Kementrian Lembaga: BPS

  • Hari Buruh harus jadi momen atasi pengangguran

    Hari Buruh harus jadi momen atasi pengangguran

    Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Kamis (17/4/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)

    Anggota DPR: Hari Buruh harus jadi momen atasi pengangguran
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Kamis, 01 Mei 2025 – 21:21 WIB

    Elshinta.com – Anggota DPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menuturkan perayaan Hari Buruh di Indonesia harus menjadi momentum refleksi dan aksi nyata untuk mengatasi isu-isu mendesak seperti masalah pengangguran, kesejahteraan, dan upah layak.

    Menurut dia, upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan penetapan upah yang adil adalah langkah krusial untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Hari Buruh tidak hanya menjadi perayaan, tetapi juga tonggak perubahan signifikan bagi nasib pekerja di Indonesia.

    “Dengan adanya upaya kolaboratif dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat berjalan menuju solusi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja dan mengurangi angka pengangguran,” kata Bamsoet di Jakarta, Kamis.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, dia menyampaikan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5 persen dari angkatan kerja. Hal yang mengkhawatirkan adalah TPT di kalangan generasi muda, antara usia 15-24 tahun, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional.

    Dia mengatakan bahwa fenomena ‘sarjana menganggur’ masih menjadi ironi, di mana lulusan perguruan tinggi kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara output sistem pendidikan dan kebutuhan riil industri.

    “Angka ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia yang memiliki populasi besar dan angkatan kerja yang terus bertambah,” kata dia.

    Selain itu, dia mengatakan perayaan Hari Buruh juga harus dimanfaatkan oleh para pekerja untuk menuntut hak mereka, termasuk upah yang layak. Upah minimum di sejumlah provinsi di Indonesia, menurut dia, masih di bawah standar kebutuhan hidup layak.

    Meskipun banyak perusahaan telah menerapkan upah minimum, dia menyampaikan bahwa masih ada kesenjangan signifikan antara kebutuhan hidup layak dan penghasilan pekerja.

    “Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, lebih dari 40 persen pekerja di sektor informal masih menerima upah di bawah standar kebutuhan hidup yang layak,” kata dia.

    Dia mengatakan bahwa masalah pengangguran dan ketidakadilan upah saling terkait. Pasalnya jika tingkat pengangguran tinggi, maka banyak pekerja yang bersedia menerima pekerjaan dengan upah di bawah standar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

    Akibatnya, menurut dia, hal ini dapat mengakibatkan penurunan kesejahteraan secara keseluruhan dan memperburuk kondisi pasar kerja.

    “Fenomena ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana upah yang rendah berkontribusi pada ketidakpuasan dan kondisi kerja yang memprihatinkan,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Bamsoet Harap Hari Buruh Harus Jadi Momen Atasi Pengangguran

    Bamsoet Harap Hari Buruh Harus Jadi Momen Atasi Pengangguran

    Bamsoet Harap Hari Buruh Harus Jadi Momen Atasi Pengangguran
    Editor
    KOMPAS.com
    – Anggota DPR RI
    Bambang Soesatyo
    , yang akrab disapa Bamsoet, menekankan bahwa peringatan
    Hari Buruh
    di Indonesia harus menjadi momentum penting untuk refleksi dan tindakan nyata dalam mengatasi isu-isu krusial yang dihadapi pekerja, seperti
    pengangguran
    , kesejahteraan, dan upah yang layak.
    Menurut dia, upaya untuk meningkatkan ketersediaan lapangan kerja dan menetapkan upah yang adil merupakan langkah-langkah mendasar untuk menjamin kesejahteraan para pekerja.
    Hari Buruh, kata Bamsoet, tidak sekadar menjadi perayaan, melainkan juga harus menjadi tonggak perubahan signifikan bagi nasib pekerja di Tanah Air.
    “Dengan adanya upaya kolaboratif dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat berjalan menuju solusi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja dan mengurangi angka pengangguran,” kata Bamsoet di Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Kamis (1/5/2025).
    Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, Bamsoet mengungkapkan bahwa
    tingkat pengangguran terbuka
    (TPT) di Indonesia mencapai 5 persen dari total angkatan kerja.
    Ia menyoroti kekhawatiran khusus terkait tingginya angka TPT di kalangan generasi muda, yaitu mereka yang berusia antara 15 hingga 24 tahun, yang jauh melebihi rata-rata nasional.
    Dia mengatakan, fenomena ‘sarjana menganggur’ masih menjadi ironi, di mana lulusan perguruan tinggi kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.
    Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara
    output
    sistem pendidikan dan kebutuhan riil industri.
    “Angka ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia yang memiliki populasi besar dan angkatan kerja yang terus bertambah,” kata dia.
    Bamsoet menyatakan bahwa perayaan Hari Buruh juga harus dimanfaatkan oleh para pekerja untuk menyuarakan tuntutan hak-hak mereka, termasuk hak atas upah yang layak.
    Ia menyoroti bahwa upah minimum di sejumlah provinsi di Indonesia masih berada di bawah standar kebutuhan hidup layak.
    Meskipun banyak perusahaan telah mengimplementasikan upah minimum, Bamsoet menyampaikan bahwa masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara kebutuhan hidup layak dengan penghasilan yang diterima oleh pekerja.
    “Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, lebih dari 40 persen pekerja di sektor informal masih menerima upah di bawah standar kebutuhan hidup yang layak,” kata dia.
    Dia mengatakan, masalah pengangguran dan ketidakadilan upah saling terkait.
     
