Kementrian Lembaga: BPS

  • Pemerintah Siap Gelontorkan Stimulus Rp 10,8 Triliun – Page 3

    Pemerintah Siap Gelontorkan Stimulus Rp 10,8 Triliun – Page 3

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan ke-II 2025 sebesar 5,12 persen (year on year). Angka ini menandai keberhasilan pemerintah menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global yang penuh tantangan.

    Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Selain itu, sektor usaha yang mencatat kinerja ekspansif meliputi manufaktur, perdagangan, transportasi, serta akomodasi dan makanan-minuman.

    “Dukungan utama adalah dari konsumsi dan aktivitas investasi serta ekspor. Aktivitas dunia usaha ekspansif terutama di sektor manufaktur, kemudian perdagangan, transport, dan akomodasi makan serta minum,” ujarnya.

     

  • Bertambahnya Pengangguran di Indonesia Tembus Hingga Angka 7,28 Juta, Faktor Penyebabnya?

    Bertambahnya Pengangguran di Indonesia Tembus Hingga Angka 7,28 Juta, Faktor Penyebabnya?

    Tahun 2025 menjadi penanda penting bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, sedikit meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini menimbulkan pertanyaan besar: apa penyebab meningkatnya jumlah pengangguran meskipun ekonomi nasional menunjukkan tanda-tanda pemulihan?

    Tren ini penting untuk dicermati, terutama bagi perusahaan, pelaku industri, dan pemerintah dalam merumuskan kebijakan jangka panjang. Dalam konteks ini, penggunaan HR technology seperti payroll software yang terintegrasi juga mulai banyak dibicarakan sebagai solusi strategis untuk efisiensi dan perencanaan tenaga kerja.

    Artikel ini akan membahas tentangg faktor-faktor penyebab meningkatnya angka pengangguran di Indonesia tahun 2025 dan bagaimana strategi jangka panjang dapat membantu mengatasi tantangan ini. Selengkapnya!

     
    Fakta terbaru: data pengangguran Indonesia 2025
    Mengacu pada data BPS terbaru:

    ● Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025 adalah 5,19%, meningkat tipis dari 5,17% pada Februari 2024.

    ● Jumlah pengangguran secara absolut mencapai 7,28 juta orang.

    ● Pengangguran paling banyak terjadi di kelompok usia muda (15–24 tahun).

    ● Sektor formal masih mendominasi penyerap tenaga kerja, tetapi sektor informal justru lebih fleksibel terhadap perubahan ekonomi.

     
    5 faktor utama penyebab pengangguran di tahun 2025

     

    1. Pertumbuhan lapangan kerja yang tidak seimbang

    Meskipun ekonomi tumbuh sekitar 5,1% pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan tersebut belum diiringi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai. Banyak industri besar lebih memilih otomatisasi dibanding merekrut pekerja baru.

     

    2. Kesenjangan keterampilan (skill gap)

    Banyak pencari kerja yang tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri masa kini seperti digital marketing, analisis data, atau AI. Fenomena ini menjadi penyebab utama mengapa lulusan baru sulit mendapatkan pekerjaan.

     

    3. PHK massal di beberapa sektor

    Industri manufaktur dan teknologi mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat penyesuaian strategi bisnis dan peningkatan efisiensi. Hal ini menyumbang lonjakan angka pengangguran di kota-kota besar.

     

    4. Minimnya investasi tenaga kerja di daerah

    Ketimpangan pembangunan antara kota besar dan daerah masih menjadi masalah struktural. Di banyak wilayah luar Jawa, akses terhadap pelatihan dan pekerjaan formal masih sangat terbatas.

     

    5. Transisi ekonomi digital

    Banyak pekerjaan konvensional tergeser oleh model bisnis digital, tetapi tidak diimbangi dengan kecepatan adaptasi angkatan kerja. Akibatnya, banyak pekerja tradisional menjadi rentan terhadap pengangguran.

     
    Dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan angka pengangguran
    Lonjakan pengangguran membawa sejumlah dampak serius, antara lain:

    ● Penurunan daya beli masyarakat

    ● Peningkatan angka kemiskinan di kelompok usia produktif

    ● Beban fiskal negara meningkat, terutama pada subsidi dan program bantuan sosial

    ● Meningkatnya ketimpangan ekonomi antarwilayah

    Jika tidak segera ditangani, masalah ini berpotensi menjadi penghambat utama dalam misi Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045.

     
    Solusi dan rekomendasi: kolaborasi multisektor

     

    a. Penguatan pendidikan vokasional

    Pemerintah dan swasta perlu berinvestasi lebih besar pada pelatihan kerja berbasis keterampilan industri. Hal ini akan menjawab persoalan ketidaksesuaian antara kebutuhan pasar dan kompetensi pencari kerja.

