Kementrian Lembaga: BPS

  • Kunjungan Wisman Meningkat, Khofifah: Destinasi Wisata Jatim Makin Dilirik Dunia

    Kunjungan Wisman Meningkat, Khofifah: Destinasi Wisata Jatim Makin Dilirik Dunia

    Surabaya (beritajatim.com) – Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Jatim terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur yang dirilis pada tanggal 2 Juni 2025, pada bulan April 2025 jumlah kunjungan wisman ke Jawa Timur melalui pintu masuk Juanda sebanyak 24.800 kunjungan.

    Kondisi tersebut mengalami peningkatan sebesar 58,50 persen dibandingkan dengan kondisi pada bulan Maret 2025 yang mencapai 15.647 kunjungan.

    Sementara secara kumulatif kunjungan wisman melalui pintu masuk Juanda sepanjang Januari hingga April 2025 mencapai 81.771 kunjungan.

    “Alhamdulillah, ini menunjukkan bahwa kepercayaan dunia internasional terhadap Jawa Timur sebagai destinasi wisata semakin meningkat,” kata Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di sela-sela melaksanakan ibadah haji di Madinah, Selasa (10/6/2025).

    Dilihat dari negara asalnya, dari jumlah total kunjungan wisman melalui pintu masuk Juanda berasal dari Malaysia, Singapura, Tiongkok, dan Australia sebagai penyumbang wisman terbesar.

    Pada periode April 2025 jumlah kunjungan wisman terbesar merupakan warga negara berkebangsaan Tiongkok sebanyak 8.471 kunjungan dengan peranan sebesar 34,16 persen terhadap total wisman yang masuk melalui pintu Juanda.

    “Disusul dari warga negara berkebangsaan Malaysia sebanyak 5.267 kunjungan, serta wisman warga negara yang
    berkebangsaan Singapura sebanyak 1.754 kunjungan. Kunjungan dari warga negara Thailand mengalami peningkatan terbesar dibandingkan Maret 2025 yaitu sebesar 403,82 persen atau dari 131 di bulan Maret menjadi 660 kunjungan pada April,” jelasnya.

    Ia menilai hal ini sebagai hasil nyata dari kerja keras berbagai pihak dalam menjaga kualitas layanan dan daya tarik destinasi wisata di Jawa Timur.

    “Angka ini adalah sinyal kuat bahwa promosi dan penguatan destinasi kita mulai berhasil. Brand pariwisata Jawa Timur semakin dikenal, dan ini adalah hasil kerja bersama seluruh pihak yang terus menjaga daya saing dan kualitas layanan pariwisata,” ujarya.

    Pemprov Jatim kata Khofifah, terus menggencarkan kebijakan strategis di sektor pariwisata, seperti pengembangan kawasan unggulan Bromo-Tengger-Semeru, Kawah Ijen, Pantai Selatan, hingga destinasi budaya di Madura.

    Ia menjelaskan, pembangunan sektor ini tidak hanya berfokus pada infrastruktur, tapi juga menyentuh aspek sosial, budaya, dan lingkungan.

    “Kami ingin pariwisata Jawa Timur tumbuh secara berkelanjutan, tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga membawa dampak ekonomi bagi masyarakat lokal dan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal,” katanya

    Khofifah juga menaruh perhatian besar pada konektivitas sebagai faktor penentu dalam meningkatkan jumlah kunjungan. Ia mengungkapkan bahwa saat ini Pemprov sedang aktif menjajaki kerja sama dengan berbagai maskapai untuk membuka rute penerbangan langsung ke Juanda dari sejumlah kota besar di Asia dan Timur Tengah. Sebelumnya, telah dibuka penerbangan langsung rute Thailand-Surabaya dan Guangzhou-Surabaya.

    “Konektivitas udara adalah kunci. Kita sedang aktif menjalin komunikasi dengan maskapai regional dan internasional agar semakin banyak rute direct flight menuju Surabaya. Semakin mudah aksesnya, semakin tinggi potensi kunjungan,” tegasnya.

    Guna menjawab kebutuhan wisatawan era digital, Khofifah menyebut Pemprov juga memiliki Sistem Informasi Daya Tarik Wisata (SIDITA) dan Majapahit Digital (Majadigi). Platform digital yang memudahkan wisatawan mendapatkan informasi, melakukan reservasi, hingga menikmati berbagai promo wisata. Langkah ini sejalan dengan tren digitalisasi yang menjadi kebutuhan utama wisatawan global.

    “Wisatawan saat ini tidak hanya mencari tempat, tapi juga pengalaman yang cepat, mudah, dan nyaman. Melalui digitalisasi, kita memperluas jangkauan promosi sekaligus meningkatkan kepuasan pengunjung,” ucap Khofifah.

    Di tingkat internasional, Jatim kata Khofifah, terus memperkuat branding melalui partisipasi aktif di ajang promosi wisata global.

    Peran diaspora dan duta wisata juga dioptimalkan untuk memperkenalkan dan mempromosikan potensi wisata Jatim secara luas.

    “Kita tidak hanya memperkenalkan keindahan alam, tapi juga menjual keunikan budaya dan kekayaan nilai-nilai lokal. Ini adalah diplomasi budaya yang sangat efektif dalam memperkuat daya tarik pariwisata kita,” jelasnya.

    Khofifah juga memastikan bahwa keamanan, kenyamanan, dan standar pelayanan wisata tetap menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, Pemprov Jatim terus mendorong pelaku usaha pariwisata untuk memenuhi standar CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability), sekaligus meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan dan sertifikasi.

    “Kepercayaan wisatawan adalah segalanya. CHSE bukan hanya soal protokol kesehatan, tapi juga bagian dari pelayanan. Pelayanan yang profesional dan berstandar tinggi akan membuat wisatawan merasa aman dan dihargai,” tutur Khofifah.

