Kementrian Lembaga: BPS

  • Gen Z Dominasi Dunia Maya, Literasi Digital Jadi Kebutuhan Mendesak

    Gen Z Dominasi Dunia Maya, Literasi Digital Jadi Kebutuhan Mendesak

    Jakarta, Beritasatu.com — Budaya instan yang melekat pada Generasi Z berjalan seiring dengan pesatnya penetrasi teknologi. Sebagai pengguna terbesar teknologi, generasi digital-native kini mendominasi ruang digital: lebih dari 56 persen pengguna internet di Indonesia berusia di bawah 30 tahun (BPS, 2024). Kondisi ini membuat Gen Z menjadi kelompok yang paling sering terekspos informasi, baik yang bermanfaat maupun berbahaya, sehingga upaya perlindungan dan literasi menjadi mendesak.

    Fenomena budaya instan memengaruhi cara Gen Z mengonsumsi informasi. Pakar literasi digital, Deden Mauli Darajat, menjelaskan bagaimana algoritma media sosial mendorong format yang singkat dan menarik, sehingga kebiasaan baru terbentuk: ingin tahu banyak hal, tapi dalam waktu yang sangat singkat.

    ‘’Fenomena budaya instan memang melekat pada Gen Z. Mereka tumbuh di dunia yang serba cepat dan visual, di mana informasi datang seketika hanya lewat layar,’’ ujar Deden.

    Deden menekankan bahwa budaya instan memiliki dua sisi: adaptasi dan kreativitas di satu pihak, tetapi potensi hilangnya kedalaman berpikir dan refleksi kritis di pihak lain.

    ‘’Ketika kita terbiasa hanya menonton reels atau membaca headline, otak dilatih untuk berpikir cepat tapi tidak mendalam. Akibatnya, kemampuan analisis menurun. Gen Z sering bereaksi cepat, tapi belum tentu memahami konteks. Ini berbahaya di tengah banjir informasi. Kalau tidak punya daya kritis, mereka mudah terjebak pada disinformasi atau clickbait. Karena itu, perlu dibangun budaya baru, tidak hanya mengonsumsi, tapi juga memproduksi konten informatif yang diverifikasi dan bernilai,’’jelasnya.

    Mindful digital behavior dan Peran Gen-Z

    Deden menyoroti pentingnya mindful digital behavior—kemampuan mengelola waktu, emosi, dan perhatian di dunia digital, sebagai kunci agar Gen Z tidak menjadi target DFK (disinformasi, fitnah, kebencian).

    ‘’Gen Z perlu belajar mengelola waktu, emosi, dan perhatian di dunia digital. Tantangan mereka bukan lagi soal akses teknologi, tapi soal digital well-being dan kemampuan memilah informasi. Kalau kesadaran ini dibangun, Gen Z justru bisa jadi tameng budaya instan, di mana mereka bisa menunjukkan bahwa cepat bukan berarti dangkal, dan kreatif bukan berarti asal viral,’’ ujarnya.

    Menurut Deden, pendekatan meningkatkan literasi untuk digital native harus bersifat kolaboratif dan kontekstual (tidak kaku), melainkan mengikuti gaya komunikasi yang akrab di kalangan muda.

    ‘’Pertama, literasi digital perlu diajarkan sejak sekolah, bukan hanya teknis, tapi juga soal etika dan verifikasi. Kedua, gunakan pendekatan sebaya, libatkan influencer dan content creator muda yang jadi panutan Gen Z,’’ ungkapnya.

    Sementara itu, lembaga pendidikan dan komunitas digital dapat menggandeng berbagai pemangku kepentingan untuk menyusun kampanye literasi interaktif—misalnya program berbasis sekolah, kampus, dan komunitas kreator.

    ‘’Jangan kaku atau formal, tapi gunakan gaya dan platform yang akrab dengan mereka, seperti TikTok, Instagram, atau podcast,’’ imbuhnya.

    Ancaman Disinformasi, Fitnah, dan Ujaran Kebencian (DFK)

    Sebagai pengguna aktif sekaligus kelompok yang paling terekspos, Gen Z rentan terhadap DFK. Algoritma yang menciptakan echo chamber memperbesar risiko terpapar narasi sempit yang memicu polarisasi.

    ‘’Algoritma media sosial sering menciptakan echo chamber, ruang gema informasi yang membuat orang hanya terpapar pada pandangan yang disukainya. Di situ disinformasi dan ujaran kebencian mudah tumbuh. Dampaknya bisa ke mana-mana: polarisasi, kehilangan empati, bahkan krisis kepercayaan publik. Maka, Gen Z harus dibekali dengan critical thinking dan empati digital agar tidak mudah terprovokasi,’’ pungkasnya.

    Deden merangkum tiga langkah konkret untuk mengantisipasi ancaman DFK pada Gen Z: edukasi berkelanjutan, ekosistem kolaboratif, dan pendekatan empatik.

    ‘’Saya melihat ada tiga hal. Pertama, edukasi berkelanjutan. Literasi digital bukan cukup satu kali pelatihan, tapi harus jadi budaya di sekolah dan kampus,’’ ucapnya.

    Untuk ekosistem kolaboratif, Deden mengusulkan program bersama komunitas digital dan content creator, misalnya gerakan bertajuk Gen Z Tameng Digital, yang mendorong anak muda menjadi pelindung kebenaran digital.

