KLH Ungkap Dua Jalur Utama Penyebaran Zat Radioaktif Cs-137 di Cikande Banten
Tim Redaksi
SERANG, KOMPAS.com
– Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengungkap ada dua jalur utama penyebaran zat radioaktif Cesium-137 di Cikande, Kabupaten Serang, Banten.
Penyebaran itu menyebabkan 22 pabrik dan 13 titik lapak besi serta barang bekas terkontaminasi radiasi.
“Kami melihat bahwa
pathway
atau jalur kontaminasi Cs-137 ini terjadi melalui
airborne
, dari udara, akibat aktivitas industri di sekitar kawasan ini,” kata Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup, Rasio Ridho Sani, di Cikande, Senin (20/10/2025).
Jalur kedua, kata Rasio Ridho, melalui
slag
atau limbah hasil peleburan logam yang digunakan untuk kegiatan reklamasi atau penimbunan lahan di area permukiman dan lapak rongsokan.
Salah satu contoh, rumah warga di Kampung Sadang, Desa Sukatani, Kecamatan Cikande, Serang, menimbun
slag
agar tidak becek.
“Dari hasil identifikasi, dua faktor ini, udara dan
slag
, merupakan penyebab utama perpindahan kontaminasi,” ujar Rasio Ridho.
Untuk itu, lanjut Rasio Ridho, proses dekontaminasi memerlukan relokasi sementara warga agar masyarakat aman dari debu yang ditimbulkan selama proses pemindahan material
slag
.
“Kami perlu melakukan relokasi agar proses pembersihan bisa dilakukan dengan aman,” tambahnya.
Ia menambahkan, terkuat asal atau sumber material
slag
tersebut sedang didalami oleh bidang penegakan hukum KLH dan Bareskrim Polri.
“Fokus kami adalah melindungi kesehatan masyarakat, petugas, serta menjamin keberlanjutan kegiatan industri di kawasan Industri Modern Cikande,” tandasnya.
Sebelumnya, Satgas Penanganan Bahaya Radiasi Cs-137 menyebut, sumber lokal Cesium-137 berasal dari pabrik peleburan logam PT Metal Technology (PMT).
Zat radioaktif kemudian menyebar ke 22 pabrik di kawasan Industri Cikande yang teridentifikasi terkontaminasi.
Satgas kemudian melakukan upaya pencegahan penyebaran dengan berhasil membersihkan atau mendekontaminasi 20 dari 22 pabrik di Kawasan Industri Modern Cikande yang terpapar.
Selain pabrik, 2 dari 13 titik lapak besi bekas atau rongsokan dan rumah sudah dinyatakan aman atau bersih setelah dilakukan dekontaminasi bersama Bapeten, Brimob Polri, BRIN, dan KLH.
Slag
yang mengandung zat radioaktif telah dibawa ke tempat penyimpanan sementara di gudang PT PMT.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: BRIN
-
/data/photo/2025/10/13/68ecde8074469.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga Tolak Pengalihan Jalan Puspitek oleh BRIN: Sama Saja dengan Penutupan Megapolitan 20 Oktober 2025
Warga Tolak Pengalihan Jalan Puspitek oleh BRIN: Sama Saja dengan Penutupan
Tim Redaksi
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Ketua RT Muncul, Aziz, menegaskan bahwa warga menolak rencana Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan pengalihan Jalan Puspitek, Tangerang Selatan (Tangsel).
Menurut warga, pengalihan yang dimaksud tetap berarti penutupan jalan utama yang selama ini menjadi akses utama masyarakat, padahal status jalan tersebut masih milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.
“Kalau untuk pengalihan silakan. Cuma untuk posisi jalan yang sekarang, jalan provinsi ini, kami keberatan kalau nanti dialihkan atau ditutup. Pengalihan itu kan berarti ditutup jalan yang sekarang ini,” ujar Aziz saat ditemui di lokasi, Senin (20/10/2025).
Ia menambahkan, hingga kini belum ada keputusan resmi dari Pemprov Banten terkait perubahan status jalan tersebut.
“Belum ada pengalihan dari pihak gubernur pun belum ada,” imbuhnya.
Selain alasan hukum, warga juga menilai penutupan jalan akan berdampak pada aktivitas ekonomi masyarakat sekitar.
Banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menggantungkan penghasilan dari lalu lintas warga di Jalan Puspitek.
“Kalau ditutup, walaupun katanya dialihkan, ya otomatis UMKM di situ mati juga,” jelas Aziz.