     

    b. Optimalisasi teknologi dalam manajemen SDM

    Perusahaan perlu beralih pada sistem digital, seperti payroll software, untuk efisiensi dan transparansi dalam perencanaan tenaga kerja. Sistem ini juga membantu HR dalam pengambilan keputusan berbasis data.

     

    c. Insentif bagi industri padat karya

    Pemberian stimulus pajak atau insentif tenaga kerja bagi perusahaan yang menciptakan lapangan kerja lokal dapat mempercepat penyerapan tenaga kerja.

     

    d. Mendorong kewirausahaan digital

    Pemerintah dapat mendukung program inkubasi bisnis dan akses pembiayaan untuk startup berbasis digital sebagai alternatif solusi jangka panjang.

     
    Kesimpulan
    Peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia pada 2025 menjadi sinyal penting bahwa transformasi ekonomi tidak serta merta membawa pemerataan kesempatan kerja. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan sistem ketenagakerjaan yang adaptif dan inklusif.

    Mengintegrasikan teknologi seperti payroll software dan digitalisasi HRIS menjadi salah satu langkah strategis untuk memperbaiki manajemen tenaga kerja di internal perusahaan sekaligus meningkatkan efisiensi nasional.

    Dengan langkah kolaboratif dan data-driven, Indonesia diharapkan mampu menekan angka pengangguran secara bertahap dan menyongsong bonus demografi dengan lebih siap.

  • Industri pengolahan berandil tertinggi bagi pertumbuhan ekonomi Kaltim

    Industri pengolahan berandil tertinggi bagi pertumbuhan ekonomi Kaltim

    Kepala BPS Kaltim Yusniar Juliana. ANTARA/HO-BPS Kaltim

    Industri pengolahan berandil tertinggi bagi pertumbuhan ekonomi Kaltim
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Rabu, 06 Agustus 2025 – 09:39 WIB

    Elshinta.com – Industri pengolahan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang mengalami pertumbuhan 15,12 persen pada triwulan II-2025, memberikan andil tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi ini secara total mengalami pertumbuhan 4,69 persen pada periode yang sama.

    “Ekonomi Kaltim pada triwulan II-2025 terhadap triwulan II-2024 tumbuh 4,69 persen (year on year/yoy), dengan lapangan usaha industri pengolahan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 15,12 persen,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim Yusniar Julina, di Samarinda, Selasa (5/8).

    Perekonomian Provinsi Kaltim triwulan II-2025 berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp221,77 triliun, sementara mengacu pada PDRB atas dasar harga konstan senilai Rp147,96 triliun. Ia melanjutkan, kinerja ekonomi Kaltim yang tumbuh positif 4,69 persen ini, mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan kinerja ekonomi triwulan II-2024 yang tumbuh sebesar 5,85 persen.

    Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2025 didorong oleh capaian kinerja hampir seluruh lapangan usaha yang tumbuh positif, kecuali lapangan usaha pertambangan dan penggalian, kemudian lapangan usaha konstruksi yang mengalami penurunan.

    “Tiga lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi yaitu industri pengolahan dengan pertumbuhan 15,12 persen, lapangan usaha jasa lainnya tumbuh 13,96 persen, kemudian lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum tumbuh 9,97 persen,” katanya pula.

    Sementara itu, lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebagai salah satu lapangan usaha utama pembentuk perekonomian Provinsi Kaltim, terkontraksi 0,13 persen, lantas lapangan usaha konstruksi terkontraksi 0,11 persen. Ia melanjutkan, struktur perekonomian Kaltim menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku belum mengalami perubahan signifikan selama periode beberapa tahun terakhir.

    Lima lapangan usaha yang mendominasi perekonomian Kaltim pada triwulan II-2025, yaitu pertambangan dan penggalian dengan peranan sebesar 34,11 persen, diikuti lapangan usaha industri pengolahan sebesar 20,33 persen. Kemudian lapangan usaha konstruksi sebesar 11,48 persen, lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 9,65 persen, serta lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 7,54 persen.

    “Peranan lima lapangan usaha tersebut dalam perekonomian Kaltim mencapai 83,11 persen. Sedangkan total penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi Kaltim pada triwulan II-2025 secara y-on-y sebanyak 15 lapangan usaha,” kata Yusniar lagi.

    Sumber : Antara

  • Daya Beli Diklaim Pulih, Penerimaan PPN Justru Terkontraksi, Apa Pemicunya?

    Daya Beli Diklaim Pulih, Penerimaan PPN Justru Terkontraksi, Apa Pemicunya?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Sejauh ini belum ada penjelasan secara detail dari pemerintah mengenai kinerja penerimaan PPN dan pajak secara keseluruhan.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memaparkan kinerja APBN pada semester 1/2025 di Badan Anggaran DPR, bulan lalu menuturkan bahwa kontraksi penerimaan itu terjadi karena restitusi cukup besar yang sampai Februari 2025 masih cukup dirasakan dan kembali terjadi pada bulan Mei 2025.

