Kementrian Lembaga: BPS

  • Proyeksi Pemangkasan Suku Bunga Lanjutan usai BI Rate Turun ke Level 4,75%

    Proyeksi Pemangkasan Suku Bunga Lanjutan usai BI Rate Turun ke Level 4,75%

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia diyakini masih akan memangkas suku bunga acuan pada sisa 2025 setelah kembali menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2025 ke level 4,75%.

    Sejumlah ekonom dan analis memperkirakan bank sentral di Tanah Air itu akan menurunkan suku bunga acuan sekitar 25–50 bps lagi di empat bulan yang tersisa pada 2025.

    Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan menjelaskan bahwa pihaknya memperkirakan ruang pemangkasan BI Rate masih terbuka setelah bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve alias The Fed, turut memangkas suku bunga sebesar 25 bps ke level 4,25%.

    “Kami menilai pemangkasan suku bunga acuan BI Rate masih terbuka, setidaknya ada satu kali pemangkasan 25 bps lagi pada akhir 2025, dengan kelanjutan siklus pelonggaran berlanjut ke 2026 sejalan dengan: inflasi domestik yang terjaga; upaya percepatan pertumbuhan ekonomi; dan potensi pemangkasan suku bunga The Fed,” jelas Felix dalam laporan Panin Sekuritas, Kamis (18/9/2025).

    Setali tiga uang, Enrico Tanuwidjaja, ekonom UOB Group, menjelaskan bahwa pihaknya turut meyakini masih ada ruang BI untuk melonggarkan kebijakan moneter. 

    “Pada level saat ini di 4,75% dan dengan inflasi yang diperkirakan sebagian besar akan tetap berada dalam kisaran target bank sentral 1,5%-3,5%, masih terdapat ruang bagi BI untuk melonggarkan lebih lanjut,” jelas Enrico dalam laporan yang ditulis bersama Vincentius Ming Shen, Kamis (18/9/2025).

    Tim ekonom UOB pun merevisi proyeksinya bahwa suku bunga BI akan diturunkan lebih lanjut sebesar 25 bps pada kuartal IV/2025 dan selanjutnya sebesar 25 bps lagi pada kuartal I/2026.

    ”…sehingga mencapai 4,25% dan akan tetap berada pada level tersebut sepanjang 2026.”

    Sementara itu, Maybank memperkirakan BI masih akan melanjutkan pemangkasan suku bunga hingga tahun depan dengan penurunan yang cukup signifikan. Maybank merevisi proyeksinya dengan menambahkan 25 bps pemangkasan tambahan hingga akhir tahun.

    “Kami memperkirakan penurunan suku bunga BI sebesar 50 bps lebih lanjut sebelum akhir tahun, menjadi 4,25% pada akhir 2025,” jelas Brian Lee Shun Rong & Chua Hak Bin, analis Maybank, Rabu (17/9/2025).

    Maybank turut menambah estimasi pemangkasan suku bunga acuan BI untuk tahun depan. Dengan begitu, proyeksinya ada ruang penurunan BI Rate hingga 75 bps pada 2025.

    Prediksi itu dilatarbelakangi oleh arah kebijakan moneter BI yang dinilai lebih longgar, sejalan dengan upaya fiskal Pemerintah RI dalam mendorong laju ekonomi nasional. 

    “Keyakinan kami untuk pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut semakin menguat, seiring BI menjadi jauh lebih dovish, berkoordinasi dengan upaya fiskal untuk mendorong pertumbuhan.”

    Senada, Lavanya Venkateswaran, Senior Asean Economist of OCBC, mengatakan bahwa BI telah membuka peluang untuk penurunan suku bunga lebih lanjut. Oleh karena itu, OCBC menambahkan estimasi penurunan suku bunga sebesar 50 bps pada sisa tahun ini.

    ”…sehingga suku bunga acuan menjadi 4,25% pada akhir tahun 2025. Suku bunga yang lebih rendah akan didukung oleh inflasi umum, yang tetap berada pada kisaran target BI 1,5 hingga 3,5%,” jelasnya dalam laporan, Rabu (17/9/2025).