Meski BRIN mengaku akan menjadikan para pelaku UMKM sebagai mitra, Aziz menilai hal tersebut masih belum jelas dan cenderung memberatkan pedagang.
“Itu kan dari bahasa dia. Kita sama sekali sejauh ini belum ada kabar itu. Dan prinsipnya kayaknya sih masyarakat keberatan karena itu kan lahan pribadi semuanya,” ujarnya.
Polemik tersebut kini dilaporkan warga ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten. Kuasa hukum warga sekaligus Ketua LBH Ansor Tangerang Selatan, Suhendar, mengatakan laporan itu diajukan karena BRIN dinilai melanggar sejumlah ketentuan hukum, salah satunya terkait tata ruang wilayah.
“Dalam undang-undang disebut, kewenangan mengatur tata ruang itu ada di presiden, gubernur, dan bupati/wali kota. Nah, di Banten dan Tangsel sudah jelas ditetapkan bahwa jalan itu adalah jalan provinsi,” ujar Suhendar saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/10/2025).
Ia menilai BRIN bertindak sewenang-wenang karena berencana menutup Jalan Puspitek tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah.
“Perbuatan permulaan sudah ada, seperti membatasi akses jalan. Itu sebabnya kami laporkan karena melanggar rencana tata ruang,” kata dia.
Selain dugaan pelanggaran tata ruang, laporan ke Kejati juga mencakup dugaan penyalahgunaan aset negara. Suhendar menduga ada penyewaan fasilitas milik BRIN secara komersial yang perlu diawasi.
“Lapangan dan gedung-gedung milik BRIN disewakan ke pihak ketiga. Kami ingin memastikan apakah penyewaan itu sesuai ketentuan dan hasilnya masuk ke kas negara atau tidak,” ujar Suhendar.
Sebelumnya, BRIN berencana melakukan pengalihan akses Jalan Puspitek dengan alasan keamanan dan keselamatan operasional fasilitas teknologi serta nuklir di kawasan tersebut.
“KST B.J. Habibie menjadi area yang memerlukan tingkat pengamanan tinggi, mengingat di dalamnya terdapat fasilitas nuklir, area pengembangan roket dan propelan, serta laboratorium berstandar internasional,” kata Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (14/10/2025).
Rencana itu juga mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 serta Keputusan Kepala BRIN Nomor 191/I/HK/2024 yang menyebut kawasan tersebut sebagai objek vital nasional yang harus dijaga keamanan dan keselamatan operasionalnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Tak Cuma Air Hujan, Mikroplastik di Mana-mana Sampai Masuk Tubuh Manusia
Jakarta –
Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengungkap air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya mungkin mengejutkan. Namun sebenarnya, hal ini tak terlalu mengagetkan, mengingat sudah banyak studi yang memperingatkan bahaya mikroplastik.
Tak hanya ada di air hujan, mikroplastik kini begitu umum sehingga kita minum, makan, dan menghirupnya. Akibatnya, mikroplastik muncul di kotoran, plasenta, organ reproduksi, bahkan otak kita.
Sebuah studi terbaru bahkan menemukan partikel berukuran kurang dari 5 mm yang berasal dari bahan bakar fosil ini, ada di dalam tulang manusia. Sebuah tinjauan baru terhadap 62 studi menunjukkan mikroplastik dan nanoplastik yang lebih kecil memengaruhi kesehatan rangka kita dalam berbagai cara.
“Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik dapat mencapai jauh ke dalam jaringan tulang, seperti sumsum tulang, dan berpotensi menyebabkan gangguan metabolisme,” kata ilmuwan medis Rodrigo Bueno de Oliveira dari State University of Campinas di Brasil, dikutip dari Science Alert.
Beberapa penelitian pada manusia menemukan bahwa sisa-sisa plastik ini terakumulasi di jaringan tulang melalui darah setelah tertelan. Di sana, penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hal ini dapat menghambat pertumbuhan tulang.
Terlebih lagi, gangguan pada osteoklas, sel yang mendukung pertumbuhan dan perbaikan tulang, dapat menyebabkan melemahnya struktur tulang, membuat tulang yang rusak ini lebih rentan terhadap kelainan bentuk dan patah tulang.
Sumber mikroplastik. Foto: Raubenheimer
“Studi in vitro dengan sel jaringan tulang menunjukkan bahwa mikroplastik mengganggu kelangsungan hidup sel, mempercepat penuaan sel, dan mengubah diferensiasi sel, selain memicu peradangan,” jelas Bueno de Oliveira.
