Kementrian Lembaga: BPS

  • Ekonom sebut pelaku pasar hati-hati cermati Pilpres AS

    Ekonom sebut pelaku pasar hati-hati cermati Pilpres AS

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom sebut pelaku pasar hati-hati cermati Pilpres AS
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Senin, 04 November 2024 – 23:23 WIB

    Elshinta.com – Ekonom dan praktisi pasar modal Hans Kwee mengatakan bahwa pelaku pasar cenderung bersikap hati-hati mencermati Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) pada Selasa (05/11) waktu setempat.

    Responden dalam survei nasional yang dilakukan oleh Emerson College Polling menunjukkan bahwa dukungan bagi Donald Trump dan Kamala Harris menunjukkan hasil sama, yaitu masing-masing memperoleh 49 persen suara.

    “Menjelang Pilpres AS, pasar hati- hati karena jajak pendapat bahwa suara (Donald) Trump dan (Kamala) Haris berimbang,” ujar Hans di Jakarta, Senin (4/11). 

    Hans mengatakan bahwa apabila Donald Trump memenangkan kontestasi, maka dapat berdampak positif terhadap ekonomi dan pasar saham AS.

    Namun demikian, menurutnya, kemenangan tersebut bencana bagi global khususnya emerging market, termasuk Indonesia.

    “Kemenangan Trump akan positif bagi ekonomi dan pasar saham AS, tetapi bencana bagi dunia dan emerging market, termasuk Indonesia. Tetapi sifat kejatuhan pasar jangka pendek,” ujar Hans.

    Sementara itu, terkait sentimen dari dalam negeri, Ia memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi atau besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan berada di kisaran 5 persen year on year (yoy) pada kuartal III 2024.

    Untuk periode kuartalan, Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan berada di level 1,60 persen quartal on quartal (qoq) pada kuartal III- 2024.

    Rilis pertumbuhan ekonomi kuartal III- 2024 tersebut, menurutnya, tidak akan terlalu berdampak negatif bagi pasar saham Indonesia, yang nama koreksi pasar saham saat ini lebih dikarenakan mendekati Pilpres AS.

    “Tidak terlalu negatif bagi pasar Indonesia. Tetapi, pasar saham koreksi karena mendekati Pemilu AS,” ujar Hans.

    Dari mancanegara, akan diselenggarakan pesta demokrasi berupa Pemilihan Presiden (Pilpres) di AS pada Selasa (05/11), serta terdapat penyelenggaraan The Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada 6 dan 7 November 2024 waktu AS.

    Sementara itu, dari dalam negeri, pada Selasa (05/11), Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis pertumbuhan ekonomi atau atau besaran Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2024.

    Sumber : Antara

  • Zulhas Beri Sinyal, RI Masih Impor Beras Tahun Depan

    Zulhas Beri Sinyal, RI Masih Impor Beras Tahun Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) memberikan sinyal bahwa Indonesia berpotensi masih akan mengimpor beras pada tahun depan, namun dengan kuota yang lebih sedikit.

    Menko Zulhas menekankan bahwa pemerintah akan meningkatkan produksi beras dan mengurangi ketergantungan impor pada 2025.

    “Selanjutnya kami akan lebih intens lagi untuk mempersiapkan tahun depan agar kita bisa berjalan dengan baik, impor sedikit mungkin, produksi bisa naik,” kata Zulhas di Gudang Bulog Sunter Timur, Kelapa Gading, Jakarta, Senin (4/11/2024).

    Selain itu, Zulhas juga berharap bantuan sosial (bansos) beras ke masyarakat juga bisa terlaksana dengan baik.

    Namun saat ditanya lebih lanjut terkait impor beras untuk tahun depan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu hanya mengatakan sepanjang 2024 pemerintah telah memutuskan mengimpor 3,6 juta ton beras. 

    Adapun dari jumlah itu, hanya tersisa 1 juta ton impor beras yang akan masuk ke Indonesia. Di sisi lain, Perum Bulog baru menyelesaikan 150.000 ton dari sisa 1 juta ton. Ini artinya tersisa 850.000 ton beras lagi yang akan membanjiri pasar Indonesia.

    “Ini sudah diputuskan tahun lalu, 3,6 [juta ton beras], realisasinya yang belum selesai,” jelasnya.

    Sebelumnya diberitakan, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) menyatakan akan memprioritaskan produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.

    Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Wahyu Suparyono menuturkan, untuk saat ini pihaknya belum berencana mengimpor beras untuk kebutuhan tahun depan.

    “Tidak ada [rencana impor beras], belum. Kita harus berupaya penyerapan dalam negeri lah. Semangat kita semangat dalam negeri,” ujar Wahyu saat ditemui di Kantor Kementerian Koperasi, Jakarta, Kamis (31/10/2024).

