Kementrian Lembaga: BSSN

  • Aksi Menginap di DPR Dibubarkan Satpol PP, Tak Ada Lagi Tenda Demonstran di Senayan – Halaman all

    Aksi Menginap di DPR Dibubarkan Satpol PP, Tak Ada Lagi Tenda Demonstran di Senayan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tidak ada lagi aksi massa menginap di depan Gerbang Pancasila Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (10/4/2025).

    Hal ini seiring kabar dibubarkannya aksi masyarakat sipil menolak pengesahan Undang-undang (UU) TNI oleh Satpol PP, satu hari sebelumnya.

    Pantauan Tribunnews.com di depan Gerbang Pancasila atau tepatnya Jalan Gelora, Senayan, Jakarta Pusat sekira pukul 11.40 WIB, tak ada lagi tenda-tenda demonstran di trotoar jalan yang berada di sisi luar Lapangan Tembak Senayan.

    Lokasi aksi itu kini telah kosong.

    Adapun sejumlah petugas keamanan Gedung Parlemen tampak berjaga di depan Gerbang Pancasila.

    Penjagaan yang demikian biasa dilakukan. Para petugas keamanan melakukan pemeriksaan terhadap mobil-mobil yang hendak masuk ke Gedung Parlemen.

    Perwakilan masyarakat sipil, Al, mengatakan pada Rabu, 9 April 2025 sekitar pukul 17.00 WIB, aksi tersebut dibubarkan sejumlah anggota Satpol PP DKI Jakarta.

    “Aksi piknik dan kemah damai yang sedang berjalan di hari ketiga dibubarkan secara paksa oleh sekitar 30 orang anggota Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta sehingga harus dihentikan sementara,” kata Al, dalam keterangan tertulis, Rabu.

    Ia kemudian menjelaskan, sempat ada negosiasi antara demonstran dan anggota Satpol PP.

    “Kepala operasi (Satpol PP) berpegang teguh bahwa peserta aksi telah melanggar peraturan dengan menggunakan trotoar sebagai tempat aksi dan mengaku melakukan tindakan karena ada aduan dari masyarajat bahwa peserta aksi mengganggu pejalan kaki,” jelasnya.

    Al juga menyebut, dalam proses pembubaran aksi, anggota Satpol PP menggunakan pengeras suara.

    Peristiwa tersebut sempat diwarnai aksi tarik-menarik tenda dan logistik milik para peserta aksi yang diangkut oleh anggota Satpol PP.

    “Kami mengecam aksi sepihak yang tidak mengindahkan hak-hak warga negara untuk menggunakan fasilitas publik untuk menyampaikan aspirasi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta,” kata Al.

    “Dan menuntut Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung untuk mengambil tindakan terhadap perilaku anti-demokrasi dan kekerasan yang dilakukan bawahannya,” imbuhnya.

    Untuk diketahui, aksi menginap ini dilakukan oleh masyarakat sipil yang menolak pengesahan UU TNI, yang sudah disahkan DPR beberapa waktu lalu.

    Mereka mendirikan tenda di depan Gerbang Pancasila Gedung Parlemen, Jalan Gelora, Senayan, Jakarta Pusat, sejak Senin (7/4/2025) pagi.

    Tenda-tenda yang sebelumnya didirikan tepat di depan Gerbang Pancasila, kata Al, dipindahkan secara paksa oleh petugas keamanan DPR ke trotoar yang berada di sisi luar Lapangan Tembak Senayan.

    Al menyebut, aksi ini akan terus berlangsung hingga pengesahan UU TNI berhasil dibatalkan.

    Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), sebagai undang-undang. 

    Keputusan itu ditetapkan dalam pengambilan keputusan tingkat II saat Rapat Paripurna ke-15, Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

    Adapun sidang pengambilan keputusan ini dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani yang didampingi oleh Wakil Ketua DPR RI seperti Saan Mustopa, Sufmi Dasco Ahmad dan Adies Kadir.

    “Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” ujar Ketua DPR RI Puan Maharani meminta persetujuan.

    “Setuju,” jawab seluruh anggota dewan yang hadir. 

    Pengesahan UU TNI ini tidak mendapat penolakan dari delapan fraksi di DPR RI. 

    Diketahui, beleid tersebut hingga kini masih mendapatkan penolakan dari bebagai kalangan karena dinilai akan mengaktifkan kembali Dwifungsi ABRI seperti masa orde baru (orba).

    Merespons hal tersebut, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Laksono menyatakan, sejatinya respons pro dan kontra terhadap sebuah aturan UU merupakan hal yang lumrah.

    Terpenting kata dia, hingga kini seluruh kekhawatiran publik soal hidupnya kembali Dwifungsi ABRI, sudah terbantahkan.

