Kementrian Lembaga: BPS

  • Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025 Diragukan, Ekonom Indef Desak Transparansi

    Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025 Diragukan, Ekonom Indef Desak Transparansi

    Bisnis.com, JAKARTA — Keraguan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 menjadi sorotan di kalangan ekonom. Salah satu lembaga riset, Indef, mendesak pemerintah untuk memberikan keterbukaan atau transparansi informasi publik guna menjaga kinerja makroekonomi. 

    Ekonom Indef Ariyo DP Irhamna mengatakan dalam konteks pengelolaan kebijakan dan kinerja ekonomi nasional, transparansi data publik tak hanya sebagai mandat moral dan konstitusional, melainkan fondasi utama dalam membangun kepercayaan pasar dan masyarakat.

    “Saya mendorong pemerintah, khususnya Presiden dan para Menteri, utamanya Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Kepala BPS, untuk mengembalikan komitmen terhadap keterbukaan data dan transparansi informasi publik,” kata Ariyo dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (10/8/2025). 

    Dalam hal ini, dia juga menyoroti sejumlah paparan publik yang dilewatkan oleh pemerintah beberapa waktu terakhir. Menurut Ariyo, beberapa data penting terkait kinerja ekonomi dan kebijakan publik mengalami pengurangan intensitas publikasi.

    Misalnya, publikasi ‘APBN Kita’ yang sebelumnya dirilis rutin tiap bulan oleh Kementerian Keuangan sebagai instrumen akuntabilitas fiskal, namun belakangan tidak lagi diterbitkan sejak awal tahun.

    “Padahal, laporan tersebut memuat informasi strategis terkait belanja negara, defisit, dan realisasi pendapatan yang sangat diperlukan untuk analisis independen para akademisi, pengusaha, dan masyarakat luas,” tuturnya. 

    Tak hanya itu, data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sebelumnya dirilis secara berkala oleh Kementerian Ketenagakerjaan kini publikasinya mengalami kemunduran dalam hal waktu. 

    Menurut Ariyo, data tersebut sangat penting di tengah dinamika pasar tenaga kerja yang sensitif terhadap perubahan ekonomi dan teknologi.

    Kekhawatiran makin meningkat ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% (year-on-year) yang disebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Sebab, dia menilai mesin-mesin pertumbuhan seperti investasi dan ekspor terlihat masih belum sepenuhnya pulih. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menunjukkan pelemahan yang konsisten dengan sinyal-sinyal tekanan daya beli masyarakat. 

    “Jika pemerintah memaksakan narasi positif tanpa dukungan data yang utuh dan kredibel, maka kepercayaan pasar dan publik justru bisa terguncang,” jelasnya. 

    Dia menekankan bahwa sejumlah ekonom dan akademisi memiliki kemampuan serta perangkat analitis untuk mendeteksi anomali atau manipulasi data. 

    Dengan keterbukaan dan publikasi data yang konsisten, pemerintah justru akan dapat masukan yang objektif dan berbasis bukti yang dibutuhkan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan publik secara berkelanjutan.

    Sebab, Ariyo menilai setiap pemerintahan, tanpa terkecuali, pasti memiliki blindspot terhadap efektivitas kebijakan maupun kondisi di lapangan, terlebih di negara seluas dan sekompleks Indonesia. 

    Dalam hal ini, transparansi data memungkinkan terjadinya dialog kebijakan yang sehat, dan pada akhirnya berujung pada kebijakan yang lebih responsif dan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.

    “Ketidaktransparanan bukan hanya merusak kredibilitas pemerintah saat ini, tapi juga mengurangi kualitas pengambilan keputusan jangka panjang,” tuturnya. 

  • Mau Diberantas Tahun 2027, Jumlah Truk ODOL di Indonesia Mengagetkan

    Mau Diberantas Tahun 2027, Jumlah Truk ODOL di Indonesia Mengagetkan

    Jakarta

    Pemerintah dan DPR RI sepakat menghapus keberadaan truk ODOL (Over Dimension Over Loading) pada 2027 demi transportasi logistik yang lebih efisien dan aman. Jumlah truk yang kelebihan muatan dan kelebihan dimensi di Indonesia cukup bikin kaget.

    “ODOL menjadi salah satu gambaran buram tentang wajah kondisi angkutan logistik nasional dewasa ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan truk menjadi salah satu penyebab fatalitas tertinggi kedua setelah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor,” ungkap pengamat transportasi Djoko Setijowarno.