    Sebab, jika tingkat pengangguran tinggi, maka banyak pekerja yang bersedia menerima pekerjaan dengan upah di bawah standar demi, memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    Akibatnya, menurut dia, hal ini dapat mengakibatkan penurunan kesejahteraan secara keseluruhan dan memperburuk kondisi pasar kerja.
    “Fenomena ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana upah yang rendah berkontribusi pada ketidakpuasan dan kondisi kerja yang memprihatinkan,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hari Buruh Harus Jadi Momentum Peningkatan Kesejahteraan Pekerja

    Hari Buruh Harus Jadi Momentum Peningkatan Kesejahteraan Pekerja

    Jakarta

    Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bambang Soesatyo menuturkan perayaan Hari Buruh di Indonesia harus menjadi momentum refleksi dan aksi nyata untuk mengatasi isu-isu mendesak seperti pengangguran, kesejahteraan, dan upah layak.

    Masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta perlu bekerja sama untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan penetapan upah yang adil adalah langkah krusial untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Sehingga Hari Buruh tidak hanya menjadi perayaan, tetapi juga tonggak perubahan signifikan bagi nasib pekerja di Indonesia.

    “Perayaan Hari Buruh di Indonesia setiap tahun seharusnya bukan hanya sekadar ajang demonstrasi dan penyaluran aspirasi. Tetapi juga menjadi refleksi bersama terhadap kondisi pekerja yang terpuruk akibat pengangguran dan upah yang tidak layak. Dengan adanya upaya kolaboratif dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat berjalan menuju solusi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja dan mengurangi angka pengangguran,” ujar Bamsoet di Jakarta, Kamis (1/5/2025).

    Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5% dari angkatan kerja. Hal yang mengkhawatirkan adalah TPT di kalangan generasi muda, antara usia 15-24 tahun, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional. Fenomena ‘sarjana menganggur’ masih menjadi ironi, di mana lulusan perguruan tinggi kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Ini menunjukkan adanya mismatch antara output sistem pendidikan dan kebutuhan riil industri.

    “Angka ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia yang memiliki populasi besar dan angkatan kerja yang terus bertambah. Meski pemerintah telah mengimplementasikan berbagai program pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, kenyataannya pengangguran masih menjadi isu krusial yang memerlukan perhatian lebih,” kata Bamsoet.

    Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan, perayaan Hari Buruh juga harus dimanfaatkan oleh para para pekerja untuk menuntut hak mereka, termasuk upah yang layak. Upah minimum di sejumlah provinsi di Indonesia dirasa masih di bawah standar kebutuhan hidup layak. Semisal UMP 2025 di pulau Jawa, UMP Jawa Barat sebesar Rp 2.191.232, UMP Jawa Tengah Rp 2.169.348 serta UMP Jawa Timur Rp 2.035.985, masih dirasa tidak seimbang dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

    Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, masalah pengangguran dan ketidakadilan upah saling terkait. Ketika tingkat pengangguran tinggi, banyak pekerja yang bersedia menerima pekerjaan dengan upah di bawah standar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, hal ini dapat mengakibatkan penurunan kesejahteraan secara keseluruhan dan memperburuk kondisi pasar kerja.