    “Kalau polemik pro kontra sih itu hal yang lumrah, akan tetapi sebenarnya semuanya sudah terbantahkan, kenapa? Karena hal-hal yang berkaitan tentang kembalinya dwifungsi di TNI atau ABRI itu tidak akan mungkin terjadi,” kata Dave kepada awak media di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/3/2025).

    Tak hanya itu, DPR RI bersama pemerintah kata dia, melalui Revisi UU TNI ini tetap meninggikan supremasi sipil.

    “Karena hal-hal yang katakan pemberangusan supremasi sipil itu tidak ada,” ucap legislator dari Fraksi Partai Golkar tersebut.

    Dirinya juga menyinggung soal perluasan jabatan TNI di kementerian dan lembaga yang menurutnya sudah sesuai.

    Kata Dave, beberapa kementerian atau lembaga yang bisa ditempati oleh prajurit TNI aktif dalam UU TNI yang baru nantinya memang sejak UU nomor 34 tahun 2004 sebelumnya sudah diatur.

    “Apalagi dengan dipertegas jabatan di kementerian yang boleh dijabat oleh TNI itu memang diperluas, akan tetapi kenapa, karena itu memang sekarang ini TNI sudah mengisi diposisi kementerian tersebut, di lembaga tersebut seperti BSSN, Bakamla, BNPB, terus di Dewan Pertahanan Nasional, itu semua kan TNI sudah mengisi semua posisinya,” beber dia.

    Dengan begitu, Dave justru memastikan kalau melalui Revisi UU TNI ini akan ada batasan-batasan bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil.

    Tak hanya itu, dia juga meyakini kalau melalui Revisi UU ini melimitasi keluarnya TNI dari tugas dan fungsi utamanya.

    “Jadi sebenarnya tidak ada lagi perdebatan justru dengan adanya UU ini, ini melimitasi keluarnya TNI dari fungsi utamanya dan juga memastikan supremasi sipil ini supremasi hukum itu tetap akan berjalan,” tandas dia.

    Sebagai informasi, dalam draft final RUU TNI pasal 47, terdapat 14 kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif:

    1. Kementerian/lembaga yang membidangi koordinator politik dan keamanan negara 

    2. Pertahanan Negara termasuk Dewan Pertahanan Nasional

    3. Sekretariat Negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan sekretariat militer presiden

    4. Badan Intelijen Negara

    5. Badan Siber dan Sandi Negara

    6. Lembaga Ketahanan Nasional

    7. Badan SAR Nasional

    8. Badan Narkotika Nasional

    9. Badan Pengelola Perbatasan

    10. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

    11. Badan Keamanan Laut

    12. Badan Nasional Penanggulangan Bencana

    13. Kejaksaan Agung

    14. Mahkamah Agung.

  • 9 Kapolda Setahun Lebih Menjabat, Ada Eks Deputi Penindakan KPK hingga Mantan Ajudan Jokowi

    9 Kapolda Setahun Lebih Menjabat, Ada Eks Deputi Penindakan KPK hingga Mantan Ajudan Jokowi

    loading…

    Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto. Foto/Dok MPI

    JAKARTA – Terdapat sejumlah kepala kepolisian daerah ( kapolda ) yang sudah setahun lebih menjabat. Di antara kapolda yang sudah menjabat setahun lebih itu, ada eks Deputi Penindakan KPK hingga mantan ajudan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    Saat ini, ada 36 kapolda aktif yang menjabat di seluruh wilayah Indonesia. Mereka ada yang berpangkat Brigjen Polisi hingga Irjen Polisi.

    Melihat daftar lengkapnya, ada beberapa yang sudah memegang jabatan tersebut selama lebih dari setahun. Siapa saja mereka?

    Kapolda yang Sudah Setahun Lebih Menjabat
    1. Irjen Pol Karyoto

    Irjen Pol Karyoto merupakan salah seorang Perwira Tinggi (Pati) Polri. Saat ini, ia menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.
    Karyoto sudah setahun lebih memimpin Polda Metro Jaya. Ia sebelumnya menggantikan Fadil Imran pada Maret 2023 yang diangkat menjadi Kabaharkam Polri.

    Sekelumit tentang Karyoto. Polisi kelahiran Pemalang, 27 Oktober 1968 ini adalah lulusan Akpol 1990.

    Sebelum menjadi Kapolda Metro Jaya, Karyoto pernah menempati berbagai posisi penting lain. Di antaranya menjadi Wakapolda Sulawesi Utara (2018), Wakapolda DIY (2019) dan Deputi Penindakan KPK (2020).

