Kementrian Lembaga: BPS

  • Seberapa Besar Pengaruh BI Rate Terhadap Pertumbuhan Ekonomi?

    Seberapa Besar Pengaruh BI Rate Terhadap Pertumbuhan Ekonomi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memandang pemerintah perlu kerja keras karena arah kebijakan Bank Indonesia dalam memutuskan besaran suku bunga acuan BI Rate yang kini pro-stability dan pro-growth tidak signifikan dalam membantu pertumbuhan ekonomi naik lebih tinggi.

    Sebagaimana pernyataan Bank Indonesia (BI), bahwa BI Rate yang tetap pada level 6% bertujuan untuk menjaga stabilisasi rupiah. Otoritas moneter tersebut pun mengamini bahwa pihaknya lebih fokus kepada menahan rupiah agar rupiah tidak depresiasi lebih dalam.

    BI memandang dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, bank sentral belum perlu memangkas suku bunga. Namun, bukan berarti BI tidak mendorong pertumbuhan, melainkan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) akan menjadi jurus untuk tetap mendorong ekonomi.

    Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menyampaikan sudah sejak lama BI Rate maupun KLM terbukti tidak efektif dalam memacu laju ekonomi.

    Terbukti kala BI Rate mencapai level terendah, yakni 3,5% sepanjang Februari 2021 hingga Juli 2022, ekonomi stagnan di 5%.

    “Karena suku bunga acuan kita itu tidak efektif di dalam mempengaruhi suku bunga kredit dan tidak efektif mempengaruhi penyaluran kredit,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/11/2024).

    Melihat realisasi pemangkasan BI Rate sebesar 25 bps pada September lalu pun tidak diiringi dengan penurunan suku bunga kredit.

    Tercatat per Agustus 2024 suku bunga kredit di angka 9,21%. Kemudian turun tipis pada September menjadi 9,2% dan menuju 9,17% pada Oktober 2024 atau hanya turun tak sampai 0,05 poin persentase.

    Padahal suku bunga pinjaman atau kredit perbankan yang rendah menjadi alasan masyarakat meminjam uang untuk usaha atau pengembangan usaha karena bunganya ringan.  Begitu juga sebaliknya, apabila suku bunga kredit perbankan tinggi, masyarakat akan berpikir berkali-kali sebelum mengambil pinjaman.

    Piter menegaskan lebih lanjut bahwa BI Rate baru akan berdampak signifikan terhadap ekonomi jika diiringi dengan bauran dengan otoritas fiskal dan sektor riil.

    “Sepanjang tidak ada perbaikan di sektor lain [fiskal dan riil], tidak ada upaya perubahan, penurunan suku bunga acuan tidak cukup untuk menaikkan mendorong pertumbuhan ekonomi,” lanjut Piter.

    Lain pendapat, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai bauran kebijakan BI saat ini akan mampu mendorong ekonomi sesuai target pemerintah. Di mana untuk tahun depan, ekonomi dipatok sebesar 5,2%.

    Pada dasarnya, penurunan suku bunga biasanya meningkatkan permintaan kredit oleh rumah tangga dan korporasi, yang pada akhirnya dapat mendorong konsumsi dan investasi.

    Efek tersebut sayangnya memiliki jeda waktu sebelum berdampak signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB).

    Sementara itu kebijakan makroprudensial lebih fleksibel untuk mendorong sektor riil tanpa harus mengorbankan stabilitas moneter.

    Untuk itu Josua berpandangan kebijakan makroprudensial cenderung lebih efektif dalam jangka pendek untuk mendorong pertumbuhan karena dampaknya lebih langsung pada sektor-sektor tertentu dan konsumsi rumah tangga.

    Bukan berarti kebijakan suku bunga tak ada dampaknya, tetapi efeknya akan ditransmisikan memiliki melalui stabilitas nilai tukar dan inflasi.

    “Strategi bauran kebijakan BI yakni pelonggaran kebijakan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan, sambil memfokuskan kebijakan suku bunga untuk menjaga stabilitas rupiah, adalah pendekatan yang seimbang untuk mencapai target ekonomi jangka pendek dan menengah,” ujarnya.

    Adapun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) telah merancang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029.

    Untuk mencapai target ekonomi Prabowo sebear 8%, akan dilakukan secara bertahap selama lima tahun ke depan, yakni 5,7%, 6,4%, 7%, 7,5%, dan 8%. Jika menggunakan skenario ini, maka rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 6,9% selama 2025—2029.

    Sementara Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund/IMF justru memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan dan hanya akan mencapai 5,1% pada 2029.

  • Koperasi Disebut Bisa Jadi Solusi buat Hindari Jeratan Rentenir

    Koperasi Disebut Bisa Jadi Solusi buat Hindari Jeratan Rentenir

    Jakarta

    Kementerian Koperasi (Kemenkop) menyatakan koperasi menjadi salah satu cara untuk terhindar dari jeratan rentenir. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono.

    Ferry menilai koperasi memiliki dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Kedua peran koperasi ini saling terikat sehingga keberadaan koperasi atau Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) mutlak harus diberikan dukungan penuh oleh pemerintah.

