Kementrian Lembaga: BPS

  • Ekonomi Tumbuh 5,12% tapi Penerimaan Pajak Turun, Kok Bisa?

    Ekonomi Tumbuh 5,12% tapi Penerimaan Pajak Turun, Kok Bisa?

    Jakarta

    Pertumbuhan ekonomi Indonesia baru saja diumumkan tumbuh 5,12% secara tahunan pada kuartal II-2025. Kinerja positif itu tidak sesuai dengan beberapa indikator ekonomi lainnya, termasuk penerimaan pajak yang justru mengalami penurunan.

    Pengamat perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan ada beberapa penyebab penerimaan pajak turun saat ekonomi tumbuh hingga 5,12%.

    “BPS baru saja mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Q2 sebesar 5,12%. Harapan lantas menyembul di tengah berbagai ketidakpastian dan tantangan yang datang silih berganti. Tapi kenapa penerimaan pajak turun? Ada beberapa penyebab dan penjelasan menurut saya,” katanya dikutip dari unggahan resmi media sosial X @prastow, Jumat (8/8/2025).

    Sebagai informasi, sampai semester I-2025 realisasi penerimaan pajak turun 6,21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlahnya terkumpul Rp 837,8 triliun atau 38% dari target.

    Menurut Prastowo, penyebab pertama adalah adanya kejadian yang tidak berulang, seperti restitusi. Awal tahun 2025 terdapat restitusi (pengembalian kelebihan pajak) yang jumlahnya cukup besar dan tidak terjadi di tahun sebelumnya.

    “Tentu ini berpengaruh pada penerimaan neto kita. Semester II-2025 mestinya restitusi akan melandai dan normal,” ucapnya.

    Penyebab kedua adalah bedanya waktu pencatatan karena administrasi pajak pada umumnya menggunakan basis bulan penuh untuk mencatat dan menghitung kewajiban, sehingga pembayaran/pelaporan dilakukan di bulan berikutnya. Misal kinerja Mei yang dicatat BPS di kuartal II, akan menjadi penerimaan pajak di Juni atau kuartal III.

    Penyebab ketiga turunnya penerimaan pajak karena batalnya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang sebelumnya berpotensi menambah Rp 71 triliun. Hal ini membuat target terlalu besar dan gap melebar.

    Di sisi lain, pemerintah tetap memberikan berbagai stimulus dan insentif, termasuk insentif pajak yang menjadi penyebab keempat turunnya penerimaan pajak.

    “Tentu ini akan mengurangi realisasi penerimaan pajak, meski sebagai kebijakan berdampak positif terhadap perekonomian. Maka dalam menilai kinerja perpajakan, seyogianya juga memperhitungkan tax expenditure,” tuturnya.

    Penyebab kelima adalah adanya pengaruh Coretax. Dampak pemberlakuan Coretax di awal tahun yang belum sempurna untuk mendukung pelaksanaan kewajiban perpajakan, membuat pembayaran mengalami penundaan.

    “Akibatnya, pembayaran tertunda ke bulan-bulan berikutnya. Hal ini berangsur normal dan mestinya stabil di semester II,” jelas Prastowo.

    Penyebab keenam adalah adanya sektor yang tumbuh dan stagnan yang bisa jadi sebagai penyumbang besar penerimaan. Kemudian di awal tahun ada penyesuaian atau efisiensi belanja pemerintah yang berpengaruh ke penerimaan pajak.

    “Semoga kinerja perekonomian konsisten membaik, penerimaan pajak lekas pulih dan pemerintah dapat terus fokus ke upaya penciptaan lapangan kerja, menjaga daya beli dan pemerataan kesejahteraan,” harap Prastowo.

    (aid/rrd)

  • Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Bisnis.com, JAKARTA — Cadangan devisa Indonesia dibayangi oleh pembayaran utang luar negeri dan kemungkinan efek penerapan tarif 19% terhadap barang asal Indonesia oleh pemerintahan Donald Trump. 

    Tarif Trump belum berdampak terhadap kinerja ekspor yang merupakan salah satu sumber devisa negara. Namun demikian, pemberlakuan tarif 19% yang efektif pada 7 Agustus 2025, diproyeksikan akan menekan kinerja ekspor barang Indonesia ke AS. Apalagi AS adalah salah pangsa pasar ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China.