    2. Irjen Pol Akhmad Wiyagus

    Berikutnya ada Irjen Pol Akhmad Wiyagus. Saat ini, ia aktif bertugas menjadi Kapolda Jawa Barat.

    Jenderal polisi bintang 2 ini memperoleh jabatan Kapolda Jawa Barat pada Maret 2023. Waktu itu, Akhmad Wiyagus menggantikan Suntana yang diangkat menjadi Wakil Kepala BSSN.

  • Hari Lahir Persandian Nasional, Jadi Landasan Lahirnya BSSN

    Hari Lahir Persandian Nasional, Jadi Landasan Lahirnya BSSN

    Liputan6.com, Yogyakarta – Hari Lahir Persandian Nasional diperingati setiap 4 April. Peringatan ini menandai terbentuknya Dinas Kode yang akhirnya menjadi landasan dibentuknya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

    Mengutip dari berbagai sumber, peringatan Hari Persandian Nasional didedikasikan untuk isu pengamanan dan pertahanan informasi di pemerintahan. Peringatan ini telah terlaksana sejak awal masa kemerdekaan.

    Peringatan ini berawal saat masa kemerdekaan Indonesia dan upaya untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, Djawatan Teknik Bagian B Kementerian Pertahanan bertanggung jawab mempertahankan ibu kota pemerintahan, yang saat itu berada di Yogyakarta.

    Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin, menimbang diperlukan adanya pengamanan dari segi komunikasi di Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Kemudian pada 4 April 1946, Roebiono Kertopati diperintahkan untuk membentuk Dinas Kode.

    Dinas Kode bertugas mengamankan komunikasi informasi pihak sendiri dari penyadapan pihak musuh. Sosok Roebiono Kertopati kini dikenal sebagai Bapak Persandian Negara Republik Indonesia.

    Dinas Kode kemudian mengalami beberapa perubahan nama. Berdasarkan keputusan Kementerian Pertahanan Nomor 11/MP/1949 tanggal 2 September 1949, namanya berubah menjadi Djawatan Sandi.

    Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7/1972 tanggal 22 Februari 1972, Djawatan Sandi berubah nama menjadi Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg). Meski mengalami beberapa pergantian nama, awal mula tanggal terbentuknya Dinas Kode kemudian menjadi landasan peringatan Hari Lahir Persandian Nasional, yakni 4 April.

    Selain itu, Hari Lahir Persandian Nasional juga menjadi landasan dalam dibentuknya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 19 Mei 2017. BSSN merupakan peleburan dari dua institusi, yaitu Lemsaneg dan Direktorat Keamanan Informasi serta Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo.

    Saat ini, BSSN menjadi institusi keamanan informasi di Indonesia. Seluruh tugas dan fungsi pada Lemsaneg dilaksanakan oleh BSSN.

    Penulis: Resla

  • TNI Halal Mata-matai Sipil Buntut Pasal Pertahanan Siber? Ini Kata Kemenhan

    TNI Halal Mata-matai Sipil Buntut Pasal Pertahanan Siber? Ini Kata Kemenhan

    PIKIRAN RAKYAT – Usai pengesahan UU TNI, kini tugas pertahanan siber resmi dimiliki para prajurit. Muncul narasi dari kecemasan komunal warga, hal ini berarti dihalalkannya TNI menjadi mata-mata bagi masyarakat sipil. Benarkah demikian?

    Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang menanggapi kegelisahan yang belakangan tersebar di kalangan publik. UU TNI memicu berbagai ketakutan dari mulai dwifungsi ABRI hingga kewenangan berlebih bagi para tentara.

    Dalam keterangan terbaru, ia menegaskan bahwa kabar itu sama sekali keliru. Ia memastikan, kegunaan pengamanan siber oleh TNI bukan untuk memata-matai masyarakat sipil.

    Kementerian Pertahanan, imbuhnya, memahami bahwa ada prinsip demokrasi yang harus lestari. Untuk itu, pendapat yang berbeda-beda serta kritik bagi instansi pertahanan atau pemerintah merupakan salah satu bentuk ekspresi yang mesti dilumrahkan.

    “Yang dimaksudkan pertahanan siber ini lebih kepada operasi informasi dan disinformasi yang mengancam kedaulatan negara dan keselamatan bangsa,” kata Frega, di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis, 27 Maret 2025.

    Dengan demikian, Frega mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terhadap UU TNI yang baru. Semua pasalnya dijamin tidak akan menghambat kebebasan berekspresi dan proses penyampaian aspirasi.

    Terlebih, kata dia, tugas pertahanan siber bakal fokus ke dalam konteks yang lebih besar. Misalnya, operasi-operasi yang dilakukan berbagai pihak eksternal dengan tujuan menciptakan persepsi negatif, misinformasi, disinformasi, hingga malinformasi.