    “Dalam banyak kasus, pekerja terpaksa menerima pekerjaan dengan upah rendah karena keterbatasan pilihan akibat pengangguran yang tinggi. Fenomena ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana upah yang rendah berkontribusi pada ketidakpuasan dan kondisi kerja yang memprihatinkan,” pungkas Bamsoet.

    (ega/ega)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Bank Dunia: 60 Persen Penduduk Indonesia Miskin, Malaysia Hanya 1,3 Persen

    Bank Dunia: 60 Persen Penduduk Indonesia Miskin, Malaysia Hanya 1,3 Persen

    Bank Dunia juga memberikan ukuran tingkat kemiskinan Indonesia bila mendasari acuan garis kemiskinan dalam bentuk Purchasing Power Parity (PPP) kategori international poverty rate yang sebesar USD2,15 per kapita per hari, dan lower middle income poverty rate USD3,65 per kapita per hari.

    Jika mengacu pada international poverty rate yang sebesar USD2,15 per kapita per hari, maka persentase penduduk miskin di Indonesia pada 2024 menjadi hanya 1,3% atau setara 3,7 juta orang saja. Sedangkan dengan ukuran garis kemiskinan untuk kategori lower middle income poverty rate sebesar USD3,65 per kapita per hari sebesar 44,47 juta orang atau setara 15,6 persen.

    Sementara itu, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas pada 2023, setelah mencapai gross national income atau GNI (pendapatan nasional bruto sebesar USD4.580 per kapita.

    Dengan demikian, ukuran garis kemiskinan yang pantas digunakan untuk Indonesia mengacu pada pengeluaran USD6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp115.080 per orang per hari, sehingga jumlah penduduk miskinnya setara 60,3 persen dari total penduduk.

    Dibanding negara tetangga, jumlah kemiskinan di Indonesia pada 2024 itu peringkat kedua setelah Laos yang sebesar 68,5 persen. Negeri tetangga, Malaysia hanya memiliki penduduk miskin 1,3 persen, Thailand 7,1 perseb, Vietnam 18,2 persen dan Filipina 50,6 persen.

    Respons BPS

    Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menilai standar kemiskinan Indonesia berdasarkan laporan Bank Dunia hanya sebagai rujukan. Pemerintah tidak harus menerapkan standar tersebut.

  • Bank Dunia Ungkap 60,3% Rakyat Indonesia Miskin, Menkeu Sri Bilang Itu Urusan BPS

    Bank Dunia Ungkap 60,3% Rakyat Indonesia Miskin, Menkeu Sri Bilang Itu Urusan BPS

    GELORA.CO – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, sudah jadi urusan Badan Pusan Statistik (BPS) untuk menjelaskan mengenai temuan Bank Dunia yang menyebut 60,3 persen masyarakat Indonesia masuk kategori miskin.

    Ia menilai Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti lebih kompeten untuk menjelaskannya. Sebab, data dalam temuan Bank Dunia ini berkaitan dengan data dalam BPS.

    “Data kemiskinan Bank Dunia? Nanti saya minta ke Bu Rini untuk sampaikan itu ya, itu dengan BPS cara perhitungan Bank Dunia dibahas di antara mereka,” kata Sri Mulyani kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Sebelumnya, pendiri Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar menilai laporan dari Bank Dunia yang menyebut 60,3 persen rakyat Indonesia masih tergolong miskin adalah fakta sebenarnya. Data ini dinilai lebih realistis dari data terbitan Badan Pusat Stastistik (BPS).

    “Angka (60,3 persen dari) World Bank mencerminkan pendekatan yang lebih aktual dan fair untuk perbandingan internasional. Ini jauh lebih realistis dalam mencerminkan kemampuan konsumsi dan standar hidup yang layak dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional Indonesia yang hanya sekitar Rp20.000 per hari,” tutur Askar kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Ia pun heran dengan standar ganda pemerintah. Di satu sisi sering koar-koar Indonesia masuk ke negara berpendapatan menengah, tetapi untuk batas kemiskinan masih menggunakan indikator masyarakat miskin.

    “Ini kan aneh. Pemerintah suka bermain dengan definisi. Perlu dicatat, metode penghitungan kemiskinan Indonesia saat ini masih berbasis pengeluaran, bukan pendapatan. Bila penghitungan dilakukan berdasarkan pendapatan, jumlah penduduk miskin Indonesia bisa jauh lebih tinggi,” tegasnya.