    “Ini oleh pak Dirjen Pajak baru sekarang sudah dikelola dari keseluruhan track. Juni sudah double digit.  Ini memberi harapan di semester kedua untuk stabilisasi penerimaan pajak,” ujar Sri Mulyani di DPR, Juli lalu.

    Sekadar ilustrasi, kalau merujuk kepada data Kementerian Keuangan, angka restitusi itu bisa ditelusuri melalui besaran jumlah pajak bruto dan pajak neto. Penerimaan PPN Bruto pada semester 1/2025 tercatat sebesar Rp443,93 triliun, sementara itu neto Rp267,27 triliun. Artinya jika selisih antara PPN bruto dan neto itu dianggap sebagai restitusi, maka nilainya akan mencapai Rp176,6 triliun.  

    Sri Mulyani juga menuturkan bahwa salah satu pemicu tingginya restitusi adalah penetapan komoditas batu bara sebagai barang kena pajak. Penetapan batu bara sebagai BKP atau barang yang harus dikenakan PPN merupakan konsekuensi dari implementasi Pasal 112 UU Cipta Kerja alias Ciptaker. 

    “Dan ini yang menimbulkan restitusi cukup besar.”

    Fenomena Rojali Hanya Isu 

    Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyoroti fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana) hanya sebatas isu.

    Dia menilai dua fenomena itu hanya sebatas isu di tengah data konsumsi masyarakat yang dinilai masih positif.

    Hal itu disampaikan Airlangga saat merespons ihwal pertumbuhan ekonomi RI kuartal II/2025 yang tercatat sebesar 5,12% secara tahunan atau year-on-year (yoy), Selasa (5/8/2025). Pada pertumbuhan kuartal II/2025, konsumsi masih menjadi motor pertumbuhan.

    Menurut Airlangga, kinerja konsumsi yang menopang perekonomian pada periode itu terlihat dari kinerja keuangan sektor retail pada tiga perusahaan publik, yang tidak diperinci lebih lanjut.

    Satu perusahaan dimaksud bergerak di bidang minimarket, serta dua lainnya memiliki banyak outlet di pusat perbelanjaan atau mal. Airlangga menyebut pertumbuhan kinerja keuangan tiga perusahaan itu yakni 4,99%, 6,85% serta 12,87%.

    “Ini menunjukkan bahwa terkait dengan isu rohana dan rojali ini isu yang ditiup-tiup, jadi faktanya berbeda dan tentu ini yang harus kita lihat,” ungkapnya pada konferensi pers, Selasa (5/8/2025).

    Kemudian, masih terkait dengan konsumsi, Airlangga memaparkan sejumlah data yang dinilai menunjukkan pertumbuhan positif konsumsi masyarakat. Misalnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal II/2025 sebesar 4,97% yoy, Indeks Penjualan Riil (ritel) 233,7, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 117,8 serta ekspansi bantuan sosial (bansos).

    Menko Perekonomian sejak 2019 itu mengatakan, pemerintah masih optimistis target pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 akan mencapai 5,2% yoy. Hal itu berkat capaian pertumbuhan kuartal II/2025 yang kembali ke jalur 5%.

    “Ekonomi kita masih solid, rencana kita di semester II/2025 menargetkan 5,2% bisa dicapai. Namun, apa yang diumumkan alhamdulillah kita kembali ke jalur 5%,” terangnya.

    Pajak Akan Pulih 

    Di sisi lain, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan bahwa laporan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 menjadi kabar baik kedua setelah sebelumnya IMF, dalam World Economic Outlook (WEO) terkini, menaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025.

    Ekonomi kuartal II – 2025 tumbuh 5,12% atau tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal yang sama pada tahun lalu. Sedangkan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 dalam outlook terbaru baik menjadi 4,8%. 

    Fajry menambahkan bahwa prospek positif pertumbuhan ekonomi ini akan berdampak positif bagi kinerja penerimaan pajak tahun 2025. Meski data terakhir menunjukkan penerimaan pajak kita masih terkontraksi namun saya berpendapat jika hal tersebut bersifat sementara.

    “Mengingat kinerja awal tahun banyak dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi yang bersifat sementara dan tidak berulang seperti kenaikan restitusi pajak. Meski awal tahun ada kontraksi cukup dalam namun akan terus membaik sampai akhir tahun. Tahun lalu pola kinerja penerimaan-pun sama seperti itu,” ujarnya.

    Secara historis, kata Fajry, dalam dua dekade terakhir, penerimaan pajak tidak pernah tumbuh negatif kecuali karena adanya shock besar pada perekonomian, seperti global financial crisis (2008) tahun 2008 atau Pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu.

    “Artinya, kalau ekonomi kita bisa tumbuh positif, sudah seharusnya pertumbuhan penerimaan pajak juga akan positif. Sedangkan kontraksi penerimaan yang cukup dalam akan terus membaik.”