    Dia juga memberikan contoh bahwa banyak negara lain telah mengimplementasikan sistem pertahanan siber dengan mendirikan korps atau komando siber. Bahkan, militer Singapura telah memiliki angkatan siber yang independen.

    Sebagai contoh, dia menyebutkan serangan siber yang dapat mengancam kedaulatan dan keamanan negara, seperti serangan terhadap fasilitas data milik negara yang dapat mengganggu sektor energi dan transportasi.

    Menurutnya, ancaman tersebut memiliki dampak yang luas dan bersifat strategis bagi negara.

    “Dan ini tentunya membutuhkan juga kontribusi yang lebih luas, sehingga tentunya nanti Kemhan maupun TNI akan bersinergi dan berkolaborasi dengan stakeholder yang sudah ada, seperti BSSN, Komdigi, Polri,” katanya.

    Seperti diketahui, UU TNI yang baru menambah kategori mengenai operasi militer selain perang (OMSP), dari 14 kategori menjadi 16 kategori. Dua kategori yang ditambah yakni membantu menanggulangi ancaman siber dan membantu penyelamatan WNI di luar negeri. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 3 Komjen Polisi Pemilik Satyalancana Pengabdian 32 Tahun yang Masih Aktif di Polri

    3 Komjen Polisi Pemilik Satyalancana Pengabdian 32 Tahun yang Masih Aktif di Polri

    loading…

    Ada 3 Komjen Polisi pemilik penghargaan Satyalancana Pengabdian 32 Tahun. Salah satunya Wakapolri Komjen Pol Ahmad Dofiri. Foto: Dok SINDOnews

    JAKARTA – Ada 3 Komjen Polisi pemilik penghargaan Satyalancana Pengabdian 32 Tahun. Ketiganya masih aktif di Polri, bahkan salah satunya teman seangkatan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

    Satyalancana Pengabdian merupakan tanda kehormatan yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia kepada anggota kepolisian yang telah menjalankan tugas pokok selama beberapa tahun berturut-turut.

    Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengajuan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Satyalancana Pengabdian terdiri atas empat kelas berdasarkan lamanya pengabdian, yakni 8 tahun, 16 tahun, 24 tahun, dan 32 tahun.

    Sehingga, penerima penghargaan 32 tahun ini pastilah mereka yang sudah lama berkarier di Korps Bhayangkara. Dibuktikan dari 3 Komjen yang telah mengabdi selama 32 tahun.

    3 Komjen Polisi Pemilik Satyalancana Pengabdian 32 Tahun

    1. Komjen Pol Putu Jayan Danu Putra

    Putu Jayan Danu Putra saat ini menjabat Irjen Kementerian Perdagangan. Dia merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1989.

    Jenderal bintang 3 kelahiran Jakarta, 20 November 1967 ini sebelumnya menjabat Wakil Kepala BSSN.

    Dalam riwayat kariernya, Putu Jayan pernah dipercaya menjadi Kapolda Bali tahun 2020, Widyaiswara Utama Sespim Lemdiklat pada 2019, dan Karo Umum Setmilpres tahun 2015.

    2. Komjen Pol Ahmad Dofiri

    Ahmad Dofiri menjabat Wakapolri sejak 11 November 2024. Lulusan terbaik Akpol 1989 itu sebelumnya menjabat Irwasum Polri tahun 2023.

    Dia juga pernah menjadi Kabaintelkam Polri pada 2021. Jenderal bintang 3 asal Indramayu ini juga pernah menjabat Kapolda Jawa Barat tahun 2020 dan Asisten Logistik Kapolri pada 2019.

    3. Komjen Pol Marthinus Hukom

    Marthinus Hukom saat ini menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Dia adalah rekan seangkatan Kapolri yang merupakan jebolan Akpol 1991.

    Sebelum menjabat Kepala BNN, pria asal Maluku Tengah ini pernah menjadi Kepala Densus 88 Antiteror Polri.

    Dia pernah bertugas sebagai Dirintelijen Densus 88 AT tahun 2010, Wakadensusdi tahun 2015, hingga puncaknya menjadi Kepala Densus 88 Antiteror pada tahun 2021.

    (jon)

  • Kemhan Tegaskan Pertahanan Siber yang Dilakukan TNI Bukan Untuk Memata-matai Masyarakat – Halaman all

    Kemhan Tegaskan Pertahanan Siber yang Dilakukan TNI Bukan Untuk Memata-matai Masyarakat – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Biro Informasi Pertahanan (Karo Infohan) sekaligus Juru Bicara Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Frega Wenas menegaskan pertahanan siber yang dilakukan TNI dalam rangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana termuat dalam Undang-Undang TNI baru, bukan untuk memata-matai masyarakat sipil.