    ‘’Kedua, ekosistem kolaboratif. Komunitas dan content creator bisa membentuk gerakan seperti “Gen Z Tameng Digital” untuk mengajak anak muda jadi pembela kebenaran digital,’’ katanya.

    Pendekatan empatik menjadi poin ketiga: jangan menakut-nakuti, tetapi ajak Gen Z sebagai bagian dari solusi.

    ‘’Mereka ini kreatif luar biasa. Kalau diarahkan, mereka bisa jadi digital fact-checker alami yang menjaga ruang digital tetap sehat dan beradab,’’ tutupnya.

  • Catat! Ekonom Ungkap 5 Capaian Prabowo di Tahun Pertama

    Catat! Ekonom Ungkap 5 Capaian Prabowo di Tahun Pertama

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto masih memiliki tiga PR besar dalam perekonomian, meskipun mampu menyelesaikan setidaknya lima tantangan selama setahun masa kepemimpinannya sejak 20 Oktober 2025.

    Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengungkapkan, lima tantangan perekonomian yang berhasil diselesaikan Prabowo dalam satu tahun masa kepemimpinannya ini pertama terkait dengan mengembalikan laju pertumbuhan ekonomi di atas 5%.

    Sebagaimana diketahui, pada kuartal II-2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) berhasil tumbuh di level 5,12% secara tahunan atau year on year (yoy), dari sebelumnya pada kuartal I-2025 mengalami kemerosotan ke level 4,87%.

    “Tentu saja pertumbuhan ekonomi 5% ini dicapai tidak dengan mudah di tengah tadi yang Pak Presiden sampaikan, konflik geopolitik dan juga instability dalam global financial situation saat ini,” kata Andry dalam Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Senin (27/10/2025).

    Tantangan kedua, yang berhasil dilalui oleh Pemerintahan Prabowo, menurut Andry ialah menjaga tekanan inflasi di level target Bank Indonesia (BI) kisaran 2,5% plus minus 1%. Per September 2025, tekanan inflasi tercatat di level 2,65% yoy.

    “Tingkat inflasi yang ada saat ini memberikan dua hal. Yang pertama adalah tetap menjaga living cost, biaya hidup masyarakat di Indonesia, terutama kalau kita lihat yang perlu dijaga juga inflasi tingkat pangan,” ucap Andry.

    “Yang kedua juga tetap memberikan insentif bagi dunia usaha, karena kalau inflasinya terlalu rendah juga, misalnya ke arah misalnya di bawah 1%, tentu saja buat dunia usaha tidak ada insentif kemudian untuk memproduksi,” tegasnya.

    Masalah ketiga, kata Andry terkait dengan stabilitas pasar keuangan yang cenderung terjaga dari gejolak ketidakpastian dan tekanan ekonomi global selama era pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Stabilitas itu terjadi di nilai tukar rupiah, pasar modal, dan pasar surat berharga negara (SBN).

    “Dan volatilitas kalau lihat di tiga indikator situasi di global, yakni currency, global equity dan juga bond market, itu jauh lebih volatile di Trump 2.0 ini. Jadi stabilitas di sektor keuangan ini tentu saja kinerja yang hebat dari para otoritas, otoritas fiskal, otoritas moneter dan juga perbankan,” paparnya.

    Keempat, Andry melanjutkan, tantangan yang berhasil diatasi pemerintahan Prabowo Subianto terkait dengan upaya memperbaiki ketimpangan masyarakat. Pada Maret 2025, BPS mencatat ketimpangan yang tercermin dari gini ratio menjadi yang terendah dalam periode 2019-2025, yakni di level 0,375.

    Terakhir, capaian kelima terbesar masa pemerintahan Prabowo Subianto kata Andry ialah keberhasilan menyelesaikan kesepakatan perdagangan dengan sejumlah kelompok ekonomi besar, seperti Eropa maupun Afrika, di tengah tekanan narasi proteksionisme yang di bawah pemerintah AS melalui kebijakan tarif resiprokal Donald Trump.

    Dengan Eropa, misalnya, pemerintah berhasil mencapai kesepakatan substansial Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) pada September lalu. Padahal, perundingan itu sudah dilakukan hampir satu dekade yang lalu.

    “Ini sudah membuka suatu jalan untuk kemudian bagi kita mendiversifikasi tujuan ekspor dan juga kemudian bisa meningkatkan ekspor kita ke depan.
    Di tengah tadi tantangan tarif Trump, bahkan juga kemudian kita juga mendekati negara-negara di benua Afrika yang sebenarnya kita punya ruang untuk meningkatkan produk-produk dari UMKM kita untuk didorong untuk diekspor ke sana,” tutur Andry.

    PR yang Belum Selesai

    Andry mengingatkan, setelah berhasil menyelesaikan lima tantangan itu, Prabowo masih memiliki tiga PR yang harus dikerjakan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia supaya bisa tumbuh ke level 8% sesuai target selama lima tahun masa pemerintahannya.

    PR pertama kata Andry adalah memperbaiki struktur produksi PDB agar lebih berkelanjutan. Caranya dengan fokus perbaikan pada sektor-sektor industri yang selama ini berkontribusi besar terhadap PDB namun belum mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat.

    Sektor itu di antaranya ialah pertanian, perkebunan, dan perikanan memiliki kontribusi hingga 14% terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia. Lalu, makanan dan minuman, yang kontribusinya ke PDB kisaran 19%, serta perdagangan besar dan eceran mencapai 13%. Meski kontribusi besar, tiga sektor itu pertumbuhannya selalu di bawah 5%. Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan bahkan tumbuhnya hanya 2,2%.