    Menurut Khofifah, pariwisata adalah sektor strategis yang memiliki efek ganda terhadap ekonomi masyarakat, UMKM, dan pelestarian budaya. Oleh karena itu, ia terus mendorong pengembangan pariwisata yang inklusif, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat lokal.

    “Pariwisata bukan hanya tentang jumlah kunjungan, tapi juga tentang dampak. Ketika pariwisata tumbuh, ekonomi daerah bergerak, budaya terangkat, dan masyarakat sejahtera. Maka itu, mari kita jaga momentum ini bersama,” pungkasnya.

    Khofifah berharap peningkatan kunjungan wisman ke Jawa Timur dapat terus berlanjut secara konsisten, dan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif di berbagai wilayah.

    Ia juga mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keramahan, kebersihan, dan kenyamanan di setiap destinasi sebagai wajah Jawa Timur di mata dunia.

    “Saya minta sinergitas terus dijaga, semua elemen di Jatim harus ikut berperan aktif dalam menjaga citra baik daerah kita. Setiap senyuman, pelayanan yang ramah, dan kebersihan lingkungan adalah bentuk promosi yang paling nyata di mata wisatawan,” pungkasnya. [tok/aje]

  • Manusia, kekayaan dan investasi terbesar bangsa

    Manusia, kekayaan dan investasi terbesar bangsa

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar, semua orang sepertinya mengetahui fakta tersebut. Besar dari kekayaan alamnya, besar di berbagai potensi di banyak sektor ekonomi, dan besar dari jumlah penduduk yang juga begitu majemuk.

    Penting untuk kembali disoroti, bahwa sumber daya manusia (SDM), sejatinya adalah bentuk kekayaan sebuah bangsa yang paling tinggi nilainya.

    Berdasarkan estimasi proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 adalah sekitar 284,4 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk diperkirakan sekira 1,11 persen per tahun.

    Angka yang begitu besar ini pun turut dibarengi dengan puncak bonus demografi yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 2020-2030.

    Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) menjadi dominan dalam struktur populasi negara.

    Bukan rahasia lagi bahwa bonus ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh negara demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui tenaga kerja yang dapat mendongkrak produktivitas.

    Namun, apakah peluang itu bisa direngkuh jika berkaca dengan fenomena ketenagakerjaan saat ini di Indonesia?

    Tantangan

    Masih segar di ingatan tentang puluhan ribu orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Mulai dari PHK massal di PT Sritex, hingga perusahaan-perusahaan di sektor padat karya, teknologi, hingga ancaman PHK di industri perhotelan.

    Ancaman dan PHK yang sudah terjadi ini, tentu berdampak besar pada puluhan ribu jiwa dan keluarga yang mereka hidupi.

    Dengan meningkatnya jumlah PHK, maka jumlah pengangguran pun juga bakal naik, dan pada akhirnya berdampak pada daya beli atau konsumsi masyarakat yang menurun.

    Dana Moneter Internasional (IMF), sebagaimana dikutip dari World Economic Outlook Edisi April 2025, memprediksi tingkat pengangguran (unemployment rate) di Indonesia bakal mencapai 5 persen pada 2025, atau naik dari angka tahun lalu sebesar 4,9 persen.

    Tingkat pengangguran versi IMF tersebut merupakan persentase angkatan kerja yang menganggur ataupun masih mencari pekerjaan.

    Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pun tidak menampik hal tersebut. Ia melihat prediksi IMF sebagai masukan atau “alarm” bagi pemerintah untuk terus proaktif mencari solusi yang relevan dan berkelanjutan.

    “Yang jelas, yang kita lakukan sekarang adalah kita harus proaktif untuk mengorkestrasi setiap kementerian teknis, kemudian (melihat) peluang-peluang lowongan pekerjaan itu di mana. Dan ini terus kita bahas dalam lingkup rapat koordinasi lintas kementerian,” ujar Yassierli.

    Kesempatan yang inklusif

    Baru-baru ini pula, ramai pemberitaan tentang bursa kerja (job fair) yang berakhir ricuh, seperti yang terjadi di Cikarang, Bekasi.

    Job fair yang digelar pada akhir Mei itu menarik sekitar 25 ribu pekerja, sementara lowongan yang tersedia hanya sekira 2.000-3.000 saja.

    Apa yang terjadi di Cikarang, bisa jadi merupakan potret yang sama di daerah-daerah lainnya. Tak hanya pada tahun ini, tapi juga di tahun-tahun sebelumnya.

    Tentu ini merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah, untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal yang laik. Terlebih, Indonesia memiliki potensi angkatan kerja baru yang sangat tinggi pada periode ini.

    Untuk itu, pemerintah juga perlu adaptif dalam proses penciptaan lapangan kerja, agar lebih relevan seiring dengan perkembangan zaman.

    Hal ini pun sudah mulai dilakukan melalui beberapa upaya, mulai dari Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2023 yang mewajibkan pelaporan lowongan kerja secara terbuka dan transparan melalui platform SIAPkerja, hingga menerbitkan surat edaran terkait larangan diskriminasi dalam proses rekrutmen lowongan kerja.

    Investasi SDM

    Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berbagai kapasitas harus menjadi perhatian oleh negara. Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, investasi sumber daya manusia adalah salah satu hal yang paling krusial.

    Hal ini mengingat persaingan kerja di era sekarang, utamanya di sektor formal, bukan hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi yang begitu cepat.

    Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, otomasi hingga penggunaan kecerdasan buatan (AI) bisa saja menggantikan peran manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Bukan hanya karena lebih cepat, tapi juga lebih efisien secara biaya.

    Oleh karenanya, penting bagi negara untuk hadir dan meninjau kembali strategi yang tepat dalam menciptakan lapangan pekerjaan seiring dengan akselerasi teknologi digital.

    “Sementara, dari sisi manusianya, keterampilan kerja berubah dengan sangat cepat, sehingga dibutuhkan kemampuan adaptasi dengan pekerjaan baru,” kata Rhenald.