    Ia meyakinkan tugas baru TNI tersebut tidak akan mengancam kebebasan berpendapat sebagaimana dikhawatirkan sebagian kelompok masyarakat sipil.

    Frega memastikan tugas TNI tersebut akan dilakukan sesuai amanah konstitusi yang berfokus pada penegakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. 

    Dia menjelaskan saat ini siber telah menjadi sebuah domain penting dalam operasi militer. 

    Ia mencontohkan di lingkungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, siber menjadi sebuah korps tersendiri sejak tahun 2014.

    Bahkan, lanjut dia, doktrin multidomain operations dan multidomain battle yang berkembang sejak tahun 2017 telah mengintegrasikan siber bersama ruang angkasa dengan darat, maritim, dan udara, serta diadopsi oleh banyak negara termasuk negara-negara NATO. 

    Salah satu negara di kawasan seperti Singapura, kata dia, juga telah membentuk Angkatan Siber yang dinamai Digital and Intelligence Service. 

    Ia menjelaskan perkembangan dan dinamika ancaman tersebut yang menjadi urgensi bagi TNI untuk berperan menanggulangi ancaman siber karena hal itu bersinggungan dengan kedaulatan negara.

    Karena itu, menurut Frega, mencantumkan pertahanan siber sebagai bagian dari salah satu cara melaksanakan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) adalah sebuah urgensi. 

    “Masyarakat tidak perlu khawatir dengan disahkannya revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI yang mencantumkan tugas pertahanan siber sebagai tugas dalam OMSP, karena merupakan penguatan profesionalisme TNI sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik selaras dengan kepentingan dan keamanan nasional,” kata Frega dalam keterangan persnya pada Kamis (27/3/2025).

    “Bila ada yang menyuarakan narasi bahwa operasi militer di ruang siber akan memberangus demokrasi karena membatasi kebebasan berpendapat adalah tidak benar. Sebagai negara demokrasi tentunya kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik menjadi sebuah hal yang wajar,” lanjut dia.

    Ia menjelaskan ancaman siber yang dihadapi oleh TNI nantinya bisa berupa serangan-serangan terhadap sistem pertahanan dan komando militer seperti peretasan, sabotase digital, atau pencurian data strategis. 

    Selain itu ancaman tersebut juga dapat berupa ancaman terhadap infrastruktur kritis nasional seperti serangan terhadap jaringan listrik, telekomunikasi, transportasi dan beberapa lainnya yang dapat berdampak pada stabilitas negara. 

    Bahkan, kata dia, pertahanan siber nantinya juga akan menghadapi operasi informasi dan disinformasi dari pihak-pihak tertentu yang mengancam kedaulatan negara, termasuk yang memiliki motif untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah, hingga yang berpotensi memecah belah bangsa.

    Di samping itu, sambungnya, ancaman serangan siber dari aktor negara atau non-negara yang dapat berdampak pada keamanan nasional, baik dalam bentuk spionase maupun cyber warfare.

    “Tentunya, dalam operasionalisasinya TNI akan bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian dan Lembaga lain yang memiliki tugas yang beririsan dengan siber seperti Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), Kementerian Kominfodigi, dan Polri,” ungkapnya.

    “Karena peran TNI dalam domain siber bersifat defensif dan strategis untuk mendukung pertahanan negara sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan,” sambung Frega.

    Ia juga menegaskan dengan penguatan pertahanan siber, TNI tidak akan mengambil alih tugas lembaga lain tetapi akan beroperasi dalam lingkup pertahanan negara dan pada konteks keamanan nasional yang beririsan dengan kedaulatan negara. 

    Kominfodigi tetap bertanggung jawab atas regulasi dan pengelolaan infrastruktur digital nasional, sementara BSSN berfokus pada pengamanan siber secara nasional, dan Polri menangani aspek penegakan hukum. 

    Koordinasi lintas lembaga, lanjut dia, akan diperkuat agar tugas masing-masing tetap berjalan optimal tanpa tumpang tindih.

    “Semua tindakan yang dilakukan TNI nantinya akan tetap berada dalam kerangka hukum dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap operasi pertahanan siber yang dilakukan akan dikoordinasikan dengan instansi terkait agar tetap transparan dan tidak melanggar hak masyarakat dalam mengakses informasi,” ungkap dia.

    “Pada prinsipnya pelibatan TNI dalam ranah pertahanan siber adalah sejalan dengan amanah konstitusi untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia,” pungkasnya.

    Sebagai catatan, revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (revisi UU TNI) memberikan tugas baru untuk TNI dalam menangani ancaman siber melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

    Hal tersebut termuat pada Pasal 7 ayat (2) angka 15 tentang tugas pokok TNI yang dilakukan dengan operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana termuat draf revisi UU TNI baru, yang diterima.