    Adapun rilis terbaru Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pada Juli 2025 posisi cadangan devisa berada di angka US$152,0 miliar pada Juli 2025 atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$152,6 miliar.

    Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada Maret 2025, yakni senilai US$157,1 miliar. Namun, setelahnya turun.

    Cadangan devisa relatif stabil posisinya sejak April 2025, yakni sebesar US$152,5 miliar. Posisinya kemudian turun pada Juli 2025, salah satunya untuk keperluan pembayaran utang luar negeri.

    “Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, Kamis (7/8/2025).

    Grafik Cadangan Devisa Januari – Juli 2025

    Sumber: Bank Indonesia, miliar US$

    BI melaporkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia per Mei 2025 adalah senilai US$435,6 miliar, setara Rp7.100,28 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp16.300 per dolar AS pada akhir Mei 2025). Jumlah utang itu naik US$4,05 miliar atau sekitar Rp66 triliun dari bulan sebelumnya.

    Jumlah utang luar negeri per Mei 2025 naik dalam nominal dolar, tetapi menjadi turun saat dikonversi ke dalam rupiah karena terjadi penguatan kurs pada Mei 2025 dari bulan sebelumnya.

    Utang luar negeri Indonesia Mei 2025 mengalami kenaikan 6,8% secara tahunan (year on year/YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2025 sebesar 8,2% (YoY).

    “Perkembangan tersebut disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN [utang luar negeri] di sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN swasta,” ujar Denny.

    Dibayangi Tarif Donald Trump

    Ramdan menyampaikan bahwa BI juga melakukan intervensi di pasar keuangan demi menjaga stabilitas rupiah, terutama di tengah dinamika ekonomi global setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif resiprokal ke banyak negara menjelang pemberlakuan.

    “Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2025 setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” ujar Denny.

    BI, sambungnya, menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

    Oleh sebab itu, cadangan devisa sebesar US$152 miliar itu diyakini memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus.

    Sejalan dengan itu, BI berharap cadangan devisa tersebut meningkat persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.

    “Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tutup Ramdan.

    Neraca Dagang RI-AS 

    Adapun tarif Trump 19% mulai berlaku pada 7 Agustus 2025. Alasan Trump mengenakan tarif impor barang sebesar 19% ke Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Seperti diketahui, neraca perdagangan AS dengan Indonesia selalu defisit. Hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. 

    Bisnis telah merangkum data neraca perdagangan Indonesia-AS selama tahun 2020 – Semester 1/2025 versi otoritas statistik AS, yang menunjukkan nilai sebesar US$101,7 miliar. Angka defisit bagi AS merupakan surplus bagi neraca perdagangan Indonesia.

    Adapun kebijakan tarif Trump telah memicu kekhawatiran baik pemerintah maupun kalangan pengusaha mengenai turunnya permintaan dari AS akibat tarif yang mencapai 19%. Lonjakan ekspor ke AS dan masih terjaganya surplus perdagangan ke negeri Paman Sam itu dinilai tidak akan bertahan lama dan ada potensi kemungkinan tergerus pasca penerapan tarif Trump. 

    BPS mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan AS masih tercatat surplus di angka US$9,9 miliar pada semester 1/2025. Angka versi BPS itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan versi AS yang mencatatkan bahwa surplus perdagangan Indonesia ke AS mencapai US$11,7 miliar. 

    Apa Kata Ekonom?

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual mengamini data BI tersebut. Dia menyebut utang luar negeri (ULN) pemerintah serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang jatuh tempo pada bulan lalu memang memakan porsi yang besar dari cadangan devisa Tanah Air. 

    Meski demikian, David masih menilai bahwa eksternal Indonesia masih terkendali karena kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sejauh ini masih positif. 

    “Tapi sejauh ini asing masih positif ytd [year-to-date] di SBN mengimbangi net flow asing di saham yang negatif,” terang David kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025). 

    Ke depan, David memperkirakan cadangan devisa Indonesia sampai akhir 2025 berada di kisaran US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Perkiraan itu dengan asumsi SBN pemerintah dengan denominasi dolar Australia dan yuan China, Kangaroo dan Dimsum Bond, jadi terbit. 