    Di dunia yang kini berjalan dan berubah dengan sangat dinamis, menuntut manusia di dalamnya untuk terus belajar (life-long learning). Terlebih, generasi muda saat ini juga lebih mencari pekerjaan yang bukan hanya sekadar memberikan sumber nafkah, melainkan memiliki makna (purpose-driven).

    Untuk itu, investasi pada keterampilan dan pengetahuan menjadi begitu penting. Diperlukan transformasi besar di berbagai sektor utamanya pendidikan, demi membuat para pencari dan pelaku kerja kita tetap berdaya saing.

    Karena pada hakikatnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki manusia yang kompeten dan teredukasi, bukan hanya bergantung dengan mengeruk dalam sumber daya alam yang dimiliki.

    Sumber daya alam, pada akhirnya bisa habis. Sementara manusia, terus berjalan, hidup, dan berperan untuk melanjutkan peradaban.

    Copyright © ANTARA 2025

  • Fakta di Balik Data Bank Dunia, Penduduk Miskin Indonesia Lebih Tinggi dari Vietnam

    Fakta di Balik Data Bank Dunia, Penduduk Miskin Indonesia Lebih Tinggi dari Vietnam

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengungkapkan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar membuat persentase penduduk miskin di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, seperti yang diungkapkan Bank Dunia.

    Menurut Anggota DEN Arief Anshory Yusuf, ada yang beranggapan metode penentuan garis kemiskinan Bank Dunia bermasalah.

    Pasalnya, pendapatan per kapita Indonesia jauh lebih tinggi dari Vietnam, tetapi persentase penduduk miskin Indonesia malah jauh lebih besar dari Vietnam.

    Kendati demikian, Arief menyebut keganjilan tersebut bisa dijelaskan dengan mudah lewat analisis ketimpangan pendapatan.

    “Karena ini kalau misalkan income per kapita-nya tinggi, tapi kemiskinannya banyak, berarti pendapatan per kapita-nya itu terkerek oleh orang-orang yang income-nya sangat tinggi,” kata Arief kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Adapun, Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita Indonesia mencapai US$4.810 pada 2023, sementara Vietnam baru mencapai US$4.110 pada 2023. Di sisi lain, dengan standar negara berpendapatan menengah, Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 68,2% dari total populasi pada 2024, sementara Vietnam hanya 21,5% dari total populasi pada 2022.

    Menurut Arief, data Bank Dunia itu malah bisa menunjukkan ketimpangan pendapatan di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di Vietnam. Dia pun tidak heran apabila masyarakat Vietnam lebih setara daripada Indonesia.

    Guru Besar FEB Universitas Padjajaran itu mengingatkan bahwa sejak awal Vietnam merupakan negara dengan pemerintahan komunisme.

    “Mereka [Vietnam] dari dulunya itu melakukan land reform, segala macam. Jadi wajar ketimpangan mereka rendah, dan data yang saya punya, yang dari Standardized Income Inequality Database, itu menunjukkan Indonesia sebenarnya GINI-nya itu lebih tinggi daripada yang diumumkan BPS, itu 0,46. Sementara Vietnam itu hanya 0,3,” ungkap Arief.

    Oleh sebab itu, Arief mendorong agar pemerintah atau para pemegang kepentingan tidak boleh menafikan data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia.

    Dia mengungkapkan bahwa keberhasilan suatu pembangunan itu tidak hanya terlihat dari masa ke masa, tetapi juga melalui perbandingan antarnegara. Data perbandingan itu, sambungnya, didapatkan dari lembaga-lembaga internasional.

    “Jadi garis-garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga lainnya, itu harus dijadikan introspeksi dalam merumuskan arah kebijakan nasional supaya lebih komplit,” tuturnya.

    Adapun, persentase penduduk miskin di Indonesia versi Bank Dunia yang mencapai 68,2% atau setara 194,4 juta orang pada 2024 itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).

    Pada September 2024, BPS mencatat penduduk miskin hanya sekitar 8,57% atau setara 24,06 juta orang.

  • Hilirisasi produk pertanian, Indonesia bisa jadi superpower

    Hilirisasi produk pertanian, Indonesia bisa jadi superpower

    Mentan memberikan kuliah umum, di hadapan mahasiswa program Magister dan Doktoral Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar, Senin (9/6/2025). Foto: Kementan

    Hilirisasi produk pertanian, Indonesia bisa jadi superpower
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Senin, 09 Juni 2025 – 20:30 WIB

    Elshinta.com – Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa hilirisasi produk pertanian merupakan jalan cepat Indonesia untuk menjadi negara mandiri dan berpengaruh secara global, bahkan menjadi negara superpower.

    Pernyataan tersebut disampaikan Mentan saat memberikan kuliah umum tentang Perkembangan dan Kebijakan Pembangunan Pertanian di AAS Building, Makassar, di hadapan mahasiswa program Magister dan Doktoral Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar, Senin (9/6/2025)

    Menurutnya, kekuatan sektor pertanian Indonesia tidak hanya terletak pada kemampuan memproduksi, tetapi juga pada menciptakan nilai tambah melalui pengolahan, inovasi, dan pengembangan industri hilir.

    “Hilirisasi adalah kunci transformasi pertanian kita. Kalau ini bisa kita lakukan dalam 10 tahun ke depan, dengan komitmen kuat, maka Indonesia bisa menjadi negara superpower,” tegasnya.

    Ia mencontohkan, kelapa dalam yang semula hanya dijual Rp1.350 per kilogram bisa bernilai hingga Rp145 ribu per liter jika diolah menjadi Virgin Coconut Oil (VCO). Komoditas lain seperti kakao dan mete juga bisa mengalami peningkatan nilai hingga 38 kali lipat. Bahkan, kelapa sawit kini telah diolah menjadi biofuel (B50) yang berfungsi sebagai pengganti solar.

