatur kembali, kalau kita masih mau mengakui bahwa ini adalah negara hukum atau negara demokrasi konstitusional,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani. 

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil. 

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. 

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

  • Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi telah melarang polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil dalam putusannya pada Kamis (13/11/2025).

    Larang tersebut dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menilai, penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar kepolisian.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya melalui rilis resminya, Kamis (13/11/2025).

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

    Respons Polri

    Sementara itu, Mabes Polri masih akan mempelajari putusan MK terkait dengan larangan bagi anggota polisi aktif menduduki jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan pihaknya belum menerima salinan resmi dari putusan itu. Namun demikian, Sandi memastikan Polri bakal menghormati putusan yang dikeluarkan MK.

    “Terima kasih atas informasinya, dan kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut, tentunya Polri akan menghormati semua keputusan yang sudah dikeluarkan,” ujar Sandi di PTIK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dia menambahkan untuk saat ini Polri masih menunggu hasil resmi putusan MK. Usai salinan putusan MK itu diterima, Polri bakal menganalisis putusan MK itu sebelum akhirnya menyatakan sikap.

    “Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menjelaskan bahwa penempatan anggota aktif kepolisian di Kementerian/Lembaga sudah memiliki aturannya tersendiri. 

    Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU No.2/2002 tentang Polri menyatakan jabatan di luar kepolisian memerlukan izin dari Kapolri. Namun, frasa itu kini telah dihapus dalam putusan MK dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    “Namun demikian kita sudah mendengar ataupun kita sudah melihat ada putusan hari ini, kita tinggal menunggu seperti apa konkrit putusannya sehingga kami bisa melihat dan pelajari dan apa yang harus dikerjakan oleh kepolisian,” pungkasnya.

  • Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil

    Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil

    Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2025, mengakhiri satu bab yang menggantung lama di ruang publik: bolehkah polisi aktif merangkap jabatan di luar institusi kepolisian?
    Pertanyaan yang tampak teknis ini sesungguhnya memuat pertaruhan besar: apakah reformasi sektor keamanan benar-benar dijalankan, atau pelan-pelan sedang ditarik mundur lewat celah-celah hukum.
    Melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan uji materi atas Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    MK menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Arti praktisnya sederhana, tapi tegas: anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni jabatan sipil, wajib mengundurkan diri atau pensiun lebih dahulu dari dinas kepolisian.
    Celah penugasan Kapolri sebagai alasan untuk tetap berstatus polisi aktif sambil memegang jabatan sipil resmi ditutup.
    Ini bukan sekadar koreksi redaksional. Ini penegasan ulang arah reformasi: membatasi peran aparat bersenjata di wilayah sipil, mengembalikan jabatan sipil kepada birokrasi sipil, dan menjamin kepastian hukum bagi semua warga negara.
    Pasal 28 ayat (3) UU Polri sebenarnya cukup jelas: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
    Namun penjelasan pasalnya berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
    Frasa terakhir inilah yang selama bertahun-tahun berubah menjadi celah. Di atas kertas, anggota Polri boleh menduduki jabatan di luar kepolisian hanya setelah mundur atau pensiun. 
    Namun dalam praktik, penjelasan itu ditafsirkan seolah-olah penugasan Kapolri dapat menjadi karpet merah bagi polisi aktif untuk tetap berseragam sekaligus duduk di jabatan sipil strategis: dari ketua KPK, kepala BNN, kepala BNPT, wakil kepala BSSN, hingga jabatan-jabatan di kementerian dan BUMN.
    Di sidang MK terungkap data yang disampaikan ahli pemohon: 4.351 anggota Polri aktif merangkap jabatan sipil.
    Angka itu bukan sekadar statistik; ia menggambarkan betapa lebar celah itu telah dimanfaatkan.
    Bagi ASN yang puluhan tahun berkarier di jalur birokrasi, ini terasa seperti perlombaan yang garis final-nya tiba-tiba dipotong oleh pintu samping.
    Mahkamah tidak sekadar mencoret frasa. MK menjelaskan mengapa penjelasan itu harus dibatalkan.
    Pertama, soal kepastian hukum yang adil. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
    Dengan adanya frasa penugasan Kapolri, norma menjadi rancu: di satu sisi mensyaratkan mundur atau pensiun, di sisi lain membuka jalur khusus melalui penugasan.
    Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, MK menegaskan bahwa rumusan “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat yang sudah jelas dan tidak memerlukan pemaknaan lain.
    Kedua, menyangkut kesetaraan kesempatan. Ketika polisi aktif bisa menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan statusnya, ruang persaingan bagi ASN dan warga sipil lain menyempit.
    Para ahli yang dihadirkan pemohon mengingatkan bahwa ribuan polisi yang merangkap jabatan sipil telah menghilangkan kesempatan warga sipil untuk berkontribusi dalam jabatan-jabatan tersebut.
    Ketiga, soal fungsi penjelasan undang-undang. Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK konsisten menyatakan bahwa penjelasan tidak boleh memuat norma baru yang memperluas atau mengubah makna pasal.
    Hal yang sama ditegaskan kembali di perkara ini: penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bukan sekadar memperjelas, melainkan memperlebar makna sehingga bertentangan dengan batang tubuh.
    Uji materi ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia didorong oleh praktik yang kian meluas: polisi aktif memegang jabatan sipil, sementara desain reformasi pasca-Reformasi 1998 justru ingin memisahkan tegas fungsi militer, kepolisian, dan sipil.
    TAP MPR VII/MPR/2000 secara eksplisit menegaskan, anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Dalam logika reformasi, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah “dwifungsi gaya baru” di mana aparat keamanan kembali menguasai ruang-ruang sipil.
    Namun kenyataannya, praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil berjalan lama dengan pembenaran “penugasan Kapolri”.
    Di hadapan MK, ahli dan pemohon menggambarkan dampaknya: potensi ganda gaji, konflik kepentingan, hingga hilangnya kesempatan ASN dan warga sipil untuk memasuki jabatan strategis.