    “Proyeksi antara US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Ada rencana  penerbitan Kangaroo dan Dimsum Bonds. Kalau jadi bisa tambah devisa,” terangnya. 

    Tidak hanya itu, David turut memperkirakan nilai tukar rupiah juga bakal berada di rentang antara Rp16.300 sampai dengan Rp16.600 per dolar Amerika Serikat (AS). 

  • Rupiah menguat seiring optimisme pasar atas penurunan suku bunga

    Rupiah menguat seiring optimisme pasar atas penurunan suku bunga

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah menguat seiring optimisme pasar atas penurunan suku bunga
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 18:58 WIB

    Elshinta.com – Analis pasar uang Bank Woori Saudara Rully Nova mengatakan penguatan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi optimisme pelaku pasar atas penurunan suku bunga Federal Reserve (The Fed).

    “Rupiah pada perdagangan hari ini diperkirakan menguat di kisaran Rp16.330-Rp16.380 dipengaruhi oleh faktor global penurunan index dollar yang dipicu oleh naiknya optimisme pelaku pasar pada penurunan suku bunga acuan The Fed pada pertemuan September nanti,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Pemangkasan suku bunga Fed diperkirakan sebanyak dua kali pada tahun ini sebesar 100 persen dengan total 50 basis points (bps).

    Ekspektasi tiga kali pemangkasan suku bunga dengan total 75 bps juga meningkat dari 46,4 persen menjadi 48,1 persen. Potensi pemotongan tersebut diprediksi terjadi pada September, Oktober dan Desember.

    “Besarnya optimisme pelaku pasar atas penurunan suku bunga The Fed pada pertemuan September nanti dapat dilihat pada Fed Watch yang menunjukkan angka 90 persen yang disebabkan pelemahan pasar tenaga kerja AS,” ungkap Rully.

    Adapun sentimen positif dari domestik berasal dari peningkatan minat pelaku pasar asing terhadap pasar obligasi negara.

    “Minat pelaku pasar asing terhadap obligasi negara masih sangat tinggi dengan membukukan net buy 3,5 miliar dolar AS dan yield yang turun pada awal pekan kemarin 10 bps,” ujar dia.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Kamis di Jakarta menguat sebesar 75 poin atau 0,46 persen menjadi Rp16.287 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.362 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini juga menguat ke level Rp16.312 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.379 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Ekonomi tumbuh 5,12 persen bukti transformasi di jalur tepat

    Ekonomi tumbuh 5,12 persen bukti transformasi di jalur tepat

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Prabowo: Ekonomi tumbuh 5,12 persen bukti transformasi di jalur tepat
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 19:34 WIB

    Elshinta.com – Presiden Prabowo Subianto mengapresiasi capaian pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,12 persen pada kuartal II 2025, kata pejabat Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO).

    Menurut Kepala PCO Hasan Nasbi, di Jakarta, Kamis, Presiden, dalam Sidang Kabinet Paripurna, Rabu (6/8), menilai pertumbuhan ini sebagai bukti bahwa strategi transformasi nasional berada di jalur yang tepat.

    “Pak Presiden kemarin optimistis, Presiden bilang, dengan pertumbuhan ekonomi seperti ini, artinya strategi transformasi nasional kita sedang berada di jalan yang benar,” ujar Hasan dalam konferensi pers di Kantor PCO.

    Presiden juga memberikan apresiasi khusus terhadap capaian investasi di Indonesia yang hingga saat ini terus menunjukkan tren positif.

    Hingga Agustus 2025, kata Hasan, realisasi investasi di Indonesia telah mencapai Rp942,9 triliun, atau hampir 50 persen dari target tahun ini sebesar Rp1.900 triliun.

    “Realisasi investasi ini menciptakan 1.259.868 lapangan kerja. Jadi ini bukan komitmen atau janji, tapi investasi yang benar-benar sudah terealisasi. Mereka sudah spending di sini,” katanya.

    Lima negara utama penyumbang investasi terbesar ke Indonesia adalah Singapura sebesar 8,8 miliar dolar AS, disusul Hongkong dan Tiongkok yang jika digabung melebihi 8 miliar dolar AS, Malaysia sebesar 1,7 miliar dolar AS, dan Jepang sebesar 1,6 miliar dolar AS.