    Dia mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat dari kelompok menengah bawah yang ‘turun kelas’ dan tergelincir ke kelompok miskin rentan. Jadi, kata dia, meskipun pemerintah mengklaim secara agregat angka kemiskinan ekstrem menurun, namun populasi miskin rentan (vulnerable poor) justru makin membengkak.

    “Mereka hidup sedikit di atas garis kemiskinan, tetapi sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, kehilangan pekerjaan, atau krisis kesehatan,” tandas Askar.

    Berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk pada 2024. Di mana, rakyat Indonesia disebut miskin dihitung berdasarkan standar ambang batas kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Nah, ambang batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah-atas ditetapkan pengeluaran per kapita sebesar US$6,85 per hari. Kalau dirupiahkan dengan nilai tukar alias kurs Rp16.829.US$, angka itu setara Rp115.278/hari. Jadi, orang Indonesia yang pengeluarannya kurang dari Rp155 ribu/hari, menurut Bank Dunia, masuk ketegori miskin alias duafa.

    Pertimbangan Bank Dunia mengunakan standar ini, karena Indonesia masuk dalam kelas negara berpendapatan menengah-atas sejak 2023. Di mana, gross national income (GNI) atau pendapatan nasional bruto Indoneia mencapai US$4.580 per kapita.

    Yang bikin sedih, jumlah duafa di Indonesia pada 2024 adalah tertinggi kedua di Asia Tenggara. Juara pertama diduduki Laos dengan jumlah penduduk miskin sebesar 68,5 persen.  Bak bumi dan langit jika disandingkan dengan Malaysia (1,3 persen), Thailand (7,1 persen), Vietnam (18,2 persen), atau Filipina (50,6 persen).

    Menariknya, data Bank Dunia sangat berbeda dengan BPS yang mencatat kemiskinan per September 2024 hanya 24,06 juta orang. Atau hanya 8,57 persen dari total jumlah penduduk. Lembaga statistik pelat merah ini, menyebut angka kemiskinan September 2024 sebagai yang terendah sepanjang sejarah Indonesia. Turun 0,46 basis poin dibandingkan Maret 2024 yang mencapai 9,03 persen. Setara 25,22 juta orang. 

  • Jepang Minta Indonesia Cabut Larangan Ekspor Susu dan Pastikan Espor Daging Sapi Stabil – Halaman all

    Jepang Minta Indonesia Cabut Larangan Ekspor Susu dan Pastikan Espor Daging Sapi Stabil – Halaman all

    Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang

    TRIBUNNEWS.COM, TOKYO –  Pemerintah Jepang melalui Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF), Eto Taku kemarin (29/4/2025) meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut larangan ekspor susu sesegera mungkin dan memastikan ekspor daging sapi yang stabil.

    “Kita meminta kepada Indonesia agar mencabut larangan ekspor susu dan memastikan ekspor daging sapi yang stabil,” ungkap sumber Tribunnews.com dari MAFF Rabu (30/4/2025).

    Pada tahun 2024, Amerika Serikat akan memiliki nilai ekspor terbesar produk pertanian, kehutanan, dan perikanan serta produk makanan dari Jepang, dan di tengah ketidakpastian tentang dampak “tarif timbal balik”, ada kebutuhan untuk mendiversifikasi tujuan ekspor.

    Pemerintah Jepang menilai Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai pasar penting di mana ekspor diperkirakan akan berkembang di masa depan.

    “Menteri Eto juga menyinggung negosiasi tarif dengan AS, dengan mengatakan, bahwa pada saat-saat seperti inilah bersatu dengan negara-negara ASEAN efektif untuk negara masing-masing.”

    Sementara itu Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi seusai menerima kunjungan bilateral Menteri Eto Taku di Kantor NFA, Jakarta, Selasa (29/4/2025) mengungkapkan, “Kita diskusinya itu lebih ke sharing tentang bagaimana me-manage pangan di Indonesia juga di Jepang, tapi kondisinya kurang lebih sama. Misalnya petani usianya tua. Beliau juga menyampaikan petani Jepang di sana rata-rata usianya di atas 60 tahun,” ungkap Arief.

    Sementara, kondisi petani Indonesia jika menilik hasil Sensus Pertanian Tahun 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) didominasi petani berusia 43-58 tahun sebanyak 42,28 persen. Kemudian 27,12 persen petani berusia 59-77 persen dan 26,10 persen petani milenial yang berusia 27-42 tahun. Lalu sebanyak 2,30 persen merupakan petani Gen Z dan 2,19 Gen Pre-Boomer.