    “Jadi kisaran 2,2% misalnya, kalau kita bisa dua kali lipatkan pertumbuhannya, ini tentu saja akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara struktural lebih baik lagi ke depannya dan juga dalam hal penyerapan tenaga kerja,” paparnya.

    Kedua, PR yang mesti diselesaikan Prabowo kata Andry terkait dengan perbaikan industri manufaktur yang dalam satu dekade terakhir mengalami periode deindustrialisasi dini, yakni kontribusinya kian menyusut terhadap PDB.

    Untuk mengatasi masalah itu, Andry menganggap, tidak ada opsi lain selain mendorong percepatan investasi yang berkualitas dengan menggerakkan penciptaan iklim investasi yang kondusif di tingkat pusat maupun daerah.

    “Jadi semua kepala daerah dan pemerintah daerah bersama pemerintah pusat itu juga kemudian bisa saling bersaing untuk mengundang foreign investors, direct investors, karena kita membutuhkan direct investment yang luar biasa besar. Karena kita negara yang masih menghadapi tantangan saving investment gap yang cukup besar,” tegas Andry.

    Terakhir, masalah yang harus segera diselesaikan Presiden, kata Andry ialah kembali memperbaiki kondisi kelas menengah yang terus tertekan hingga 2024.

    Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kelas menengah yang menyusut di Indonesia dari posisi 2019 sebanyak 57,33 juta orang menjadi hanya 47,85 juta orang pada 2024 menyisakan tekanan daya beli pada tahun ini, yang tercermin dari lambatnya laju konsumsi rumah tangga.

    Laju konsumsi kini tak lagi mampu tumbuh di atas 5%. Pada Kuartal II-2025 konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% yoy dengan kontribusi 54,25% ke PDB. Tak mengalami perubahan signifikan dari posisi kuartal I-2025 yang sebesar 4,95%, dan kuartal II-2024 sebesar 4,93%.

    “Kalau kita bisa kemudian mengembalikan dengan penciptaan lapangan kerja dan juga kemudian bisa dengan insentif buat kelas menengah, saya rasa ini juga akan mengembalikan pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi dan investasi ke pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik lagi ke depannya,” kata Andry.

    Andry menjelaskan, pemerintah saat ini memang sangat berkepentingan untuk mempercepat pertumbuhan karena dalam satu dekade terakhir telah ketinggalan dibanding negara-negara tetangga dalam mencapai angka pertumbuhan di atas 5%. Akibatnya, banyak investor yang lebih memilih menanamkan modalnya atau foreign direct investment ke negara-negara seperti Vietnam.

    “Karena secara relatif negara-negara tetangga kita sudah mampu kemudian tumbuh lebih agresif lagi dan ini yang menjadi salah satu alasan dasar kenapa investasi asing langsung banyak masuk ke Vietnam misalnya, ke negara-negara yang lain. Karena mereka membaca narasi pertumbuhan yang relatif lebih baik dari negara-negara tersebut,” tutur Andry.

    (arj/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pendapatan Kelas Menengah Seret, Prabowo Harus Ringankan Pungutan

    Pendapatan Kelas Menengah Seret, Prabowo Harus Ringankan Pungutan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jumlah kelas menengah yang menyusut di Indonesia dari posisi 2019 sebanyak 57,33 juta orang menjadi hanya 47,85 juta orang pada 2024 menyisakan tekanan daya beli pada tahun ini, yang tercermin dari lambatnya laju konsumsi rumah tangga.

    Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) laju konsumsi kini tak lagi mampu tumbuh di atas 5%. Pada Kuartal II-2025 konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% yoy dengan kontribusi 54,25% ke PDB. Tak mengalami perubahan signifikan dari posisi kuartal I-2025 yang sebesar 4,95%, dan kuartal II-2024 sebesar 4,93%.

    Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan, masih terus tertekannya daya beli masyarakat kelas menengah itu disebabkan pertumbuhan pendapatan mereka teramat lambat tiap tahunnya.

    “Karena kalau kita lihat dari sisi pertumbuhan income yang di kelas menengah itu memang relatively terbatas pertumbuhannya,” kata Andry dalam Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Senin (27/10/2025).

    Oleh sebab itu, Andry menekankan, untuk memulihkan daya beli kelas menengah yang porsinya menurut BPS mencakup 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat, dalam jangka pendek pemerintah harus memberikan insentif khusus, berupa pengurangan beban segala pungutan wajib mereka.

    “Jadi kalau misalnya biaya-biaya yang muncul di kelas menengah bisa kemudian sebagian diberikan insentif dari pemerintah, tentu saja real income-nya dari kelas menengah di Indonesia itu akan relatif lebih baik lagi dan ini akan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

    Di sisi lain, dalam jangka panjang ia mengingatkan, pemerintah juga perlu fokus mempercepat penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, melalui dorongan investasi yang menggerakkan industrialisasi dan menyerap tenaga kerja tanah air.

    “Jadi kita butuh investasi yang cukup besar, karena kontribusinya sekitar 30%. Nah ini perlu kemudian, bukan hanya gerakan dari pemerintah pusat saja, perlu kemudian menggandeng juga pemerintah daerah,” papar Andry.