    Investasi tersebut tersebar pada lima sektor utama yakni industri logam dasar, industri transportasi dan telekomunikasi, sektor pertambangan, jasa, serta sektor perumahan dan kawasan industri.

    Hasan menjelaskan bahwa sektor industri manufaktur mencatat pertumbuhan sebesar 5,6 persen, sementara sektor investasi tumbuh 6,99 persen. Kedua sektor ini berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025 yang mencapai 5,12 persen.

    Sebagai latar belakang, pada kuartal IV 2024 — saat Presiden Prabowo mulai menjabat — pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,02 persen. Sempat turun pada kuartal I 2025 menjadi 4,87 persen.

    “Kuartal II naik 5,12, dan itu dikeluarkan oleh pemerintahan yang sama, oleh BPS yang sama,” ujarnya.

    Sumber : Antara

  • Ketika Istana Jawab Pihak yang Ragukan Pertumbuhan Ekonomi

    Ketika Istana Jawab Pihak yang Ragukan Pertumbuhan Ekonomi

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) soal pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2025 sebesar 5,12% diragukan sejumlah pihak, tak terkecuali pakar ekonomi. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi merespons.

    Hasan menyebut pemerintah mengeluarkan data-data yang jujur. Ia pun memaparkan bukti-bukti bahwa pemerintah sudah jujur dalam menyampaikan data.

  • Strategi stimulus pariwisata Indonesia yang berbuah manis

    Strategi stimulus pariwisata Indonesia yang berbuah manis

    Ilustrasi. Sendratari Ramayana berlatar belakang Candi Prambanan yang pertama kali dipentaskan pada 1961 menjadi daya tarik wisata budaya untuk wisatawan domestik dan mancanegara. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/tom.

    Strategi stimulus pariwisata Indonesia yang berbuah manis
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 10:41 WIB

    Elshinta.com – Perekonomian Indonesia kembali tersenyum lebar. Angka pertumbuhan ekonomi nasional kuartal kedua 2025 melonjak 5,12 persen secara tahunan. Sebuah capaian membanggakan, apalagi melampaui ekspektasi banyak pihak. Di balik gemilangnya angka ini, ada satu sektor yang diam-diam, namun pasti, menjadi pahlawan tak terduga: pariwisata.

    Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana dengan bangga menyebut bahwa empat sektor penyumbang Produk Domestik Bruto terbesar erat kaitannya dengan pariwisata. Jasa hiburan dan rekreasi melesat 11,31 persen, disusul jasa perusahaan, transportasi, serta akomodasi dan makan minum. Ini jelas sinyal kuat: pariwisata bukan lagi pelengkap, tapi lokomotif pertumbuhan.

    Namun, ada hal menarik yang patut kita renungkan. Di tengah keriuhan angka pertumbuhan ini, kita tidak mendengar banyak narasi tentang promosi pariwisata yang “menggembirakan” atau anggaran fantastis yang digelontorkan untuk menarik turis dari segala penjuru dunia.

    Sebaliknya, yang tercium justru aroma stimulus domestik dan kolaborasi internal. Lantas, bagaimana sektor ini bisa “sekokoh” itu? Apakah kita menemukan formula baru dalam mengembangkan pariwisata, yang mungkin lebih efisien dan berkelanjutan?. Mari kita bedah lebih dalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa yang menjadi tulang punggung utama sektor ini adalah gerakan masif wisatawan nusantara (wisnus).

    Pada Kuartal II 2025 saja, 331,37 juta perjalanan dilakukan oleh wisnus, melonjak 22,32 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka kumulatif semester pertama bahkan mencapai 613,78 juta perjalanan! Ini jauh melampaui capaian wisatawan mancanegara (wisman) yang “hanya” 3,89 juta kunjungan di kuartal yang sama.

    Fenomena ini menunjukkan adanya kekuatan pasar domestik yang luar biasa besar dan tangguh. Setelah pandemi mereda, masyarakat kita haus akan perjalanan, ingin menjelajahi indahnya negeri sendiri. Pemerintah dengan cerdas menangkap momentum ini. Kebijakan stimulus ekonomi, seperti diskon tiket pesawat dan kereta api, secara langsung mendorong mobilitas masyarakat.