“Dampak buruk yang diamati berpuncak, yang mengkhawatirkan, pada terganggunya pertumbuhan rangka hewan,” ujarnya.
Meskipun hal ini mungkin tidak berdampak pada tulang manusia, terdapat peningkatan prevalensi osteoporosis di seluruh dunia, suatu kondisi ketika tulang menjadi lebih rapuh dan rentan patah. Para peneliti menduga bahwa mikroplastik mungkin menjadi faktor penyebabnya, bersama dengan risiko lain yang telah diketahui seperti konsumsi alkohol dan populasi yang menua.
Namun, para ahli memperingatkan, kita terus meningkatkan ‘bahaya yang tidak disadari’ ini, menghasilkan sedikitnya 400 juta metrik ton plastik setiap tahun, sebuah proses yang menyumbang 1,8 miliar metrik ton gas rumah kaca per tahun.
Selama bertahun-tahun, para peneliti telah meminta lebih banyak sumber daya untuk menyelidiki dampak polutan petrokimia bermasalah ini terhadap tubuh kita. Sementara itu, kita dapat mengurangi paparan terhadap mikroplastik dengan menyaring air minum kita dan membatasi produk plastik, dari pakaian sintetis hingga botol minuman plastik.
(rns/rns)
-

Viral Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik, Bagaimana Bisa Terjadi?
Jakarta –
Air hujan selama ini dianggap simbol kesegaran yang ternyata tidak sepenuhnya bersih. Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya yang berasal dari aktivitas manusia di perkotaan.
Temuan ini menjadi peringatan bahwa polusi plastik kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga atmosfer.
Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menjelaskan penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di ibu kota. Partikel-partikel plastik mikroskopis tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.
“Mikroplastik ini berasal dari aktivitas manusia di kota besar. Misalnya serat sintetis dari pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran terbuka sampah plastik, serta degradasi plastik di lingkungan terbuka,” katanya saat dihubungi detikcom, Kamis (16/10/2025).
Bagaimana Bisa Terjadi?
Menurut Reza, fenomena ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition.
“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” ujarnya.
Temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa, sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan.
Plastik juga mengandung bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel mikro atau nano. Di udara, partikel ini juga bisa mengikat polutan lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.
“Jadi sifat beracunnya bukan dari air hujannya langsung, tapi dari partikel mikroplastik, bahan additive dan polutan lain yang terbawa di dalamnya,” tegas Reza.
Senada, Guru Besar IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Prof Etty Riani menjelaskan fenomena ini secara ilmiah memang sangat mungkin terjadi.
Menurut Prof Etty, mikroplastik, terutama yang berukuran sangat kecil atau nanoplastik, memiliki massa sangat ringan sehingga mudah terangkat ke atmosfer.
“Partikel ini bisa berasal dari berbagai sumber di darat seperti gesekan ban mobil, pelapukan sampah plastik yang kering dan terbawa angin, hingga serat pakaian berbahan sintetis,” ujarnya, dikutip dari laman IPB, Senin (20/10).
Saat partikel mikroplastik berada di udara, ia dapat terbawa arus angin dan akhirnya turun kembali ke bumi bersama air hujan.
“Hujan berperan seperti pencuci udara. Mikroplastik yang melayang di atmosfer akan menyatu dengan tetesan air hujan. Karena ukurannya sangat kecil, partikel itu tidak terlihat, sehingga seolah-olah air hujan bersih,” jelas Prof Etty.
Dampak Mikroplastik pada Kesehatan
Meski penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius, seperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Sementara dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.
“Dampaknya pada manusia terutama jika terhirup atau tertelan berulang dalam jangka panjang (tidak cepat seperti keracunan insektisida misalnya),” kata Reza.
“Partikel halus juga bisa membawa bahan kimia berbahaya seperti ftalat, BPA, atau logam berat, yang dikenal dapat mengganggu hormon dan metabolisme tubuh. Nah di Indonesia kan masih minim nih. Jadi ya memang riset terkait masih terus berjalan untuk memastikan seberapa besar efeknya terhadap manusia,” lanjutnya.
Halaman 2 dari 3
(suc/up)
-

Ada Mikroplastik di Air Hujan Jakarta, BRIN Beberkan Faktanya
Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya. Kandungan partikel tersebut berasal dari aktivitas manusia di perkotaan.
Penelitian yang dilakukan sejak 2022 itu menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di ibu kota. Partikel-partikel plastik mikroskopis tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.
Temuan ini menjadi peringatan bahwa polusi plastik tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga atmosfer.