    Wahyu menjelaskan bahwa untuk stok kebutuhan beras yang dikelola Perum Bulog setidaknya membutuhkan sebanyak 2,64 juta ton sepanjang tahun. Artinya, kebutuhan beras ini untuk bantuan pangan yang setiap bulannya adalah 220.000 ton beras.

    “Yang dikelola Bulog, stok kebutuhan untuk bantuan pangan setiap bulan 220.000 ton [beras], tinggal dikalikan satu tahun,” terangnya.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia masih mengimpor beras sepanjang sembilan bulan pertama pada tahun ini. Nilai impornya mencapai US$2,01 miliar atau sekitar Rp31,54 triliun (asumsi kurs Rp15.691 per dolar AS).

    Di sisi lain, Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto bertekad agar Indonesia menjadi negara swasembada pangan dalam empat tahun mendatang.

    Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan bahwa impor beras tercatat mencapai 3,23 juta ton pada Januari—September 2024.

    “Untuk impor beras Januari—September 2024 tercatat sebesar 3,23 juta ton atau senilai US$2,01 miliar,” kata Amalia dalam Rilis Berita Resmi Statistik BPS Perkembangan Ekspor-Impor September 2024, Selasa (15/10/2024).

    Dia merincikan, mayoritas negara asal pengimpor beras berasal dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan. Perinciannya, sebanyak 1,14 juta ton beras dari Thailand, 988.040 ton dari Vietnam, dan 463.396 ton beras dari Pakistan.

    Di samping itu, Indonesia juga mengimpor beras dari Myanmar sebanyak 407.449 ton dan India sebanyak 202.677 ton sepanjang Januari—September 2024.

  • IHSG berpotensi rebound di tengah `wait and see` Pilpres AS

    IHSG berpotensi rebound di tengah `wait and see` Pilpres AS

    Arsip foto – Karyawan mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melalui layar komputer di Jakarta, Senin (21/10/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.

    IHSG berpotensi rebound di tengah `wait and see` Pilpres AS
    Dalam Negeri   
    Widodo   
    Senin, 04 November 2024 – 10:03 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin berpotensi bergerak rebound (berbalik menguat) di tengah sikap ‘wait and see’ pelaku pasar terhadap Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika Serikat.

    IHSG dibuka melemah 0,14 poin atau 0,00 persen ke posisi 7.505,10. Sementara itu, kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 turun 0,01 poin atau 0,00 persen ke posisi 912,59.

    “Pelaku pasar cenderung berhati-hati jelang Pilpres AS pada 5 November 2024 dan pengumuman FOMC The Fed. IHSG pada awal pekan ini berpotensi rebound sejalan dengan sentimen positif dari indeks- indeks global,” sebut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Senin.

    Dari dalam negeri, pada Selasa pekan ini (5/11) akan ada rilis pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperkirakan melandai sejalan dengan melemahnya daya beli dan konsumsi masyarakat, serta absennya Hari Besar Keagamaan.

    Pada Rabu (6/11), Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2024 dan diperkirakan PDB masih akan relatif stabil di atas 5 persen.

    Dari mancanegara, akan diselenggarakan pesta demokrasi berupa Pemilihan Presiden (Pilpres) di AS pada Selasa (5/11), serta terdapat penyelenggaraan The Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada 6-7 November 2024 waktu AS.

    Pilpres AS, yang mana Donald Trump akan bertanding dalam pemungutan suara dengan Kamala Harris.

    Sementara itu, Bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat lalu (1/11) berhasil rebound, meskipun pasar tenaga kerja melemah, indeks Dow Jones menguat 288,73 poin atau 0,69 persen di level 42.052,19, indeks S&P 500 naik 0,41 persen di level 5.728,80, sedangkan Nasdaq Composite melonjak 0,8 persen ke 18.239,92.

    Bursa saham regional Asia pagi ini antara lain, indeks Hang Seng menguat 23,25 poin atau 0,11 persen ke level 20.529,75, indeks Shanghai menguat 2,39 poin atau 0,07 persen ke 3.274,40, dan indeks Straits Times meenguat 18,56 poin atau 0,52 persen ke 3.573,98.

    Sementara itu, indeks Nikkei (Jepang) libur memperingati hari libur nasional negara tersebut.

    Sumber : Antara

  • Opini : Mengelola Warisan Beban Fiskal

    Opini : Mengelola Warisan Beban Fiskal

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Jokowi berakhir sejak Presiden terpilih Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI periode 2024—2029. Kini, pemerintahan baru mewarisi ‘beban’ fiskal yang ditinggalkan pemerintahan lama. Walhasil, pemerintahan baru dituntut mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih optimal dan prudensial.