    Pada titik ini, masalahnya tidak lagi sekadar teknis administrasi. Ia menjelma menjadi soal keadilan dan desain kekuasaan.
    Putusan MK
    menarik kembali batas yang selama ini dikaburkan. Setelah frasa penjelasan itu dibatalkan, yang berlaku hanyalah norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri dan prinsip yang termuat dalam TAP MPR: anggota Polri baru boleh menduduki jabatan di luar kepolisian jika sudah mengundurkan diri atau pensiun.
    Artinya, polisi aktif tidak boleh lagi memegang jabatan sipil di kementerian, lembaga, maupun BUMN hanya dengan bermodal surat penugasan.
    Hal yang tersisa kemudian adalah ranah kebijakan: bagaimana pemerintah mengatur bentuk-bentuk kerja sama lintas lembaga yang masih membutuhkan keahlian kepolisian—misalnya dalam fungsi koordinasi atau penghubung—tanpa menjadikannya sebagai “jabatan sipil” yang menggeser ASN.
    Itu bukan bagian dari amar MK, tetapi konsekuensi logis yang mesti dirumuskan eksekutif dan legislatif secara transparan dan konstitusional.
    Dengan kata lain, MK telah menarik garis; tugas politik selanjutnya ada di tangan pembuat kebijakan.
    Dampak langsung putusan ini setidaknya tampak dalam empat lapis. Pertama, bagi anggota Polri sendiri. Pilihannya menjadi lebih tegas: tetap berkarier di korps dengan seluruh konsekuensinya, atau mengundurkan diri/pensiun untuk memasuki birokrasi sipil. Tidak ada lagi status ganda yang rawan konflik kepentingan.
    Kedua, bagi ASN dan birokrasi sipil. Putusan ini memberi sinyal kuat bahwa jabatan sipil harus dikembalikan kepada mekanisme meritokrasi yang berlaku bagi ASN.
    Jabatan tidak boleh menjadi “lahan perluasan” pengaruh aparat keamanan. Ini peluang untuk menata kembali sistem karier pegawai negeri yang selama ini merasa disalip penugasan.
    Ketiga, bagi pemerintah. Presiden dan para menteri tidak lagi dapat berlindung di balik penugasan Kapolri untuk menunjuk polisi aktif di jabatan sipil.
    Ruang manuver politik memang menyempit, tetapi kepastian hukum menguat. Pemerintah justru berkesempatan menunjukkan keseriusan menghormati putusan MK dan semangat reformasi.
    Keempat, bagi reformasi sektor keamanan secara keseluruhan. Putusan ini menjadi koreksi keras terhadap kecenderungan menarik aparat keamanan kembali ke panggung sipil.
    Bila dijalankan konsisten, ia akan memperkuat prinsip supremasi sipil dan membatasi penetrasi “logika keamanan” ke dalam kebijakan sipil.
    Putusan ini bisa dibaca sebagai teguran halus kepada dua pihak sekaligus. Kepada Polri, agar tidak tergoda memperluas peran di luar fungsi konstitusionalnya.
    Kepada pemerintah, agar tidak malas membangun birokrasi sipil yang kuat dan justru menggantinya dengan aparat bersenjata.
    Secara politis, ini adalah momentum untuk menata ulang relasi antara kepolisian, birokrasi, dan politik.
    Komisi atau Komite Reformasi Polri yang tengah digagas pemerintah akan tampak paradoksal jika di saat yang sama negara membiarkan polisi aktif bercokol di berbagai jabatan sipil.
    Putusan MK memberikan landasan kuat bagi agenda reformasi itu: hentikan rangkap jabatan, kembalikan Polri ke rel profesionalnya.
    Bagi publik, arah ini memberi harapan bahwa jalan mundur reformasi masih bisa diputar. Demokrasi tidak boleh diserahkan kepada logika keamanan. Negara hukum tidak boleh digerakkan oleh privilese institusional.
    Larangan rangkap jabatan bagi polisi aktif mungkin tampak seperti detail teknis perundang-undangan.
    Namun di balik detail itu, kita sedang membicarakan hal-hal yang jauh lebih besar: batas kekuasaan, keadilan bagi warga sipil, serta masa depan reformasi sektor keamanan.
    Mahkamah Konstitusi telah melakukan bagiannya: menutup celah, menegaskan kembali norma, dan mengingatkan bahwa penjelasan undang-undang bukan tempat menyelipkan ambisi kekuasaan baru.
    Kini giliran pemerintah dan Polri membuktikan: apakah putusan itu benar-benar akan dijalankan, atau sekadar dijadikan catatan di lembar negara tanpa perubahan nyata di lapangan.
    Jika negara sungguh-sungguh, kita akan melihat peta jabatan sipil yang lebih jernih, tanpa bayang-bayang seragam yang seharusnya hanya bertugas menjaga keamanan, bukan mengatur birokrasi.
    Dan ketika batas itu dijaga, bukan hanya reformasi yang diselamatkan, tetapi juga kepercayaan publik kepada institusi yang memegang kewenangan memaksa atas nama negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK: Anggota Polisi Aktif Harus Mundur saat Duduki Jabatan Sipil