    Kata Djoko, keberadaan ODOL tidak hanya memberikan kerugian materi yang tinggi akibat fatalitas yang tinggi, akan tetapi keberadaan ODOL juga memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi infrastruktur jalan Indonesia.

    “Kondisi ini turut mendorong pemborosan anggaran negara. Data perhitungan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2025, indikasi pemborosan keuangan negara akibat kerusakan jalan pada jalan nasional, provinsi dan kab/kota sebesar Rp 47,43 triliun setiap tahun,” sambung Djoko.

    Lalu dari sisi ekonomi, ODOL selain tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN, juga membuat lemahnya daya saing nasional, termasuk salah satu penyebab menurunnya daya saing infrastruktur.

    Jumlah Truk ODOL di Indonesia

    Korlantas Polri sedang mendata kendaraan truk. Hingga 24 Juli 2025, jenis kepemilikan truk oleh pribadi sebanyak 63.786 kendaraan (63%) yang kelebihan dimensi 13.261 kendaraan (21%) dan kelebihan muatan 50.525 kendaraan (79%). Sementara kepemilikan kendaraan truk oleh perusahaan sebanyak 37.822 kendaraan (37%) yang terbagi 12.259 kendaraan (32%) kelebihan dimensi dan 25.563 kendaraan (68%) kelebihan muatan.

    Sumber dari PT Jasa Marga (2022), panjang jalan nasional di seluruh Indonesia yang dimanfaatkan oleh perusahaan tambang, kebun, dan industri sepanjang 16.839 km (35% dari total jalan nasional 47.604 km). Sebanyak 63% angkutan barang yang tergolong ODOL (perusahaan tambang/kebun dan industri).

    Mendasarkan data BPS Tahun 2023, persebaran kendaraan angkutan barang di Indonesia, jumlah truk di Indonesia tahun 2023 sebanyak 6.091.822 truk meningkat dari tahun sebelumnya dan sebanyak 49,3% berada di Pulau Jawa (576.948 truk berada di Jawa Barat, 782.173 truk di Jawa Timur, 667.136 truk di Jawa Tengah). Sementara di daerah lain sebanyak 316.652 truk di Sumatera Utara, 234.825 truk di Riau, 341.150 truk di Sumatera Selatan, 232.077 truk di Sulawesi Selatan.

    Bersumber data Polri yang diolah oleh Bappenas (2025), kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang sebesar 10,5% merupakan kedua tertinggi secara nasional. Peringkat pertama sepeda motor 77,4%. Selanjutnya, angkutan orang 8%, mobil penumpang 2,4%, kendaraan tidak bermotor 1,5% dan kendaraan listrik 0,2%. Angka kecelakaan dan jumlah korban terus bertambah setiap tahunnya dan akan berdampak pada kerugian ekonomi.

    (lua/riar)

  • Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12% di Luar Ekspektasi, Ini Penjelasan Pengamat – Page 3

    Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12% di Luar Ekspektasi, Ini Penjelasan Pengamat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun ini mencapai 5,12 persen secara tahunan (year-on-year). 

    Angka ini sedikit meleset dari ekspektasi beberapa ekonom yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di bawah 5 persen. Kendati demikian, sejumlah ekonom menilai bahwa capaian ini masih wajar dalam konteks perkembangan ekonomi nasional terkini.

    Menurut pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita, angka 5,12 persen tersebut masih bisa diterima secara logis.

    “Data pertumbuhan ekonomi kuartal II dari BPS, dalam hemat saya, masih cukup reliable dan bisa dipercaya. Raihan 5,12 persen di kuartal II tahun ini sangat bisa dipahami,” kata Ronny dalam keterangan tertulisnya dikutip Liputan6.com, Minggu (10/8/2025).

    Ia menilai berbagai komponen pembentuk pertumbuhan seperti konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor masih menunjukkan performa yang cukup stabil dan mendukung capaian tersebut.

    Ronny menjelaskan bahwa konsumsi rumah tangga yang mengalami kenaikan tipis didorong oleh momen tahun ajaran baru. Fenomena ini biasanya mendorong pengeluaran tambahan di sektor pendidikan dan kebutuhan anak sekolah, yang pada akhirnya menyumbang pada pertumbuhan konsumsi nasional.

    “Kenaikan tipis konsumsi rumah tangga ditopang oleh momen tahun ajaran baru, yang mengharusnya banyak keluarga di Indonesia untuk berbelanja kebutuhan tahun ajaran baru,” ujarnya.