  • Sederet Fakta Kinerja Ekonomi Kuartal II/2025 yang Bikin Ekonom dan Pasar Terkejut

    Sederet Fakta Kinerja Ekonomi Kuartal II/2025 yang Bikin Ekonom dan Pasar Terkejut

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 di luar ekspektasi pasar yakni di angka 5,12%. Banyak pihak menyoroti data tersebut, meskipun kalau dilihat secara historis beda proyeksi pasar dengan BPS sudah beberapa kali terjadi. 

    Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Moh. Edy Mahmud, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 ditopang oleh sejumlah komponen baik dari sisi lapangan usaha maupun pengeluaran. Pada dasarnya dari sisi pengeluaran seluruh komponen masih tumbuh positif, kecuali konsumsi pemerintah yang kontraksi. 

    “Komponen pengeluaran yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 54,25% dan tumbuh 4,37% [YoY],” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (5/8/2025). 

    Edy melanjutkan, konsumsi rumah tangga juga menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dengan andil sebesar 2,64% dari total 5,12% pertumbuhan ekonomi nasional.

    Menyusul dibelakangnya adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi dengan porsi sebesar 27,83% terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan 6,99% yoy. Adapun, andil PMTB terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II/2025 adalah 2,06%.

    Kontributor lain terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II/2025 adalah net ekspor sebesar 0,22%, dan sektor lain sebesar 0,22%. Komponen lain, yaitu konsumsi pemerintah tercatat masih terkontraksi 0,22%.

    Sumber data: BPS

    Edy menjelaskan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga terjadi seiring dengan meningkatnya belanja kebutuhan primer dan mobilitas rumah tangga. Dia menjelaskan, kebutuhan bahan makanan dan makanan meningkat karena aktivitas pariwisata selama periode libur hari besar keagamaan nasional dan juga hari libur sekolah.

    “Mobilitas masyarakat yang meningkat mendorong peningkatan konsumsi untuk transportasi dan restoran,” lanjutnya.

    Sementara itu, pertumbuhan PMTB didorong oleh investasi swasta dan pemerintah. Dia menjelaskan, belanja modal pemerintah pada kuartal II/2025 tumbuh 30,37% secara year on year terutama pada komponen mesin dan peralatan.

    “Sementara itu, impor barang modal jenis mesin tumbuh 28,16% secara year on year,” ujarnya. 

    Beda Data Bukan Hal Baru 

    Perbedaan antara proyeksi ekonom dan realisasi pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sejatinya bukan hal baru. Fenomena anomali data antara konsensus ekonom dengan BPS pernah terjadi pada kuartal II tahun-tahun sebelumnya.

    Dalam catatan Bisnis, pada kuartal II/2021 misalnya, kalangan ekonom meramalkan perekonomian Indonesia berada di angka 5,5%. Namun demikian BPS kemudian merilis data bahwa pertumbuhan ekonomi selama kuartal II/2021 tembus di angka 7,07%.

    Tren serupa juga terjadi pada kuartal II/2022. Waktu itu rata-rata ekonom memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh di median angka 5,01% dan yang paling optimistik di kisaran 5,17%. Menariknya, BPS kemudian merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2022 tembus di angka 5,44%. 

    Pada kuartal II/2023, BPS merilis pertumbuhan ekonomi 5,17%. Padahal kalangan pasar pada waktu itu memprediksi ekonomi akan tumbuh di kisaran 5%. Namun pada kuartal II/2024, gap antara proyeksi ekonom dengan realisasi agak menciut. Proyeksi ekonom waktu itu pertumbuhan ekonomi di angka 5%, sedangkan realisasi versi BPS 5,05%. 

    Sementara itu pada kuartal 2025, terjadi polemik karena deviasi antara proyeksi ekonom dengan realisasi pertumbuhan ekonomi mencapai 0,3%. Kalau menilik data Bloomberg, konsensus ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi di angka 4,8%. Namun demikian, BPS merilis data pertumbuhan ekonomi 5,12%.

    Pasar Terkejut

    Adapun kalangan ekonom menyebut pasar cukup terkejut dengan pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) terkait kinerja ekonomi kuartal II/2025 yang tumbuh mencapai 5,12%. Estimasi optimistik mereka sebelumnya, pertumbuhan ekonomi hanya di angka 5%.

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, proyeksi dari 30 ekonom maupun lembaga yang dihimpun Bloomberg menunjukkan, median atau nilai tengah pertumbuhan PDB kuartal II/2025 adalah adalah 4,8% yoy. Estimasi tertinggi yakni pertumbuhan hingga 5% sedangkan terendah 4,6% yoy.