“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” jelas peneliti BRIN, Muhammad Reza Cordova, dalam keterangan tertulis yang dikutip Senin (20/10/2025).
Reza menjelaskan, mikroplastik yang ditemukan umumnya berbentuk serat sintetis dan fragmen kecil plastik, terutama polimer seperti poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena dari ban kendaraan.
Rata-rata, peneliti menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari pada sampel hujan di kawasan pesisir Jakarta.
Fenomena ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition.
“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” ujarnya.
Temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa, sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan.
Plastik juga mengandung bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel mikro atau nano. Di udara, partikel ini juga bisa mengikat polutan lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.
“Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain,” tegas Reza.
Ia menjelaskan bahwa penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. Namun demikian, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius, seperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.
Reza menilai, gaya hidup urban modern menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya mikroplastik di atmosfer. Dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa dan kendaraan mencapai 20 juta unit, Jakarta menghasilkan limbah plastik dalam jumlah besar setiap hari.
“Sampah plastik sekali pakai masih banyak, dan pengelolaannya belum ideal. Sebagian dibakar terbuka atau terbawa air hujan ke sungai,” terangnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, BRIN mendorong langkah konkret lintas sektor. Pertama, memperkuat riset dan pemantauan kualitas udara dan air hujan secara rutin di kota-kota besar. Kedua, memperbaiki pengelolaan limbah plastik di hulu, termasuk pengurangan plastik sekali pakai dan peningkatan fasilitas daur ulang. Ketiga, mendorong industri tekstil agar menerapkan sistem filtrasi pada mesin cuci guna menahan pelepasan serat sintetis.
Selain itu, edukasi publik menjadi kunci penting. Reza mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik, memilah sampah, dan tidak membakar limbah sembarangan. “Kesadaran masyarakat bisa menekan polusi mikroplastik secara signifikan,” ujarnya.
Menurutnya, hujan yang kini mengandung partikel plastik adalah refleksi dari perilaku manusia terhadap bumi. Ia mengatakan bahwa langit Jakarta sebenarnya sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya.
“Plastik yang kita buang sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, sampah yang kita bakar karena malas memilah semuanya kembali.” pungkasnya.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
-

Video: BRIN Bicara Dampak Mikroplastik di Air Hujan
Video: BRIN Bicara Dampak Mikroplastik di Air Hujan
-

Video: BRIN Ungkap Awal Mula Temuan Mikroplastik di Air Hujan Jakarta
Video: BRIN Ungkap Awal Mula Temuan Mikroplastik di Air Hujan Jakarta
-
/data/photo/2025/04/17/6800b72261537.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Atasi Temuan Mikroplastik pada Hujan, Ini yang Dilakukan Pemprov DKI Megapolitan 19 Oktober 2025
Atasi Temuan Mikroplastik pada Hujan, Ini yang Dilakukan Pemprov DKI
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah Provinsi DKI menerapkan teknologi filtrasi udara dan air hujan untuk mengatasi temuan mikroplastik dalam menindaklanjuti hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Ke depan, Pemprov DKI Jakarta akan fokus pada riset terapan, penerapan teknologi filtrasi udara dan air hujan, serta inovasi produk ramah lingkungan,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto di Jakarta, dikutip dari
Antara,
Minggu (19/10/2025).
Pemprov DKI Jakarta bersama BRIN kini tengah memperluas pemantauan mikroplastik di udara dan air hujan melalui sistem Jakarta Environmental Data Integration (JEDI), sebuah platform berbasis data untuk pemantauan kualitas lingkungan.
Data yang terhimpun dari sistem ini akan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih berbasis bukti (
evidence-based policy
).
Asep menambahkan, sinergi riset ini tidak hanya memperkuat basis data ilmiah, tetapi juga mendukung lahirnya kebijakan pengendalian polusi yang lebih efektif dan adaptif.
Upaya pengurangan plastik akan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari rumah tangga, kawasan bisnis, hingga sektor industri.
“Kami terbuka untuk berkolaborasi dalam penelitian, pengembangan teknologi filtrasi, dan inovasi produk ramah lingkungan. Menjaga langit Jakarta dari mikroplastik adalah tanggung jawab semua pihak,” kata Asep.
Diketahui, hasil penelitian BRIN menemukan kandungan mikroplastik dalam air hujan di ibu kota sejak penelitian ini mulai dilaksanakan tahun 2018.