     

     

     

  • Ini Mobil yang Bikin Penjualan di Malaysia Melesat, Kalahkan Indonesia

    Ini Mobil yang Bikin Penjualan di Malaysia Melesat, Kalahkan Indonesia

    Jakarta

    Pasar mobil ASEAN masuk babak baru. Sebab, untuk pertama kalinya, Malaysia sukses melampaui Indonesia dalam penjualan mobil kuartal II tahun ini. Lantas, model mobil seperti apa yang menjadi primadona di Tanah Melayu?

    Menurut laporan Nikkei Asia, merek legendaris seperti Perodua dan Proton masih menguasai pasar setempat. Pangsa pasarnya tembus 63 persen pada paruh pertama tahun ini.

    Secara spesifik, ada dua model mobil yang menjadi bintang utama di Malaysia, yakni Perodua Alza dan Proton Saga. Keduanya sukses bersaing dengan sedan-sedan Jepang seperti Toyota Vios dan Honda City. Kombinasi harga terjangkau, fitur kekinian, plus efisiensi bahan bakar membuatnya laris manis.

    Perodua Alza merupakan MPV 7 penumpang yang dikenal lega dan irit. Dibekali mesin 1.5 liter, desain modern, fitur keselamatan lengkap, dan harga ramah kantong, mobil ini jadi incaran keluarga muda Malaysia.

    Perodua Alza 2024. Foto: Doc. Perodua

    Sementara Proton Saga merupakan sedan kompak legendaris yang sudah ada sejak puluhan tahun silam. Versi terbarunya tetap mempertahankan harga terjangkau, tapi dengan upgrade fitur seperti infotainment layar sentuh, kontrol stabilitas elektronik, dan mesin 1.3 liter yang efisien.

    Tak hanya mobil bensin, tren mobil listrik dan hybrid juga ikut mendorong penjualan. Konsumen Malaysia mulai melirik kendaraan ramah lingkungan, apalagi dengan adanya insentif pemerintah.

    Hasilnya, penjualan mobil di Malaysia pada kuartal II 2025 tercatat 183.366 unit, mengalahkan Indonesia yang hanya membukukan 169.578 unit pada periode yang sama.

    Di Indonesia, penjualan justru melempem. Data menunjukkan, ada penurunan 21 persen pada Juni, terjun bebas sejak Maret 2024. Faktor utamanya? Daya beli kelas menengah yang menurun dan aturan kredit yang makin ketat.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,4 persen populasi pada 2019 jadi cuma 17,1 persen pada 2024. Dampaknya terasa ke banyak sektor, termasuk otomotif.

    (sfn/lth)

  • BI Jakarta Buka Suara soal Viral Fenomena Rojali & Rohana

    BI Jakarta Buka Suara soal Viral Fenomena Rojali & Rohana

    Bisnis.com, JAKARTA – Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jakarta buka suara soal ramainya fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana). Istilah tersebut kerap kali dikaitkan dengan turunnya daya beli masyarakat. Namun, benarkah demikian? 

    Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta Iwan Setiawan tak menampik bahwa fenomena ‘Rojali & Rohana’ memang ramai di jagad media sosial.

    Meski demikian, dia mengatakan khusus di Jakarta, fenomena tersebut tidak berdampak besar terhadap ekonomi secara keseluruhan karena daya beli masyarakat Jakarta yang resilien.

    “Dari sisi purchasing power, Jakarta punya daya tahan atau resiliensi, masih cukup kuat,” katanya saat ditemui di Jakarta, Jumat (8/8/2025). 

    Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta merilis perekonomian Jakarta tumbuh sebesar 5,18% pada kuartal II/2025 (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,12%.

    DKI Jakarta juga tercatat menjadi penyumbang tertinggi struktur perekonomian nasional pada kuartal II/2025, yakni sebesar 16,61%.

    Sementara itu, dia mengatakan sektor konsumsi rumah tangga Jakarta tetap tumbuh cukup tinggi Kuartal II/2025.

    Menurut Iwan, konsumsi rumah tangga Jakarta tumbuh kuat sebesar 5,13% (yoy), sedikit meskipun melambat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 5,36% yoy.

    “Konsumsi [rumah tangga Jakarta] masih di level lebih dari 5%, ini masih mendorong pertumbuhan karena pangsa konsumsi di Jakarta itu hampir 60%,” katanya.