  • Mendagri Tito Sesumbar Harga Beras Turun sejak Akhir Agustus

    Mendagri Tito Sesumbar Harga Beras Turun sejak Akhir Agustus

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeklaim harga rata-rata beras di daerah mengalami penurunan sejak akhir Agustus lalu, atau setelah pemerintah menggencarkan gerakan pangan murah.

    Tito menyampaikan bahwa pada akhir Agustus, sebanyak 214 kabupaten/kota tercatat memiliki rerata harga beras di atas harga eceran tertinggi (HET). Namun, jumlah itu berkurang menjadi 109 daerah pada pekan kedua September ini.

    “Tadinya di 214 kabupaten, kira-kira 3 minggu lalu ada kenaikan sedikit lah, tetapi kemudian kita melakukan operasi pasar dengan beras Bulog di seluruh kecamatan,” kata Tito kepada wartawan di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025).

    Menurutnya, gerakan pangan murah yang antara lain dilakukan bersama dengan Perum Bulog, Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional (Bapanas) itu efektif mengendalikan harga beras.

    Tito lantas menjelaskan bahwa program tersebut akan berlanjut, terutama dalam bentuk penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog.

    Ketika ditanya perihal target penyaluran beras SPHP, dia mengeklaim bahwa pemerintah saat ini sanggup menyalurkan hingga 7.400 ton per hari. Gerakan pangan murah disebutnya akan berlanjut untuk mengerek distribusi beras murah tersebut.

    “Nanti minggu depan, Sabtu ini, kita akan operasi [pasar] besar di seluruh kecamatan di 105 kabupaten/kota, ya,” ujar mantan Kapolri ini.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap sebanyak 109 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras pada pekan kedua September 2025.

    “Yang perlu kita cermati bersama adalah beras, di mana jumlah kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras dibandingkan minggu lalu naik sedikit menjadi 109 kabupaten/kota di mana minggu lalu ada 100 kabupaten/kota,” kata Kepala BPS Amalia Adininggar dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi di YouTube Kemendagri, Selasa (16/9/2025).

    Berdasarkan data BPS, harga rata-rata beras baik medium maupun premium di semua zona mengalami kenaikan pada pekan kedua September ini.

    Harga beras medium di zona 1 mencapai Rp13.924 per kg, di atas HET Rp13.500. Zona 2 dan zona 3 mencatatkan rerata harga beras medium masing-masing Rp14.744 dan Rp18.939, di atas HET Rp14.000 dan Rp15.500.

    Sementara itu, rerata harga beras premium zona 1 berada di atas HET Rp14.900, yakni mencapai Rp15.634 per kg. Demikian pula dengan zona 2 dan zona 3 dengan rerata harga beras premium Rp16.497 dan Rp20.749.

  • Kisah Inspiratif Santri di Jambi, Menimba Ilmu Agama sambil Bertani

    Kisah Inspiratif Santri di Jambi, Menimba Ilmu Agama sambil Bertani

    Jambi, sebuah provinsi yang membentang di tengah Pulau Sumatera menjadi salah daerah penghasil kekayaan alam. Komoditi utama pertanian di Provinsi Jambi adalah hasil perkebunan sawit dan karet. Selain itu, provinsi ini juga penghasil komoditi kopi, pinang, kulit kayu manis.

    Pengembangan sektor pertanian seharusnya bisa mendongkrak perekonomian provinsi berjuluk “sepucuk jambi sembilan lurah” ini dan menjadi peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

    Namun, sayangnya sektor pertanian di Provinsi Jambi belum maksimal mendongkrak perekonomian daerah. Di era disrupsi teknologi sekarang, pertanian menjadi sektor yang terpinggirkan dan dianggap tidak populer terutama untuk kalangan generasi z (GenZ).

    Hasil Sensus Penduduk 2020 (SP2020) Provinsi Jambi menunjukkan struktur penduduk didominasi oleh generasi milenial sebesar 31,93 persen dan generasi Z sebesar 42,26 persen. Namun, dominasi generasi muda tersebut tidak terjadi pada sektor pertanian.

    Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri terhadap pembangunan pertanian berkelanjutan di Jambi. Generasi muda seharusnya bisa meneruskan tongkat estafet untuk keberlanjutan sektor pertanian.

    Dari hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 jumlah petani usia muda yang umurnya kurang dari 45 tahun hanya 40,45 persen dari total rumah tangga pertanian. Masih lebih besar petani yang berusia lebih dari 45 tahun yaitu mencapai 317.210 rumah tangga.

    Susilowati dalam buku Potensi Pertanian Provinsi Jambi Peta Baru Pertanian Berkelanjutan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). berkesimpulan bahwa minat generasi muda Provinsi Jambi untuk menekuni sektor pertanian luntur seiring pergeseran stigma dan memburuknya citra bertani.

    “Sektor pertanian dianggap kurang bergengsi dan tidak bisa memberikan imbalan yang memadai,” tulis Susilowati.

    Meski memiliki tantangan, namun sektor pertanian juga tak bisa anggap remeh. Sektor ini bisa menjadi pilar kekuatan ekonomi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jambi.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, sektor pertanian berkontribusi sebesar 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Masih menurut statistik BPS, sektor pertanian menyumbang 12,53 persen terhadap perekonomian nasional, dan tumbuh positif sebesar 1,30 persen jika dibandingkan pada 2022.

  • Petani Ubi Kayu Lampung Rugi, Pemerintah Cari Jalan Keluar – Page 3

    Petani Ubi Kayu Lampung Rugi, Pemerintah Cari Jalan Keluar – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Permasalahan ubi kayu di Lampung sudah berlangsung hampir setahun terakhir. Tercatat, tanaman ini tersebar di tujuh kabupaten dengan luas lahan mendekati 500 ribu hektare. Sayangnya, harga jual ubi kayu sempat terpuruk di kisaran Rp600–700 per kilogram, lebih rendah dari biaya produksi petani yang mencapai Rp 740 per kilogram.

    Kondisi ini menimbulkan kerugian besar, bukan hanya bagi petani, tetapi juga industri hulu pengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka. Sementara itu, industri hilir seperti makanan, minuman, dan kertas dinilai cenderung lebih memilih tepung tapioka impor dari Thailand dan Vietnam.

    Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bea Cukai menunjukkan adanya lonjakan impor pada 2024, jumlahnya hanya sekitar 300 ribu ton atau 22% dari total kebutuhan nasional sebesar 1,32 juta ton. Artinya, permasalahan tidak sepenuhnya berasal dari impor.

    Sejak awal 2025, pemerintah pusat sudah melakukan berbagai upaya melalui sejumlah kementerian, namun hasilnya belum efektif. Harga ubi kayu tetap rendah dan tidak sesuai harapan petani maupun industri hulu.

     

  • Ketimpangan di Indonesia: Stagnasi Rasio Gini hingga Krisis Struktural – Page 3

    Ketimpangan di Indonesia: Stagnasi Rasio Gini hingga Krisis Struktural – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat rasio gini nasional berada di level 0,375. Angka ini relatif stagnan dalam lima tahun terakhir. Namun, laporan internasional menampilkan potret yang jauh lebih suram.

    World Inequality Report 2022 menyebut pendapatan 1% penduduk terkaya di Indonesia lebih dari 73 kali lipat dibandingkan 50% populasi terbawah. Bahkan, kelompok kaya tersebut menghasilkan emisi karbon rata-rata 30 kali lebih besar dibandingkan separuh penduduk termiskin.

    Ketimpangan ini bukan hanya soal distribusi ekonomi, tetapi juga menyangkut legitimasi politik, kohesi sosial, hingga keberlanjutan lingkungan. Protes besar di Nepal dan demonstrasi di Indonesia pada akhir Agustus 2025 menunjukkan generasi muda, khususnya Gen Z, semakin vokal terhadap ketidakadilan yang mereka alami.

    Kritik atas Metodologi BPS

    Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menilai, angka BPS perlu dikritisi.

    “BPS hanya mengukur pengeluaran, bukan pendapatan. Kelompok kaya cenderung menutup data penerimaan, sementara pengeluaran kelas bawah relatif lebih besar dibandingkan kelas atas. Ini membuat kesenjangan sesungguhnya tidak tercapture,” jelasnya dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (18/9/2025).