    (arj/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 2026 Tahun yang Berat Bagi Pemkab Bondowoso, Komoditas Kopi Masih Jadi Andalan

    2026 Tahun yang Berat Bagi Pemkab Bondowoso, Komoditas Kopi Masih Jadi Andalan

    Bondowoso, (beritajatim.com) – Pemerintah Kabupaten Bondowoso dipastikan menghadapi tantangan fiskal pada tahun 2026. Melanjutkan kondisi sama di tahun 2025.

    Sekretaris Daerah (Sekda) Bondowoso, Fathur Rozi, mengungkapkan bahwa meskipun anggaran daerah mengalami penurunan sekitar 11 persen dibanding tahun sebelumnya, Pemkab tetap berkomitmen menjaga laju pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Bondowoso mencapai sekitar 790 ribu jiwa dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 71,22.

    Struktur ekonomi daerah ini masih sangat bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat.

    “Bondowoso memiliki potensi besar di sektor pertanian dan perkebunan. Produksi kopi kita mencapai 80 ribu ton per tahun, tembakau—yang juga menjadi logo Bondowoso—sebanyak 10 ribu ton, dan tebu sekitar 470 ribu ton per tahun,” jelas Fathur Rozi.

    Ia menyebutkan, tren penurunan angka kemiskinan juga menjadi indikator positif. Tingkat kemiskinan Bondowoso pada tahun 2024 tercatat 12,60 persen, dan menurun menjadi 12,20 persen di tahun 2025, atau sekitar 90 ribu jiwa.

    Namun, di tengah capaian tersebut, Pemkab harus menyesuaikan langkah karena sumber pembiayaan pembangunan semakin terbatas.

    Tahun 2026, Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dari pemerintah pusat disebut “hampir habis”, tersisa hanya untuk sektor air minum dan air bersih senilai Rp 1,2 miliar.

    “Tahun 2026 sekalipun tidak ada Inpres Nomor 1 Tahun 2025, anggaran berkurang sekitar 11 persen dari tahun sebelumnya. Ini bukan hambatan, tapi tantangan agar kita tetap bisa membangun untuk masyarakat,” ujar Fathur Rozi.

    Meski demikian, ia tetap optimistis karena pemerintah pusat masih membuka peluang melalui program Inpres Jalan, yang diharapkan dapat memperkuat infrastruktur dasar dan membuka akses ekonomi bagi masyarakat pedesaan.

    “Untuk membangun tentu membutuhkan anggaran. Visi bupati akan optimal jika didukung sumber daya yang optimal pula. Karena itu, Pemkab harus kolaboratif dengan seluruh elemen masyarakat. Kita harus bersatu untuk membangun Bondowoso yang lebih sejahtera,” tegasnya. [awi/aje]

  • Wajib Tahu! Begini Dampak MBG Terhadap Nilai Tukar Petani dan Produksi Komoditas Pangan di Indonesia

    Wajib Tahu! Begini Dampak MBG Terhadap Nilai Tukar Petani dan Produksi Komoditas Pangan di Indonesia

    YOGYAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia bertujuan utama untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat, khususnya anak-anak usia sekolah. Meski memiliki fokus pada peningkatan gizi, kebijakan ini juga membawa dampak yang signifikan pada sektor pertanian, khususnya yang berkaitan dengan dampak MBG terhadap nilai tukar petani dan produksi komoditas pangan di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi mengubah dinamika di sektor pertanian, yang merupakan sumber utama pangan bagi masyarakat.

    Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana MBG memengaruhi kesejahteraan petani, baik dalam hal peningkatan pendapatan mereka melalui harga komoditas yang lebih tinggi, maupun dampaknya pada produksi komoditas pangan di seluruh Indonesia. Fokus pembahasan akan mencakup perubahan yang terjadi pada nilai tukar petani serta bagaimana kebijakan ini mempengaruhi pasokan pangan nasional.

    Dampak MBG Terhadap Nilai Tukar Petani dan Produksi Komoditas Pangan di Indonesia

    1. Peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP)

    Melansir dari situs Badan Pusat Statistik Indonesia, salah satu indikator utama untuk mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP), yang menunjukkan perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar untuk kebutuhan produksi. Data menunjukkan bahwa setelah implementasi MBG, NTP mengalami peningkatan signifikan. Misalnya, pada Januari 2025, NTP mencapai 123,68, naik 0,73% dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan ini mencerminkan bahwa harga jual produk pertanian meningkat, memberikan keuntungan lebih bagi petani.

    Penelitian juga menunjukkan bahwa MBG memiliki korelasi positif yang kuat dengan kesejahteraan petani, dengan nilai korelasi mencapai 58,7%. Peningkatan permintaan bahan pangan sebagai bagian dari program ini mendorong harga produk pertanian naik, yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani. Selain itu, nutrisi yang lebih baik bagi petani dan keluarganya meningkatkan kesehatan dan energi kerja, yang berpotensi meningkatkan produktivitas kerja dan hasil pertanian. Tahukah Anda, AEI Ungkap Program MBG Berisiko Picu Kenaikan Harga Pangan

    2. Dampak terhadap Produksi Komoditas Pangan

    Implementasi MBG juga memengaruhi dinamika produksi komoditas pangan di Indonesia. Dengan adanya jaminan penyerapan hasil produksi melalui program ini, petani memiliki kepastian pasar, yang mendorong mereka untuk meningkatkan produksi. Hal ini sejalan dengan data yang menunjukkan peningkatan produksi padi nasional pada tahun 2025, yang diperkirakan mencapai 33 juta ton hingga akhir Desember 2025.