    Putusan MK: Anggota Polisi Aktif Harus Mundur saat Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

  • MK Tegaskan Anggota Polri Dilarang Duduki Jabatan Sipil Tanpa Mengundurkan Diri

    MK Tegaskan Anggota Polri Dilarang Duduki Jabatan Sipil Tanpa Mengundurkan Diri

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menilai, penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar kepolisian.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya melalui rilis resminya, Kamis (13/11/2025).

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

     

     

  • 6
                    
                        MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Harus Mundur atau Pensiun 
                        Nasional

    6 MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Harus Mundur atau Pensiun Nasional

    MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Harus Mundur atau Pensiun
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Anggota polisi aktif diputuskan tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Termasuk apabila ada arahan maupun perintah Kapolri semata.
    Hal ini menyusul putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang mengabulkan permohonan perkara 114/PUU-XXIII/2025 untuk seluruhnya terhadap gugatan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (
    UU Polri
    ) terkait kedudukan anggota polisi di
    jabatan sipil
    .
    “Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
    Hakim konstitusi Ridwan Mansyur berpandangan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurutnya, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” jelas Ridwan.
    Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin yang menggugat Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
    Alasan mereka menggugat adalah karena saat ini banyak anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT.
    Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.
    Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.
    Pemohon juga menilai, norma pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR sebut batas usia harus diterapkan untuk gim daring

    Anggota DPR sebut batas usia harus diterapkan untuk gim daring

    “Sebagai anggota Komisi I yang membidangi komunikasi dan informatika, saya mendorong pendekatan teknologi yang tepat sasaran,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mengatakan bahwa batas-batas klasifikasi dan usia yang jelas harus diterapkan dan ditegakkan pada distribusi gim daring di Indonesia, merespons adanya penelaahan pembatasan gim daring usai adanya ledakan di SMAN 72 Jakarta.

    Dia pun menyambut baik ikhtiar pemerintah untuk menjaga keamanan dan membentuk perilaku generasi muda dengan wacana membatasi gim daring. Menurut dia, keselamatan anak-anak adalah prioritas.

    “Sebagai anggota Komisi I yang membidangi komunikasi dan informatika, saya mendorong pendekatan teknologi yang tepat sasaran,” kata Amelia di Jakarta, Selasa.

    Selain pembatasan usia, menurut dia, harus ada juga kontrol orang tua (parental controls) yang mudah dipakai, termasuk pengaturan waktu bermain untuk pengguna di bawah umur.

    Menurut dia, perlu ada mekanisme pelaporan, moderasi, dan pemblokiran konten/fitur berbahaya yang transparan, disertai pengawasan yang akuntabel.

    Kepatuhan platform terhadap regulasi nasional termasuk aspek perlindungan data pribadi dan transaksi dalam gim, kata dia, juga harus dilakukan tanpa membebani inovasi yang sehat.

    Meski begitu, dia mengatakan bahwa pembatasan harus ditempatkan dalam kerangka yang lebih utuh, yakni dengan perlindungan anak, keamanan siber, dan literasi digital.

    Hal itu, kata dia, menuntut keterlibatan orang tua, guru, manajemen sekolah, platform penyedia gim, serta regulator, dengan proporsi yang tepat dan berbasis bukti, bukan sekadar reaktif.

    Faktanya, dia menilai batas antara anak dan konten berisiko kian menipis. Sekali klik satu pencarian atau satu video tutorial, menurut dia, informasi yang semestinya di luar jangkauan remaja bisa hadir di telapak tangan.

    Dia menilai bahwa generasi sekarang tumbuh bersama algoritma, forum anonim, dan arus informasi yang tak selalu tersaring.

    “Karena itu, solusinya harus ekosistemik, menguatkan keluarga dan sekolah, meningkatkan literasi digital, dan menata tata-kelola platform,” kata dia.

    Untuk itu, dia mengajak Kemendikbudristek, Kominfo, BSSN, KPAI, pihak sekolah, orang tua, industri gim, dan masyarakat untuk bergerak bersama.

    “Jadikan momentum ini untuk menata ekosistem yang aman, sehat, dan produktif bagi generasi muda. Bukan hanya dengan pembatasan, tetapi juga penguatan karakter dan pengelolaan ruang digital yang bijak,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anggota DPR nilai industri asuransi hadapi tantangan tata kelola data

    Anggota DPR nilai industri asuransi hadapi tantangan tata kelola data

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menilai industri asuransi menghadapi tantangan membangun kepercayaan publik dan kerentanan tata kelola data.