    Publik berharap kebijakan fiskal Prabowo, baik instrumen penerimaan maupun belanja negara dikelola secara efektif dan efisien. Maknanya, pemerintahan Prabowo diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara secara signifikan dan piawai menguatkan belanja yang berkualitas serta produktif.

    Bahkan, demi menjamin kualitas belanja (spending better) dan belanja yang produktif, Prabowo mengingatkan para menterinya untuk tidak menggunakan dana APBN untuk mencari uang.

    Dari sisi pendapatan negara, sebaran sumber pendapatan tampaknya mengalami ketimpangan. Sebab, mayoritas sumber pendapatan berasal dari pajak. Mengacu data BPS (2024) diperkirakan hingga akhir 2024, penerimaan negara yang berasal dari pajak mencapai Rp2.309,9 triliun atau 82,4% dari seluruh penerimaan.

    Sementara itu, sisanya sebesar 17,6% terbagi ke sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP), yakni antara lain pengelolaan sumber daya alam (SDA) sebesar Rp207,7 triliun (7,4%). Kemudian diikuti pendapatan bukan pajak lainnya sebesar Rp115,1 triliun (4,1%), BUMN sebesar Rp85,8 triliun (3,1%), dan badan layanan umum sebesar Rp83,4 triliun (3,0%). Menurut Kemenkeu (2024), pada 2025 pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp2.996,9 triliun, dengan perincian bersumber dari pungutan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun (83,1%), dan PNBP sebesar Rp505,4 triliun (16,9%).

    Merujuk data-data di atas, pertanyaan kritisnya, mengapa Indonesia yang kekayaan SDA-nya melimpah, tetapi penerimaan negara yang bersumber dari SDA terhitung kecil? Pertanyaan ini muncul mengingat Indonesia sebagai salah satu negara penghasil komoditas tambang terbesar di dunia.

    Namun, faktanya, total penerimaan negara yang bersumber dari SDA tersebut relatif tipis, sehingga timbul kecurigaan bahwa hasil tambang yang semestinya menjadi jatah negara, tetapi tidak masuk ke kas negara. Kecurigaan itu kian menguat lantaran mencuatnya kasus megakorupsi tambang timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun.

    Selain itu, penerimaan negara yang berasal dari BUMN juga tidak signifikan, karena tidak mencapai ratusan triliun, sebagaimana yang diharapkan. Padahal BUMN besar, seperti Pertamina, PLN, BRI, Bank Mandiri, BNI, Telkom Indonesia, dan KAI tidak mustahil bisa menyumbang penerimaan negara ratusan triliun rupiah.

    Sementara itu, dari sisi belanja negara, legacy yang ditinggalkan pemerintahan Jokowi menjadi tanggungan beban fiskal bagi pemerintahan baru. Indikatornya terjadi pelebaran defisit anggaran yang semula 2,29% (2024) menjadi kisaran 2,45%—2,82% (2025). Walhasil, untuk menutup defisit biasanya pemerintah menambah utang baru.

    Apalagi tahun depan pemerintah harus membayar utang dan bunganya yang sudah jatuh tempo. Selain itu, terjadi peningkatan imbal hasil surat berharga negara (SBN) dengan tenor 10 tahun, yang semula 6,7% (2024) menjadi kisaran 6,9%—7,3% (2025).

    Hal itu membawa konsekuensi membekaknya pembayaran bunga utang pemerintah. Padahal, pada tahun pertama pemerintahan Prabowo berencana akan menambah utang sebesar Rp775,86 triliun. Oleh karenanya pemerintahan baru tetap melebarkan rasio utangnya sebesar 37,98%—38,71%. Sementara itu, idealnya rasio utang pemerintah terhadap PDB di bawah 30%.

    OPTIMALISASI ANGGARAN

    Merujuk kerangka ekonomi makro (KEM) dan pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF) 2025, postur makro fiskal 2025 menunjukan target rasio pendapatan negara terhadap PDB kisaran 12,14%—12,36%, dan belanja negara kisaran 14,59%—15,18%.

    Angka-angka tersebut menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan APBN 2024. Namun, yang krusial tidak sekadar capaian target tersebut. Melainkan pendapatan dan belanja negara bisa dikelola secara optimal.

    Kebijakan fiskal diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan ekstrim, menurunkan gini ratio, meningkatkan investasi, menurunkan angka pengangguran terbuka, meningkatkan nilai tukar petani/nelayan, dan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karenanya, diperlukan sejumlah kebijakan untuk menjamin fiskal dikelola secara optimal.

    Pertama, mendorong kreativitas tim ekonomi Prabowo dalam mencari dan menemukan sumber-sumber pendapatan baru, selain pajak (PNBP). Walhasil, pendapatan tidak hanya bertumpu pada perpajakan, sehingga proporsinya bisa berubah, setidaknya sumber dari pajak (70%) dan PNBP (30%).