    Lebih jauh, Mentan Amran menekankan pentingnya peran generasi muda, khususnya mahasiswa S2 dan S3, dalam mendukung agenda hilirisasi melalui riset dan inovasi. Menurutnya, pemerintah telah menyusun strategi investasi pertanian yang terarah dan berdampak langsung kepada masyarakat.

    “Dengan investasi sebesar Rp371 triliun, sektor pertanian bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp9.000 triliun dan menciptakan 8 juta lapangan kerja. Karena itu, kebijakan kita sekarang difokuskan langsung kepada petani dan masyarakat,” ungkapnya.

    Dalam kuliah bertema Blueprint Kementerian Pertanian dan Perkembangan Kebijakan Pertanian, Mentan Amran juga menyoroti kondisi krisis pangan global yang tengah melanda 58 negara. Ia mengingatkan bahwa krisis pangan tak hanya berdampak pada ekonomi dan kesehatan, tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial dan politik. “Kalau kebijakan bermasalah, maka negara juga akan bermasalah. Maka dari itu, sektor pertanian harus diperkuat dari hulu ke hilir,” tegasnya.

    Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pertanian telah mengambil langkah strategis. Di antaranya, refocusing anggaran agar lebih tepat sasaran, menyederhanakan 241 regulasi yang menghambat produksi, serta meningkatkan sarana dan infrastruktur pertanian.

    Hasil dari upaya tersebut mulai terlihat. Data BPS mencatat bahwa produksi beras nasional pada Januari – Juli 2025 mencapai 21 juta ton, naik 14,49 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Laporan USDA bahkan memperkirakan total produksi beras Indonesia tahun ini akan mencapai 34,6 juta ton pada tahun 2025, melebihi target 32 juta ton.

    Atas keberhasilan tersebut, FAO menganugerahkan Agricola Medal kepada Pemerintah Indonesia pada 30 Agustus 2024. Penghargaan ini merupakan bentuk pengakuan tertinggi dari dunia internasional atas kontribusi Indonesia dalam memperkuat ketahanan pangan global.

    Selain memaparkan data dan strategi terkait pembangunan pertanian, Mentan Amran juga memberikan pesan moral dan motivasi kepada para mahasiswa. “Kalau ingin jadi pemimpin, harus punya inovasi. Kalau tidak, rezekinya rata-rata air. Mau sukses, harus ditekan seperti berlian di suhu tinggi. Kalau tidak ada tekanan, cari tekanan. Cari tantangan besar,” katanya.

    Ia menegaskan bahwa sektor pertanian merupakan keunggulan komparatif Indonesia. “Negara kita bisa menanam sepanjang tahun, air mengalir terus. Kalau kita kuat, dunia akan kehilangan pasarnya. Kita punya 280 juta penduduk, itu potensi besar,” jelasnya.

    Mentan Amran juga mengingatkan pentingnya integritas dalam kepemimpinan. “Saya sudah menangkap pejabat korup di Kementan. Percuma pintar kalau tidak jujur. Kalau ada orang pintar tapi tidak punya karakter, itu musibah bagi negara. Karena dia akan pintar membohongi,” tegasnya.

    Ia menutup kuliah umumnya dengan keyakinan kuat bahwa pertanian Indonesia, jika terus didorong melalui modernisasi dan hilirisasi, akan menjadi kekuatan utama bangsa. Dengan komitmen bersama, Indonesia bukan hanya mampu swasembada pangan, tetapi juga berdiri sebagai negara mandiri dan berdaulat di panggung global.

    Penulis: Robby Hatibie/Ter

    Sumber : Radio Elshinta

  • Dewan Ekonomi Nasional Usul Standar Kemiskinan Nasional Minimal Rp765.000 per Bulan

    Dewan Ekonomi Nasional Usul Standar Kemiskinan Nasional Minimal Rp765.000 per Bulan

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional mengusulkan standar garis kemiskinan nasional minimal Rp765.000 per orang per bulan, lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas garis kemiskinan nasional saat ini senilai Rp595.243 per orang per bulan.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf menjelaskan bahwa usulan ambang batas garis kemiskinan itu tidak terlalu jauh dari standar yang dipakai oleh Bank Dunia yang telah menaikkan standar garis kemiskinannya per Juni 2025.

    Arief memaparkan bahwa Bank Dunia menentukan garis kemiskinan berdasarkan median atau nilai tengah garis kemiskinan nasional negara di kelompok miskin, berpendapat menengah rendah, dan berpendapat menengah atas.

    Perinciannya, garis kemiskinan internasional (kemiskinan ekstrem) menjadi $3 per orang per hari (dari sebelumnya $2,15); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah bawah menjadi $4,20 per orang per hari (dari $3,65); dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah atas menjadi $8,30 per orang per hari (dari $6,85).

    Adapun, kenaikan itu didasarkan pada pengadopsian nilai purchasing power parity (PPP) 2021 di tiga kelompok negara. Sebelumnya, Bank Dunia masih menggunakan basis PPP 2017 di tiga kelompok negara.

    “Jika dikonversikan ke rupiah maka $1 PPP 2021 setara dengan sekitar Rp6.000-an. Jumlah tersebut meningkat dari konversi $1 PPP 2017 senilai Rp5.506,5,” kata Arief kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Guru Besar FEB Universitas Padjajaran itu juga mengungkapkan bahwa standar kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia sebesar $3 per orang per hari itu setara Rp545.000 per orang per bulan. Jumlah tersebut sudah mendekati standar garis kemiskinan nasional Indonesia sebesar Rp595.242 per kapita per bulan.

    “Padahal, negara-negara [miskin] itu pendapatan per kapitanya itu paling tinggi juga cuma US$1.100. Kita [Indonesia] sudah US$4.810. Jadi, ini menurut saya peringatan kepada kita. Kita mau terus dikategorikan sebagai negara miskin nih? Garis kemiskinannya mirip dengan mereka,” ujarnya.