    Dari peran/fungsi dalam ranah ekonomi koperasi dapat mensejahterakan anggota sehingga koperasi termasuk BMT harus mencatatkan keuntungan. Sementara untuk fungsi sosial, koperasi dapat menuntaskan jeratan utang masyarakat kelompok paling bawah (mikro dan ultra mikro) dari rentenir yang banyak beredar di masyarakat.

    “Koperasi harus jadi tempat kita untuk saling gotong royong, saling membantu dan saling menguatkan. Saya merasakan sendiri di KSPPS BMT Jati Baru di Padang dimana peran mereka membantu melepaskan jeratan utang masyarakat dari rentenir,” kata Ferry dalam keterangannya, Jumat (22/11/2024).

    Ferry menjelaskan dengan dua peran/ fungsi tersebut, koperasi atau BMT menjadi solusi yang relevan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan ekstrim yang ada di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2024 sebanyak 25,22 juta orang atau turun 0,33 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar 25,9 juta orang.

    “Kemiskinan itu paling kelihatan, jadi mereka itu tidak punya opsi mendapat pembiayaan sehingga terpaksa harus terjebak oleh rentenir. Nah kehadiran BMT adalah untuk membebaskan mereka dari rentenir dengan menyediakan pembiayaan untuk kerja produktif sehingga dia akan punya kesempatan untuk lebih sejahtera,” jelasnya.

    Dalam skala ekonomi yang lebih besar, BMT dinilai memiliki peran yang strategis untuk mendorong pengembangan sistem keuangan syariah di Indonesia yang sedang digalakkan pemerintah. Menurut Ferry, dengan jumlah penduduk muslim yang begitu besar, BMT berpeluang besar untuk masuk dalam ekosistem ekonomi syariah sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional juga semakin bertambah.

    “Potensi konsumen muslim di Indonesia mencapai 2 miliar jiwa dengan perputaran uang hampir 2 triliun dolar. Dengan penduduk muslim terbesar kedua di dunia, BMT harus menjadi bagian dari pengembangan ekonomi syariah,” imbuh Ferry.

    Ke depan, Ferry menegaskan siap meningkatkan dukungan kepada BMT di seluruh Indonesia khususnya dari sisi dukungan pembiayaan yang disalurkan melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM (LPDB-KUMKM) agar memiliki likuiditas yang cukup. Dia berharap dengan penambahan dukungan tersebut, peran dan fungsi koperasi khususnya BMT dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih luas.

    “Ke depan koperasi akan kita gerakkan untuk lebih banyak bergerak di sektor riil agar bisnisnya mengalir,” terangnya.

    (kil/kil)

  • Wamenkop: Koperasi solusi masyarakat terhindar dari rentenir

    Wamenkop: Koperasi solusi masyarakat terhindar dari rentenir

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono menyatakan bahwa koperasi menjadi salah satu solusi bagi para pelaku usaha mikro, ultra mikro, dan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah agar terbebas dari rentenir.

    Saat membuka Rapat Kerja Nasional dan Musyawarah Nasional Luar Biasa Perhimpunan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Indonesia di Padang, Sumatera Barat, Kamis (21/11), Ferry mengatakan koperasi juga menjadi solusi yang relevan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan ekstrem.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2024 sebanyak 25,22 juta orang atau turun 0,33 persen dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 25,9 juta orang.

    “Kemiskinan itu paling kelihatan, jadi mereka itu tidak punya opsi mendapat pembiayaan sehingga terpaksa harus terjebak oleh rentenir,” katanya dalam siaran pers kementerian yang diterima di Jakarta, Jumat.

    “Kehadiran BMT adalah untuk membebaskan mereka dari rentenir dengan menyediakan pembiayaan untuk kerja produktif sehingga dia akan punya kesempatan untuk lebih sejahtera,” kata dia lagi.

    BMT adalah lembaga keuangan syariah yang beranggotakan orang per orang atau badan hukum, dan didirikan berdasarkan prinsip koperasi dan syariah. BMT didirikan oleh masyarakat setempat dengan mengumpulkan modal simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela.

    Dalam skala ekonomi yang lebih besar, BMT dinilai Ferry memiliki peran yang strategis untuk mendorong pengembangan sistem keuangan syariah di Indonesia yang sedang digalakkan pemerintah.

    Dengan jumlah penduduk Muslim yang begitu besar, BMT juga dinilai berpeluang besar untuk masuk dalam ekosistem ekonomi syariah.

    Ferry menegaskan Kemenkop siap meningkatkan dukungan kepada BMT di seluruh Indonesia khususnya dari sisi dukungan pembiayaan yang disalurkan melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi (LPDB-KUMKM) agar mereka memiliki likuiditas yang cukup.

    Diharapkan penambahan dukungan tersebut dapat meningkatkan peran dan fungsi koperasi khususnya BMT dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    “Ke depan koperasi akan kita gerakkan untuk lebih banyak bergerak di sektor riil agar bisnisnya mengalir,” kata Wamenkop Ferry.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Perhimpunan BMT Indonesia Mursida Rambe membenarkan bahwa kehadiran rentenir yang marak di masyarakat sangat meresahkan karena akan memicu angka kemiskinan ekstrem semakin tinggi.