    Kedua, menjamin peningkatan pendapatan negara tidak merusak iklim investasi, tidak merusak lingkungan, memperhitungkan keterjangkauan layanan publik, tidak membebani masyarakat berpendapatan rendah dan usaha mikro kecil.

    Ketiga, memastikan realisasi belanja sektor strategis sesuai dengan pagu anggaran, dan tidak terjadi kebocoran. Sektor strategis tersebut antara lain, pendidikan, kesehatan, Perlinsos, hilirisasi serta ekonomi hijau, dan lainya. Terutama dana Perlinsos butuh pengawasan khusus, untuk menjamin dana sosial itu tepat sasaran.

  • BPS: Jumlah Angkutan Penumpang dan Barang Kereta Api Turun per September 2024

    BPS: Jumlah Angkutan Penumpang dan Barang Kereta Api Turun per September 2024

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan penurunan jumlah angkutan kereta api baik barang maupun penumpang secara bulanan sepanjang September 2024.

    Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasanti mengatakan terjadi penurunan penumpang di seluruh moda transportasi secara bulan, salah satunya angkutan kereta api yang disebabkan oleh jumlah hari kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan bulan sebelumnya. 

    “Adapun untuk moda kereta api turun secara bulanan namun meningkat secara tahunan. Untuk angkutan kereta api, jumlah hari pada bulan September 2024 relatif lebih sedikit dibandingkan bulan sebelumnya,” kata Amalia, Jumat (1/11/2024). 

    Jumlah penumpang kereta di Jawa dan Sumatera termasuk kereta bandara, yang berangkat pada September 2024 sebanyak 35,3 juta orang atau turun 1,43% dibanding bulan sebelumnya. Selama Januari—September 2024, jumlah penumpang mencapai 312,8 juta orang atau naik 14,28% dibanding periode yang sama tahun 2023.

    Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah penumpang Jabodetabek yang merupakan penumpang pelaju (commuter), yaitu sebanyak 27,6 juta orang atau 78,20% dari total penumpang angkutan kereta.

    Penurunan jumlah penumpang terjadi di wilayah/rute Jabodetabek sebesar 2,13%. Sebaliknya, di wilayah/rute Jawa non-Jabodetabek, Sumatera, dan kereta bandara masing-masing naik 0,75%, 0,47%, dan 5,79%.

    Secara kumulatif, jumlah penumpang kereta selama Januari—September 2024 mencapai 312,8 juta orang atau naik 14,28% dibandingkan periode yang sama pada 2023. Peningkatan jumlah penumpang terjadi di wilayah/rute Jabodetabek, Jawa non-Jabodetabek, dan kereta bandara masing-masing sebesar 14,60%, 12,47%, dan 57,32%. Sebaliknya, di wilayah/rute Sumatera terjadi penurunan jumlah penumpang sebesar 10,62%.

    Serupa dengan jumlah penumpang, jumlah barang yang diangkut dengan kereta mengalami penurunan sebesar 5,82% menjadi 6,2 juta ton secara bulanan, namun meningkat secara tahunan sebesar 9,39% menjadi 54,4 juta ton.

    Jumlah barang yang diangkut kereta pada September 2024 sebanyak 6,2 juta ton atau turun 5,82% dibanding bulan sebelumnya. Sebagian besar barang yang diangkut tersebut, tercatat di wilayah Sumatera sebanyak 5,1 juta ton atau 82,05% dari total barang yang diangkut dengan kereta. Penurunan jumlah barang terjadi di semua wilayah Jawa non-Jabodetabek dan Sumatera masing-masing turun 2,32% dan 6,55%.

    Selama periode Januari—September 2024, jumlah barang yang diangkut kereta mencapai 54,4 juta ton atau naik 9,39% dibanding periode yang sama tahun 2023. Peningkatan terjadi di semua wilayah Jawa non-Jabodetabek dan Sumatera masing-masing sebesar 13,66% dan 8,47%.

  • Orang AS Tergila-gila Rambutan RI, Berani Beli Rp 500.000/Kg

    Orang AS Tergila-gila Rambutan RI, Berani Beli Rp 500.000/Kg

    Jakarta, CNBC Indonesia – Harga rambutan di Amerika Serikat berkisar antara $7 hingga $30 untuk setiap 2 lbs (sekitar 900 gram) di pasar Amerika. Bila dirupiahkan harganya mencapai Rp 110.300-472.000 (US$1=15.755) per 900 gram. Artinya, 1 kg rambutan harganya lebih dari Rp 500.000 atau setengah juta.

    Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, terdapat lima negara importir utama rambutan asal Indonesia berdasarkan nilai ekspor terbesar. Amerika Serikat berada di urutan pertama dengan total nilai mencapai US$80,043.6. Singapura menyusul dengan US$73,339.97, diikuti oleh Uni Emirat Arab, Inggris, dan bahkan Malaysia.