    Ia menambahkan, tren di Asia Tenggara berbeda dengan Indonesia. Thailand mampu menekan ketimpangan, sementara Indonesia justru meningkat sejak reformasi, terutama saat commodity boom 2008. Ekspor batubara dan sawit memang mendorong pendapatan negara, tetapi memperlebar jurang sosial.

    Imaduddin juga menyoroti deindustrialisasi dini.

    “ICOR kita terus memburuk, artinya investasi boros tapi tidak menghasilkan output optimal. Output gap kita minus 7,9%, sementara negara lain sudah pulih pasca-pandemi,” ujarnya.

     

  • Impor Tapioka Diperketat Buntut Harga Singkong Petani Anjlok

    Impor Tapioka Diperketat Buntut Harga Singkong Petani Anjlok

    Jakarta

    Pemerintah memutuskan untuk memperketat impor tapioka. Keputusan ini diambil sebagai langkah mengatasi harga ubi kayu atau singkong petani yang anjlok akibat tidak laku oleh industri tapioka dalam negeri.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah melakukan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) pada Rabu (17/9/2025) di Kantor Kemenko Perekonomian. Pertemuan itu dihadiri oleh pemerintah daerah dan petani Lampung dari 7 Kabupaten hingga pengusaha besar.

    Permasalahan utama yang dihadapi para Petani adalah harga jual Ubi Kayu yang sangat rendah, pada saat itu harga hanya sekitar Rp 600-700/kilogram (kg) di bawah biaya yang dikeluarkan petani sekitar Rp 740/kg. Singkong ini merupakan bahan baku dari tepung tapioka yang digunakan oleh industri.

    “Komitmen Pemerintah untuk terus membantu Petani dalam menyelesaikan permasalahan Ubi Kayu ini, dan juga akan menjaga Industri Tepung Tapioka serta industri hilirnya, yang menjadi pilar penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Lampung,” kata Airlangga dalam keterangannya, Kamis (18/9/2025).

    Permasalahan ini sangat kompleks, karena tidak hanya terkait dengan Petani saja, tapi juga terkait dengan permasalahan di Industri Hulu (Pabrik Tepung Tapioka) dan di Industri Hilir yang menggunakan bahan baku Tepung Tapioka (Industri Makanan/Minuman, Industri Kertas dll).

    “Kondisi ini menyebabkan kerugian yang sangat besar di sisi Petani (yang menghasilkan Ubi Kayu) maupun pihak Industri Hulu (yang memproduksi Tepung Tapioka),” ucapnya.

    Dugaan awal mengarah ke industri hilir, yang disinyalir lebih mementingkan Tepung Tapioka impor dari Thailand dan Vietnam, daripada membeli dari Industri Hulu di dalam negeri. Namun, setelah dilihat data impor dari BPS dan data Bea Cukai, memang terjadi lonjakan impor pada tahun 2024, namun totalnya hanya sebesar 300 Ribu ton atau sekitar 22% dari total kebutuhan bahan baku tepung tapioka di Industri Hilir yang sebesar 1.320 Ribu ton.

    “Dengan demikian dapat dilihat bahwa masalah utama tidak terkait langsung dengan Industri Hilir,” tambah keterangan itu.

    Tonton juga video “Bea Cukai Makassar Musnahkan Barang Impor Ilegal Senilai Rp 12 Miliar” di sini:

    (ada/rrd)

  • Ketika Amerika Serikat Lebih Mirip Emerging Market

    Ketika Amerika Serikat Lebih Mirip Emerging Market

    Bisnis.com, JAKARTA — Apakah 200 bps Spread Terlalu Tipis untuk Bullish? Banyak pelaku pasar buru-buru menyimpulkan bahwa spread yield INDOGB 10 tahun terhadap US Treasury yang kini hanya 200 bps—terendah dalam sejarah—sudah terlalu tipis untuk tetap bullish. Alasannya sederhana: rata-rata dua dekade terakhir ada di kisaran 500 bps. Tapi pasar tidak hidup di masa lalu. Seperti kata Warren Buffett, “If past history was all there was to the game, the richest people would be librarians.”