    Namun, peningkatan permintaan pangan juga dapat menimbulkan tantangan, seperti potensi inflasi pangan jika tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi yang memadai. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan MBG diikuti dengan dukungan terhadap sektor pertanian, seperti penyediaan sarana produksi yang memadai dan penguatan infrastruktur distribusi pangan.

    Tantangan dan Peluang ke Depan

    Meskipun MBG memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan produksi pangan, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan lokal agar dapat memenuhi permintaan yang meningkat. Selain itu, penting untuk menjaga kestabilan harga pangan agar tidak terjadi inflasi yang merugikan konsumen dan petani kecil.

    Di sisi lain, MBG juga membuka peluang untuk pengembangan sektor pertanian, seperti peningkatan produktivitas melalui teknologi pertanian modern dan diversifikasi produk pangan. Dengan pendekatan yang tepat, MBG dapat menjadi pendorong bagi transformasi sektor pertanian menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

    Jadi intinya, dampak MBG terhadap nilai tukar petani dan produksi komoditas pangan di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, untuk mencapai hasil yang optimal, diperlukan sinergi antara kebijakan MBG dengan dukungan terhadap sektor pertanian, termasuk peningkatan kapasitas produksi dan infrastruktur distribusi pangan. Dengan demikian, MBG dapat menjadi langkah strategis dalam mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.

    Jadi setelah mengetahui dampak MBG terhadap nilai tukar petani dan produksi komoditas pangan di Indonesia, simak berita menarik lainnya di VOI.ID, saatnya merevolusi pemberitaan!

  • Hadapi Ekonomi Lesu, PDIP Genjot Desa Wisata dan Sektor Maritim: Kita Tenangkan Hati Rakyat – Page 3

    Hadapi Ekonomi Lesu, PDIP Genjot Desa Wisata dan Sektor Maritim: Kita Tenangkan Hati Rakyat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – PDI Perjuangan (PDIP) menyatakan bahwa kegiatan diskusi, pameran UMKM, dan kunjungan ke desa wisata bukan sekadar seremoni, tetapi wujud nyata konsolidasi ideologi, politik, dan ekonomi kerakyatan.

    “Dari Cirebon, kita meneguhkan tekad bahwa PDI Perjuangan akan terus berjuang bersama rakyat, memperkuat basis di desa wisata dan masyarakat pesisir, serta memenangkan hati rakyat melalui kerja nyata dan gotong royong,” ujar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto usai membuka diskusi di Kantor DPC PDIP Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (25/10/2025).

    Menurut Hasto, kegiatan ini membuktikan partai hadir dan bekerja bersama rakyat.

    “Partai ini mengakar kuat di desa-desa dan masyarakat pesisir,” tegasnya.

    Isu yang diangkat PDIP di Cirebon bukan tanpa alasan. Sektor pariwisata dan kelautan menjadi dua pilar penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS 2024, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional mencapai 5,2 persen, dengan lebih dari 2.000 desa wisata aktif di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, hampir separuhnya berada di wilayah pesisir dan perdesaan.

    Sementara itu, menurut Prof Rokhmin Dahuri, putra nelayan yang dipilih Megawati Soekarnoputri menjadi Menteri Kelautan dalam usia 38 tahun, potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,3 triliun per tahun, namun baru sekitar 25 persen yang termanfaatkan. Di wilayah seperti Cirebon dan Pantura Jawa Barat, ribuan nelayan menggantungkan hidup pada laut yang kini menghadapi tantangan modernisasi alat tangkap, fluktuasi harga ikan, dan keterbatasan akses pasar.

    Dalam konteks itu, PDIP melihat perlunya sinergi antara desa wisata dan ekonomi pesisir sebagai basis baru pertumbuhan ekonomi rakyat, yang sejalan dengan ajaran Bung Karno tentang nation of maritime and agrarian character, bangsa yang kuat karena menguasai laut dan tanahnya sendiri.

    Kegiatan di Cirebon tersebut digelar bersama oleh Ketua DPP PDIP Bidang Pariwisata Wiryanti Sukamdani dan Ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Tujuannya, untuk mengidentifikasi kebutuhan, tantangan, dan peluang masyarakat desa wisata serta nelayan pesisir.

    “FGD ini menjadi peta isu prioritas masyarakat desa wisata dan pesisir yang dapat diterjemahkan menjadi program kerja partai di daerah,” ujar Rokhmin.

     

  • Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    PIDATO Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pentingnya kembali kepada amanat konstitusi ekonomi — khususnya Undang-undang Dasar NRI 1945 Pasal 33 — menandai sinyal strategis dalam orientasi pembangunan ekonomi nasional.
    Presiden Prabowo menyampaikan arahan itu pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Oktober 2025.
    Dalam arahan tersebut, ia menyatakan bahwa “perekonomian nasional harus dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan semata pertumbuhan atau keuntungan jangka pendek”.
    Ia juga menyinggung bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia masih mengalami kelangkaan minyak goreng — sebagai indikasi bahwa mekanisme pasar belum mencerminkan keadilan sosial.
    Dalam konteks ini, sangat penting untuk memahami substansi Pasal 33 UUD NRI 1945 sebagai landasan hukum ekonomi negara.
    Pasal 33 ayat (1) menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
    Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
    Ayat (3): “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Penjelasan lebih lanjut (termasuk setelah amandemen) menyebut bahwa ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi… dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
    Dalam tinjauan sejarah hukumnya, Pasal 33 dimaknai sebagai “ideologi ekonomi Indonesia” — yaitu suatu rumusan yang menegaskan kedaulatan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai salah satu tujuan dari Indonesia merdeka.
    Penafsiran yuridis-normatif menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting ataupun kekayaan alam tidak dapat direduksi hanya sebagai hak regulasi, melainkan mencakup mandat moral untuk kemakmuran rakyat secara kolektif.
    Dengan demikian, ketika Presiden Prabowo kembali menegaskan Pasal 33 sebagai landasan ekonomi konstitusi dan mendorong kedigdayaan ekonomi rakyat, maka pidato tersebut sesungguhnya menegaskan “ekonomi konstitusi” sebagai kembali ke amanat UUD dan nilai-nilai Pancasila: kedaulatan, kemandirian, pemerataan, dan keberpihakan pada seluruh rakyat.
    Namun, penting dicatat bahwa meskipun landasan tersebut kuat secara konstitusional dan historis, implementasi nyata menghadapi tantangan struktural, yakni masih merajalelanya ideologi kapitalisme, seperti mekanisme pasar yang semakin terbuka hampir tanpa batas, globalisasi modal asing, liberalisasi investasi, termasuk isu persaingan modal besar oligarki versus kepentingan rakyat kecil.
    Pidato Presiden dapat dibaca sebagai momentum korektif terhadap bias kapitalisme yang telah lama mendominasi orientasi pembangunan nasional.
    Pemikiran ekonomi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal produksi dan konsumsi, tetapi juga soal kemerdekaan, kedaulatan ­dan keadilan sosial.
    Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi tahun 1963 menegaskan bahwa pembangunan harus diarahkan untuk “menyusun perekonomian yang berdikari”, bebas dari ketergantungan modal asing, dan berorientasi kepada kepentingan rakyat.
    Ekonomi Berdikari menjadi sikap ekonomi bagi perwujudan sosialisme Indonesia yang menjadi visi ekonomi dari Pancasila.
    Sementara itu, Mohammad Hatta dalam “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” (1954) memandang koperasi sebagai bentuk organisasi ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan modal.
    Ia menulis bahwa “koperasi adalah alat pendidikan sosial yang mengajarkan rakyat untuk saling tolong-menolong dan membangun kekuatan bersama.”
    Pemikiran tersebut mengusung jalan tengah antara kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang mengabaikan kebebasan individu.
    Beberapa dekade kemudian, Mubyarto secara konsisten mengembangkan pemikiran “Ekonomi Pancasila” sebagai kerangka sistem ekonomi alternatif.
    Dalam bukunya “Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan” (1987), Mubyarto menyusun konsep sistem ekonomi Pancasila yang merujuk pada “usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan.”
    Ia mengkritik arus dominan ekonomi neoklasik yang terlalu menekankan efisiensi pasar dan mengabaikan dimensi moral pembangunan.
    Bagi Mubyarto, ukuran keberhasilan ekonomi bukan hanya pertumbuhan, tetapi sejauh mana kemiskinan berkurang, lapangan kerja terbuka, dan rakyat kecil memperoleh kemandirian ekonomi.
    Ketiga tokoh ini, meskipun berbeda dalam konteks zamannya, menyepakati substansi bahwa ekonomi harus berpihak pada rakyat — bukan hanya tatanan pasar bebas yang tanpa kendali.
    Soekarno dengan kedaulatan ekonomi, Hatta dengan prioritas koperasi dan manusia sebagai subjek ekonomi, serta Mubyarto dengan kerangka sistem ekonomi Pancasila yang menjembatani nilai moral dan struktur ekonomi.
    Warisan pemikiran mereka dapat menjadi fondasi bagi interpretasi “ekonomi konstitusi” masa kini — yaitu, bagaimana melaksanakan ekonomi yang dirancang dalam UUD 1945 dengan nilai-nilai Pancasila dalam kerangka globalisasi dan persaingan pasar yang semakin terbuka.
    Empat dekade terakhir menunjukkan pergeseran tajam dalam orientasi ekonomi nasional menuju liberalisasi dan dominasi mekanisme pasar.
    Kebijakan deregulasi dan liberalisasi sejak 1980-an, undang-undang dilakukan seperti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka investasi asing dan memperluas ruang swasta tanpa pengaturan kontrol sosial yang memadai.
    Akibatnya, terjadi privatisasi BUMN, pelemahan proteksi sektor rakyat kecil, dan akumulasi modal besar yang semakin kuat.
    Realitas ini membentuk struktur ekonomi yang oleh banyak kritikus sebut sebagai “kapitalistik” dalam arti orientasi kepada akumulasi modal besar yang dikuasai oleh segelintir oligarki yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan.
    Dari segi angka, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio Gini pengeluaran penduduk Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 0,381.
    Ini menandakan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan dibanding Maret 2023 (0,388) ke Maret 2024 (0,379) , ketimpangan ekonomi masih relatif tinggi.
    Distribusi pengeluaran kelompok 40 persen terbawah pada September 2024 tercatat hanya 18,41 persen dari total pengeluaran nasional.
    Secara struktur, Bank Dunia mencatat 20 persen kelompok teratas menguasai hampir separuh total pendapatan nasional — yang mencerminkan pola akumulasi yang sangat timpang.
    Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi pasar bebas dan akumulasi modal besar belum menciptakan pemerataan yang signifikan.
    Dari aspek hukum, penafsiran Pasal 33 ayat (2) dan (3) menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting dan kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Namun, realitas pengelolaan sumber daya alam kerap menunjukkan bahwa nilai tambah lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar atau investor asing, sementara manfaat lokal atau rakyat kecil masih terbatas.
    Untuk menghidupkan kembali semangat “ekonomi konstitusi” sebagai yang ditekankan Presiden, setidak-tidaknya dapat ditempuh melalui empat langkah strategis.
    Pertama, memperkuat kembali peran negara dan BUMN di sektor strategis, bukan sekadar sebagai pelaku bisnis, tetapi sebagai pelindung kepentingan publik.
    Kedua, merevitalisasi koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat modern dan profesional yang tumbuh dari bawah berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat banyak (sejalan dengan Hatta dan Mubyarto).
    Ketiga, mengarahkan kebijakan investasi dan hilirisasi sumber daya alam agar tercipta nilai tambah di dalam negeri dan manfaat langsung bagi masyarakat lokal.
    Keempat, memperkuat regulasi sosial dan perlindungan rakyat agar pembangunan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan manusiawi.
    Langkah-langkah ini tidak menolak mekanisme pasar modern, melainkan menempatkannya dalam bingkai moral pembangunan: bahwa keterbukaan ekonomi dan persaingan global harus tunduk pada nilai nasional dan kepentingan rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • BI Longgarkan Kebijakan tapi Bunga Deposito dan Kredit Belum Ikut Turun Cepat