    Dengan jumlah anggota BMT sebanyak 351 unit, aset Rp13,55 triliun serta kantor 1.231, perhimpunan BMT Indonesia bertekad untuk membantu pemerintah mewujudkan masyarakat sejahtera.

    “Ayo para anggota BMT kalau belum bisa buka cabang, maka perbesar usaha sektor riil untuk mengurangi jumlah pengangguran, sebab pengangguran dan kemiskinan itu menjadi permasalahan kita bersama,” kata Rambe.

    Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi UKM Provinsi Sumatera Barat Endrizal juga berkomitmen untuk mendukung program-program pemerintah khususnya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah memperkuat peran koperasi terutama BMT dalam pendampingan usaha masyarakat di sektor riil.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Evi Ratnawati
    Copyright © ANTARA 2024

  • Ramalan Ekonomi Indonesia 2025 dari Indef, Inflasi Mendekati 3%

    Ramalan Ekonomi Indonesia 2025 dari Indef, Inflasi Mendekati 3%

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute For Development of Economics and Finance atau Indef memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5% pada 2025 mendatang

    Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menjelaskan pihaknya telah memproyeksikan lima indikator utama perekonomian Indonesia. Selain pertumbuhan ekonomi, Indef juga memproyeksikan inflasi, kurs rupiah, tingkat pengangguran terbuka, dan tingkat kemiskinan pada tahun depan.

    “Kami memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 itu sekitar 5%, inflasi kami prediksi sebesar 2,8%, kurs sekitar Rp16.100/dolar Amerika Serikat, tingkat pengangguran terbuka itu sekitar 4,75%, dan tingkat kemiskinan itu sekitar 8,8%,” ungkap Esther dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).

    Berbagai proyeksi tersebut, sambungnya, dihitung berdasarkan evaluasi kinerja perekonomian selama 2024. Dia mengingatkan bahwa telah terjadi penurunan daya beli masyarakat.

    Dia mencontohkan, data Badan Pusat Statistik menunjukkan sejak Kuartal IV/2023 hingga Kuartal III/2024 laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga lebih rendah daripada laju pertumbuhan ekonomi secara umum.

    Tak hanya itu, data Indef menampilkan indikator daya beli di lokapasar terjadi penurunan harga antara Juli dan Agustus namun pada September mulai meningkat. Menurutnya, kondisi tersebut menggambarkan terdapatnya perlambatan daya beli pada Juli-Agustus, dan kondisi sedikit membaik pada September.

    Oleh sebab itu, Esther menekankan pentingnya stimulus ke perekonomian terutama ke sektor industri untuk memperbaiki penurunan daya beli tersebut. Indef, lanjutnya, mendorong Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga untuk menstimulus sektor-sektor riil.

    “Karena kita lihat data menunjukkan bahwa sejak pandemi covid ternyata tidak hanya perlemahan daya beli, tetapi juga kredit bank itu juga relatif menurun,” jelasnya.

    Tak hanya dari sisi moneter, Indef juga menyoroti dari sisi fiskal. Esther menjelaskan bahwa beban fiskal semakin berat dari tahun ke tahun, terlihat dari nilai utang pemerintah yang terus meningkat.

    Indef mengidentifikasi subsidi energi menjadi salah satu area yang paling besar membebani fiskal. Oleh sebab itu, Indef mendorong reformasi subsidi energi agar lebih tepat sasaran.

    “Subsidi tidak tepat sasaran jadi tantangan utama pemerintah, harus didorong untuk segera mengubah mekanisme subsidi yang tadinya terbuka ya ke tertutup,” kata Esther.

  • Organisasi berkelanjutan menjadi fokus penilaian

    Organisasi berkelanjutan menjadi fokus penilaian

    Sumber foto: Radio Elshinta/ Irza Farel

    69 Organisasi raih SNI Award 2024: Organisasi berkelanjutan menjadi fokus penilaian
    Dalam Negeri   
    Editor: Valiant Izdiharudy Adas   
    Kamis, 21 November 2024 – 23:01 WIB

    Elshinta.com – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat ini tetap stabil pada angka 5,1%, di tengah kondisi global yang bergejolak, termasuk ketidakpastian geopolitik, fluktuasi harga komoditas dan tekanan ekonomi global dengan inflasi juga berhasil dijaga pada kisaran 1,84%. 

    Sektor industri, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia, berperan sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ini dengan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang tetap konsisten, menyumbang 17,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari 16,70 persen di triwulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik menyebutkan nilai ekspor Indonesia pada periode Oktober 2024 mencapai 24,41 miliar dolar AS atau naik sebesar 10,69 persen dibandingkan bulan sebelumnya. 

    Dalam upaya memperkuat kontribusi tersebut, penerapan SNI diharapkan akan mampu memperkuat daya saing pelaku usaha dan industri nasional dengan menerapkan best practices untuk meningkatkan efisiensi, memperbaiki kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan sehingga dapat membuka pasar baru, serta adanya peluang untuk mengadopsi teknologi baru guna meningkatkan volume produksi.