Temuan ini menunjukkan bahwa polusi plastik kini telah menjangkau atmosfer dan memerlukan langkah penanganan yang ilmiah, terukur, dan kolaboratif.
Terlebih, saat ini, regulasi nasional mengenai batas aman mikroplastik di udara dan air hujan belum tersedia, sehingga kolaborasi ini diharapkan menjadi pijakan awal menuju kebijakan nasional berbasis bukti ilmiah.
“Temuan BRIN ini bukan sekadar peringatan, melainkan momentum untuk memperkuat riset dan solusi. Polusi plastik kini bukan hanya masalah laut atau sungai, tetapi sudah sampai di langit Jakarta,” ujar Asep.
Dengan demikian, DLH DKI bekerja sama bersama BRIN untuk melakukan penelitian lanjutan serta menyiapkan usulan standar baku mutu mikroplastik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Warga RI Makin Ramai Kumpul Kebo, Wilayah Ini Paling Banyak
Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena pasangan bukan suami istri yang tinggal bersama atau kumpul kebo rupanya telah ramai di Indonesia. Beberapa saat lalu, fenomena kumpul kebo juga terjadi di jejeran Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sebelumnya, The Conversation melaporkan fenomena kumpul kebo disebabkan adanya pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit.
Sebagai gantinya, mereka memandang ‘kumpul kebo’ sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, ‘kumpul kebo’ masih menjadi hal tabu. Kalaupun terjadi, ‘kumpul kebo’ biasanya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.
Di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa ‘kumpul kebo’ lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk ‘kumpul kebo’ bersama pasangan.
Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.
“Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda beberapa saat lalu.
“Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.
Akibat Kumpul Kebo
Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat ‘kumpul kebo’ adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.
“Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.
Sementara itu dari segi kesehatan, ‘kumpul kebo’ dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.
Menurut data PK21, sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.
“Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status ‘anak haram’, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” kata Yulinda.
“Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” ia menjelaskan.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
-

DKI terapkan filtrasi udara dan air hujan atasi temuan mikroplastik
Pemprov DKI Jakarta akan fokus pada riset terapan, penerapan teknologi filtrasi udara dan air hujan
Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi DKI menerapkan teknologi filtrasi udara dan air hujan untuk mengatasi temuan mikroplastik dalam menindaklanjuti hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Ke depan, Pemprov DKI Jakarta akan fokus pada riset terapan, penerapan teknologi filtrasi udara dan air hujan, serta inovasi produk ramah lingkungan,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto di Jakarta, Minggu.
Asep mengatakan Pemprov DKI Jakarta bersama BRIN kini tengah memperluas pemantauan mikroplastik di udara dan air hujan melalui sistem Jakarta Environmental Data Integration (JEDI), sebuah platform berbasis data untuk pemantauan kualitas lingkungan.
Data yang terhimpun dari sistem ini akan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih berbasis bukti (evidence-based policy).
Asep menambahkan, sinergi riset ini tidak hanya memperkuat basis data ilmiah, tetapi juga mendukung lahirnya kebijakan pengendalian polusi yang lebih efektif dan adaptif.
Upaya pengurangan plastik akan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari rumah tangga, kawasan bisnis, hingga sektor industri.
“Kami terbuka untuk berkolaborasi dalam penelitian, pengembangan teknologi filtrasi, dan inovasi produk ramah lingkungan. Menjaga langit Jakarta dari mikroplastik adalah tanggung jawab semua pihak,” kata Asep.
Diketahui, hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan kandungan mikroplastik dalam air hujan di ibu kota sejak penelitian ini mulai dilaksanakan tahun 2018.
Temuan ini menunjukkan bahwa polusi plastik kini telah menjangkau atmosfer dan memerlukan langkah penanganan yang ilmiah, terukur, dan kolaboratif.
Terlebih, saat ini, regulasi nasional mengenai batas aman mikroplastik di udara dan air hujan belum tersedia, sehingga kolaborasi ini diharapkan menjadi pijakan awal menuju kebijakan nasional berbasis bukti ilmiah.
“Temuan BRIN ini bukan sekadar peringatan, melainkan momentum untuk memperkuat riset dan solusi. Polusi plastik kini bukan hanya masalah laut atau sungai, tetapi sudah sampai di langit Jakarta,” ujarnya.
Dengan demikian, DLH DKI bekerja sama bersama BRIN untuk melakukan penelitian lanjutan serta menyiapkan usulan standar baku mutu mikroplastik.
Pewarta: Luthfia Miranda Putri
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
/data/photo/2025/10/20/68f642b3e023a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)