    “Jadi kondisinya dengan kita mirip. Kita juga sepakat bahwa pendapatan petani menjadi salah satu yang harus dicapai untuk swasembada pangan. Ini karena akan berbanding lurus dengan peningkatan produksi di Indonesia,” sebut Arief.

    “Dengan itu,  Presiden Prabowo Subianto sangat concern menjaga kesejahteraan petani Indonesia. Minister Eto juga jelaskan bahwa Jepang berupaya hingga memberikan subsidi ke petani untuk menarik minat generasi mudanya menjadi petani,” lanjutnya.

    Salah satu indikator kesejahteraan petani yang dipakai di Indonesia adalah pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP). 

    BPS mencatat NTP dan NTP Tanaman Pangan (NTPP) pada Maret 2025 yang merupakan puncak panen raya padi memiliki indeks tertinggi jika dibandingkan terhadap puncak panen raya dalam 3 tahun terakhir.

    NTP Maret 2025 adalah 123,72. Sementara NTPP Maret 2025 berada di 108,95. Di puncak panen raya tahun ini juga tercatat indeks harga yang diterima petani padi lebih tinggi dibandingkan puncak panen raya 2023 dan 2024, yakni di 137,94.

    Sementara pada puncak panen raya tahun 2024 yang jatuh pada April, NTP berada di 116,79 dan NTPP 105,54 dengan indeks harga yang diterima petani padi ada di 128,59. Di puncak panen raya tahun 2023 yang terjadi di bulan Maret, NTP di 110,85 dan NTPP 103,83 dengan indeks harga diterima petani padi berada di 121,55.

    “Citra petani yang sejahtera itu yang harus dibentuk. Minister Eto tadi sampaikan demikian dan kita di Indonesia saat ini sedang membangun citra baik itu dengan komando Bapak Presiden Prabowo,” terang Arief.

    “Apalagi data BPS menunjukkan indeks harga diterima petani padi di tahun ini sangat terjaga dan tidak anjlok signifikan, padahal sedang puncak panen raya. Ini torehan yang positif dan membuktikan kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo benar-benar sangat menjaga kepentingan sedulur petani Indonesia,” tutup Arief.

    Dalam pertemuan, terkait ketahanan pangan, Minister Eto Taku menyampaikan Jepang baru saja menyempurnakan regulasinya untuk mencapai swasembada pangan. Berbagai program subsidi pun dikucurkan ke masyarakat Negeri Sakura.

    “Baik Indonesia maupun Jepang memiliki isu dan tantangan yang cukup banyak. Namun demikian, isu dan tantangan yang sama juga kita miliki. Misalnya bagaimana mengatasi masalah pendapatan para petani,” urainya.

    “Saat ini rata-rata usia petani di Jepang adalah 68 tahun. Jadi salah satu tantangan yang harus dilakukan adalah bagaimana menarik minat generasi muda. Kami memiliki program subsidi sebesar 8 Juta Yen untuk 5 tahun. Selain itu, (ada juga) pendanaan tanpa bunga dan tanpa batas waktu,” sambungnya.

    “Jepang sendiri juga baru saja menyempurnakan kebijakan yang berkaitan dengan ketahanan pangan, produksi, aset pertanian, dan sebagainya. Pertama dalam 25 tahun terakhir. Berdasarkan itu, kami akan menambah anggaran untuk mengintensifkan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka memperkuat ketahanan dan swasembada pangan,” tambahnya.

    Diskusi beras dan bahan pertanian Jepang juga dilakukan kelompok Pencinta Jepang gratis bergabung. Tuliskan nama alamat dan nomor whatsapp ke email tkyjepang@gmail.com

  • BPS Buka Suara soal Standar Perhitungan Bank Dunia Terkait Angka Kemiskinan RI

    BPS Buka Suara soal Standar Perhitungan Bank Dunia Terkait Angka Kemiskinan RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) meminta pemaknaan yang bijak terhadap laporan Bank Dunia (World Bank) terbaru soal angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai 60,3% dari populasi.

    Utamanya lantaran standar yang digunakan yakni ambang batas kemiskinan negara berpendapatan menengah atas. 

    Sebagaimana diketahui, Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah atas atau upper-middle income country pada 2023 setelah mendapatkan gross national income (GNI) atau pendapatan nasional bruto sebesar US$4.850 per kapita.