    Dalam draf UU TNI baru khususnya pada bagian penjelasan angka 15 juga disebutkan yang dimaksud dengan “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber” adalah TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense).

    Tugas pokok baru dalam revisi UU TNI tersebut pun menimbulkan kekhawatiran sebagian kelompok masyarakat khususnya para pegiat demokrasi dan juga mereka yang menaruh perhatian pada isu-isu kebebasan berekspresi di media sosial.

  • Kemenhan pastikan tugas TNI bidang siber bukan untuk mata-matai sipil

    Kemenhan pastikan tugas TNI bidang siber bukan untuk mata-matai sipil

    Yang dimaksudkan pertahanan siber ini lebih kepada operasi informasi dan disinformasi yang mengancam kedaulatan negara dan keselamatan bangsa

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang memastikan bahwa tugas pertahanan siber yang kini dimiliki TNI berdasarkan Undang-Undang TNI yang baru, bukan untuk memata-matai masyarakat sipil.

    Dia mengatakan Kementerian Pertahanan memahami bahwa dalam era demokrasi, akan ada pendapat yang berbeda-beda. Sehingga kritik bagi instansi pertahanan atau pemerintah, itu merupakan salah satu bentuk ekspresi berpendapat yang wajar.

    “Yang dimaksudkan pertahanan siber ini lebih kepada operasi informasi dan disinformasi yang mengancam kedaulatan negara dan keselamatan bangsa,” kata Frega di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis.

    Untuk itu, dia mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terhadap UU TNI yang baru akan menghambat kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Karena tugas pertahanan siber bakal fokus ke dalam konteks yang lebih besar.

    Saat ini, dia menjelaskan bahwa operasi-operasi yang dilakukan berbagai pihak eksternal adalah ingin menciptakan persepsi negatif, misinformasi, disinformasi, hingga malinformasi.

    Selain itu, dia mencontohkan bahwa negara-negara lain sudah mengadopsi sistem pertahanan siber, dengan membentuk korps siber atau komando siber. Bahkan, kata dia, militer Singapura sudah memiliki angkatan siber yang tersendiri.

    Dia mencontohkan bahwa serangan siber yang bisa mengancam kedaulatan dan keselamatan negara, misalnya adanya sejumlah serangan terhadap fasilitas data milik negara, yang bisa mengganggu sektor energi dan sektor transportasi. Menurut dia, contoh ancaman itu memiliki dampak yang luas dan strategis secara nasional.

    “Dan ini tentunya membutuhkan juga kontribusi yang lebih luas, sehingga tentunya nanti Kemhan maupun TNI akan bersinergi dan berkolaborasi dengan stakeholder yang sudah ada, seperti BSSN, Komdigi, Polri,” katanya.

    Seperti diketahui, UU TNI yang baru menambah kategori mengenai operasi militer selain perang (OMSP), dari 14 kategori menjadi 16 kategori. Dua kategori yang ditambah yakni membantu menanggulangi ancaman siber dan membantu penyelamatan WNI di luar negeri.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Operasional PDN Molor, Ketersediaan Anggaran dan Kepercayaan Industri Disorot

    Operasional PDN Molor, Ketersediaan Anggaran dan Kepercayaan Industri Disorot

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Data Center Indonesia (Idpro) menyinggung soal ketersediaan anggaran di tengah  molornya operasional Pusat Data Nasional (PDN) menjadi April 2025

    Ketua umum IDPRO Hendra Suryakusuma menyebut PDN Cikarang adalah proyek fundamental dalam agenda kedaulatan data Indonesia dan tulang punggung percepatan transformasi digital di lembaga dan kementerian.

    “Jika ada pergeseran target operasional dari Maret ke April 2025, ini tentu harus menjadi catatan penting, mengingat sebelumnya proyek ini juga mengalami revisi jadwal,” kata Hendra kepada Bisnis, Rabu (26/3/2025).

    Diketahui, PDN nantinya akan memiliki peran sebagai tempat menampung data-data dari berbagai instansi pemerintah. PDN juga akan melakukan pengolahan data untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat.

    Selain itu, PDN juga berfungsi untuk emastikan data dapat dipulihkan jika terjadi kerusakan atau kehilangan data.

    PDN Cikarang ditarget akan beroperiasi pada Januari 2025. Namun, pengoperasian PDN ini kembali diundur hingga akhir Maret 2025. Saat ini, pemerintah memprediksi PDN Cikarang baru bisa beroperasi pada April 2025.

    Hendra menuturkan, proyek seperti PDN, keterlambatan bukan hanya isu konstruksi, tapi juga kesiapan dari sisi operasional dan tata kelola datanya.