    “Penerapan SNI tidak hanya membantu pelaku usaha meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, tetapi juga memperkuat posisi mereka di pasar internasional. Ini menjadi bagian dari dukungan kami untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% sebagaimana tercantum dalam Asta Cita Presiden,” ujar Kepala Badan Standardisasi Nasional (SNI), Kukuh S. Achmad pada Malam Penganugerahan SNI Award 2024 di Jakarta, Kamis (21/11/2024), seperti yang dilaporkan Kontributor Elshinta Irza Farel.

    Kukuh menyampaikan, sebagai The National Quality Award of Indonesia, SNI Award merupakan bentuk apresiasi pemerintah atas konsistensi penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh pelaku usaha dan organisasi, yang mampu mencapai kinerja unggul dan berkelanjutan. Penyelenggaraan SNI Award tahun ini telah memasuki tahun ke 19 dimana SNI Award yang pertama dilaksanakan pada tahun 2005.

    Tahun ini, penghargaan diberikan langsung oleh Wakil Menteri Perindustrian RI, Faisol Riza, yang turut mengapresiasi upaya BSN dalam mendukung revitalisasi industri dan pengembangan sektor prioritas.

    “SNI memainkan peran strategis dalam mendongkrak kinerja industri nasional. SNI mendukung revitalisasi industri padat karya, pengembangan industri hijau, dan sektor-sektor strategis seperti agro, logam, mesin, transportasi, elektronika, serta industri kecil dan menengah (IKM). Para penerima penghargaan ini diharapkan dapat menjadi role model untuk mendorong penerapan SNI secara lebih luas,” ungkap Wakil Menteri Faisol Riza.

    Sebanyak 251 organisasi dari berbagai sektor berpartisipasi dalam SNI Award 2024. Dari jumlah tersebut, 69 organisasi dinyatakan layak menerima penghargaan setelah melalui proses penilaian yang ketat. Ketua Dewan Juri SNI Award 2024, Hariyadi B. Sukamdani, menjelaskan bahwa penilaian menitikberatkan pada kontribusi organisasi dalam standardisasi dan penilaian kesesuaian serta aspek keberlanjutan (sustainability), digitalisasi, ekonomi sirkular, juga tata kelola ESG (Environmental, Social, and Governance).

    “Hasil penilaian ini menunjukkan tingkat kematangan organisasi dalam mengelola perubahan melalui pendekatan ADLI (Approach, Deployment, Learning, and Integration). Proses penilaian kami mulai dari verifikasi persyaratan, desk evaluation, site evaluation, hingga audisi CEO,” ungkap Hariyadi. Tim Dewan Juri terdiri dari 16 pakar dari berbagai latar belakang, termasuk instansi pemerintah, asosiasi industri, media, masyarakat, dan lembaga penilaian kesesuaian.

    Selain sebagai bentuk apresiasi, penyelenggaraan SNI Award diharapkan dapat meningkatkan penerapan SNI oleh organisasi secara lebih luas, meningkatkan keberterimaan SNI dalam penilaian kinerja organisasi, membangun role model organisasi penerap SNI yang berkinerja unggul dan berkelanjutan, serta semakin mendorong kesadaran kepada konsumen untuk memilih produk-produk yang ber-SNI.

    12 kategori SNI Award adalah :

    Kategori Organisasi Skala Besar yang terdiri dari :
    1.Produk Sektor Kimia, Farmasi, Kesehatan, Tekstil, Energi dan Sumber Daya Mineral, 
    2. Produk Sektor Logam, Mesin, Transportasi dan Elektronika, 
    3. Produk Sektor Agro, 
    4. Jasa Pariwisata, Keuangan, Logistik dan  lainnya; kemudian 

    Kategori Organisasi Skala Menengah yang terdiri dari: 
    5. Produk Sektor Kimia, Farmasi, Kesehatan, Tekstil, Energi dan Sumber Daya Mineral, 
    6. Produk Sektor Logam, Mesin, Transportasi dan Elektronika, 
    7. Produk Sektor Agro, 
    8. Jasa Pariwisata, Keuangan, Logistik dan lainnya. 

    Kategori Organisasi Kecil yaitu,
    9. Barang, 
    10. Jasa Pariwisata, Keuangan, Logistik, dan lainnya. 

    Kategori Organisasi Pendidikan, yang mencakup : 
    11. Pendidikan Tinggi, 
    12. Pendidikan Dasar dan Menengah

    Jakarta, 21 November 2024

    Kontak Narahubung:
    Analis Standardisasi Ahli Madya BSN
    Tintin Prihatiningrum
    Email: tintin@bsn.go.id 

    Pranata Humas Ahli Muda
    Arif Widyantoro
    Email: arif.widyantoro@bsn.go.id

    Sumber : Radio Elshinta

  • Tarif Pungutan Ekspor Sawit Turun jadi 7,5%, Begini Respons Pengusaha

    Tarif Pungutan Ekspor Sawit Turun jadi 7,5%, Begini Respons Pengusaha

    Bisnis.com, SURABAYA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyambut positif kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) menjadi 7,5%, meski industri berharap PE dapat turun lebih jauh lagi. 