    Sementara itu, dia mencatat konsumsi pemerintah pada kuartal II/2025 tumbuh 5,16% (yoy), melambat dari periode yang sama tahun lalu sebesar 9,22% (yoy), seiring normalisasi belanja pegawai dan belanja bansos setelah pada Triwulan I-2025.

    Di sisi lain, Iwan menuturkan hampir semua sektor utama lapangan usaha di Jakarta juga mencatatkan kinerja yang baik.

    Ekonomi Jakarta terutama ditopang oleh lapangan usaha perdagangan yang tumbuh 5,91% (yoy) lebih tinggi dari periode sebelumnya (4,35% yoy), didorong oleh meningkatnya aktivitas masyarakat terutama pada periode libur anak sekolah, cuti bersama dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). 

    Lapangan usaha informasi dan komunikasi juga tumbuh tinggi sebesar 5,65% (yoy) yang didorong oleh tetap tingginya penggunaan data dan internet serta jumlah penonton bioskop pada periode libur anak sekolah.

    Sedangkan lapangan usaha konstruksi, lapangan usaha jasa perusahaan, lapangan usaha akomodasi dan makan minum serta lapangan usaha transportasi.

    Pergudangan juga masih tumbuh tinggi didukung oleh tingginya aktivitas dan permintaan masyarakat pada periode libur anak sekolah, cuti bersama serta berlangsungnya HBKN seperti Paskah, Waisak, IduIAdha dan Tahun Baru Islam.

    Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025

    Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua atau kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    Moh. Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, menjelaskan bahwa produk domestik bruto atau PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal II/2025 mencapai Rp5.947 triliun. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.396,3 triliun.

    “Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan 2/2024 atrau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%,” ujar Moh. Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

    menjelaskan, kinerja perekonomian kuartal II/2025 masih ditopang oleh konsumsi masyarakat yang terjaga. Itu, jelasnya, terlihat dari indeks penjualan ritel (riil) dan impor barang konsumsi yang terus tumbuh secara tahunan.

    Kemudian, transaksi uang elektronik dari kartu debit dan kredit tumbuh 6,26%, sedangkan transaksi online atau elektronik tumbuh 7,55%.

    Edy juga memaparkan bahwa pertumbuhan itu turut ditopang oleh respons kebijakan pemerintah untuk mendukung aktivitas ekonomi masyarakat berupa stimulus ekonomi. Stimulus berupa diskon transportasi, bantuan sosial (bansos) serta bantuan subsidi upah (BSU) turut mendukung pertumbuhan.

    “Hasil dari respons kebijakan menopang triwulan II/2025, salah satunya kebijakan terkait dengan paket stimulus untuk menjaga daya beli berupa diskon transportasi, bansos, subsidi upah dan sebagainya,” ungkapnya pada konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

    Kemudian, Edy turut menyebut jumlah penumpang angkutan rel atau mobilitas masyarakat mendorong juga aktivitas ekonomi khususnya pada hari besar keagamaan serta libur sekolah.

    Kemudian, realisasi investasi dalam negeri dan asing yang tumbuh 11,5%, serta pada saat yang sama belanja barang modal oleh pemerintah turut mendorong capaian pertumbuhan tersebut.

    Adapun, kebijakan dari sisi moneter seperti keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan menjadi 5,05% turut dinilai sebagai salah satu faktor pendukung.

  • Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Bisnis.com, JAKARTA — Universitas Paramadina mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY).

    Dalam keterangan resminya, Paramadina menilai data tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil perekonomian, di tengah lemahnya daya beli masyarakat, stagnasi konsumsi rumah tangga, pesimisme produsen, dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri.

    “Banyak kalangan tidak percaya, dan ini berpotensi bergulir menjadi bola liar yang merusak kredibilitas BPS,” tulis pernyataan Paramadina, Jumat (9/8/2025).

    Paramadina meminta BPS menjelaskan secara rinci metodologi dan asumsi perhitungan produk domestik bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, serta metode estimasi. Lembaga itu juga mendesak adanya penjelasan atas kesenjangan antara data pertumbuhan ekonomi dengan indikator sektoral yang menunjukkan perlambatan.

    Selain itu, BPS diminta menegaskan komitmen menjaga independensi penuh dari intervensi pihak mana pun, agar data tetap menjadi cerminan realitas ekonomi dan bukan alat legitimasi politik.