    Ini bukan promosi dalam artian iklan televisi di Times Square, melainkan promosi yang sangat action-oriented: memberikan insentif langsung kepada calon pelancong.

    Kolaborasi Kementerian Pariwisata dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk menyiapkan paket wisata dan diskon di bulan kemerdekaan, serta kampanye liburan akhir tahun, adalah contoh nyata sinergi yang efektif antara regulator dan pelaku usaha.

    Mereka tidak “mengiklankan” destinasi secara umum, melainkan “menjual” pengalaman dan kemudahan berwisata dengan harga menarik. Karisma Event Nusantara (KEN) dengan 58 festival yang direkomendasikan juga menambah daftar panjang atraksi lokal yang siap dikunjungi, menyebarkan manfaat ekonomi ke berbagai daerah.

    Mengukur Dampak

    Efektivitas strategi ini memang patut diacungi jempol. Pertumbuhan tinggi sektor jasa yang berkaitan dengan pariwisata menjadi bukti nyata. Jasa hiburan, transportasi, akomodasi, dan makan minum semuanya menunjukkan kinerja prima. Hal ini menciptakan efek berganda yang luas, tidak hanya di sektor pariwisata inti, tetapi juga ke sektor-sektor pendukung lainnya.

    Ketika orang berwisata, mereka tidak hanya menginap dan makan, tetapi juga berbelanja cenderamata, menggunakan jasa agen perjalanan, hingga menikmati hiburan lokal. Ini adalah rantai ekonomi yang vital. Namun, bukan berarti tidak ada pekerjaan rumah. Penurunan rata-rata pengeluaran wisatawan mancanegara per kunjungan adalah alarm kecil yang harus kita perhatikan.

    Pada Kuartal II 2025, rata-rata pengeluaran wisman mencapai 1.199,71 dolar AS, turun dibanding kuartal sebelumnya dan tahun lalu. Ini bisa jadi pertanda bahwa meskipun kita berhasil menarik jumlah wisman, mereka mungkin mencari opsi yang lebih hemat, atau durasi tinggal mereka lebih singkat.

    Kita perlu menemukan cara agar wisman tidak hanya datang, tetapi juga berbelanja lebih banyak dan tinggal lebih lama, sehingga kontribusi devisa semakin optimal. Selain itu, konsentrasi kunjungan wisman di pintu masuk utama seperti Bandara Ngurah Rai, Bali, menjadi tantangan tersendiri.

    Meski Bali adalah “magnet” pariwisata kelas dunia, pemerataan kunjungan ke destinasi lain di Indonesia masih menjadi PR besar. Potensi pariwisata di Labuan Bajo, Danau Toba, Mandalika, dan banyak lagi “surga tersembunyi” lainnya perlu terus dioptimalkan.

    Diversifikasi pasar wisman juga krusial; terlalu bergantung pada Malaysia, Singapura, dan Australia dapat menjadi risiko jika terjadi perubahan kondisi di negara-negara tersebut.

    Meningkatkan Nilai

    Melihat dinamika ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pariwisata Indonesia saat ini berada dalam fase yang menarik. Kita mampu tumbuh kuat, bahkan dengan strategi promosi yang mungkin lebih terfokus pada stimulus internal dan optimalisasi pasar domestik ketimbang “gembar-gembor” iklan global. Ini adalah kekuatan yang harus dipertahankan.

    Ke depan, fokus kita harus bergeser dari sekadar menarik jumlah menjadi meningkatkan nilai dari setiap kunjungan. Bagaimana caranya? Pertama, dengan mengembangkan produk wisata unggulan yang beragam dan berkelanjutan di luar Bali. Kedua, dengan meningkatkan kualitas layanan dan infrastruktur di seluruh destinasi.

    Ketiga, dengan mendorong kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat lokal untuk menciptakan pengalaman wisata yang unik dan otentik. Terakhir, tanpa melupakan pasar domestik yang loyal, kita juga perlu secara cerdas menargetkan segmen wisman dengan daya beli lebih tinggi melalui promosi yang terukur dan value-added.