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan bahwa pelaku usaha menyadari tarif PE penting untuk pendanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Eddy pun mengaku Gapki mendorong untuk membantu percepatan PSR ini.

    Mengutip laman resmi BPDP, Kamis (21/11/2024), program PSR membantu pekebun rakyat memperbaharui perkebunan kelapa sawit dengan kelapa sawit yang lebih berkualitas dan berkelanjutan sehingga produktivitas lahan milik pekebun rakyat bisa ditingkatkan tanpa melalui pembukaan lahan baru.

    “Memang terus terang, kalau kita berharap [tarif pungutan ekspor CPO] bisa turun lagi. Tetapi kan kita juga melihat bahwa pemerintah juga butuh untuk dana PSR,” kata Eddy saat ditemui di sela-sela acara Sosialisasi Pelaksanaan Eksportasi dan Pungutan Ekspor atas Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya di Hotel Ciputra World Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/11/2024).

    Hanya saja, Eddy menyebut, jika tarif pungutan ekspor CPO kembali turun, maka akan timbul permasalahan lain di industri kelapa sawit. Imbasnya, produktivitas kelapa sawit tidak bertumbuh.

    “Kalau nanti kita minta turun lagi, nanti problem lagi. Jadi gimana mau PSR ditingkatkan, sebenarnya dananya juga berkurang. Jadi kita bersyukur dengan sudah penurunan di angka ini tidak ada masalah,” terangnya.

    Eddy menjelaskan, jika permasalahan kelapa sawit tidak segera diselesaikan maka akan membahayakan industri. Hal ini mengingat Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, di samping juga menjadi konsumen minyak sawit terbesar di dunia.

    Apalagi, lanjut dia, Presiden Prabowo Subianto akan menerapkan program biodiesel 40% (B40) pada awal 2025 dan disusul B50 di tahun berikutnya. 

    “Apapun tidak ada alasan kata lain bahwa kita harus kejar peningkatan produktivitas, utamanya adalah untuk meningkatkan PSR,” terangnya.

    Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menyampaikan, perkebunan kelapa sawit yang sudah berusia lebih dari 25 menjadi salah satu biang kerok produktivitas sawit Indonesia masih rendah.

    “Masih rendahnya tingkat produktivitas dari perkebunan kelapa sawit khususnya disebabkan oleh umur tanaman yang relatif sudah tua, ini sudah lebih dari 25 tahun,” ungkap Eddy.

    Eddy juga mengungkap manajemen kebun yang tidak optimal turut serta menjadi penyebab rendahnya produktivitas perkebunan sawit, termasuk tidak menyelenggarakan praktik-praktik perkebunan yang baik (good agriculture practices) di perkebunan sawit rakyat.

    Meski begitu, Eddy menegaskan pemerintah berkomitmen untuk mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional dan backbone perekonomian. Salah satunya melalui program PSR, yakni peningkatan produktivitas perkebunan rakyat menggunakan bibit bersertifikat. 

    Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO dan turunannya mengalami peningkatan signifikan pada Oktober 2024.

    Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasanti mengatakan bahwa ekspor CPO dan turunannya mencapai US$2,37 miliar pada Oktober 2024, atau mengalami peningkatan sebesar 70,90% (month-to-month/mtm) dibanding bulan lalu sebesar US$1,38 miliar.

    “Ekspor CPO dan turunanya secara bulanan meningkat 70,90%,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jumat (15/11/2024).

    Di samping itu, kinerja ekspor CPO dan turunannya juga mengalami peningkatan secara tahunan. BPS mencatat ekspor komoditas ini mengalami peningkatan sebesar 25,35% (year-on-year/yoy) dari Oktober 2023 yang hanya senilai US$1,89 miliar. 

  • GAPKI nilai tarif pungutan ekspor 7,5 persen tingkatkan ekspor CPO

    GAPKI nilai tarif pungutan ekspor 7,5 persen tingkatkan ekspor CPO

    Surabaya (ANTARA) – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menilai, penurunan tarif pungutan ekspor menjadi 7,5 persen dari yang sebelumnya 11 persen mampu meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia.

    Menurutnya, kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi para pengusaha di tengah tingginya beban industri sawit.

    “Jadi kan kita sekarang terbebani tiga ya. Satu adalah Domestic Market Obligation (DMO), kemudian pungutan ekspor (PE), kemudian Bea Keluar (BK). Nah ini kalau waktu itu kan total kira-kira (beban perusahaan) sekitar 138 dolar AS. Dengan pungutan ekspor turun menjadi 7,5 persen, ini kira-kira sekarang di angka sekitar 130 dolar AS. Jadi masih harga mending. Jadi artinya ini cukup membantu,” ujar Eddy saat ditemui usai menghadiri Sosialisasi Pelaksanaan Eksportasi dan Pungutan Ekspor atas Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya di Surabaya, Kamis.