    Arief menggarisbawahi pentingnya revisi standar garis kemiskinan nasional. Hanya saja, dia menilai Indonesia belum layak memakai standar kemiskinan negara berpendapatan menengah atas versi Bank Dunia sebesar $8,3 per orang per hari atau sekitar Rp1,5 juta per orang per bulan.

    Arief tidak menampik bahwa Bank Dunia sudah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023 usai mencapai gross national income (GNI) atau pendapatan nasional bruto sebesar US$4.580 per kapita.

    Sebagai gambaran, Bank Dunia mengklasifikasikan sebuah negara sebagai negara berpendapatan menengah atas apabila memiliki GNI di kisaran US$4.466—US$13.845 per kapita.

    Artinya, jelas Arief, GNI Indonesia (US$4.580) masih berada di kisaran batas bawah GNI negara pendapatan menengah atas (US$4.466—US$13.845). “Jadi kalau kita pakai median mereka, agaknya kejauhan, agaknya terlalu ketinggian,” jelasnya.

    Berdasarkan perhitungan Bank Dunia, jika Indonesia memakai standar kemiskinan negara berpendapatan menengah, maka persentase penduduk miskin mencapai 68,2% dari total populasi atau setara 194,4 juta orang pada 2024.

    Oleh sebab itu, Arief menilai Indonesia minimal mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah bawah sebesar $4,2 per orang per bulan atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan.

    “Jadi, nanti kemiskinannya itu akan sekitar 20% [dari total populasi], dibanding 8% [persentase penduduk miskin versi BPS]. Nah, ini yang menurut saya lebih masuk akal. Mudah-mudahan nanti juga angkanya akan mendekati ke arah sana,” katanya.

    Menurut Arief, standar garis kemiskinan nasional saat ini memang sudah tidak relevan karena sudah berusia 26 tahun. Selama itu, imbuhnya, pendapatan per kapita masyarakat sudah meningkat tajam dan pola konsumsi sudah banyak berubah.

    Itu sebabnya, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Forum Masyarakat Statistik, dan Dewan Ekonomi Nasional saat ini menggodok standar garis kemiskinan yang baru.

    Adapun, BPS selama ini menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam menghitung standar kemiskinan nasional. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.

    Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.

    Untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.

    BPS pun mengalkulasi garis kemiskinan sesuai nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditas makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.

    Hasilnya, berdasarkan Susenas September 2024, didapati ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Pada saat yang sama, BPS mencatat rata-rata satu rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 anggota rumah tangga sehingga garis kemiskinan nasional sebesar Rp2.803.590 per rumah tangga.

    Hanya saja, BPS menggarisbawahi bahwa garis kemiskinan nasional tersebut merupakan hasil perhitungan total semua wilayah Indonesia sehingga kurang cocok digunakan secara spesifik.

    BPS menyatakan garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi—yang kemudian di bagi lagi berdasarkan wilayah perkotaan, dan perdesaan. Misalnya, ambang batas garis kemiskinan di Jawa Tengah Rp521.093 per orang per bulan atau Rp2.318.864 per rumah tangga per bulan.

    Sementara itu, ambang batas garis kemiskinan di Jakarta senilai Rp846.085 per kapita per bulan, sedangkan di Papua Pegunungan sebesar Rp1.079.160 per kapita per bulan atau Rp3.841.810 per rumah tangga per bulan.

    Dengan demikian, seorang penduduk Papua Pegunungan yang pengeluarannya sebesar Rp900.000 per bulan tetap tergolong miskin meski pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan nasional karena tetap berada di bawah garis kemiskinan provinsi per bulan.

  • Penasihat Ekonomi Presiden Minta Batas Garis Kemiskinan Indonesia Diubah

    Penasihat Ekonomi Presiden Minta Batas Garis Kemiskinan Indonesia Diubah

    Bisnis.com, JAKARTA — Penasehat ekonomi Presiden Prabowo di Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf menekankan bahwa sudah saatnya garis kemiskinan nasional naik, terlebih Bank Dunia telah merevisi garis kemiskinannya per Juni 2025.

    Berdasarkan laporan bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform, Bank Dunia resmi mengadopsi perhitungan purchasing power parity (PPP) 2021 dalam menentukan garis kemiskinan. Sebelumnya, Bank Dunia masih menggunakan basis PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan internasional menjadi US$3 PPP per orang per hari (dari sebelumnya US$2,15 berdasarkan perhitungan PPP 2017); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah bawah menjadi US$4,20 per orang per hari (dari US$3,65); dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah atas menjadi US$8,30 per orang per hari (dari US$6,85).

    Sebagai informasi, kurs PPP tidak sama dengan harga pasar. Arief menyebut jika dikonversikan ke rupiah maka US$1 PPP 2021 setara dengan sekitar Rp6.000an. Jumlah tersebut meningkat dari konversi US$1 PPP 2017 senilai Rp5.506,5.

    Arief menjelaskan Bank Dunia menentukan garis kemiskinan berdasarkan median atau nilai tengah garis kemiskinan nasional  negara di kelompok miskin, berpendapat menengah rendah, dan berpendapat menengah atas.

    Khusus untuk negara miskin, pada survei 2017 didapati median garis kemiskinannya sebesar US$2,15 PPP per orang per hari. Kini pada survei 2021, didapati median garis kemiskinannya sebesar US$$3 PPP per orang per hari.

    Arief mengungkap kenaikan tersebut karena 16 dari 23 negara miskin telah menaikkan standar garis kemiskinannya. Selain itu, faktor inflasi juga berpengaruh.

    “Ini itu bukti yang menunjukkan bahwa negara-negara miskin pun biasa melakukan revisi terhadap garis kemiskinannya. Negara tetangga kita juga yang gak miskin melakukannya; Malaysia melakukan di tahun 2018, Vietnam melakukan revisi di tahun 2021,” jelas Arief kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Artinya, Guru Besar FEB Universitas Padjajaran itu mengungkapkan standar kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia sebesar US$3 per orang per hari itu sekitar Rp545.000 per orang per bulan. Jumlah tersebut sudah mendekati standar garis kemiskinan nasional Indonesia sebesar Rp595.242 per kapita per bulan.