    Standar itu lalu digunakan Bank Dunia dalam mengukur angka kemiskinan Indonesia dalam laporan terbarunya bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025. 

    Persentase tersebut berdasarkan ambang batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas yaitu pengeluaran per kapita sebesar US$6,85 per hari. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti memaparkan bahwa angka itu merupakan median. Sedangkan, GNI Indonesia masih berada di tingkatan bawah kisaran pendapatan nasional bruto negara-negara upper-middle income yakni US$4.466-US$13.845. 

    “Standarnya yang US$6,85 itu kan adalah median dari upper middle income. Indonesia sendiri di dalam status upper-middle income itu masih di bawah. Sebenarnya yang paling penting adalah bukan angkanya dan levelnya, seberapa cepat kita bisa menurunkan kemiskinan,” jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/4/2025). 

    Amalia juga menerangkan bahwa Indonesia, seperti halnya negara-negara lain, memiliki national poverty line yang diukur dengan karakteristiknya sendiri. Hasilnya pun berbeda dengan yang dirilis oleh World Bank. 

    Dia mencontohkan China yang mendeklarasikan bahwa kemiskinan di negaranya sudah mencapai level 0%, sedangkan Bank Dunia menyebut masih 17%.

    Mantan Deputi di Kementerian PPN/Bappenas itu menerangkan, pengukuran angka kemiskinan di Indonesia dilakukan di masing-masing provinsi. Kemudian, angka itu diagregasi menjadi angka nasional. 

    Di sisi lain, Amalia turut menekankan bahwa garis kemiskinan tidak sama dengan pendapatan. Dia juga menerangkan bahwa cara mengukur garis kemiskinan oleh BPS dan Bank Dunia berbeda. 

    Meski demikian, dia menyebut BPS telah memedomani Bank Dunia dalam mengukur kemiskinan ekstrem yakni US$2,15. Standar itu digunakan oleh Bank Dunia berbasis pada negara paling miskin. 

    “Kita sudah ikut. Nah selain kemiskinan ekstrem, kami juga punya (kategori) kemiskinan. Nah kemiskinan itulah yang kita menghitung National Poverty Line tadi,” terang Amalia. 

    Di sisi lain, Amalia juga mengingatkan bahwa keluarga yang tingkat pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan bukan berarti dikategorikan keluarga kaya. Namun, mereka masih dikategorikan rentan miskin. 

    Lulusan ITB serta Amerika dan Australia itu menjelaskan, kelompok keluarga rentan miskin itu bisa sewaktu-waktu jatuh miskin. Oleh sebab itu, pemerintah menggelontorkan sederet program bantuan sosial.

    “Makanya itu bansos pemerintah, bantuan program itu selalu sampai empat kali di atas garis kemiskinan, atau dua sampai tiga kali di atas garis kemiskinan,” papar Amalia. 

    Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, laporan Bank Dunia bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025 mengungkap angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3%. Laporan itu mengungkap jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2024. 

    Persentase tersebut berdasarkan ambang batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas yaitu pengeluaran per kapita sebesar US$6,85 per hari. Apabila dihitung dengan kurs Jisdor Rp16.829 per dolar AS, maka US$6,85 menjadi sekitar Rp115.278. 

    Namun, perlu dicatat, garis kemiskinan dalam PPP tidak bisa dikonversi dengan kurs biasa. Angka garis kemiskinan itu harus dihitung dengan PPP Conversion Factor, yang nominalnya berbeda untuk setiap negara. 

    Bank Dunia sendiri sudah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas atau upper-middle income country pada 2023, setelah mencapai gross national income (GNI) atau pendapatan nasional bruto sebesar US$4.580 per kapita. 

    Bank Dunia sendiri mengklasifikasikan sebuah negara sebagai negara berpendapatan menengah-atas apabila memiliki GNI di kisaran US$4.466—US$13.845 per kapita. 

    Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 285,1 juta berdasarkan Susenas 2024 Badan Pusat Statistik (BPS). Mengacu pada data kemiskinan Indonesia Bank Dunia terbaru, 60,3% jumlah penduduk miskin itu setara dengan 172 juta orang. 

    Bank Dunia memproyeksikan jumlah penduduk miskin Indonesia tersebut akan menurun sedikit demi sedikit beberapa tahun mendatang, yaitu menjadi 58,7% pada 2025, 57,2% pada 2026, dan 55,5% pada 2027.