    Eddy menilai langkah pemerintah ini sangat diapresiasi karena mendukung daya saing ekspor sawit Indonesia di pasar global. Ia juga menegaskan bahwa permintaan terhadap CPO tetap tinggi, meskipun dihadapkan pada persaingan dengan minyak nabati lainnya.

    Meski menyambut baik kebijakan ini, Eddy mengakui bahwa industri masih berharap tarif pungutan ekspor dapat diturunkan lebih jauh. Namun, pihaknya juga menyadari pentingnya tarif pungutan tersebut guna mendukung program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi prioritas pemerintah.

    Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa data ekspor menunjukkan peningkatan pada Oktober 2024 yang mencerminkan dampak positif kebijakan tarif pungutan ekspor.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 9BPS), nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai 2,37 miliar dolar AS pada Oktober 2024. Nilai ekspor CPO mengalami peningkatan 70,90 persen secara bulanan (mtm) jika dibandingkan bulan sebelumnya, dan secara tahunan meningkat 25,35 persen (yoy).

    Dengan penyesuaian tarif ini, GAPKI berharap ekspor CPO Indonesia terus meningkat dan industri sawit tetap menjadi tulang punggung ekspor nasional.

    “Artinya kita juga ingin meningkatkan ekspor karena demand itu tidak berhenti. Walaupun mereka ada minyak lain, tetapi sawit itu tidak tergantikan. Ada beberapa yang industri itu tidak bisa menggunakan minyak lain selain sawit,” terang Eddy.

    Adapun Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menjelaskan, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menyesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 62 Tahun 2024 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

    Sesuai Peraturan Menteri Keuangan tersebut, tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit untuk CPO dan produk turunannya berubah yang semula merupakan tarif spesifik menjadi tarif advalorum (persentase dari harga CPO Referensi Kementerian Perdagangan yang berlaku). Sedangkan untuk produk non minyak, tarif pungutan ekspor masih menggunakan tarif spesifik seperti pada kebijakan tarif sebelumnya.

    “Besaran tarif pungutan ekspor dibagi ke dalam lima kelompok jenis barang, yaitu Kelompok I dengan dengan tarif spesifik sesuai jenis barang, Kelompok II sebesar 7,5 persen dari harga CPO Referensi Kemendag, Kelompok III sebesar 6 persen dari harga CPO Referensi Kemendag, Kelompok IV sebesar 4,5 persen dari harga CPO Referensi Kemendag, dan Kelompok V sebesar 3 persen dari harga CPO Referensi Kemendag,” jelasnya.

    Pengenaan tarif baru tersebut sudah berlaku sejak tanggal 22 September 2024.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2024

  • Muncul Petisi Tolak PPN 12%, Sudah Ditandangani 2.800 Orang

    Muncul Petisi Tolak PPN 12%, Sudah Ditandangani 2.800 Orang

    Bisnis.com, JAKARTA – Ribuan orang telah menandatangani petisi penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Pasalnya, kebijakan ini dinilai kian membebani perekonomian masyarakat yang tengah terpuruk.

    Petisi yang muncul dalam laman change.org itu telah ditandatangani oleh 2.808 orang hingga hari ini, Kamis (21/11/2024) pukul 09.34 WIB. Petisi ini dibuat oleh akun dengan nama Bareng Warga.

    Dalam petisinya, akun Bareng Warga menilai bahwa rencana pemerintah untuk mengerek PPN menjadi 12% memperdalam kesulitan masyarakat. Pasalnya, harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik dan sangat memengaruhi daya beli.

    “Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” tulis akun tersebut, dikutip Kamis (21/11/2024).

    Menurutnya, daya beli masyarakat akan makin merosot jika pemerintah tetap memaksa untuk mengerek PPN menjadi 12% tahun depan. Apalagi, pelemahan daya beli mulai terasa sejak Mei 2024.

    “Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas,” ujarnya.

    Dari sisi pengangguran terbuka misalnya, akun Bareng Warga, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angkanya masih sekitar 4,91 juta orang per Agustus 2024. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal di mana jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.

    Dia turut menyoroti soal upah pekerja. Masih dari data BPS per Agustus 2024, sejak 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata upah minimum provinsi (UMP). Trennya sempat naik di 2022, tetapi kembali turun di 2023. 

    “Tahun ini selisihnya hanya Rp154.000,” ungkapnya.

    Kendati begitu, dia meragukan UMP sebagai acuan pendapatan yang layak. Di Jakarta misalnya. Untuk hidup di kota metropolitan tersebut, catatan BPS 2022 menunjukan dibutuhkan uang sekitar Rp14 juta per bulannya, sedangkan UMP Jakarta di 2024 saja hanya Rp5,06 juta. Apalagi dari fakta yang ada, masih banyak pekerja yang diberi upah lebih kecil dari UMP.

    Atas dasar itulah, akun Bareng Warga meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN yang tertuang dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    “Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membasa dan menyebar ke mana-mana,” pungkasnya. 

  • Seruan Penolakan PPN 12% Bergema di Medsos

    Seruan Penolakan PPN 12% Bergema di Medsos

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah menaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun depan mendapat banyak penolakan, salah satu lewat media sosial.