    “Pertama, tata kelolanya itu sendiri. Jadi, diperlukan harmonisasi akan standar keamanan dan transparansi antarpelaku industri agar tercipta ekosistem data yang konsisten dan akuntabel sebagai dasar kepercayaan publik. Pengelolaan itu harus dibarengi juga dengan SDM (sumber daya manusia) dan infrastruktur yang mapan,” ucapnya dalam acara iLearn Conference & Seminar 2025 yang diadakan PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re di Jakarta, Selasa.

    Saat ini, jumlah data protection officer (DPO) dan ahli tata kelola data masih terbatas, sementara sebagian besar pelaku industri masih menggunakan sistem lama yang masih rawan bocor karena tak disesuaikan dengan teknologi terkini.

    Kesenjangan tersebut dinilai memperlambat penerapan prinsip security by design (keamanan menjadi bagian inti proses desain dan pengembangan sistem) dan privacy compliance (kepatuhan terhadap hukum yang dirancang untuk melindungi informasi pribadi) di dalam bisnis asuransi Tanah Air.

    Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2024, ketergantungan tinggi terhadap sistem digital meningkatkan attack surface (seluruh titik masuk potensial yang dapat dieksploitasi penyerang untuk merusak atau mengakses sistem, data, atau jaringan).

    Ancaman siber lainnya adalah kasus pelanggaran data/data breach (insiden keamanan yang melakukan akses ke data personal secara tidak sah oleh pihak lain), khususnya di sektor keuangan. Kondisi ini menegaskan perlunya sinergi antara tata kelola data dan ketahanan siber nasional.

    Indonesia sendiri memiliki dua undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan data maupun penggunaan digitalisasi, yakni Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).

    Walaupun sudah ada UU-nya, insiden ancaman siber disebut masih berjalan terus, perangkat hukum masih kurang, sumber daya manusia di bidang terkait masih perlu ditingkatkan, hingga masalah dalam hal infrastruktur hingga pengaplikasiannya.

    “Ini semua bukan hanya PR (pekerjaan rumah). Ini perlu menjadi sebuah tanggung jawab yang applicable (berlaku) kepada semua pihak,” ujar Dave.

    Per tahun 2025 hingga bulan Oktober, kejahatan siber global diperkirakan memberikan kerugian hingga 10,5 triliun dolar Amerika Serikat (AS), naik 1 triliun dolar AS dibandingkan tahun lalu dengan periode yang sama.

    Serangan siber dianggap semakin kompleks seiring pemanfaatan artificial intelligence (AI), machine learning, dan komputasi kuantum. Pada tahun 2024, insiden ransomware meningkat 81 persen dibandingkan tahun lalu, begitu pula phishing yang naik 58 persen, lalu deepfake meningkat 550 persen sejak 2019 dan diproyeksikan mencapai 8 juta kasus pada tahun ini.

    Walaupun AI sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, mulai kebutuhan presentasi hingga komersial, tetapi juga menimbulkan banyak kerugian karena dipakai untuk menjadi kriminal.

    Sebagaimana perubahan zaman dan kemajuan teknologi, bila tak dibarengi dengan peraturan dan pendidikan, maka kemajuan peradaban justru tak memberikan manfaat terhadap masyarakat. Karena itu, dia menekankan bahwa pemerintah dan rakyat penting untuk memahami secara detail sehingga bisa menggunakan semua teknolog yang telah diciptakan untuk kepentingan bersama.

    Lebih lanjut, Dave mengungkapkan sejumlah strategi untuk penguatan tata kelola dan kepercayaan publik di industri asuransi.

    Pertama adalah penguatan kolaborasi lintas sektor antar-regulator, industri, lembaga keamanan siber, serta akademisi untuk menjadi kunci membangun ekosistem data yang aman dan terpadu.