    Selain berdasarkan nilai, data BPS juga menunjukkan bahwa Amerika Serikat menjadi importir utama rambutan Indonesia berdasarkan berat, dengan total volume ekspor mencapai 415,527.2 kg. Singapura kembali menempati posisi kedua dengan 45,368 kg.

    Data ini menegaskan posisi kuat rambutan Indonesia di pasar internasional, terutama di Amerika Serikat, yang menunjukkan permintaan stabil dan terus bertumbuh untuk produk eksotis seperti rambutan.

    Sering disebut “Furry Fruit of Southeast Asia” keunggulan rambutan Indonesia tidak hanya terletak pada rasa dan tampilannya yang unik, tetapi juga pada kualitas dan standar ekspor yang terjaga.

    Di pasar Amerika, konsumen dikenal memiliki preferensi terhadap produk segar dan berkualitas tinggi. Rambutan yang diekspor dari Indonesia dinilai termasuk dalam kategori ini, sehingga semakin populer di kalangan konsumen Amerika yang mencari pengalaman kuliner baru.

    Berdasarkan data produksi, Indonesia mencatat fluktuasi dalam total produksi rambutan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019, produksi rambutan mencapai 764.586 ton, namun menurun pada 2020 menjadi 681.178 ton.

    Tahun 2021 menjadi tahun yang produktif dengan produksi sebesar 884.702 ton, meskipun kemudian menurun kembali menjadi 855.162 ton di 2022, dan sedikit turun lagi di 2023 menjadi 845.107 ton. Penurunan ini menunjukkan perlunya langkah-langkah peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.

    Secara umum, prospek ekspor rambutan Indonesia ke pasar global, khususnya Amerika Serikat, sangat menjanjikan. Namun, untuk lebih memperkuat posisinya, diperlukan upaya branding yang lebih kuat. Dengan mengikuti pameran internasional, memperbaiki kemasan, dan memperluas kanal pemasaran, rambutan Indonesia berpotensi untuk lebih menggigit pasar ekspor dunia.

    (fys/wur)

  • Parah! RI Doyan Impor Beras-Gula-Kedelai, Tahun Ini Nyaris Rp 83 T

    Parah! RI Doyan Impor Beras-Gula-Kedelai, Tahun Ini Nyaris Rp 83 T

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan impor beberapa komoditas pangan relatif terkendali. Impor tersebut, kata dia, menyesuaikan kebutuhan dan permintaan di dalam negeri.

    “Perkembangan impor beberapa komoditas pangan relatif terkendali. Baik beras, gula, kedelai, juga bawang putih Januari sampai September ini impornya sekitar 345,5 ribu ton. Ini tentunya menyesuaikan kebutuhan pasar domestik,” katanya saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2024, ditayangkan kanal Youtube Kemendagri, Senin lalu dikutip Minggu (3/11/2024).

    Mengutip bahan paparannya dalam rapat tersebut, terpantau beras, gula dan kedelai cetak impor hingga miliaran dolar AS. Total impor ketiga komoditas ini sepanjang Januari-September 2024 mencapai hampir Rp83 triliun. Berikut rinciannya:

    Beras

    BPS mencatat, impor beras sepanjang Januari-September 2024 mencapai 3,23 juta ton, senilai US$2,01 miliar atau setara Rp31,4 triliun. Negara asal impor utama adalah Thailand dengan porsi 1,14 juta ton senilai US$739,45 juta. Disusul, Vietnam dengan porsi mencapai 0,99 juta ton senilai US$610,23 juta. Kemudian Pakistan dengan porsi sebanyak 0,46 juta ton, senilai US$290,70 juta.

    Gula

    Sepanjang Januari-September 2024, BPS mencatat impor gula mencapai 3,66 juta ton, sneilai US$2,15 miliar atau setara Rp33,61 triliun. Sumber utama impor gula Indonesia adalah Brasil dengan porsi 2,13 juta ton, senilai US$1,23 miliar.

    Disusul Thailand dengan porsi 0,92 juta ton, senilai US$552,43 juta. Dan Australia dengan porsi 0,50 juta ton, senilai US$283,51 juta.

    Kedelai

    Data BPS menunjukkan, sepanjang Januari-September 2024, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,16 juta ton. Atau senilai US$1,15 miliar atau setara 17,98 triliun.

    Indonesia mengimpor kedelai terutama dari Amerika Serikat (AS) dengan porsi mencapai 1,93 juta ton, senilai US$1,03 miliar. Kemudian 0,21 juta ton dari Kanada, senilai US$110,98 juta. Dan dari Malaysia sebanyak 0,01 juta ton, senilai US$2,69 juta ton.