    BI Longgarkan Kebijakan tapi Bunga Deposito dan Kredit Belum Ikut Turun Cepat

    BUKITTINGGI – Bank Indonesia (B) telah menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 150 basis poin (bps) sejak tahun lalu. Dengan demikian, BI-Rate kini berada di level 4,75 persn, yang merupakan posisi terendah sejak tahun 2022. 

    Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya menyampaikan bahwa dampak dari pelonggaran kebijakan moneter dan peningkatan likuiditas sudah mulai tampak di pasar uang.

    Suku bunga antarbank overnight atau INDONIA (Indonesia Overnight Index Average) tercatat turun sekitar 204 basis poin pada 21 Oktober 2025, menjadi 3,99 persen, dari posisi 6,03 persen di awal tahun.

    Untuk instrumen dengan tenor yang lebih panjang, seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) berjangka 6, 9, dan 12 bulan, masing-masing juga mengalami penurunan sebesar 251 bps, 254 bps, dan 257 bps, sehingga kini berada di level 4,65 persen, 4,67 persen, dan 4,70 persen per 17 Oktober 2025.

    “Penurunan suku bunga juga terlihat di pasar keuangan. Yield Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tenor dua tahun turun dari 7,26 persen menjadi 4,78 persen, sementara tenor 10 tahun turun dari 7,26 persen menjadi 5,94 persen,” ujarnya dalam pelatihan wartawan BI, Jumat, 24 Oktober. 

    Meski demikian, Juli mengakui bahwa penurunan suku bunga perbankan masih berjalan lebih lambat dibandingkan respons pasar uang dan pasar keuangan.

    Dibandingkan dengan penurunan BI-Rate sebesar 150 bps, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun 29 bps, dari 4,81 persen di awal 2025 menjadi 4,52 persen pada September 2025. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya special rate bagi deposan besar yang mencakup sekitar 26 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) di perbankan.

    Sementara itu, suku bunga kredit perbankan turun lebih lambat lagi, hanya 15 bps, dari 9,20 persen pada awal tahun menjadi 9,05 persen pada September 2025.

    Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa peluang untuk kembali menurunkan suku bunga masih terbuka, dengan mempertimbangkan kondisi inflasi tahun ini dan proyeksi inflasi 2026 yang tetap rendah dan stabil dalam kisaran sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen. 

    “Dan karenanya dengan inflasi yang terkendali itu terbuka ruang penurunan suku bunga,” tutur Perry dalam konferensi pers, Rabu, 22 Oktober. 

    Selain faktor inflasi, ia menyampaikan kebijakan pelonggaran suku bunga juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. 

    Menurut Perry BI terus memperkuat sinergi dengan pemerintah guna meningkatkan aktivitas ekonomi yang saat ini masih berada di bawah potensi kapasitas output nasional.

    Perry menyampaikan dorongan terhadap permintaan domestik masih sejalan dengan upaya menjaga stabilitas harga, terutama inflasi inti, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat tanpa menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan.

    Selain melalui kebijakan suku bunga, ia menyampaikan BI juga terus memperluas ekspansi likuiditas dan pemberian insentif likuiditas, baik di tingkat makro maupun melalui digitalisasi sistem keuangan. 

    Perry menekankan pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas.

    “Dua pertimbangan ini inflasi yang rendah dan perlunya bersinergi mendorong pertumbuhan itulah landasan utama kami masih memandang ruang penurunan suku bunga itu masih terbuka,” jelasnya.

    Namun demikian, ia mengatakan setelah serangkaian pemangkasan suku bunga tahun ini, fokus BI kini beralih pada penguatan efektivitas transmisi kebijakan moneter. 

    Perry menambahkan bahwa penurunan BI-Rate telah diikuti oleh penurunan suku bunga di pasar uang dan juga yield Surat Berharga Negara (SBN).