    “Padahal negara-negara [miskin] itu pendapatan perkapitanya itu paling tinggi juga cuma US$1.100. Kita [Indonesia] sudah US$4.810. Jadi, ini menurut saya peringatan kepada kita. Kita mau terus dikategorikan sebagai negara miskin nih? Garis kemiskinannya mirip dengan mereka,” ujar Arief.

    Oleh sebab itu, dia menjelaskan standar garis kemiskinan nasional harus segera direvisi. Apalagi, sambungnya, metode perhitungan garis kemiskinan nasional sudah tidak berubah sejak 26 tahun padahal pola konsumsi masyarakat sudah banyak berubah.

    Menurut Arief, saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Forum Masyarakat Statistik, dan Dewan Ekonomi Nasional sedang menggodok standar garis kemiskinan yang baru.

    “Memang sudah rada telat, jadi harus segera. Jadi, mudah-mudahan tahun ini, dalam waktu dekat, kita akan segera mengumumkan yang baru,” ungkapnya.

    Senada, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho menilai garis kemiskinan nasional memang perlu dilakukan pembaharuan. Hanya saja, garis kemiskinan tak diubah total namun secara diperbaharui secara komplementaritas.

    Artinya, di satu sisi garis kemiskinan lama tetap bisa digunakan sebagai pembanding antar waktu. Di sisi lain, dilakukan pembaharuan untuk basis komoditasnya karena banyak pengeluaran yang sebelumnya tidak tercantum dalam standar yang terakhir kali diperbaharui pada 1998

    “Saya mendorong [pemerintah] membentuk garis kemiskinan sensitif nutrisi misalnya, yang lebih cocok dari segi lokalitas atau preferensi konsumsi dan kebutuhan nutrisi masyarakat,” jelas Wisnu kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Lebih lanjut, dia menilai pemerintah tidak perlu mentah-mentah mengikuti standar garis kemiskinan versi Bank Dunia. Alasannya, garis kemiskinan Bank Dunia merupakan agregasi dari nilai banyak negara sehingga kurang menggambarkan konteks lokalitas masyarakat di satu negara.

    Cara BPS Menghitung Garis Kemiskinan

    Adapun dalam menghitung kemiskinan, BPS memang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori: komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.

    Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.

    Untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.

    BPS pun mengkalkulasi garis kemiskinan sesuai nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditi-komoditi makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.

    Hasilnya, berdasarkan Susenas September 2024, didapati ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Pada saat yang sama, BPS mencatat rata-rata satu rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 anggota rumah tangga sehingga garis kemiskinan nasional sebesar Rp2.803.590 per rumah tangga.

    Hanya saja, BPS menggarisbawahi bahwa garis kemiskinan nasional tersebut merupakan hasil perhitungan total semua wilayah Indonesia sehingga kurang cocok digunakan secara spesifik.

    BPS menyatakan garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi—yang kemudian di bagi lagi berdasarkan wilayah perkotaan, dan pedesaan. Misalnya, ambang batas garis kemiskinan di Jawa Tengah ‘hanya’ Rp521.093 per orang per bulan atau Rp2.318.864 Per rumah tangga per bulan, sementara di Jakarta senilai Rp846.085 per kapita per bulan, sedangkan di Papua Pegunungan sebesar Rp1.079.160 per kapita per bulan atau Rp3.841.810 per rumah tangga per bulan.

    Dengan demikian, seorang penduduk Papua Pegunungan yang pengeluarannya sebesar Rp900.000 per bulan tetap tergolong miskin meski pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan nasional namun tetap berada di bawah garis kemiskinan provinsi per bulan.

  • Urgensi Pemerintah Merevisi Standar Garis Kemiskinan Nasional

    Urgensi Pemerintah Merevisi Standar Garis Kemiskinan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Standar penentuan garis kemiskinan nasional dinilai mendesak untuk segera direvisi, mengingat sudah 26 tahun tidak berubah.

    Di sisi lain, selama itu pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dinilai sudah meningkat tajam dan pola konsumsi juga sudah banyak berubah.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf mengungkapkan bahwa pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Forum Masyarakat Statistik, dan Dewan Ekonomi Nasional tengah merevisi standar garis kemiskinan nasional.

    “Memang sudah rada telat, jadi harus segera [direvisi]. Jadi, mudah-mudahan tahun ini, dalam waktu dekat, kita akan segera mengumumkan [standar garis kemiskinan nasional] yang baru,” kata Arief kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Guru Besar FEB Universitas Padjajaran itu blak-blakan menyebut bahwa setidaknya ada dua pertimbangan mendesak standar garis kemiskinan nasional tersebut harus segera direvisi.

    Pertama, garis kemiskinan nasional akan mempengaruhi arah kebijakan ekonomi pemerintah. Dia mencontohkan ketika angka kemiskinan sudah kecil, pemerintah bisa saja tidak memperdulikan kebijakan industrialisasi yang pro pembukaan lapangan kerja karena masyarakat miskin sudah sedikit.

    “Artinya, kecil tidaknya kemiskinan itu akan mempengaruhi arah kebijakan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Arief.

    Kedua, imbuhnya, jika angka statistik terkait dengan kemiskinan tidak tetap maka masyarakat bisa mempertanyakan keterwakilannya. Arief mencontohkan, ketika pemerintah menyatakan penduduk miskin tinggal sedikit tetapi masih banyak permasalahan malnutrisi, stunting, antrean sembako panjang, hingga penunggakan iuran BPJS, maka kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan berkurang.

    “Perasaan tidak puas masyarakat, kepercayaan masyarakat ke negara makin tergerus. Nah, ini yang lebih berbahaya,” tuturnya.