    Fenomena penyempitan spread bukan hanya terjadi di Indonesia. Filipina, Malaysia, hingga Thailand mengalami hal serupa. Bahkan, di Malaysia dan Thailand, yield 10 tahun obligasi pemerintahnya sudah berada di bawah yield US Treasury. Investor di sana rela menerima negative risk premium. Artinya, rendahnya spread Indonesia bukan tanda valuasi kita sudah tidak menarik, melainkan cerminan bahwa yang “bermasalah” justru ada di Amerika Serikat. Defisit fiskal AS yang terus melebar, ketidakpastian politik, hingga penurunan sovereign rating telah membuat profil pembiayaan AS semakin menyerupai EMs.

    Amerika Semakin Mirip Emerging Market (EM). Gejala ini makin kentara dalam beberapa aspek. Pertama, defisit fiskal yang kronis memaksa pemerintah AS menerbitkan surat utang dalam jumlah masif. Tidak heran kini pasar mulai menaruh perhatian serius pada isu debt sustainability Amerika, persis seperti cara mereka menilai risiko kredit negara-negara EM.

    Kedua, ketidakpastian politik dan kebijakan membuat AS kehilangan citra sebagai safe haven. Pergantian arah kebijakan yang kerap ekstrem—mulai dari tarif impor, perubahan pajak, drama plafon utang, hingga ancaman government shutdown—semua menambah uncertainty premium pada U.S. Treasury.

    Ketiga, tekanan terhadap dolar. Di banyak negara EM, dominasi fiskal sering berujung pada pelemahan mata uang. Pola ini kini juga terlihat di AS. Meski suku bunga sudah naik tajam, dolar justru sempat melemah, mendorong investor global melakukan diversifikasi ke emas, obligasi EM, dan aset berbasis mata uang lokal.

    Keempat, soal kualitas kredit. Dulu AS identik dengan “risk-free premium.” Namun serangkaian penurunan peringkat—dari S&P pada 2011, Fitch pada 2023, hingga Moody’s pada 2024— menunjukkan bahwa posisi kredit AS makin merosot. Akibatnya, Treasuries kini diperdagangkan dengan risk premium yang lebih mirip surat utang negara EM ketimbang negara maju.

    Apakah 200 bps Spread Indonesia Masih Wajar? Lagi-lagi jawabannya tidak cukup hanya dengan mencomot angka historis. Fair spread harus ditimbang dengan kualitas fundamental makro. Kajian dari Chen & Trolle, 2024, Journal of International Money and Finance juga menekankan pentingnya memasukkan variabel “shock absorber” seperti cadangan devisa dan rasio utang saat menilai risk premium negara berkembang.

    Di sinilah kami menggunakan apa yang kami sebut Vulnerability Index heat map— gabungan beberapa indikator kunci seperti, Cadangan devisa, Defisit fiskal, Rasio utang (domestik dan global), Inflasi dan Suku bunga kebijakan. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat ke-4 terbaik di antara EMs besar dalam indeks ini — di bawah Peru, South Korea dan Thailand. Maka wajar jika spread INDOGB yang hanya 200 bps tetap bisa bertahan. Justru, kalau Treasuries sudah diperlakukan pasar layaknya obligasi

    EM, maka obligasi EM dengan fundamental kuat—seperti Indonesia—relatif lebih menarik secara risk- adjusted.

    Jangan terlena. Meski spread yield Indonesia terhadap US Treasury sudah menyentuh titik terendah dalam sejarah, ini bukan alasan untuk berpuas diri. Yield SBN kita masih jauh di atas Malaysia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, maupun China. Fokusnya kini bukan lagi sekadar bertanya apakah asing mau masuk dengan spread 200 bps, melainkan bagaimana strategi konkret agar biaya utang pemerintah bisa terus ditekan.

    Spread 200 bps mungkin terlihat tipis bila kita hanya terpaku pada sejarah. Tetapi sejarah berubah. Kali ini yang goyah justru Amerika. Dan seperti pernah diingatkan Keynes: “When the facts change, I change my mind. What do you do, sir?”