    Meski begitu, ia mengakui bahwa penurunan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) dan kredit masih berjalan lambat.

    Oleh sebab itu, Perry menyampaikan BI akan terus mendorong agar suku bunga kredit dapat menurun lebih cepat guna mendukung ekspansi ekonomi dan memperkuat transmisi kebijakan moneter.

  • Purbaya Terbitkan Surat Utang Dim Sum Bonds Senilai Rp13,9 Triliun

    Purbaya Terbitkan Surat Utang Dim Sum Bonds Senilai Rp13,9 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah untuk pertama kali menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi mata uang Chinese Renminbi (CNH) alias Dim Sum Bonds senilai total 6 miliar CNH atau sekitar Rp13,9 triliun (asumsi kurs Rp2.328 per CNH).

    Penerbitan kali ini menandai kembalinya Pemerintah RI ke pasar obligasi global dengan format SEC Shelf Registered untuk kedelapan belas kalinya. Dim Sum Bonds diterbitkan dalam dua seri, masing-masing tenor 5 tahun (RICNH1030) dengan kupon tetap 2,5% dan 10 tahun (RICNH1035) berkupon 2,9%.

    Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa penerbitan dilakukan pada 23 Oktober 2025 dengan tanggal penyelesaian pada 31 Oktober 2025. Hasil penerbitan akan digunakan untuk membiayai kebutuhan APBN 2025, sekaligus memperluas basis investor global.

    “Penerbitan ini berhasil menarik minat yang luas dari investor global, termasuk investor onshore Tiongkok, dengan total final orderbook mencapai CNH18 miliar,” tulis DJPPR dalam siaran pers resminya, Kamis (23/10/2025).

    Penawaran awal sempat berada pada kisaran 45 basis poin (bps) di atas imbal hasil (yield) pasar untuk tenor 5 tahun dan 40 basis poin untuk tenor 10 tahun, namun minat yang besar mendorong penetapan yield akhir di level 2,5% dan 2,9%. Total permintaan (final orderbook) tercatat mencapai 18 miliar CNH atau terserap tiga kali lipat dari nilai penerbitan.

    DJPPR menilai tingginya animo investor global dan domestik mencerminkan kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi dan kredibilitas pengelolaan fiskal Indonesia. Pemerintah juga menyebut langkah ini sebagai bagian dari strategi diversifikasi pembiayaan APBN di tengah dinamika pasar global berdenominasi Renminbi yang terus berkembang.

    Obligasi ini memperoleh peringkat Baa2 dari Moody’s, BBB dari S&P, dan BBB dari Fitch, serta akan dicatatkan di Singapore Exchange Securities Trading Limited (SGX-ST).

    Adapun Bank of China, HSBC, dan Standard Chartered Bank bertindak sebagai Joint Lead Managers dalam transaksi tersebut.

  • Sambangi Balai Kota, Gus Ipul Gandeng Pramono Konsolidasi Data hingga Pembangunan Sekolah Rakyat Permanen – Page 3

    Sambangi Balai Kota, Gus Ipul Gandeng Pramono Konsolidasi Data hingga Pembangunan Sekolah Rakyat Permanen – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Sosial atau Mensos Saifullah Yusuf berkonsolidasi dengan Gubernur Jakarta Pramono Anung terkait program strategis Presiden Prabowo Subianto.

    Menurut Mensos Saifullah Yusuf, program pemerintah pusat harus bersinergi dengan pemerintah provinsi agar tujuan bersama menyejahterakan rakyat dapat tercapai.

    “Ada beberapa hal yang kami sampaikan kaitannya dengan program-program strategis Bapak Presiden Prabowo, yang memerlukan kerja sama, memerlukan kolaborasi, memerlukan sinergi dengan Pak Gubernur, utamanya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan sosial,” kata Gus Ipul, sapaan akrabnya di Balai Kota Jakarta, Jumat (24/10/2025).

    Gus Ipul menjelaskan, ada tiga hal utama yang dibahas dengan Gubernur DKI Jakarta sesuai dengan mandat prioritas Presiden Prabowo Subianto.

    “Pertama adalah soal data karena ini yang paling krusial dan ini yang paling menentukan, selama ini pemerintah belum memiliki data tunggal atau satu data Indonesia,” ucap Sekjen PBNU itu.

    Gus Ipul menjelaskan, Presiden Prabowo sudah menerbitkan Inpres Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang merupakan gabungan data terpadu dari DTKS, Regsosek, dan P3KE yang dikelola oleh BPS.

    “Harapan dengan satu data Indonesia ini, data kita makin akurat, semuanya berpedoman pada data yang sama, selama ini kan datanya sendiri-sendiri sehingga terasa sekali ego sektoral,” terang dia.

    Gus Ipul optimistis, dengan dasar data yang sama, maka intervensi pemerintah terhadap penyaluran bantuan akan lebih optimal serta program yang dijalankan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah bisa saling terintegrasi dan bersinergi.

    “Insya Allah kalau itu kita lakukan terus-menerus akan semakin bisa membawa program ini (kesejahteraan sosial) tepat sasaran dan berdampak, kita harapkan dampaknya makin nyata terukur,” kata Gus Ipul.

     

    Banyuwangi dikenal sebagai daerah yang sangat berhasil menerapkan sistem digitalisasi untuk tiap program yang digagas pemerintahan setempat. Keberhasilan itu pulalah yang membuat Banyuwangi terpilih dari ratusan daerah sebagai pilot project program D…