    Proyeksi pertumbuhan tertinggi 5% diramalkan oleh Gareth Leather dari Capital Economics, Ltd. dan Enrico Tanuwidjaja dari PT Bank UOB Indonesia, sedangkan terendah oleh Moody’s Analytics Singapore, Jeemin Bang sebesar 4,6%. 

    Bank-bank BUMN seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memproyeksikan pertumbuhan sebesar 4,79% atau setara dengan nilai rata-rata konsensus para ekonom tersebut. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) meramalkan pertumbuhan lebih tinggi 4,9%. 

    Ilustrasi bursa

    Salah satu ekonom yang proyeksinya dihimpun oleh Bloomberg, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya memperkirakan PDB kuartal II/2025 hanya tumbuh 4,76% yoy. Dia menyebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis hari ini mengejutkan pasar. 

    “Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar 5,12% (yoy) yang diumumkan oleh BPS memang mengejutkan pasar, terutama karena seluruh estimasi konsensus Bloomberg berada di bawah angka tersebut—bahkan estimasi tertingginya hanya menyentuh 5,0%,” terang Josua kepada Bisnis, Selasa (5/8/2025). 

    Josua menuturkan data pertumbuhan yang dirilis BPS itu tidak hanya melampaui ekspektasi pasar, tetapi juga terjadi di tengah narasi yang kontras. Salah satunya adalah Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih berada di zona kontraksi selama kuartal tersebut, yakni berkisar 49.

    Tidak hanya itu, persepsi umum menunjukkan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih. “Maka, muncul pertanyaan fundamental: dari mana sebenarnya sumber pertumbuhan yang mengejutkan ini?,” ungkap Josua. 

    Pada sisi konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi terbesar kepada PDB, pertumbuhannya secara tahunan hanya naik tipis dari 4,95% ke 4,97%. Namun, Josua melihat karakteristik pemulihannya cukup berbeda dari kuartal sebelumnya yakni kuartal I/2025. 

    BPS, terangnya, bersama-sama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sama-sama menyoroti pergeseran preferensi konsumsi dari belanja offline ke online. Data transaksi online dari e-commerce dan marketplace tumbuh sebesar 7,55% secara kuartalan, dan konsumsi elektronik (uang elektronik, kartu debit, kredit) tumbuh 6,26% secara tahunan, pada kuartal II/2025.

    Josua mengatakan, data-data itu menunjukkan bahwa meskipun indeks penjualan eceran secara riil masih lemah, masyarakat mulai kembali aktif berbelanja melalui kanal digital, terutama saat momentum Idulfitri maupun libur sekolah. 

    Dia menilai kenaikan konsumsi itu lebih banyak karena faktor musiman dan pola belanja digital ketimbang karena kenaikan pendapatan yang merata.

    “Namun, apakah ini berarti daya beli telah benar-benar pulih? Jawabannya masih relatif. Pertumbuhan konsumsi belum sepenuhnya solid di semua lapisan masyarakat, terlihat dari masih terbatasnya pertumbuhan konsumsi makanan pokok dan inflasi yang tetap rendah (1,87% yoy), yang bisa mencerminkan lemahnya pricing power produsen dan konsumen yang masih berhati-hati,” terangnya. 

  • Ekonomi Kuartal II/2025 Naik 5,12%, Indef: Apakah Data Ini Valid?

    Ekonomi Kuartal II/2025 Naik 5,12%, Indef: Apakah Data Ini Valid?

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tetap mempertanyakan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025. 

    Sebagaimana dilaporkan sebelumnya, BPS mencatat pertumbuhan PDB kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY) dari periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan bakal tetap mempertanyakan data-data yang disampaikan oleh BPS mengenai pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua 2025 itu. 

    “Kita tetap mempertanyakan kepada BPS apakah data-data ini valid dan mencerminkan kondisi di lapangan,” ujarnya pada diskusi yang diselenggarakan secara daring, Rabu (6/8/2025). 

    Senada, Ekonom Senior Indef, M. Fadhil Hasan juga masih mempertanyakan data itu karena indikator utama perekonomian RI justru menunjukkan pelemahan. 

    Misalnya, penjualan motor dan mobil, PMI manufaktur dalam fase kontraksi di bawah 50, konsumsi rumah tangga turun, serta investasi. 

    Padahal, investasi atau PMTB dilaporkan BPS tumbuh 6,99% yoy pada kuartal II/2025 atau tertinggi sejak kuartal II/2021. Investasi dan konsumsi rumah tangga menjadi dua motor terbesar pertumbuhan kuartal II/2025. 

    Fadhil lalu merujuk pada data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, yang menunjukkan turunnya perolehan penanaman modal asing atau PMA (foreign direct investment/FDI). 

    “FDI asing, ini keterangan dari Pak Rosan sendiri [Menteri Investasi] menyatakan bahwa turun Rp202,2 triliun dari periode tahun lalu triwulan II/2024 Rp217,3 triliun,” kata Fadhil pada acara yang sama. 