    Pariwisata Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai motor ekonomi. Kini, saatnya kita memastikan pertumbuhan ini tidak hanya kuantitatif, tapi juga kualitatif, berkelanjutan, dan memberikan manfaat yang lebih merata bagi seluruh masyarakat.

    Sumber : Antara

  • BI Blak-blakan Alasan Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Tembus 5,12%

    BI Blak-blakan Alasan Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Tembus 5,12%

    Jakarta

    Bank Indonesia (BI) buka-bukaan soal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang tumbuh mencapai 5,12% (YoY). Adapun angka ini melenceng dari sejumlah perkiraan ekonom.

    Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II 2025 ini menjadi salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang setara ekonominya dengan Indonesia.

    “Kemarin baru saja BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi kita yang terjaga di level 5,12% secara tahunan dibandingkan tahun lalu dan ini adalah salah satu pertumbuhan yang terbaik dibanding peers group kita,” katanya dalam sambutan Talkshow Pariwisata “Next-Gen Tourism: Bersaing Cerdas, Berkembang Hebat, dan Berkelanjutan” Karya Kreatif Indonesia (KKI) di JCC, Jakarta, Kamis (7/8/2025).

    Destry menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut didorong oleh faktor konsumsi dan investasi yang terus tumbuh di kuartal II. Hal ini berbeda dengan negara lainnya.

    “Apa yang membedakan kita dengan negara lain karena kita mempunyai domestic demand atau ekonomi domestik yang sangat kuat sekali. Itu juga ditunjukkan dengan konsumsi masyarakat kita. kemudian domestic economy kita yang terus tumbuh sehingga membutuhkan investasi yang besar,” katanya.

    Ke depan, Destry bilang BI bersama dengan Kementerian dan Lembaga akan terus mencari strategi agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap pada jalur yang tinggi. Salah satu yang akan difokuskan ialah sektor pariwisata.

    “Dan salah satu potensi yang perlu terus kita tingkatkan dan terus kita sosialisasikan ke luar itu adalah potensi pariwisata kita. Indonesia negara yang kaya dengan budaya nya itu luar biasa sekali,” katanya.

    (rrd/rrd)

  • Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Sri Mulyani: Kita Tetap Percaya pada BPS – Page 3

    Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Sri Mulyani: Kita Tetap Percaya pada BPS – Page 3

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2025 sebesar 5,12 persen secara tahunan atau year on year.

    “Ekonomi Indonesia berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-2025 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 5.947 triliun. Atas dasar harga konstan, nilainya mencapai Rp 3.396 triliun. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2025 bila dibandingkan triwulan II tahun 2024 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,12 persen,” kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Wilayah, Moh. Edy Mahmud, dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi triwulan II-2025, Selasa (5/8/2025).

    Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara triwulan ke triwulan atau quarter to quarter (q to q) di triwulan II-2025 tumbuh 4,04 persen.

    “Pertumbuhan ekonomi q to q ini sejalan dengan pola musiman yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan q to q di triwulan II lebih tinggi daripada triwulan I sebelumnya,” ujarnya.

    Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan II-2025 yang mencapai 5,12 persen juga lebih tinggi dibandingkan triwulan II-2024, yaitu 5,05 persen. 

  • Prabowo Sebut Arah Kebijakan Ekonomi Nasional Berada di Jalur yang Benar

    Prabowo Sebut Arah Kebijakan Ekonomi Nasional Berada di Jalur yang Benar

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menyampaikan optimisme terhadap arah kebijakan ekonomi nasional menyusul capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% pada kuartal II/2025.

    Menurut Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, Kepala negara menilai angka tersebut menunjukkan bahwa strategi transformasi nasional yang dijalankan pemerintah saat ini berada di jalur yang tepat.

    “Presiden bilang, dengan pertumbuhan ekonomi seperti ini artinya strategi transformasi nasional kita sedang berada di jalan yang benar. Itu kata-kata Presiden kemarin,” ujar Hasan dalam konferensi pers di Gedung Kwarnas, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2025).

    Selain pertumbuhan ekonomi, kata Hasan, Presiden Ke-8 RI itu juga mengapresiasi capaian realisasi investasi yang dinilai menunjukkan respons positif dari pelaku usaha terhadap arah kebijakan pemerintah.