  • Data Penerima Sekolah Rakyat di Tangsel Disorot, DPR Temukan Indikasi Salah Sasaran
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        17 September 2025

    Data Penerima Sekolah Rakyat di Tangsel Disorot, DPR Temukan Indikasi Salah Sasaran Megapolitan 17 September 2025

    Data Penerima Sekolah Rakyat di Tangsel Disorot, DPR Temukan Indikasi Salah Sasaran
    Tim Redaksi
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
    Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, menyoroti persoalan data penerima manfaat program Sekolah Rakyat di Tangerang Selatan (Tangsel).
    Selly menduga masih banyak siswa yang tercatat dalam kategori desil satu dan dua—yang seharusnya diperuntukkan bagi keluarga miskin—justru berasal dari keluarga mampu.
    “Kalau yang kami perhatikan, banyak anak-anak yang mohon maaf tadi kan sempat dilihat desil 1 dan desil 2 tetapi dengan rumahnya ternyata sudah layak. Nah itu kan harus dicek di lapangan,” ujar Selly saat ditemui di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 33 Tangsel, Serpong Utara, Rabu (17/9/2025).
    Menurut Selly, kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar terkait akurasi dan validasi data penerima manfaat program sosial.
    Ia mencontohkan, di sejumlah daerah lain pernah ditemukan keluarga yang tergolong mampu secara ekonomi namun tetap tercatat sebagai miskin.
    “Keluarga mereka ada yang mohon maaf ya, kategorinya masih keluarga mampu. Dan tentu ini harus menjadi penyikapan yang sangat serius ya dari Kementerian Sosial,” katanya.
    Saat ini, penentuan status desil berada di bawah kewenangan Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTKSN), bukan lagi di Kementerian Sosial.
    Namun, Selly menilai sistem tersebut justru menimbulkan persoalan baru di lapangan.
    “Yang harusnya mereka tetap di desil satu atau desil dua dengan kategori miskin, sekarang berubah menjadi desil lima dan enam. Sementara orang-orang kaya justru masuk di desil satu dan dua,” jelasnya.
    Dengan adanya permasalahan tersebut, Selly mendorong evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pemutakhiran data agar tidak lagi terjadi salah sasaran.
    Ia juga meminta pemerintah daerah dilibatkan secara aktif dalam proses validasi.
    “Jangan sampai data yang tidak sesuai justru merugikan anak-anak dari keluarga miskin yang seharusnya berhak,” ucap Selly.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penempatan Dana Negara ke Himbara, Kebijakan Baru Rasa Lama

    Penempatan Dana Negara ke Himbara, Kebijakan Baru Rasa Lama

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengklaim bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah Rp200 triliun ke perbankan akan menggerakkan perekonomian. Dia juga memastikan bahwa hal itu bukanlah langkah baru karena pernah dilakukan pada tahun 2008 dan 2021.

    Pernyataan itu diungkapkan saat merespons kritik dari ekonomi senior Indef sekaligus rektor Universitas Pramadina, Didik J Rachbini.

    “Enggak ada yang salah, saya sudah konsultasi juga dengan ahli-ahli hukum di Kemenkeu. Dulu pernah dijalankan tahun 2008, bulan September. [Kemudian] 2021 bulan Mei, enggak ada masalah. Jadi Pak Didik harus belajar lagi kelihatannya,” ujar Purbaya saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/9/2025). 

    Dalam catatan Bisnis, penempatan dana pemerintah ke Bank BUMN pada tahun 2008 terkait dengan krisis finansial global. Sementara itu penempatan dana pada 2021 terkait dengan proses pemulihan ekonomi yang hancur karena pandemi Covid-19.

    Adapun penempatan dana senilai Rp200 triliun diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.276/2025 tentang Penempatan Uang Negara Dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas Untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi. Pada saat itu, Purbaya menyebut dana pemerintah yang disimpan di BI sekitar Rp400 triliun lebih. 

    Lima bank himbara yang menerima masing-masing adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebesar Rp55 juta, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI Rp55 juta, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI Rp55 juta, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BTN Rp25 juta dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. atau BSI Rp10 juta. 