  • BPS Klarifikasi Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia

    BPS Klarifikasi Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti memberikan penjelasan mengenai data terbaru mengenai angka penduduk miskin Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia atau World Bank.

    Laporan Bank Dunia berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025 mengkategorikan mayoritas masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin, dengan porsi sebesar 60,3% dari jumlah penduduk pada 2024 sebesar 285,1 juta jiwa.

    Dari persentase ini, artinya, jumlah penduduk miskin RI mencapai 171,91 juta jiwa. Perhitungan itu didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper middle income country) sebesar US$ 6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp 115.080 per orang per hari (kurs Rp 16.800/US$).

    Amalia mengimbau semua pihak untuk menyikapi laporan itu secara bijak.

    “Mari kita lebih bijak memaknai dan memahami angka kemiskinan bank dunia karena itu bukanlah sesuatu keharusan kita menerapkan, itu hanya referensi saja,” kata Amalia, di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (30/4/2025).

    Amalia menjelaskan, sebabnya perhitungan 60,3% penduduk Indonesia miskin yang dilakukan Bank Dunia itu menggunakan standar perhitungan berdasarkan kelas menengah atas yang memiliki daya beli yang lebih tinggi. Dengan pengeluaran setara US$ 6,85 per kapita PPP (Purchasing Power Parity).

    Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh Indonesia menggunakan standar paritas daya beli sebesar 2,15%. Artinya Bank Dunia memiliki standar perhitungan angka daya kemiskinan yang berbeda dengan yang dilakukan oleh BPS.

    “Kita perlu bijak dalam memaknai angka yang disampaikan oleh Bank Dunia mengenai kemiskinan, yang 60,3% itu. Sebagai informasi, yang digunakan standar oleh Bank Dunia dan memperoleh data 60,3% itu adalah standar upper middle cass yang US$ 6,85 per kapita per hari PPP,” kata Amalia.

    PPP memiliki nilai yang berbeda tergantung dari negaranya. Dalam hal ini yang ditetapkan untuk Indonesia Rp 4.756 pada 2017, sehingga menurut Amalia, tidak bisa semerta-merta bisa dikonversi langsung nilai tukar yang ada saat ini.

    “Artinya kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini karena itu adalah nilai tukar PPP Base-nya 2017. Makanya angka konversinya akan berbeda,” sambungnya.

    Dalam laporan itu Bank Dunia juga memberikan ukuran tingkat kemiskinan Indonesia berdasarkan acuan garis kemiskinan dalam bentuk Purchasing Power Parity atau paritas daya beli masyarakat. Dimana Kategori international poverty rate yang ditetapkan sebesar US$ 2,15 per kapita per hari, dan lower middle income poverty rate US$ 3,65 per kapita per hari.

    Menurut Amalia, global poverty line yang ditetapkan Bank Dunia itu tidak bisa langsung diterapkan pada seluruh negara. Karena tiap negara memiliki national poverty rate berbeda, yang diukur berdasarkan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut.

    “Global poverty line yang ditetapkan Bank Dunia itu tidak sekonyong-konyong langsung bisa diterapkan oleh masing-masing negara,” katanya.

    Lebih lanjut, Amalia juga menjelaskan BPS juga melakukan perhitungan garis kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia. Menurutnya perhitungannya menggunakan basis bukan berhasal dari national poverty, melainkan angka kemiskinan di masing-masing provinsi.

    “Waktu kita menghitung angka kemiskinan basisnya bukan national povery line, tapi angka kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian kita agregasi jadi angka nasional,” jelas Amalia.

    “Dengan demikian kita bisa menunjukan standar hidup di provinsi DKI tidak akan sama dengan standar hidup misalnya di Papua Selatan. Provinsi DKI dan Papua Selatan juga memiliki garis kemiskinan yang berbeda,” katanya.

    (hsy/hsy)

  • Sawit Watch: Ketergantungan Tinggi pada Sawit Bahayakan Ekonomi

    Sawit Watch: Ketergantungan Tinggi pada Sawit Bahayakan Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA — Struktur sektor perkebunan dan industri pengolahan yang hanya bertumpu pada segelintir komoditas seperti sawit dinilai dapat membahayakan perekonomian. Sawit Watch mengimbau agar pemerintah membuka ruang untuk diversifikasi.

    Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menilai pemerintah semestinya memberikan batasan terhadap pengembangan kelapa sawit. Ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas global dengan harga fluktuatif dia sebut berdampak signfikan pada perekonomian secara keseluruhan.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya yang merupakan salah komoditas unggulan Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$2,19 miliar pada Maret 2025. Nilai ekspor itu turun 3,55% secara bulanan (Month-to-Month/MtM) dibandingkan dengan bulan sebelumnya di angka US$2,27 miliar.

    Meski turun secara bulanan, nilai ekspor pada Maret 2025 tercatat lebih tinggi daripada Maret 2025 yang kala itu hanya bernilai US$1,56 miliar. Artinya, ada kenaikan hingga 40,85%.

    “Seharusnya negara membatasi [ekspansi sawit]. Karena kalau tidak, akan menarik lebih banyak aktivitas ekonomi. Namun saat perekonomian kolaps, seluruh negeri ikut kolaps. Jangan sampai kita hanya bergantung ke satu komoditas, itu tidak baik secara ekonomi menurut saya,” kata Achmad dalam Forum Editor: Potret Konflik Sawit dan Pentingnya Penerapan Prinsip Keberlanjutan di Aryaduta Menteng, Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Makin menggeliatnya ekonomi yang bertumpu pada sawit turut tecermin dari ekspansi yang kini merambah wilayah timur Indonesia, seperti Sulawesi, Papua, bahkan wilayah Nusa Tenggara yang terkenal dengan iklim keringnya.

    Riset yang dilakukan Sawit Watch menunjukkan bahwa kehadiran sawit di daerah-daerah baru ini diikuti dengan konversi lahan komoditas yang sempat menjadi andalan masyarakat setempat, seperti kakao dan karet.

    “Ekspansi [sawit] terjadi juga di Jawa, sehingga memicu konversi dari komoditas yang ada, konversi dari kakao karet menjadi sawit. Bahkan di Jawa Timur yang kita anggap sebagai lumbung pangan nasional, ini juga sawit juga bisa dikembangkan,” tuturnya.

    Dia pun meminta adanya kebijakan pemerintah yang tegas terkait pengembangan kelapa sawit ke depan. Adapun laporan teranyar Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa luas tutupan sawit mencapai 17,3 juta hektare (ha) pada 2024. Luas tutupan ini naik dibandingkan dengan 16,38 juta ha yang tertuang dalam Kepmen Nomor 833/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia.

  • Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia Beda Jauh dengan BPS, Adi Prayitno: Rada Nggak Percaya

    Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia Beda Jauh dengan BPS, Adi Prayitno: Rada Nggak Percaya

    FAJAR.COID, JAKARTA – Bank Dunia (World Bank) kembali menyoroti tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam laporannya, lembaga keuangan internasional ini menyebut bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih tergolong miskin.

    Berdasarkan data tahun 2024, sekitar 60,3% dari total populasi Indonesia yang mencapai 285,1 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan versi negara berpendapatan menengah ke atas.

    Angka tersebut berarti sekitar 171,91 juta jiwa belum mencapai ambang batas pengeluaran minimum yang ditetapkan, yakni sebesar US$6,85 per kapita per hari, atau setara dengan Rp115.080 per orang per hari menggunakan kurs Rp16.800 per dolar AS.

    Laporan ini pun memicu respons dari berbagai kalangan, termasuk pengamat politik Adi Prayitno. Melalui akun media sosial pribadinya di X (sebelumnya Twitter), ia mengungkapkan keraguannya terhadap data yang dipaparkan Bank Dunia.

    “Masak sih, angka kemiskinan Indonesia sebanyak ini? Sepertinya sangat jauh dengan data BPS. Rada ndak percaya. Semoga Indonesia baik-baik saja. Soalnya dari dulu banyak sekali laporan, mirip sebuah klaim, kemiskinan selalu turun. Kau, percaya data yang mana? 🙂”, tulis Adi dalam unggahan di akun @Adiprayitno_20 pada Rabu, (30/4/2025).

    Perbedaan standar pengukuran kemiskinan antara lembaga internasional seperti Bank Dunia dan lembaga nasional seperti BPS memang kerap menimbulkan diskusi publik. Sementara BPS menggunakan garis kemiskinan nasional yang lebih rendah dibanding acuan internasional, Bank Dunia menggunakan standar global yang bertujuan menilai daya beli dan kesejahteraan masyarakat secara universal.