    “Presiden optimis kita sedang dalam track ekonomi yang benar. Realisasi investasi kemarin juga sangat diapresiasi oleh Presiden,” tambahnya.

    Lebih lanjut, dia menyebut pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2024 saat Presiden Prabowo sudah menjabat tercatat 5,02 persen, lalu turun menjadi 4,87 persen di kuartal I/2025.

    Hasan juga menyoroti kontribusi sektor investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. DIa menyebut realisasi investasi yang disampaikan Menteri Investasi Rosan Roeslani telah mencapai Rp942,9 triliun hingga Agustus 2025 atau hampir 50 persen dari target tahunan sebesar Rp1.900 triliun.

    Dia juga mengungkapkan bahwa sektor industri manufaktur tumbuh 5,6 persen dan investasi tumbuh 6,99 persen, yang secara bersama-sama menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

    Dia mencontohkan pertumbuhan signifikan sektor logistik yang tercatat dalam laporan BPS, menandakan pergerakan barang dan aktivitas jual-beli terus berlangsung, meski tidak terlihat secara kasat mata di toko-toko fisik.

    “Kalau sektor logistik tumbuh, artinya barang bergerak. Itu berarti ada transaksi. Hanya saja mungkin sudah lewat marketplace atau platform digital,” kata Hasan.

    Hasan menutup dengan ajakan agar publik dan pengamat ekonomi melihat data secara utuh dan tidak terjebak pada cara pandang yang sempit.

    “Dengan cara berpikirnya lebih terbuka. Jadi nggak terpaku kemudian dengan cara berpikir yang old school dan konvensional kira-kira begitu,” pungkas Hasan.

  • PCO: Rojali-Rohana perspektif lama, sekarang era platform digital

    PCO: Rojali-Rohana perspektif lama, sekarang era platform digital

    “Rojali, rohana, kita mungkin masih melihatnya dalam ekonomi konvensional. Sementara, sekarang ekonomi itu berkembang sekali kan? Model dan cara jual beli juga berkembang, sektor logistik kita tumbuh loh,”

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut istilah “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) dalam praktik jual beli sebagai perspektif konvensional.

    Hasan, dalam konferensi pers di kantor PCO, Jakarta, Kamis, menyatakan bahwa saat ini model dan cara jual beli telah berkembang pesat, seiring dengan pertumbuhan sektor logistik dan platform digital.

    “Rojali, rohana, kita mungkin masih melihatnya dalam ekonomi konvensional. Sementara, sekarang ekonomi itu berkembang sekali kan? Model dan cara jual beli juga berkembang, sektor logistik kita tumbuh loh,” katanya.

    Menurutnya, perkembangan itu tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan signifikan pada sektor logistik nasional, yang sekaligus jadi pertanda adanya transaksi jual beli.

    “Kalau sektor logistik dan pengiriman barang tumbuh, kan yang dikirim itu barang. Kalau yang dikirim barang atau yang dikirim atau ada pergerakan orang, itu kan artinya ada jual beli, meskipun tidak lagi terjadi di toko-toko konvensional, melainkan melalui marketplace atau platform digital lainnya,” katanya menjelaskan

    Hasan menilai penting bagi masyarakat dan pemangku kebijakan untuk mengadopsi cara pandang yang lebih terbuka dalam menyikapi transformasi ekonomi saat ini.

    “Jadi kita harus open-minded. Jangan terpaku pada cara berpikir yang old school dan konvensional. Pola ekonomi masyarakat berubah, dan itu bukan hal yang harus langsung dicurigai, tetapi dipahami secara kontekstual,” katanya.

    Belakangan ini, istilah “Rojali” dan “Rohana” menjadi akronim yang kerap diperbincangkan di media sosial. Istilah itu menggambarkan fenomena yang dikaitkan dengan pelemahan daya beli masyarakat.

    Rombongan jarang beli menggambarkan kelompok masyarakat yang kerap mengunjungi pusat perbelanjaan namun jarang melakukan transaksi pembelian.

    Sementara rombongan hanya nanya, merujuk pada pengunjung yang aktif bertanya-tanya soal produk seperti harga, diskon, atau fitur, namun tidak jadi membeli.

    Pewarta: Andi Firdaus, Fathur Rochman
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.