    Menurut Arief, selama ini ada dua faktor yang menyebabkan pemerintah maju-mundur dalam merevisi standar garis kemiskinan nasional.

    Pertama, kekhawatiran politisasi karena jumlah penduduk miskin akan meningkat tajam. Namun, dia menilai kekhawatiran tersebut kurang beralasan karena banyak solusi yang bisa dilakukan agar kenaikan standar kemiskinan tidak dipolitisir seperti sosialisasi yang baik dan penggunaan dua versi.

    “Umumkan dua versi [garis kemiskinan nasional] sementara, misalkan lima tahun ke belakang dan ke depan,” ujar Arief.

    Kedua, sambungnya, ada yang beranggapan bahwa jika garis kemiskinan naik maka anggaran bantuan sosial (bansos) akan ikut membengkak. Arief menilai kekhawatiran itu juga tidak masuk akal karena bansos tidak berkaitan dengan garis kemiskinan nasional.

    Dia menjelaskan bahwa penerima manfaat program bansos sudah terspesifikasi berdasarkan desil yang tidak berkaitan dengan garis kemiskinan nasional. Arief mencontohkan, untuk penerimaan Kartu Indonesia Pintar yaitu masyarakat yang berada di desil 1—3 (meliputi 30% kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah).

    “Desil itu tidak dipengaruhi berapa garis kemiskinan kita. Ya segitu-gitu saja, karena sudah ada anggarannya. Jadi, tidak ada kaitan dengan besarnya anggaran bansos,” kata Arief.

    Sementara itu, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho menilai garis kemiskinan nasional memang perlu dilakukan pembaharuan. Hanya saja, garis kemiskinan bukan dibuat total tetapi secara komplementaritas.

    Artinya, di satu sisi garis kemiskinan lama tetap bisa digunakan sebagai pembanding antarwaktu. Di sisi lain, dilakukan pembaharuan untuk basis komoditasnya karena banyak pengeluaran yang sebelumnya tidak tercantum dalam standar yang terakhir kali diperbaharui pada 1998.

    “Saya mendorong [pemerintah] membentuk garis kemiskinan sensitif nutrisi misalnya, yang lebih cocok dari segi lokalitas atau preferensi konsumsi dan kebutuhan nutrisi masyarakat,” jelas Wisnu kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Lebih lanjut, dia menilai pemerintah tidak perlu serta merta mengikuti standar garis kemiskinan versi Bank Dunia. Alasannya, garis kemiskinan Bank Dunia merupakan agregasi dari nilai banyak negara sehingga kurang menggambarkan konteks lokalitas masyarakat di satu negara.

    Cara BPS Hitung Garis Kemiskinan Nasional

    Sebagai gambaran, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam menghitung garis kemiskinan nasional. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.

    Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.

    Sementara itu, untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.

    BPS pun mengalkulasi garis kemiskinan sesuai dengan nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditas makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.

    Hasilnya, berdasarkan Susenas September 2024, didapati ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Pada saat yang sama, BPS mencatat rata-rata satu rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 anggota rumah tangga sehingga garis kemiskinan nasional sebesar Rp2.803.590 per rumah tangga.

    Kendati demikian, BPS menggarisbawahi bahwa garis kemiskinan nasional tersebut merupakan hasil perhitungan total semua wilayah Indonesia sehingga kurang cocok digunakan secara spesifik.

    BPS menyatakan garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, yang kemudian di bagi lagi berdasarkan wilayah perkotaan, dan pedesaan. Misalnya, ambang batas garis kemiskinan di Jawa Tengah Rp521.093 per orang per bulan atau Rp2.318.864 per rumah tangga per bulan, sementara di Jakarta senilai Rp846.085 per kapita per bulan.

    Di sisi lain, ambang batas garis kemiskinan di Papua Pegunungan sebesar Rp1.079.160 per kapita per bulan atau Rp3.841.810 per rumah tangga per bulan.

    Dengan demikian, seorang penduduk Papua Pegunungan yang pengeluarannya sebesar Rp900.000 per bulan tetap tergolong miskin meski pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan nasional, tetapi tetap berada di bawah garis kemiskinan provinsi per bulan.

    Hanya saja, banyak pihak yang merasa standar garis kemiskinan nasional itu terlalu rendah. Terlebih, Bank Dunia mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 68,2% pada 2024 atau setara dengan 194,4 juta orang apabila dihitung berdasarkan standar negara berpendapatan menengah atas.

    Persentase tersebut jauh lebih tinggi dari perhitungan kemiskinan versi BPS. Pada September 2024, BPS mencatat penduduk miskin hanya sekitar 8,57% atau setara 24,06 juta orang.

  • Ekonom: Hilangkan Pungli hingga Perluas Pasar Ekspor untuk Hadapi Tarif Trump

    Ekonom: Hilangkan Pungli hingga Perluas Pasar Ekspor untuk Hadapi Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai harus menghilangkan premanisme dan pungutan liar (pungli) untuk mendorong ekspor Indonesia dalam menghadapi tarif resiprokal dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Siasat ini sekaligus untuk menjaga surplus neraca perdagangan Indonesia ke depan.

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan insentif baik berupa fiskal maupun nonfiskal, salah satunya dengan memperbaiki iklim investasi.

    “Misalnya, perbaikan iklim investasi, perbaikan efisiensi pelabuhan, menghilangkan pungli dan premanisme, serta penerapan kebijakan DHE [devisa hasil ekspor] yang lebih transparan,” kata Wijayanto kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Terlebih, Wijayanto menyebut negosiasi tarif resiprokal yang masih berjalan bisa menghambat laju perdagangan Indonesia—AS. Jika menengok data periode 2024, ungkap dia, meski ekspor Indonesia ke AS hanya mewakili 9,9% total ekspor, namun mewakili 45,5% dari total surplus.