    Kemudian terdapat indikator lain seperti pertumbuhan kredit yang disebut memiliki korelasi tinggi dengan situasi perekonomian. 

    Selanjutnya, ada peningkatan PHK selama semester I/2025, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun, serta pesimisme terhadap penghasilan masyarakat. 

    Lalu, ada net capital outflow di pasar keuangan Indonesia serta turunnya penerimaan pajak, khususnya PPN dan PPnBM. Pajak, kata Fadhil, seharusnya seiring dengan pertumbuhan ekonomi. 

    “Jadi saya kira ini sesuatu yang juga menyebabkan atau  mendorong seharusnya pemerintah itu lebih transparan lagi lebih terbuka lagi, lebih akuntabel lagi dalam hal pendataan tentang pertumbuhan ekonomi tersebut,” ujarnya.

    Fadhil menyebut ekonomi kuartal II/2025 sebelumnya diperkirakan tumbuh di bawah 5% yoy, atau seperti halnya konsensus 30 analis yang dihimpun Bloomberg sebelumnya. Analis-analis tersebut mengestimasi nilai median pertumbuhan hanya 4,8% yoy. 

    “Tapi karena pengumuman pemerintah merupakan sesuatu yang official, yang menjadi rujukan resmi, ya kita mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan dan komunikasi lebih lanjut. Dan mendorong pemerintah agar melihat secara lebih mendasar lagi mungkin dari sisi metodologinya,” ucapnya.

  • Pengusaha Beberkan Peluang Ekonomi RI Tumbuh Terjaga 5%, Realistis?

    Pengusaha Beberkan Peluang Ekonomi RI Tumbuh Terjaga 5%, Realistis?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi periode kuartal kedua tahun ini yang mencapai 5,12% (year-on-year/yoy) dinilai cukup mengejutkan bagi dunia usaha dan ekonom. Namun, laju pertumbuhan ini disebut dapat terus terjaga. 

    Data BPS menunjukkan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kuartal I/2024 sebesar 5,11%, kemudian diikuti oleh pertumbuhan ekonomi kuartal kedua sebesar 5,05%. 

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan secara siklus tahunan, kuartal kedua memang umumnya lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang ditopang oleh belanja masyarakat dalam periode lebaran.

    “Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% dengan segala perdebatannya, menjadi sebuah indikator tren pertumbuhan ekonomi yang naik pada tahun 2025,” kata Ajib kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025). 

    Meskipun, para ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi cenderung lebih rendah lagi di kuartal kedua. Konsensus pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025 hanya di kisaran 4,69%—4,81%. 

    Hal ini juga didukung oleh Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur yang mengalami konstraksi sepanjang kuartal. PMI Manufaktur Juli 2025 tercatat 49,2 atau masih di fase kontraksi. 

    Pada April 2025 PMI manufaktur tercatat sebesar 46,7. Konstraksi paling dalam sejak 4 tahun terakhir. Adapun, pada Mei 2025 mengalami peningkatan indeks menjadi 47,4, Juni 2025 kembali mengalami penurunan, menjadi sebesar 46,9. 

    “Data konstraksi PMI Manufaktur ini juga relevan dengan potret di lapangan, terjadi fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya-nanya (rohana), padahal daya beli dan konsumsi ini yang menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya. 

    Jika ditelisik, BPS mengebut ada dua hal yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup eskalatif di kuartal kedua 2025 ini yakni investasi dan kebijakan moneter.  

    Pertama, investasi disebut tumbuh secara signifikan sebesar 6,99% yoy atau level tertinggi selama 4 tahun terakhir, terutama karena proyek infrastruktur. 

    Adapun, kuartal kedua ini mencapai Rp477,7 triliun, dengan rasio 57,7% dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 42,3% dari Penanaman Modal Asing (PMA).

    Faktor kedua adalah karena kebijakan moneter, yang membuat relaksasi tingkat suku bunga acuan turun 25 basis point pada Mei 2025, menjadi 5,5%.

    Ajib menilai kebijakan ini cukup menambah likuiditas di sistem perekonomian sebesar 375 triliun lewat relaksasi cadangan. 

    “Kebijakan ini diharapkan bisa berlanjut memberikan dampak positif pada kuartal ketiga, karena pada awal Juli, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan menjadi 5,25%,” tuturnya. 

    Masukkan Apindo

    Untuk itu, Apindo memberikan 4 masukan agar pertumbuhan ekonomi bisa terjaga sampai dengan akhir tahun untuk jangka pendek, dan sampai dengan tahun 2029 untuk jangka menengah. 

    Pertama, adalah penguatan daya beli masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah diminta untuk mendorong penyerapan tenaga kerja. Seluruh kebijakan lembaga dan kementerian, harus mempunyai orientasi dan output dalam penyerapan tenaga kerja.