    “Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, kebijakan ekonomi nasional akan salah arah,” tulis Paramadina.

    Menurut mereka, revisi data merupakan hal wajar dan bagian dari proses akademis. Sebaliknya, menutup diri akan menjadikan statistik bergeser dari ranah akademik ke ranah politik, yang berisiko mengikis kredibilitas BPS.

    Paramadina juga mengajak ekonom, ilmuwan, dan akademisi untuk memantau kualitas data statistik nasional, mengingat hal tersebut menjadi pijakan penting menuju Indonesia maju dan sejahtera.

    Ikuti Celios hingga Indef

    Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) turut menyatakan keraguan atas data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS. Bahkan, lembaga yang menaungi sejumlah ekonom seperti Bhima Yudhistira dan Nailul Huda itu menyurati Komisi Statistik PBB itu terkait dengan transparansi hingga independensi penghitungan data PDB oleh BPS untuk tiga bulan kedua 2025. 

    Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, surat tertanggal 8 Agustus 2025 itu ditujukan untuk Komisi Statistik PBB. Celios menyurati lembaga itu atas keprihatinan ihwal reliabilitas dan akurasi penghitungan pertumbuhan PDB Indonesia oleh BPS. 

    “Kami menulis surat ini untuk menyampaikan keprihatinan mendalam kami terkait meningkatnya jumlah inkonsistensi dan anomali yang ditemukan dalam data ekonomi nasional [PDB triwulan kedua 2025] yang baru-baru ini diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik [BPS],” demikian dikutip Bisnis, Jumat (8/8/2025). 

    Persoalan-persoalan ini, lanjut surat tersebut, khususnya berkaitan dengan penghitungan PDB, telah menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi, akurasi, dan independensi praktik statistik di Indonesia.

    Beberapa inkonsistensi pada data BPS itu, terang Celios, dinilai tidak merepresentasikan realitas ekonomi dalam negeri. Beberapa komponen utama PDB dinilai tidak terhubung dengan indikator utama, seperti pendapatan pemerintah, volatilitas data yang tidak dijelaskan serta kurangnya keterbukaan atas metodologi penghitungan. 

    Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mempertanyakan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025. 

    Ekonom senior dan salah satu pendiri Indef, M. Fadhil Hasan, menilai bahwa konsensus proyeksi para ekonom maupun lembaga biasanya mirip dengan realisasi ekonomi atau hanya memiliki selisih tipis. Namun, anomali terjadi pada kuartal II/2025, ketika para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,8% tetapi realisasinya ternyata mencapai 5,12%.

    “Menimbulkan pertanyaan apakah ada metodologi yang harusnya diperbaiki atau disempurnakan, ataukah ada basis datanya, atau sebab-sebab lainnya yang membuat kita belum mengetahuinya secara pasti?” ujar Fadhil dalam diskusi publik yang berlangsung di kantor Indef, Jakarta pada Rabu (6/8/2025).

    Indef pun menelisik sejumlah data yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), mulai dari konsumsi sebagai komponen utama produk domestik bruto (PDB), investasi, ekspor, maupun sektor atau lapangan usaha. Namun, Indef merasa belum terdapat kejelasan dari data yang ada.

    Menurut Fadhil, BPS patut menjelaskan mekanisme pengambilan maupun pengolahan data, karena menurutnya data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 tidak cukup mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Fadhil menjabarkan bahwa setidaknya terdapat 12 indikator utama perekonomian yang kurang sejalan dengan capaian tinggi ekonomi kuartal II/2025, mulai dari kinerja penjualan kendaraan bermotor, kinerja investasi, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Lemahnya penjualan mobil dan motor menurutnya mencerminkan konsumsi masyarakat kelas menengah-atas yang turun. Hal itu juga seolah mengafirmasi fenomena rojali, alias rombongan jarang beli yang belakangan menjadi perbincangan.

    Lalu, Fadhil juga menyoroti kondisi Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur yang masih kontraksi. Pada Juni 2025 atau akhir kuartal II/2025, PMI Manufaktur ada di level 49,60 alias masih kontraksi karena di bawah 50.

    Indikator lainnya adalah konsumsi rumah tangga yang masih lemah. Sebagai kontributor utama PDB, laju konsumsi rumah tangga masih lebih kecil dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

  • Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Jakarta

    Center of Economic and Law Studies (CELIOS) meragukan data pertumbuhan kuartal II 2025 yang dirilis BPS karena diduga berbeda dengan kondisi riil. Hal ini membuat lembaga tersebut melayangkan surat permintaan investigasi pada Badan Statistik PBB yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.

    Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda mengatakan, ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada sejumlah anomali yang terjadi bila dibandingkan dengan data historis. Salah satu yang disorotinya, pertumbuhan ekonomi kuartal II lebih tinggi dibandingkan kuartal I yang ada momen Ramadan-Idul Fitri.

    “Pertumbuhan ekonomi triwulan II yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada momen Ramadhan-Idul Fitri terasa janggal. Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Idul Fitri,” Jelas Huda, dalam keterangan tertulis, Jumat kemarin.

    Huda mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 tercatat hanya tumbuh 4,87% year on year (yoy). Sedangkan pertumbuhan kuartal II 2025 mencapai 5,12%, yang mana kondisi ini menurutnya terlihat cukup janggal.

    Selain itu, ia juga menyoroti data pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Dengan sumbangan mencapai 50% dari PDB, menurutnya nampak janggal apabila pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal I 2025 hanya 4,95%, tapi pertumbuhan ekonomi di angka 4,87%.

    “Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025),” ujarnya lagi.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyoroti dari sisi pertumbuhan sektor industri pengolahan dan investasi (PMTB). Pada rilis BPS terbaru, tercatat industri manufaktur tumbuh tinggi. Padahal, menurutnya, PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama.

    Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67% dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25%, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya.

    “Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68% yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ujar Bhima.

    Kejanggalan-kejanggalan inilah yang pada akhirnya mendorong CELIOS mengirimkan surat permintaan peninjauan ulang ke Badan Statistik PBB. Langkah ini sebagai upaya menjaga kredibilitas data BPS yang selama ini digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.

    Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS Media Wahyudi Askar mengatakan, apabila terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, maka hal itu bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.

    “Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia, dan kesejahteraan rakyat. Data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan,” kata Media.

    Dengan data yang tidak akurat, lanjut Media, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja. Menurutnya kondisi ini akan membuat para pelaku usaha. investor, serta masyarakat kebingungan dan terkena dampak negatif.

    (acd/acd)

  • Buruh Sindir Data Serapan Tenaga Kerja: Asal Bapak Senang?

    Buruh Sindir Data Serapan Tenaga Kerja: Asal Bapak Senang?

    Jakarta

    Data serapan tenaga kerja nasional yang dipaparkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dikritik habis-habisan oleh buruh. Kemenperin menyebutkan sejak Januari hingga Juni 2025 serapan tenaga kerja nasional mencapai 303 ribu orang.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan data ini bersifat politis. Dia menyebutkan data tersebut seolah-olah dibuat hanya untuk membuat pimpinan gembira alias ‘asal bapak senang.’

    “Buruh menyatakan data Kemenperin RI tentang serapan tenaga kerja 303 ribu orang ini diduga asal bapak senang dan bersifat politis,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Jumat kemarin.

    Data yang dipaparkan Kemeperin seakan-akan menunjukkan dunia ketenagakerjaan baik-baik saja di tengah hantaman gelombang PHK besar-besaran di sektor riil dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025.

    Menurutnya, PHK marak terjadi di sektor industri tekstil, garmen, elektronik, komponen elektronik, retail, perdagangan mal, hotel, dan sektor padat karya lainnya selama satu semester pertama di 2025. Pihaknya mencatat ada sekitar 54.047 buruh yang kena PHK di semester pertama 2025.

    Ada sekitar 6 alasan Said Iqbal dan para buruh memprotes habis-habisan data Kemenperin. Berikut ini ulasannya.

    Pertama, Kemenperin RI dinilai tidak menyajikan data dalam bentuk tabel jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, sektor formal atau informal, dan di daerah mana saja terjadi serapan tenaga kerja. Buruh curiga Kemenperin hanya asal memberi pernyataan.

    Kedua, data Kemenperin soal penyerapan tenaga kerja nasional dalam semester pertama 2025 bertolak belakang dengan data yang disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Data BPJS Ketenagakerjaan dalam kurun waktu yang sama mencatat jumlah peserta BP Jamsostek menurun akibat banyaknya buruh ter-PHK yang mengambil JHT dan menerima JKP.

    “Bila mengikuti alur berfikir Kemenperin RI, seharusnya peserta BPJS TK jumlahnya bertambah sebanyak 303 ribu orang. Karena setiap orang yang bekerja di sektor formal ketika masuk bekerja maka pada saat itu langsung didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” papar Said Iqbal.