    “Penempatan Uang Negara digunakan untuk pertumbuhan sektor riil,” demikian bunyi diktum ketiga KMK tersebut. 

    Purbaya, dalam KMK pertama yang diterbitkan olehnya, tegas melarang perbankan untuk menggunakan likuiditas itu untuk membeli SBN. Meski demikian, secara terpisah dia telah menegaskan bahwa perbankan diberikan kebebasan dalam bagaimana mendistribusikan dana tersebut untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

    Pria yang sebelumnya menjabat Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut tidak akan membuat petunjuk khusus (guidance) dalam penggunaan dana Rp200 triliun itu. Dia hanya akan menyiapkan daftar proyek pemerintah yang sekiranya menjadi prioritas untuk pemanfaatan uang tersebut. 

    “Saya ulangi lagi, suka-suka mereka. Pakai imajinasi mereka untuk mendapatkan itu menurut mereka yang paling baik,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Selasa (16/9/2025).

    Gebrakan Baru Rasa Lama

    Sejatinya penempatan dana pemerintah di perbankan bukan gebrakan yang sepenuhnya baru. Pada 2021 lalu, ketika Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19, Menkeu saat itu yakni Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) NO.70/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. 

    “Penempatan Uang Negara pada Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 dan/ atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional,” bunyi pasal 2 ayat (3) PMK tersebut. 

    Dengan demikian, perbedaan antara penempatan dana yang dilakukan pekan lalu dan pada 2021 itu jelas. Tujuan penempatan dana Rp200 triliun pada paruh kedua 2025 ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sedangkan yang dilakukan sekitar empat tahun lalu itu dalam rangka kedaruratan akibat dampak pandemi. 

    PMK No.70/2020 juga tidak mengatur secara rinci berapa dana pemerintah maupun bank umum mitra yang menjadi tempat penampungan likuiditas dari pemerintah itu. Sementara itu, KMK No.276/2025 jelas mengatur Mandiri, BRI, BNI, BTN dan BSI menadah duit pemerintah tersebut. 

    Dilansir dari Antara, tahap pertama penyaluran dana pemerintah berdasarkan PMK No.70/2020 itu adalah sebesar Rp30 triliun.  Seperti halnya yang dilakukan pada 2021, penempatan dana pemerintah di perbankan pada hampir 20 tahun yang lalu itu guna menghadapi krisis, yakni krisis finansial global.

    Ekonomi Sedang Baik-baik Saja?

    Penempatan dana Rp200 triliun pada paruh kedua semester II/2025 disebut oleh pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Harapannya, dengan likuiditas berlebih, perbankan bakal menyalurkan dana itu kepada kredit sehingga bisa menggenjot perekonomian dari sektor swasta yang disebut berkontribusi terhadap 90% perekonomian RI. 

    Padahal, pemerintah sebelumnya optimistis bahwa perekonomian Indonesia baik-baik saja. Terutama, setelah data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi kuartal II/2025 melesat hingga 5,12% (yoy) di luar ekspektasi berbagai kalangan.

    Optimisme itu lalu dibayangi oleh stabilitas sosial politik ketika unjuk aksi besar-besaran menolak tunjangan DPR mengalami eskalasi akhir Agustus 2025 lalu. Hal itu turut berdampak pada pencopotan Sri Mulyani Indrawati dari kursi Menkeu, jabatan yang telah dipegangnya sejak 2016, serta sebelumnya pada 2005-2010. 

    Belanja pemerintah kemudian diakselerasi. Teranyar, pemerintah menggenjot belanja dengan menggelontorkan paket ekonomi sebesar Rp16,2 triliun. Beberapa program itu meliputi pembebasan pajak karyawan sektor pariwisata hingga tarif 0,5% untuk pajak final UMKM. 

    Menko Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis paket stimulus itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melesat hingga 5,2% sesuai target tahun ini, terutama setelah gonjang-ganjing dalam negeri akhir bulan lalu. Dia mengamini bahwa ada kekhawatiran pada kuartal III/2025 pertumbuhan bisa melambat karena belanja pemerintah yang belum terakselerasi. 