    Maka dari itu, Hendra mengatakan pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah penguatan manajemen proyek.

    Pertama, pemerintah perlu melakukan konsolidasi lintas pemangku kepentingan, terutama antara Komdigi, BSSN, Lembaga Pengadaan, dan mitra teknis.

    Selain itu, percepatan proses teknis seperti uji integrasi sistem, commissioning, serta sertifikasi keamanan siber perlu terus diselesaikan.

    “Ketiga, memastikan tidak ada bottleneck administratif atau anggaran di kuartal kedua 2025,” ujar Hendra.

    Lebih lanjut, IDPRO tetap memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemerintah yang berfokus pada penguatan kedaulatan digital melalui pembangunan Pusat Data Nasional (PDN). 

    Hendra menegaskan bahwa pengembangan infrastruktur digital ini memiliki potensi besar untuk memperkuat ketahanan siber dan meningkatkan pelayanan teknologi informasi di Indonesia.

    “IDPRO berharap pemerintah menjaga konsistensi timeline serta transparansi pelaksanaan, karena ini akan berdampak langsung pada kepercayaan industri,” tuturnya.

    Diberitakan sebelumnya, Komdigi menyebut operasional Pusat Data Nasional (PDN) kemungkinan mundur menjadi April 2025. Bulan Ramadan menjadi pertimbangan pemerintah memundurkan waktu operasi.  

    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyampaikan bahwa pihaknya memang awalnya menargetkan PDN Cikarang beroperasi pada akhir Maret 2025.

    Namun, karena berbarengan dengan datangnya bulan suci Ramadan, Meutya menuturkan PDN Cikarang bakal beroperasi paling lama di April 2025.

    “Iya kita kan tadinya ingin bulan Maret, ini karena karena bulan suci Ramadan mudah-mudahan tidak meleset dari Maret. Paling lama April,” kata Meutya di Komdigi, Selasa (18/3/2025).

  • 2 WNA China Diringkus, Pakai BTS Palsu untuk Tebar SMS Massal Penipuan

    2 WNA China Diringkus, Pakai BTS Palsu untuk Tebar SMS Massal Penipuan

    Bisnis.com, JAKARTA – Dua warga negara asing (WNA) asal China ditangkap dalam operasi gabungan pada 18 dan 20 Maret 2025 karena menggunakan perangkat Base Transceiver Station (BTS) palsu untuk menyebarkan SMS penipuan.

    Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Kemkomdigi, Wayan Toni Supriyanto, menyampaikan operasi ini merupakan bagian dari kerja Satuan Tugas Penanganan Fake BTS, yang dibentuk bersama dengan Bareskrim, Bank Indonesia, BSSN, Diskominfo DKI Jakarta, dan para operator seluler.

    “Penindakan ini adalah upaya mencegah kerugian material yang jauh lebih besar kepada masyarakat dari penipuan melalui pancaran Fake BTS. Mengingat perputaran uang dan transaksi pada momen hari raya meningkat signifikan,” kata Wayan dalam siaran pers, Selasa (25/3/2025).

    Perangkat BTS ilegal yang digunakan para pelaku mampu memancarkan sinyal di frekuensi 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz.

    Teknologi ini disalahgunakan untuk mengelabui sistem jaringan seluler dan mengirimkan pesan massal (SMS blast) berisi penipuan yang berpotensi menyebabkan kerugian finansial signifikan. Terutama, di tengah meningkatnya transaksi keuangan masyarakat menjelang idulfitri.

    Wayan menjelaskan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) bersama dengan aparat penegak hukum akan terus melanjutkan proses hukum terhadap para pelaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Dari sisi teknis, Kemkomdigi dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memperkuat koordinasi dengan operator seluler guna memastikan keamanan sistem BTS secara menyeluruh.

    Langkah preventif tidak hanya melalui pengawasan lapangan, tetapi juga penguatan sistem internal seperti enkripsi.

    Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Himawan Bayu Aji, menyampaikan pihaknya terus mendalami jaringan pelaku serta teknologi yang digunakan, agar kasus serupa dapat dicegah sejak dini.

    Masyarakat juga diimbau untuk lebih berhati-hati saat menerima pesan-pesan promosi atau tautan dari nomor yang tidak dikenal, khususnya selama periode libur Idulfitri. Ia menekankan pentingnya kesadaran publik agar tidak mudah tertipu oleh pesan mencurigakan.