    Secara total, nilai impor ketiga komoditas itu mencapai 82,99 triliun. Menggunakan kurs Rp15.635 per dolar AS (kurs pada penutupan perdagangan Jumat 25 Oktober 2024).

    (dce/wur)

  • Airlangga Blak-blakan Nasib Satgas Penurunan Harga Tiket Pesawat

    Airlangga Blak-blakan Nasib Satgas Penurunan Harga Tiket Pesawat

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pembahasan mengenai penurunan harga tiket pesawat masih digodok oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan PT Pertamina (Persero).

    Dia menuturkan pemerintah terus mendorong program Indonesia Berwisata atau Tourism 5.0. Adapun salah satu poin yang dibahas adalah harga tiket pesawat yang lebih kompetitif.

    “Salah satu yang sedang dibahas terkait dengan harga tiket yang lebih kompetitif. Ini tentu akan dibahas dengan Kementerian Perhubungan dan juga dengan Pertamina,” kata Airlangga dalam Konferensi Pers Pembahasan Usulan Program Quick Win Kementerian di Bidang Perekonomian di Jakarta, Minggu (3/11/2024).

    Harga tiket pesawat masih menjadi polemik. Pasalnya, harga tiket transportasi tersebut di Indonesia terbilang mahal. Mahalnya tiket pesawat menjadi salah satu tantangan sektor pariwisata Tanah Air dalam 10 tahun terakhir. 

    Untuk menangani harga tiket pesawat yang mahal, pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sempat mendirikan Tugas (Satgas) Penurunan Harga Tiket Pesawat.

    Lebih lanjut, Airlangga mengatakan Satgas Penurunan Harga Tiket Pesawat tetap ada. Artinya, satgas itu tidak dibubarkan meski pimpinan satgas, yakni Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di Kabinet Merah Putih sudah tidak ada.

    “Terkait dengan satgas itu akan terus berlanjut, terutama terkait dengan tarif penerbangan domestik. Tentu akan dirapatkan dengan kementerian terkait,” jelas Airlangga.

    Diberitakan sebelumnya, mahalnya tiket pesawat berpotensi menyebabkan Indonesia kehilangan miliaran dolar devisa dari pariwisata.

    Pakar Strategi Pariwisata Nasional Taufan Rahmadi menyampaikan, mahalnya tiket pesawat berdampak langsung terhadap jumlah kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus).

    “Kenaikan harga tiket pesawat, terutama pada rute internasional dan destinasi wisata domestik yang dekat maupun jauh, hal ini semakin menyulitkan Indonesia dalam menarik wisatawan,” kata Taufan dalam keterangannya, dikutip Sabtu (2/11/2024).

    Menurut simulasi yang dilakukan Taufan, potensi kehilangan devisa dari wisman diperkirakan mencapai US$1,8 miliar atau sekitar Rp28,3 triliun. Taufan, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total wisman yang datang berkunjung ke Indonesia mencapai 15 juta kunjungan pada 2019.

    Setiap wisman rata-rata menghabiskan sekitar US$1.200 per kunjungan di Indonesia, yang mencakup akomodasi, makanan, belanja, dan transportasi lokal. Artinya, total devisa yang diraup mencapai sekitar US$18 miliar per tahun.

    Namun, tingginya harga tiket pesawat menyebabkan penurunan minat wisatawan untuk mengunjungi Indonesia. Jika penurunan wisman akibat kenaikan harga tiket diasumsikan sebesar 10%, dia menyebut bahwa Indonesia berpotensi kehilangan sekitar 1,5 juta wisman.

    Dengan demikian, jika dikalikan dengan rata-rata pengeluaran wisman sebesar US$1.200 per kunjungan, Indonesia berpotensi kehilangan devisa sebesar US$1,8 miliar per tahun atau sekitar Rp28,3 triliun.

    Selain wisman, mahalnya harga tiket pesawat juga berdampak terhadap wisnus. Masih merujuk data BPS, Taufan menuturkan bahwa rata-rata pengeluaran wisnus di destinasi wisata mencapai Rp2 juta per perjalanan.

    “Jika mahalnya tiket pesawat menyebabkan penurunan jumlah wisatawan domestik sebesar 5%, potensi kerugian pada ekonomi domestik juga cukup signifikan,” ungkapnya.

    Dalam simulasi yang dilakukan Taufan, jika jumlah penurunan wisatawan domestik 5% dari sekitar 100 juta perjalanan, Indonesia bakal kehilangan sekitar 5 juta perjalanan.

    Dengan demikian, jika dikalikan dengan rata-rata pengeluaran wisnus yang mencapai Rp2 juta per perjalanan, Indonesia berpotensi kehilangan kontribusi ekonomi sebesar Rp10 triliun per tahun. 