    Kedua yaitu penguatan SDM dan etika digital melalui pelatihan literasi keamanan, serta membangun infrastruktur teknologi nasional yang berdaulat, termasuk encryption system (sistem enkripsi) dan cloud (komputasi awan) dibuat oleh pihak domestik, agar tak selalu harus bergantung komputasi awan dari Huawei, Amazon, maupun Google.

    Strategi selanjutnya ialah peningkatan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan sejalan sesuai undang-undang. Terakhir yakni kebutuhan adanya perubahan paradigma bahwa data merupakan aset strategis nasional, sumber inovasi, dan menjadi elemen penting untuk mendukung kemajuan ekonomi.

    “Tata kelola data yang kuat menjadi pilar utama dalam membangun kepercayaan publik dan menjaga keberlanjutan industri asuransi. Data pribadi tidak hanya menjaga hak individu, tetapi memperkuat reputasi lembaga dan martabat bangsa di ruang digital, serta industri asuransi harus menjadi teladan dalam penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan etika data,” ungkap Wakil Ketua Komisi I DPR RI.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • OJK: Kepercayaan publik mata uang tertinggi industri keuangan

    OJK: Kepercayaan publik mata uang tertinggi industri keuangan

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Departemen Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bernard Wijaya mengatakan kepercayaan publik adalah mata uang tertinggi dalam industri keuangan.

    “Tanpa kepercayaan, seluruh inovasi tidak akan berarti,” ujar dia dalam acara iLearn Conference & Seminar 2025 yang diadakan PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re di Jakarta, Selasa.

    Dalam rangka menjaga kepercayaan publik, OJK mendorong perusahaan asuransi memastikan penggunaan data yang berkualitas dan aman dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prinsip lawfulness (sesuai dengan hukum), purpose limitation (prinsip perlindungan data hanya dikumpulkan dengan tujuan terbatas), dan data minimization (prinsip privasi data).

    Menurut dia, keamanan data bukan sekedar isu teknologi, tetapi cermin dari etika dan tata kelola. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi antar kementerian/lembaga maupun pemangku kepentingan terkait lainnya guna membangun resiliensi siber yang berkelanjutan.

    OJK menganggap teknologi takkan pernah menggantikan integritas dari manusia itu sendiri, sehingga setiap pelaku industri harus menjunjung tinggi etika dan akuntabilitas. Mulai dari cara produk yang ditawarkan, komunikasi kepada konsumen melalui penawaran secara tradisional dan digital, hingga pengelolaan klaim, ujar dia.

    Digitalisasi, kata Bernard, hanya akan memberikan manfaat apabila dijalankan dengan niat yang benar dan perilaku jujur. Di sisi perlindungan konsumen, inovasi digital harus menjadi alat memperluas akses dan literasi keuangan.

    “OJK perlu mendorong agar produk asuransi digital itu dirancang dengan prinsip transparansi, kemudahan, dan keberpihakan kepada konsumen. Dengan demikian, teknologi tidak akan mempercepat proses, tetapi juga mempercepat penguatan keadilan dan kepercayaan,” ujar dia.

    Lebih lanjut, dirinya menekankan bahwa sinergi antar lembaga diperlukan dalam membangun ketahanan ekonomi digital guna menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen, mengingat transformasi digital tak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri

    OJK memastikan seluruh proses bisnis industri berjalan sesuai dengan prinsip market conduct dan etik, kemudian dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menjaga keamanan siber nasional, lalu Kementerian Komunikasi dan Digital memastikan ekosistem data nasional selaras dengan prinsip perlindungan dan keterbukaan, ujar dia.

    Adapun Komisi Informasi Pusat memperkuat hak publik atas informasi yang transparan, dan Indonesia Re sebagai rumah pengetahuan berbasis risiko, khusus industri asuransi, dan menjadi jembatan antara teori, praktik dan kebijakan.

    Bernard menekankan transformasi digital merupakan masa depan yang dapat diraih jika dibangun atas kepercayaan atas tata kelola data nan kuat. Setiap inovasi digital dalam industri asuransi, harus dipastikan mampu meningkatkan transparansi informasi, menegakkan keadilan dalam proses klaim, serta menjamin keamanan data pribadi dan nasabah.