    Kedua, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran, dan mendorong low cost economy. Percepatan restitusi, Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), relaksasi pajak untuk UMKM, menjadi bagian kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan. 

    “Kemudian tingkat suku bunga kredit yang murah, perlu didorong terutama untuk sektor padat karya,” imbuhnya. 

    Ketiga, pemerintah perlu mendorong regulatory streamlining, atau deregulasi. Percepatan layanan, kemudahan koordinasi, penyederhaaan perijinan, adalah bagian dari deregulasi. 

    Apindo mendukung pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Deregulasi dari Kemenko Perekonomian, bagian dari kolaborasi dunia usaha dan pemerintah dalam mendukung perekonomian yang lebih baik.

    Keempat, mendorong lebih banyak investasi yang masuk. Rasio investasi PMA masih rendah, dan potensi bisa ditingkatkan, dengan catatan, pemerintah harus fokus dengan upaya  mendorong ease to doing business atau kemudahan dalam berusaha. 

    “Indonesia masih di peringkat 73 dari 190 negara. Idealnya Indonesia bisa di peringkat 40. Momentum ratifikasi IEU-CEPA juga menjadi angin segar menuju free trade agreement dan membuka pintu investasi dari Uni Eropa ke Indonesia,” tuturnya. 

    Ajib menuturkan, meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025, menjadi sebuah paradoks dari daya beli yang sedang menurun, tetapi dengan segala diskursus yang ada, dunia usaha optimis secara agregat tahun 2025, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai sesuai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PEM-PPKF) yang ditetapkan oleh pemerintah.

    Untuk itu, pemerintah diminta untuk menggandeng dunia usaha agar mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dan eskalatif ke depannya. Kolaborasi inilah yang terus didorong melalui Indonesia Incorporated.

  • Biaya Hidup Mahal, Warga di Depok Habiskan Rp 1,4 Juta per Bulan Hanya untuk Transportasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 Agustus 2025

    Biaya Hidup Mahal, Warga di Depok Habiskan Rp 1,4 Juta per Bulan Hanya untuk Transportasi Megapolitan 6 Agustus 2025

    Biaya Hidup Mahal, Warga di Depok Habiskan Rp 1,4 Juta per Bulan Hanya untuk Transportasi
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com –
    Sejumlah warga di Depok harus mengalokasikan dana lebih dari Rp 1 juta setiap bulan untuk biaya transportasi menuju tempat kerja.
    Salah satunya adalah Dira (22), warga Cimanggis, yang setiap bulan menghabiskan sekitar Rp 1,4 juta dari gajinya untuk berangkat ke tempat kerjanya di Ancol, Jakarta Utara.
    “Total ongkos pulang dan pergi dalam sehari tuh sekitar Rp 62.000, itu termasuk naik ojek
    online
    dua kali,” kata Dira kepada
    Kompas.com,
    Rabu (6/8/2025).
    Dira menjelaskan, ongkos harian itu mencakup perjalanan menggunakan ojek
    online
    (ojol) dari rumah ke stasiun, naik KRL Commuter Line, dan mobil kancil menuju tempat kerja.
    Biaya terbesar berasal dari ongkos ojol dari rumah ke stasiun atau sebaliknya, yang bisa mencapai Rp 40.000 per hari.
    “Kan kalau di aplikasi ojol ada high fare gitu ya, nah itu kalo lagi macet dikit bisa Rp 17.000–25.000 buat jarak rumah ke stasiun,” ujar Dira.
    Menurut Dira, tidak ada transportasi umum seperti angkot yang melintasi langsung kawasan tempat tinggalnya. Ia harus berjalan sekitar 1,2 kilometer untuk mencapai Jalan Akses UI, lokasi transportasi umum terdekat.
    Kondisi ini membuat dia sulit mengganti ojol sebagai moda transportasi utama, meski waktu tempuh ke kantor bisa mencapai 90 hingga 100 menit setiap hari.
    Warga lainnya, Sasi (25) dari kawasan Tugu, juga mengalami hal serupa. Ia mengalokasikan anggaran transportasi sebesar Rp 1,4 juta per bulan dari gaji sekitar Rp 5 juta.
    Setiap hari, ia bepergian ke tempat kerjanya di Baranangsiang, Kota Bogor, dan tetap membutuhkan ojol untuk akses ke dan dari stasiun.
    “Transportasi umum sudah ada beberapa pilihan tapi yang masih PR tuh akses ke halte atau stasiun dari rumah,” kata Sasi.
    “Jarak terdekat dari rumah ke halte terdekat itu tuh bisa 1,6 kilometer,” tambahnya.
    Ongkos harian Sasi diperkirakan berkisar antara Rp 48.000 hingga Rp 74.000, tergantung kondisi. Ia juga berupaya menekan pengeluaran dengan menggunakan angkot atau Biskita.
    “Untuk ngirit ongkos ya selalu usahain naik angkot buat ke kantor atau enggak pas pulangnya naik Biskita,” jelasnya.
    Sebelumnya, Kementerian Perhubungan dan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukkan empat kota di wilayah Jabodetabek masuk dalam daftar 10 kota dengan biaya transportasi tertinggi di Indonesia.
    Berdasarkan persentase terhadap biaya hidup harian, Depok menempati peringkat pertama secara nasional, disusul Bekasi di peringkat kedua, Bogor di peringkat keempat, dan Jakarta di peringkat keenam.
    Berikut rincian datanya:
    Persentase pengeluaran transportasi di empat kota ini telah melebihi batas ideal yang direkomendasikan Bank Dunia, yakni 10 persen dari total biaya hidup.
    Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, menyebutkan salah satu penyebab mahalnya ongkos transportasi adalah biaya perjalanan awal atau first mile, yaitu dari rumah menuju simpul transportasi umum seperti halte atau stasiun.
    “Naik kereta mungkin hanya Rp 3.500–6.000, tapi ojol bisa Rp 25.000, parkir Rp 10.000. Ini yang kami kaji,” ujar Risal.
    Ia menambahkan, pemerintah saat ini tengah mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan tingginya biaya perjalanan, khususnya dalam tahap awal perjalanan.
    Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat merancang kebijakan yang mampu menurunkan total pengeluaran transportasi masyarakat, baik untuk keperluan bekerja, berbelanja, maupun rekreasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ternyata Faktor Ini yang Membuat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Membaik, Ramalan Pengamat Terbukti Keliru