    Ketiga, buruh juga curiga Kemenperin mencampur adukkan penyajian data serapan tenaga formal dengan menggabungkan pekerjaan informal sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kerja yang diserap. Misalnya, orang yang diserap bekerja sebagai mitra pengemudi ojek dan kurir online, pekerja paruh waktu, dan pekerjaan informal lainnya.

    Keempat, buruh juga bertanya-tanya apakah Kemenperin ketika menyajikan data serapan tenaga kerja sebesar 303 ribu orang tersebut menggunakan definisi BPS, yang mendefinisikan orang yang bekerja adalah orang yang bekerja 1 jam selama satu Minggu. Bila definisi ini yang dipakai, maka data Kemenperin dinilai bias.

    Kelima, fakta di lapangan melalui media televisi atau media sosial sangat jelas terlihat sulitnya cari kerja terjadi di mana-mana. Sederet pelaksanaan job fair diprediksi tak mampu menyerap tenaga kerja maksimal.

    “Misal job fair di Bekasi dan Cianjur, menjelaskan fenomena susahnya orang mencari kerja dan tidak ada serapan tenaga kerja yang sesuai dengan data yang disajikan oleh Kemenperin RI,” lanjut Said Iqbal.

    Keenam, Said Iqbal memaparkan memang ada beberapa industri sepatu dari investor luar negeri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Bahkan satu perusahaan bisa menyerap ribuan buruh tetapi mereka melakukan secara bertahap dalam beberapa tahun untuk menyerap tenaga kerjanya.

    “Bukan langsung satu semester terjadi penyerapan tenaga kerja besar-besaran karena industri sepatu tersebut perlu membangun pabrik yang baru dan investasi mesin mesin yang baru secara bertahap dalam tiga sampai lima tahun ke depan,” papar Said Iqbal.

    Buruh menuntut pemerintah untuk menyajikan data tentang lapangan kerja dan secara terbuka, terukur, tidak membuat kondisi yang terjadi di lapangan bias, seolah-olah lapangan kerja terbuka luas di Indonesia dengan mudahnya. Padahal kondisi di lapangan berbeda jauh dari harapan.

    (acd/acd)

  • Indonesia Terbitkan Surat Utang Perdana dalam Dolar Australia Senilai Rp 8,5 Triliun

    Indonesia Terbitkan Surat Utang Perdana dalam Dolar Australia Senilai Rp 8,5 Triliun

    GELORA.CO -Pemerintah untuk pertama kalinya menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam mata uang Dolar Australia (AUD) melalui skema Australian Medium-Term Notes (AMTN) atau yang dikenal dengan Kangaroo Bond, dengan memanfaatkan momentum positif di pasar obligasi Australia.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, total penerbitan mencapai 800 juta Dolar Australia, atau setara sekitar Rp 8,5 triliun.

    Dalam pernyataannya pada Jumat 8 Agustus 2025, ia mengatakan langkah ini menjadi tonggak baru dalam strategi pembiayaan negara sekaligus memperluas basis investor internasional, khususnya di pasar Australia.

    Penerbitan Kangaroo Bond ini terbagi menjadi dua seri, yaitu;

    – RIAUD0830: Tenor 5 tahun, senilai 500 juta Dolar Australia, kupon 4,40 persen, dengan yield akhir 4,427 persen

    – RIAUD0835: Tenor 10 tahun, senilai 300 juta Dolar Australia, kupon 5,30 persen, dengan yield akhir 5,380 persen

    Penawaran perdana Kangaroo Bond diluncurkan pada 7 Agustus 2025 dan berhasil menarik minat investor global yang berbasis di Australia.

    Tingginya minat ini tercermin dari total order booked yang mencapai AUD8 miliar, jauh melampaui target yang ditetapkan.

    “Tingginya minat investor global termasuk investor domestik Australia ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi dan kredibilitas pengelolaan fiskal Indonesia,” ujar Sri Mulyani. 

    Tingginya permintaan tersebut memungkinkan pemerintah untuk menetapkan tingkat imbal hasil (yield) yang lebih kompetitif. Yield akhir berhasil diturunkan sebesar 25 basis poin (bps) untuk tenor 5 tahun dan 30 bps untuk tenor 10 tahun, dibandingkan level penawaran awal (Initial Price Guidance).