    Belakangan lini masa berbagai media sosial (medsos) seperti X dihiasi dengan berbagai seruan penolakan kenaikan tarif PPN. Akun @BudiBukanIntel menjadi salah satu yang paling getol menyerukan penolakan tersebut.

    Beberapa hari terakhir, @BudiBukanIntel terus mendengungkan tagar #TolakKenaikanPPN, #TolakPPN12Persen, dan #PajakMencekik dengan berbagai narasi. Contohnya, dia menyerukan agar pemerintah memperbaiki sistem terlebih dahulu sebelum menaikkan tarif pajak.

    “Berhenti bebani rakyat sampai Anda memberi manfaat,” jelas salah satu gambar yang dibagikan @BudiBukanIntel, Rabu (20/11/2024).

    Tak tanggung-tanggung, cuitan-cuitan tersebut sudah dibagikan ulang dan disukai ribuan kali. 

    Tak sampai situ, belakangan juga muncul petisi penolakan kenaikan PPN di situs change.org dengan tajuk Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!

    Petisi tersebut dibuat oleh pengguna bernama Bareng Warga pada 19 November 2024 dan ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam penjelasannya, disebutkan rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 mempersulit kehidupan masyarakat karena harga barang/jasa kebutuhan akan ikut naik.

    “Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” tulis keterangan Bareng Warga.

    Menukil data Badan Pusat Statistik, disebutkan 4,91 juta warga masih menjadi pengangguran terbuka per Agustus 2024. Pada saat yang sama, 83,83 juta warga juga masih bekerja di sektor informal.

    Bahkan, daya beli masyarakat yang menjadi penopang perekonomian juga terus merosot. Jika PPN naik maka ditakutkan daya beli masyarakat akan semakin terjun bebas sehingga akan memperburuk perekonomian secara umum.

    “Atas dasar itu, rasa-rasanya pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP, sebelum luka masyarakat kian menganga,” tutup petisi tersebut.

    Hingga Kamis (21/11/2024) pagi, setidaknya petisi penolakan kenaikan PPN tersebut sudah ditandatangani oleh 2.752 orang.

    Bisa Dibatalkan Prabowo

    Sesuai aturan, Presiden Prabowo Subianto bisa membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

    Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% sendiri sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Dengan alasan amanat UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan mencoba menjalankan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut meski banyak pihak yang mentangnya.

    “Kita perlu siapkan agar itu [kenaikan PPN menjadi 12%] bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Kendati demikian, notabenenya UU HPP juga menambahkan klausul yang memungkinkan penundaan kenaikan tarif PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan tarif PPN 12% pada awal 2025 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

    Caranya dijelaskan dalam Pasal 4 UU HPP:

    Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Artinya, PPN 12% bisa dibatalkan lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Prabowo setelah disampaikan ke DPR. Bukan hanya menunda atau membatalkan kenaikan, Prabowo bahkan bisa menurunkan tarif PPN hingga 5%.

  • Kenaikan PPN dan pertumbuhan ekonomi inklusif

    Kenaikan PPN dan pertumbuhan ekonomi inklusif

    Barang kebutuhan pokok yang dipajang di salah satu pasar swalayan. Produk olahan termasuk komoditas yang dikenakan PPN. ANTARA/ Ganet Dirgantoro

    Kenaikan PPN dan pertumbuhan ekonomi inklusif
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Rabu, 20 November 2024 – 16:57 WIB

    Elshinta.com – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara. Sebagai pajak yang dikenakan pada setiap tahapan produksi dan distribusi barang atau jasa, PPN berfungsi meningkatkan pendapatan negara guna membiayai berbagai program pembangunan.

    Pada tahun 2022, Indonesia mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen dan berencana untuk meningkatkan lagi menjadi 12 persen pada 2025. Kebijakan ini menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap perekonomian, khususnya dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Pertumbuhan ekonomi inklusif diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya berfokus pada angka produk domestik bruto (PDB), tetapi juga memperhatikan distribusi kesejahteraan yang merata di seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis pengaruh kenaikan PPN 12 persen terhadap inklusivitas pertumbuhan ekonomi, terutama terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang lebih rentan.

    Pajak, sebagai instrumen fiskal yang penting dalam pembangunan ekonomi, digunakan oleh Pemerintah untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Dalam jangka pendek, kenaikan PPN bisa menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat karena harga barang dan jasa menjadi lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat menurunkan daya beli.

    Namun, dalam jangka panjang, jika pendapatan negara meningkat, Pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk program-program sosial yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Dalam teori Pertumbuhan Ekonomi Endogen yang dikemukakan oleh Romer (1990), pajak dan pengeluaran Pemerintah yang efisien dapat merangsang investasi di sektor-sektor yang meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja. Sebagai contoh, pendapatan yang diperoleh dari PPN dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

    Dampak terhadap konsumsi dan produksi

    Salah satu dampak langsung dari kenaikan PPN adalah peningkatan harga barang dan jasa. Peningkatan harga ini cenderung mengurangi konsumsi, terutama bagi rumah tangga dengan pendapatan rendah.

    Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zodrow dan Mieszkowski (2001), pajak konsumsi seperti PPN sering kali lebih membebani rumah tangga dengan pendapatan rendah karena proporsi pengeluaran mereka untuk konsumsi lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga berpendapatan tinggi. Hal ini berpotensi menyebabkan ketimpangan yang lebih besar, yang berlawanan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi inklusif.

    Namun, ada pula argumen yang mengatakan bahwa kenaikan PPN dapat meningkatkan daya saing sektor produksi dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh penurunan tarif PPN pada barang ekspor dan insentif untuk mendorong industri dalam negeri. Jika Pemerintah menggunakan hasil dari PPN untuk membiayai kebijakan yang meningkatkan efisiensi produksi dan produktivitas, maka sektor-sektor tertentu, seperti manufaktur, bisa mendapatkan manfaat dari peningkatan kapasitas dan daya saing.

    Peningkatan PPN 12 persen dapat memberikan dampak yang berbeda terhadap berbagai lapisan masyarakat. Kelompok rumah tangga dengan pendapatan rendah memang lebih sensitif terhadap kenaikan harga barang dan jasa karena sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk konsumsi barang-barang kebutuhan dasar.

    Sebagai contoh, rumah tangga dengan pengeluaran untuk pangan, transportasi, dan energi yang tinggi akan merasakan dampak yang lebih besar dari kenaikan PPN ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, konsumsi rumah tangga miskin lebih banyak diperuntukkan bagi barang dan jasa yang dikenakan PPN, seperti makanan, energi, dan transportasi, yang berpotensi memperburuk ketimpangan sosial.
     

    Akan tetapi, jika Pemerintah dapat mengimbangi dampak ini dengan kebijakan sosial yang tepat, seperti bantuan langsung tunai atau subsidi, dampak negatif dari kenaikan PPN bisa diminimalkan. Misalnya, negara bisa mengalokasikan sebagian pendapatan dari PPN untuk mendanai program-program yang langsung menguntungkan kelompok masyarakat miskin, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan.

    Penelitian yang dilakukan oleh Suraya (2022) menunjukkan bahwa kenaikan PPN di Indonesia dapat menurunkan konsumsi domestik dalam jangka pendek. Namun, jika hasil dari pajak ini digunakan untuk pembiayaan sektor infrastruktur dan pendidikan, maka dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini karena investasi di sektor-sektor produktif dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas, yang pada gilirannya memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara merata.

    Selain itu, studi oleh Widodo (2020) menyimpulkan bahwa meskipun ada risiko penurunan daya beli masyarakat miskin akibat kenaikan PPN, kebijakan perpajakan yang pro-poor, seperti pemberian subsidi atau penghapusan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, dapat mengurangi dampak negatif tersebut. Dengan demikian, pengelolaan hasil pajak yang baik dapat memastikan bahwa kebijakan pajak tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga menciptakan distribusi kesejahteraan yang lebih adil.

    Mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif

    Untuk memastikan bahwa kenaikan PPN 12 persen dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, beberapa kebijakan pendukung perlu diterapkan, antara lain, melalui penggunaan hasil PPN untuk program sosial, yaitu dalam hal ini pendapatan yang diperoleh dari kenaikan PPN dapat dialokasikan untuk program-program yang mendukung masyarakat miskin, seperti subsidi pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Hal ini akan membantu kelompok masyarakat yang rentan agar tidak terkena dampak negatif dari kenaikan harga.

    Selanjutnya, peningkatan infrastruktur dan kesejahteraan sosial juga menjadi bagian fokus pembiayaan dari implikasi kenaikan PPN ini. Kebijakan ini dapat dilaksanakan, antara lain, melalui peningkatan investasi dalam infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang sehingga membuka peluang kerja bagi masyarakat dan meningkatkan akses mereka terhadap layanan publik.

    Kebijakan berikutnya yang dapat diambil untuk mengimbangi dampak negatif dari kenaikan PPN melalui pengenaan pajak progresif. Dalam hal ini Pemerintah dapat menerapkan pajak progresif yang lebih tinggi untuk kelompok berpendapatan tinggi. Dengan demikian, beban pajak lebih banyak ditanggung oleh mereka yang mampu, sementara rumah tangga miskin tetap mendapat perlindungan.

    Terakhir, kebijakan untuk mendukung manfaat kenaikan PPN adalah peningkatan efisiensi Pemerintah dalam pengelolaan anggaran. Dalam hal ini, Pemerintah perlu memastikan bahwa dana yang diperoleh dari PPN digunakan secara efisien dan tidak ada kebocoran anggaran yang dapat merugikan masyarakat.

    Kenaikan PPN 12 persen dapat memiliki dampak yang kompleks terhadap pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pada satu sisi, kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok rumah tangga miskin, yang berisiko memperburuk ketimpangan sosial. Namun, jika hasil dari PPN digunakan dengan bijak untuk membiayai program-program sosial dan infrastruktur, maka kebijakan ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah untuk melakukan pendekatan komprehensif dan memastikan bahwa kebijakan perpajakan dilaksanakan secara adil dan efisien.

    Sumber : Antara