    “Digitalisasi adalah masa depan, tapi kepercayaan adalah fondasinya. Tanpa kepercayaan, tidak ada teknologi yang akan bertahan lama. Namun dengan trust, setiap inovasi akan menjadi pijakan bagi kemajuan yang berkelanjutan,” kata Kepala Departemen Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan OJK.

    Bagi dia, kepercayaan itu seperti kaca yang bening dan kuat, tetapi sulit kembali sempurna jika mengalami keretakan. Di era digital saat ini, para pelaku industri disebut memegang jutaan potongan kaca berupa data, informasi, dan harapan masyarakat.

    “Tugas kita bukan hanya memanfaatkannya, tetapi menjaganya akan tetap utuh. Sebab, industri asuransi pada hakikatnya bukanlah sekedar bisnis perhitungan risiko semata, melainkan bisnis menjaga janji, dan janji itu hanya akan berarti jika masyarakat percaya bahwa kita menepatinya, dengan data yang aman, perilaku yang etis, dan pengawasan yang berintegritas,” kata Bernard.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MDI Ventures Dorong Inovasi di Ekosistem Blockchain Nasional

    MDI Ventures Dorong Inovasi di Ekosistem Blockchain Nasional

    Jakarta, CNBC Indonesia – Grand View Research menyebut industri blockchain global diproyeksikan mencapai USD 1,43 triliun pada 2030 dengan pertumbuhan tahunan sekitar 90%. Lonjakan ini menegaskan peran blockchain sebagai fondasi utama dalam ekonomi digital global-bukan hanya untuk transaksi keuangan, tetapi juga untuk membangun sistem yang aman, transparan, dan terpercaya.

    Adapun bagi Indonesia, kehadiran blockchain menjadi kunci dalam mendukung era baru teknologi seperti AI dan keamanan siber, sekaligus membuka peluang ekspor komoditas unggulan melalui Digital Product Passport (DPP) yang dapat menjamin keaslian dan keberlanjutan produk nasional di pasar global.

    Principal MDI Ventures, Aditya Hadiputra membahas peran, tantangan dan penerapan blockchain dalam memperkuat daya saing komoditas Indonesia di pasar global. Dari perspektif venture capital, Aditya menyoroti potensi real-world assets (RWA) yang dapat ditokenisasi sebagai peluang ekonomi nyata dari ekosistem blockchain.

    “VC kini lebih melihat model bisnis yang memiliki dampak nyata dan berkelanjutan. Di MDI, kami berkomitmen mendukung inovasi yang berdampak lewat kolaborasi lintas sektor, ” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (7/11/2025).

    Menurutnya, MDI Ventures terus membuka peluang investasi di sektor blockchain, termasuk investasi yang disalurkan beberapa waktu lalu melalui eMerge by MDI Ventures, jaringan angel investor kepada startup di sektor blockchain. Tidak ketinggalan juga dengan tetap aktif menargetkan sektor lain seperti AI dan Cybersecurity.

    Melalui partisipasi ini, MDI Ventures menegaskan posisinya sebagai investor strategis yang berfokus pada pembangunan ekosistem digital yang aman dan berkelanjutan, sekaligus mendorong Indonesia menjadi pemain utama di lanskap blockchain global.

    Untuk diketahui, dalam forum Bali Blockchain Summit 2025 yang bertema “Blockchain for Protection and Sustainability: Building Digital Trust for a Sustainable Future,” MDI Ventures hadir sebagai representasi investor.

    Aditya Hadiputra, Principal MDI Ventures, yang hadir bersama perwakilan BSSN dan Mandala Blockchain Academy pada sesi panel “Securing Global Market Access for Indonesian Commodities with a Blockchain-Based Digital Product Passport”. 

    (bul/bul)

    [Gambas:Video CNBC]