    Dengan demikian, yield untuk tenor 5 tahun adalah 4,427 persen dan untuk tenor 10 tahun sebesar 5,380 persen.

    Treasurer of Australia Jim Chalmers menyambut baik penerbitan obligasi ini sebagai simbol kemitraan ekonomi yang solid.

    “Kami sangat senang melihat betapa cepat dan antusiasnya pasar dalam merespon obligasi Australian Dollar pertama dari Pemerintah Indonesia. Obligasi ini merupakan contoh kemitraan bidang ekonomi yang solid antara Australia dan Indonesia,” ujar Jim Chalmers.

    Hasil penerbitan obligasi ini akan digunakan untuk membiayai APBN tahun 2025. Obligasi ini memperoleh peringkat Baa2 dari Moody’s, BBB dari Standard & Poor’s, dan BBB dari Fitch.

    Transaksi ini melibatkan ANZ, Standard Chartered Bank, dan UBS Bank sebagai Joint Lead Managers.

  • Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Ekonomi Tumbuh 5,12%, tapi Penerimaan Pajak Malah Anjlok! Kok Bisa?

    Jakarta

    Ekonomi Indonesia baru diumumkan tumbuh 5,12% secara tahunan pada kuartal II-2025. Kinerja positif itu tidak sesuai dengan beberapa indikator ekonomi lainnya, termasuk penerimaan pajak yang justru mengalami penurunan.

    Pengamat perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan ada beberapa penyebab penerimaan pajak turun saat ekonomi tumbuh hingga 5,12%.

    “BPS baru saja mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Q2 sebesar 5,12%. Harapan lantas menyembul di tengah berbagai ketidakpastian dan tantangan yang datang silih berganti. Tapi kenapa penerimaan pajak turun? Ada beberapa penyebab dan penjelasan menurut saya,” katanya dikutip dari unggahan resmi media sosial X @prastow.

    Sebagai informasi, sampai semester I-2025 realisasi penerimaan pajak turun 6,21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlahnya terkumpul Rp 837,8 triliun atau 38% dari target.

    Menurut Prastowo, penyebab pertama adalah adanya kejadian yang tidak berulang, seperti restitusi. Awal tahun 2025 terdapat restitusi (pengembalian kelebihan pajak) yang jumlahnya cukup besar dan tidak terjadi di tahun sebelumnya.

    “Tentu ini berpengaruh pada penerimaan neto kita. Semester II-2025 mestinya restitusi akan melandai dan normal,” ucapnya.

    Penyebab kedua adalah bedanya waktu pencatatan karena administrasi pajak pada umumnya menggunakan basis bulan penuh untuk mencatat dan menghitung kewajiban, sehingga pembayaran/pelaporan dilakukan di bulan berikutnya. Misal kinerja Mei yang dicatat BPS di kuartal II, akan menjadi penerimaan pajak di Juni atau kuartal III.

    Penyebab ketiga turunnya penerimaan pajak karena batalnya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang sebelumnya berpotensi menambah Rp 71 triliun. Hal ini membuat target terlalu besar dan gap melebar.

    Di sisi lain, pemerintah tetap memberikan berbagai stimulus dan insentif, termasuk insentif pajak yang menjadi penyebab keempat turunnya penerimaan pajak.

    “Tentu ini akan mengurangi realisasi penerimaan pajak, meski sebagai kebijakan berdampak positif terhadap perekonomian. Maka dalam menilai kinerja perpajakan, seyogianya juga memperhitungkan tax expenditure,” tuturnya.

    Penyebab kelima adalah adanya pengaruh Coretax. Dampak pemberlakuan Coretax di awal tahun yang belum sempurna untuk mendukung pelaksanaan kewajiban perpajakan, membuat pembayaran mengalami penundaan.

    “Akibatnya, pembayaran tertunda ke bulan-bulan berikutnya. Hal ini berangsur normal dan mestinya stabil di semester II,” jelas Prastowo.

    Penyebab keenam adalah adanya sektor yang tumbuh dan stagnan yang bisa jadi sebagai penyumbang besar penerimaan. Kemudian di awal tahun ada penyesuaian atau efisiensi belanja pemerintah yang berpengaruh ke penerimaan pajak.

    “Semoga kinerja perekonomian konsisten membaik, penerimaan pajak lekas pulih dan pemerintah dapat terus fokus ke upaya penciptaan lapangan kerja, menjaga daya beli dan pemerataan kesejahteraan,” harap Prastowo.

    (aid/rrd)