    Oleh sebab itu, selain menggelontorkan stimulus, dia juga akan mendorong debirokratisasi dalam dunia usaha hingga memantau ketat penyerapan belanja pemerintah. 

    “Ya tentu, salah satu kan dibentuk tim untuk debottlenecking. debirokratisasi, termasuk untuk serapan-serapan anggaran akan terus dimonitor,” jelasnya di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (15/9/2025). 

    Kendati upaya pemerintah lebih ekspansif dalam mendorong pertumbuhan, tantangan yang bakal dihadapi adalah dari sisi disiplin fiskal. Pada tahun ini, outlook defisit APBN sudah mencapai 2,78% terhadap PDB dengan batasan UU yakni 3%. 

    Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Andry Asmoro mengatakan, pemerintah memiliki tantangan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan mendorong pertumbuhan melalui stimulus dengan disiplin fiskal jangka menengah. Tujuannya, agar ruang kebijakan tetap tersedia untuk mengantisipasi guncangan eksternal di masa depan. 

    “Dengan strategi fiskal yang lebih ekspansif, outlook defisit fiskal berpotensi melebar dari yang diperkirakan sebelumnya, meskipun diperkirakan masih terjaga di bawah 3% terhadap PDB sesuai komitmen Pemerintah,” jelasnya kepada Bisnis.

  • Himbara Topang IHSG Menari Usai BI Pangkas Suku Bunga

    Himbara Topang IHSG Menari Usai BI Pangkas Suku Bunga

    Jakarta

    Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menguat usai Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%. Himbara pun menopang penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tembus ke level 8.025,17.

    Berdasarkan data perdagangan RTI Business, empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menguat. Penguatan tertinggi terjadi pada saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) sebesar 3,35% ke harga Rp 1.390 per lembar saham. BTN mencatat volume perdagangan sebesar 105,11 juta dengan nilai transaksi Rp 145,11 miliar. Adapun frekuensi saham yang diperdagangkan sebesar 32.451 kali.

    Sementara PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), menguat 2,18% ke harga Rp 4.220 per lembar saham. BRI mencatat volume perdagangan sebesar 245,15 juta dengan nilai transaksi Rp 1,02 triliun dari frekuensi saham yang diperdagangkan sebanyak 40.701 kali.

    Sedangkan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) menguat 1,83% ke harga Rp 4.450 per lembar saham. BNI mencatat volume perdagangan sebanyak 54,55 miliar dengan nilai transaksi sebesar Rp 240,36 miliar. Adapun frekuensi saham yang diperdagangkan sebanyak 12.809 kali.

    Kemudian PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) tercatat menguat sebesar 0,67% ke harga Rp 4.510 per lembar saham. Hingga penutupan perdagangan, Bank Mandiri mencatat volume 232,70 juta dengan nilai transaksi Rp 1,04 triliun. Adapun jumlah frekuensi saham yang diperdagangkan sebanyak 38.635 kali.

    Berdasarkan analisa pasar dari Phintraco Sekuritas, IHSG menguat seiring keputusan pemangkasan BI Rate. Keputusan ini berada di luar ekspektasi konsensus maupun analis yang sebelumnya memperkirakan BI Rate akan dipertahankan di level 5%.

    “Secara kumulatif, hingga September 2025 BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 125 bps sepanjang tahun ini. Kebijakan pelonggaran moneter tersebut diharapkan selaras dengan langkah pemerintah yang menyalurkan dana sebesar Rp 200 triliun melalui sejumlah bank BUMN besar, yang pada gilirannya diharapkan mampu mendorong konsumsi masyarakat serta mendukung pencapaian target pertumbuhan GDP nasional,” tulis analisa pasar Phintraco Sekuritas, Rabu (17/9/2025).

    Secara teknikal, IHSG berhasil menembus level resistance psikologis 8.000, yang didukung oleh indikator modern MACD. Indikator MACD menunjukkan pembentukan positive slope yang diikuti terjadinya golden cross.

    “Sejalan dengan kondisi ini, kami memperkirakan IHSG akan menguji resistance di level 8.150 pada perdagangan Kamis (18/9),” tutupnya.

    (rrd/rrd)