    Ternyata Faktor Ini yang Membuat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Membaik, Ramalan Pengamat Terbukti Keliru

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II tahun 2025 menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya.

    Di tengah pesimisme publik terhadap kondisi ekonomi nasional, capaian ini menjadi kabar positif yang membalik prediksi sejumlah pengamat dan lembaga ekonomi.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 mencapai 5,12% (year-on-year) dengan PDB atas dasar harga berlaku sebesar Rp5.947 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2025 yang tumbuh 4,87% dan juga lebih baik dari Triwulan II tahun 2024 yang tumbuh sebesar 5,05%.

    Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza, menilai bahwa faktor musiman turut menjadi pendorong utama pertumbuhan kali ini, terutama melalui konsumsi rumah tangga.

    “Pertumbuhan ekonomi nasional mampu membalik ramalan sejumlah pengamat dan lembaga,” ujar Dr. Handi Risza dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/8/2025).

    Ia menjelaskan, dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 54,25% atau 2,64% terhadap total pertumbuhan.

    Sementara investasi melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) memberikan kontribusi sebesar 27,83% atau 2,06% terhadap pertumbuhan.

    “Dengan demikian, 82,08% PDB kuartal II berasal dari konsumsi rumah tangga dan PMTB. Hal ini didorong peningkatan kebutuhan rumah tangga dan mobilitas serta permintaan barang modal meningkat,” lanjutnya.

    Dari sisi lapangan usaha, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan, yaitu sebesar 1,13%, diikuti oleh perdagangan (0,70%), informasi dan komunikasi (0,53%), serta konstruksi (0,47%).

  • Ternyata Faktor Ini yang Membuat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Membaik, Ramalan Pengamat Terbukti Keliru

    Ternyata Faktor Ini yang Membuat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Membaik, Ramalan Pengamat Terbukti Keliru

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II tahun 2025 menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya.

    Di tengah pesimisme publik terhadap kondisi ekonomi nasional, capaian ini menjadi kabar positif yang membalik prediksi sejumlah pengamat dan lembaga ekonomi.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 mencapai 5,12% (year-on-year) dengan PDB atas dasar harga berlaku sebesar Rp5.947 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2025 yang tumbuh 4,87% dan juga lebih baik dari Triwulan II tahun 2024 yang tumbuh sebesar 5,05%.

    Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza, menilai bahwa faktor musiman turut menjadi pendorong utama pertumbuhan kali ini, terutama melalui konsumsi rumah tangga.

    “Pertumbuhan ekonomi nasional mampu membalik ramalan sejumlah pengamat dan lembaga,” ujar Dr. Handi Risza dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/8/2025).

    Ia menjelaskan, dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 54,25% atau 2,64% terhadap total pertumbuhan.

    Sementara investasi melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) memberikan kontribusi sebesar 27,83% atau 2,06% terhadap pertumbuhan.

    “Dengan demikian, 82,08% PDB kuartal II berasal dari konsumsi rumah tangga dan PMTB. Hal ini didorong peningkatan kebutuhan rumah tangga dan mobilitas serta permintaan barang modal meningkat,” lanjutnya.

    Dari sisi lapangan usaha, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan, yaitu sebesar 1,13%, diikuti oleh perdagangan (0,70%), informasi dan komunikasi (0,53%), serta konstruksi (0,47%).