  • Gawat! Subsidi Energi 2024 Rp 100 Triliun Tak Tepat Sasaran – Page 3

    Gawat! Subsidi Energi 2024 Rp 100 Triliun Tak Tepat Sasaran – Page 3

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia masih akan menggodok skema subsidi BBM, LPG, hingga listrik. Termasuk kemungkinan mengubah skema subsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT).

    Rencana ini terungkap usai Nota Keuangan APBN 2025 pada Agustus 2024 lalu. Bahlil mengaku sudah menyiapkan berbagai opsi, salah satunya adalah BLT BBM.

    “Kemungkinan, kemungkinan besar ada dua opsi ya. Opsi A bisa ke BLT langsung, opsi B-nya nanti kita lagi pikirkan. Ada beberapa opsi lah, tapi belum ada keputusan,” ujar Bahlil Lahadalia, di Kantor Kementerian ESDM, dikutip Sabtu (2/11/2024).

    Dia menjelaskan subsidi energi mencakup BBM, listrik, dan lpg 3 kilogram (kg). Meski begitu, dia tak mau buru-buru mengubah skema subsidi untuk LPG, tapi lebih dahulu meracik formula subsidi BBM dan listrik.

    “Tapi kita akan mengecek kalau untuk LPG, karena itu terkait dengan UMKM ya, kemudian ibu-ibu rumah tangga Dan saya pikir itu bertahap saja. Tapi kita akan mencoba untuk mencari formulasi listrik dan BBM,” ucapnya.

    Terkait target pelaksanaannya sendiri, Bahlil tak berbicara banyak, pun belum memastikan dilakukan tahun ini. Dia mengatakan Presiden Prabowo Subianto meminta pelaksanaan skema baru subsidi BBM itu dilakukan segera setelah semuanya siap.

    “Oh iya, Pak Prabowo mengarahkan kalau sudah matang, maka siap untuk kita jalankan. Yang paling penting adalah skema yang matang. Jangan sampai keputusan kita itu tidak mencerminkan sebuah keputusan yang pas,” jelasnya.

    Terkait acuan data penerima, Bahlil mengaku akan menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu, data-data juga dikumpulkan dari Kementerian Sosial, Pertamina sebagai operator penyalur BBM, dan PLN selaku penyedia sambungan listrik.

    “Arahnya begitu, tapi kita gabung supaya datanya tidak tumpang tindih. Kita bikin data yang exercise pas,” tegasnya.

  • Menjaga daya beli guna wujudkan ekonomi inklusif dan berkelanjutan

    Menjaga daya beli guna wujudkan ekonomi inklusif dan berkelanjutan

    Jakarta (ANTARA) – Inflasi adalah suatu kondisi meningkatnya harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.  Definisi ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) guna memberikan pemahaman mengenai inflasi domestik serta sebagai panduan dalam pelaporan tingkat inflasi bulanan dan tahunan di Tanah Air.

    Data inflasi sangat krusial  karena menjadi indikator utama kesehatan ekonomi suatu negara. Tingkat inflasi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menimbulkan persoalan. Inflasi yang tinggi mengurangi daya beli konsumen karena harga barang dan jasa meningkat lebih cepat dibandingkan pendapatan yang mereka peroleh. Tingkat inflasi yang tinggi juga bisa mendorong bank sentral bereaksi dengan menaikkan suku bunga acuan dan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

    Di sisi lain, inflasi yang terlalu rendah dapat berisiko menjadi deflasi atau penurunan harga umum secara berkelanjutan. Deflasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan perekonomian stagnan, karena konsumen mengantisipasi penurunan harga lebih lanjut dan cenderung menunda pembelian sehingga permintaan menurun. Pendapatan perusahaan juga berkurang akibat turunnya permintaan sehingga sulit menaikkan upah pekerjanya bahkan terpaksa harus memotong biaya operasional dengan pengurangan tenaga kerja.

    Inflasi yang moderat konon dianggap sehat untuk ekonomi. Inflasi moderat dinilai bisa mendorong konsumsi yang kemudian mengerek pertumbuhan ekonomi. Selain itu, inflasi yang moderat membantu dalam menjaga stabilitas harga sehingga memberikan lingkungan yang lebih dapat diprediksi bagi pelaku usaha dan investor. Artinya, kepercayaan pasar bisa meningkat dan mendukung investasi jangka panjang.

    Untuk tahun 2024, Bank Indonesia (BI) menetapkan target inflasi dalam kisaran 2,5 persen ± 1 persen. Dengan kata lain, bank sentral ingin inflasi di Indonesia pada tahun ini berada di level 1,5 persen hingga 3,5 persen guna menjaga stabilitas harga dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    Berakhirnya deflasi

    Menjelang akhir pekan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan inflasi untuk bulan Oktober 2024 yang mencapai 0,08 persen secara bulanan atau month to month (mtm). Inflasi Oktober ini menandai berakhirnya deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia dan dengan demikian secara tahunan atau year on year (yoy) inflasi mencapai 1,71 persen alias masih dalam target bank sentral.