     

  • RUU Polri Lebih Bahaya dari RUU TNI? Ini Deretan Pasal Kontroversial yang Dipermasalahkan

    RUU Polri Lebih Bahaya dari RUU TNI? Ini Deretan Pasal Kontroversial yang Dipermasalahkan

    PIKIRAN RAKYAT – Setelah pengesahan RUU TNI 2025, kini Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) menjadi sorotan publik. RUU ini mengusulkan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Akan tetapi, beberapa pasal dalam draf tersebut menuai polemik karena dianggap memberikan kewenangan berlebihan kepada Polri. Berikut penjelasan lengkapnya.

    DPR Belum Jadwalkan Pembahasan RUU Polri

    Komisi III DPR menyatakan siap membahas revisi UU Polri jika dinilai mendesak, meski saat ini masih memprioritaskan RUU KUHAP. Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa belum ada Surat Presiden (Surpres) yang diterima untuk memulai pembahasan.

    “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Senin, 24 Maret 2025.

    Meski begitu, revisi ini sudah masuk dalam daftar rancangan undang-undang inisiatif DPR sejak 2024.

    Isi RUU Polri Terbaru

    Berdasarkan dokumen di laman resmi DPR, revisi UU Polri mencakup perubahan pada pasal-pasal berikut:

    Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 6 tentang Peran dan Fungsi Polri Pasal 7 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pasal 14 tentang Tugas Pokok Anggota Polri Pasal 16 tentang Penyelenggaraan Tugas Polri Pasal 30 tentang Usia Pensiun Maksimum Anggota Polri Pasal 35 tentang Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Dan lainnya…

    Namun, beberapa pasal memicu penolakan dari publik karena dinilai berpotensi mengekang kebebasan sipil dan memperluas kewenangan Polri tanpa pengawasan ketat.

    Deretan Pasal Kontroversial

    Pasal 16 Ayat 1 Huruf Q

    Pasal ini memberikan kewenangan Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, hingga perlambatan akses ruang siber demi keamanan dalam negeri.

    Koalisi Masyarakat Sipil menilai ketentuan ini berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan berisiko tumpang tindih dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

    Pasal 16A dan 16B (Sisipan Baru)

    Pasal 16A menyebutkan bahwa Intelkam Polri bisa melakukan pengawasan intelijen. Ini memicu kekhawatiran soal kewenangan Polri untuk meminta data intelijen dari BIN, BSSN, hingga BAIS.

    Pasal 16B juga mengandung istilah “Kepentingan Nasional” yang tidak didefinisikan secara jelas. Istilah ini dikhawatirkan bisa digunakan Polri untuk mengawasi kegiatan masyarakat dengan alasan menjaga kepentingan nasional.

    Pasal 14 Ayat 1 Huruf G dan O

    Huruf G memberi Polri wewenang melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik PNS, serta bentuk pengamanan swakarsa. Ini dikhawatirkan membuka peluang “bisnis keamanan” dan pelanggaran HAM melalui pengamanan swakarsa.

    Huruf O mengizinkan Polri melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian. PSHK menyoroti bahwa Polri tidak memerlukan izin, berbeda dengan KPK yang harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas.

    Pasal 30 Ayat 2

    Pasal ini mengatur usia pensiun:

    58 tahun bagi bintara dan tamtama. 60 tahun bagi perwira. 65 tahun bagi pejabat fungsional.

    Usulan ini dianggap menghambat regenerasi dalam tubuh Polri dan mempertahankan personel yang seharusnya sudah pensiun.

    Reaksi Masyarakat dan Lembaga Sipil

    Ketua YLBHI Muhammad Isnur menegaskan, pihaknya menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR tersebut.

    “Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini!” ucapnya.

    Muhammad Isnur mendesak DPR dan pemerintah memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat.

    Menurut laporan KontraS, dalam periode 2020–2024 tercatat ratusan kasus kekerasan melibatkan anggota Polri. Komnas HAM pun mencatat Polri sebagai lembaga negara dengan laporan pelanggaran HAM tertinggi pada 2023.

    Polri Menuju “Superbody”?

    Revisi UU Polri menuai kritik karena berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kekuasaan luas tanpa pengawasan memadai. Beberapa pasal memperlihatkan kecenderungan ke arah otoritarianisme baru dengan pembatasan kebebasan sipil dan penguatan fungsi intelijen kepolisian.

    Jika RUU ini disahkan tanpa revisi signifikan, Indonesia terancam mundur dari semangat reformasi dan demokrasi. Polri seharusnya berfungsi sebagai alat negara yang profesional dan akuntabel, bukan menjadi lembaga dengan kekuasaan absolut.

    Publik kini menanti apakah DPR akan mendengarkan suara rakyat atau tetap melanjutkan pembahasan RUU ini secara diam-diam. Apakah RUU Polri ini memperbaiki institusi kepolisian atau justru membuka jalan bagi lahirnya negara dalam negara?***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News