    Pada periode Mei hingga September 2024, Indonesia mengalami deflasi (mtm) berturut-turut yaitu 0,03 persen , 0,08 persen, 0,18 persen, 0,03 persen, dan 0,12 persen. Sejumlah ekonom sempat menyebut tren deflasi ini sebagai indikasi melemahnya daya beli masyarakat.

    Namun jika diamati, inflasi inti (mtm) tetap tumbuh pada periode tersebut yaitu 0,17 persen, 0,1 persen, 0,18 persen, 0,2 persen, dan 0,16 persen. Pada Oktober 2024, inflasi inti (mtm) juga masih tumbuh 0,22 persen dan secara tahunan tumbuh 2,21 persen.

    Inflasi inti merupakan ukuran inflasi yang menghitung perubahan harga barang dan jasa dengan mengesampingkan harga barang yang sangat fluktuatif, seperti makanan dan energi. Perhitungan inflasi inti ditujukan untuk memberikan gambaran yang lebih stabil mengenai tekanan inflasi dalam perekonomian dan mencerminkan pola harga yang lebih mendasar dan membantu bank sentral dalam merumuskan kebijakan yang tepat.

    Tatkala terjadi deflasi namun inflasi inti tetap tumbuh, ini menjadi suatu hal yang kompleks dan bisa memicu berbagai interpretasi. Inflasi inti yang masih terus tumbuh bisa mengindikasikan bahwa ekspektasi inflasi di kalangan konsumen dan pelaku usaha masih tetap positif. Walau terjadi deflasi, mereka masih percaya diri dengan permintaan pada masa mendatang.

    Inflasi inti yang tetap tumbuh saat deflasi juga menandakan ada komponen harga yang tetap naik meski ada tekanan inflasi di sektor lain, yang dapat dikarenakan permintaan yang kuat di sektor tertentu seperti jasa atau barang non fluktuatif.

    Dalam merespons fenomena ini, Bank Indonesia selaku otoritas moneter pun perlu lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan moneternya. Sebab, meskipun secara umum ada penurunan harga tetapi juga ada potensi risiko inflasi yang perlu diwaspadai.

    Pada pertengahan Oktober lalu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen. Bank sentral menyebut keputusan tersebut konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan inflasi terkendali dalam sasaran 2,5 persen ± 1 persen pada 2024 dan 2025 dengan tetap mendukung upaya penguatan pertumbuhan ekonomi.

    Berakhirnya deflasi pada Oktober bisa dimaknai bahwa daya beli masyarakat mulai pulih dan konsumsi kembali meningkat yang kemudian diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan berakhirnya deflasi, bank sentral juga bisa kembali fokus pada kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa harus khawatir soal menurunnya harga secara terus-menerus.

    Menjaga daya beli masyarakat

    Tidak ada angka pasti terkait berapa tingkat inflasi yang dianggap ideal. Kebanyakan negara membidik tingkat inflasi di kisaran 2-3 persen per tahun, yang dianggap sebagai tingkat inflasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan.

    Namun, tingkat inflasi yang stabil akan menjaga daya beli masyarakat. Masyarakat bisa membeli barang dan jasa yang sama dengan jumlah uang yang relatif tetap.

    Bank Indonesia dan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sama-sama memiliki peran penting dalam menjaga daya beli masyarakat. Bank Indonesia tentunya menggunakan berbagai instrumen kebijakan moneternya untuk mengendalikan inflasi agar tetap stabil sehingga daya beli masyarakat tidak tergerus oleh kenaikan harga yang drastis.

    Sementara itu, pemerintah terus meningkatkan program perlindungan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Sembako atau yang dulunya disebut dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), guna membantu masyarakat yang kurang mampu.

    Pemerintah juga terus berupaya menstabilkan harga pangan, khususnya untuk komoditas yang harganya fluktuatif, melalui berbagai cara misalnya operasi pasar, pengaturan impor, ataupun pengembangan pertanian. Selain itu, pemerintah memberikan berbagai insentif bagi pelaku usaha, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.

    Meski masing-masing memiliki peran, kolaborasi antara otoritas moneter dan otoritas fiskal tentu menjadi penting karena saling melengkapi. Keduanya terus saling berkoordinasi agar kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia seiring sejalan dengan kebijakan pemerintah guna mencapai tujuan yang sama.

    Kolaborasi yang baik dan berkesinambungan antara kedua otoritas ini diharapkan akan bisa menjaga daya beli masyarakat yang merupakan kunci guna mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
     

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2024