    “Jadi, penurunan sedikit saja volume ekspor ke AS akan sangat berpengaruh pada surplus perdagangan kita,” ungkapnya.

    Selain itu, sambung dia, penurunan harga komoditas dunia yang mewakili lebih dari 50% ekspor Indonesia juga mengalami penurunan harga yang membuat nilai ekspor menurun. 

    Di samping perbaikan iklim investasi, Wijayanto menilai pemerintah juga harus memperluas pasar ekspor dengan menjangkau Uni Eropa, di samping AS.

    Wijayanto menuturkan bahwa pemerintah perlu menuntaskan berbagai perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) yang belum rampung, terutama Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA).

    “Sebagai pasar produk Indonesia, EU jauh lebih potensial dari AS,” ungkapnya.

    Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu membuka dialog dengan China untuk membahas defisit perdagangan antara Indonesia—China yang semakin lebar.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, China menempati urutan pertama dengan total defisit dagang nonmigas hingga mencapai US$6,9 miliar selama Januari—April 2025. Adapun, komoditas penyumbang defisit terdalam dari China adalah mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS 84) senilai US$5,72 miliar.

    Menurutnya, relokasi industri manufaktur merupakan salah satu kemungkinan yang potensial untuk membalik defisit perdagangan Indonesia—China.

  • Mister Clean Kementan Bongkar Skandal Proyek Rp 27 Miliar

    Mister Clean Kementan Bongkar Skandal Proyek Rp 27 Miliar

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman kembali menunjukkan ketegasannya sebagai “Mister Clean” Kementerian Pertanian (Kementan). Ia mengungkap skandal besar berupa dugaan permainan proyek senilai Rp 27 miliar yang melibatkan salah satu direktur di Kementan.

    Amran menyebut oknum tersebut telah meminta fee kepada mitra Kementan dengan janji akan memenangkan proyek pengadaan. Uang sebesar Rp 10 miliar sudah sempat diserahkan sebelum akhirnya kasus ini terbongkar.

    “Di Kementerian Pertanian baru saja yang bermain-main meminta fee, katanya bisa menangkan proyek, meminta Rp 27 miliar dan sudah terrealisasi Rp 10 miliar. Kami sudah pecat, dan direktur tersebut kini jadi tersangka,” ungkap Amran, Senin (9/6/2025).

    Tak hanya itu, Amran juga menegaskan oknum tersebut bahkan memalsukan tanda tangan sebagai bagian dari modus operandi.

    Amran dikenal dengan langkah tegasnya sejak menjabat sebagai menteri pertanian pada Kabinet Jokowi pertama. Selama menjabat, ia telah mencopot 844 pegawai karena terlibat penyelewengan atau praktik korupsi.

    “Jangan percaya ada yang mengaku bisa bantu menang proyek di Kementan. Kalau ada yang minta uang, laporkan langsung ke saya. Pasti ditindak dan dipecat,” tegasnya.

    Kasus ini bukan satu-satunya. Amran juga mengungkap permainan proyek lain senilai Rp 2 miliar oleh aparatur sipil negara (ASN) eselon III. Oknum tersebut telah dicopot dan dilaporkan ke aparat penegak hukum.

    Selain di internal kementerian, Amran juga membongkar dugaan praktik mafia pangan di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Ia menyebut ada kejanggalan data distribusi beras yang tak masuk akal selama lima tahun terakhir.

    “Biasanya volume beras masuk-keluar 1.000-3.500 ton per hari, tetapi ada satu hari yang tembus 11.000 ton, tepat saat BPS mau umumkan data,” beber Amran.

    Manipulasi data stok beras juga terdeteksi. Dari laporan yang ada, stok diklaim hanya 30.000 ton, padahal faktanya masih 46.000 ton, dan seharusnya mencapai 50.000 ton.

    Berbagai langkah bersih-bersih ini membuahkan hasil. Penilaian reformasi birokrasi Kementan naik dari 79 menjadi 85, sedangkan hasil survei penilaian integritas (SPI) KPK meningkat dari 66,79 menjadi 74,46. 

    Amran menyatakan komitmennya untuk terus menjaga integritas Kementan, melindungi petani, dan memastikan ketersediaan pangan nasional tanpa campur tangan mafia dan oknum korup.

  • Alarm Perdagangan RI Menyala Akibat Tarif Trump, Ekspor Berpotensi Makin Tertekan

    Alarm Perdagangan RI Menyala Akibat Tarif Trump, Ekspor Berpotensi Makin Tertekan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mewanti-wanti surplus perdagangan Indonesia akan merosot imbas laju ekspor yang turut menurun. Adapun, penurunan ekspor ini dipengaruhi dari negosiasi tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang hingga saat ini masih berlangsung.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia pada Januari—April 2025 mencapai US$87,36 miliar atau naik 6,65% dibanding periode yang sama 2024.

    Namun, nilai ekspor Indonesia hanya mampu mencapai US$20,74 miliar pada April 2025, atau turun 10,77% dibandingkan bulan sebelumnya yang mengantongi US$23,24 miliar.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan surplus perdagangan Indonesia akan menyusut lantaran ekspor yang turun.

    “Jadi memang faktor hasil negosiasi akan sangat berpengaruh juga nanti ke depan, tapi arah besarnya adalah surplus perdagangannya akan menyusut karena penurunan ekspor,” kata Faisal kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Terlebih, Faisal mengungkap bahwa ekspor Indonesia sudah diprediksi tertekan sebelum tarif Trump berlaku pada 8 Juli 2025, lantaran ada faktor ketidakpastian tarif dari AS sebelum masa negosiasi 90 hari berakhir.

    “Nah itu [negosiasi 90 hari] sudah mempengaruhi ekspor kita, sebetulnya sudah menekan ekspor kita, apalagi kalau kemudian nanti kesepakatannya pada 8 Juli tarif kita tetap lebih tinggi,” ungkapnya.

    Bahkan menurutnya, hasil negosiasi pada 8 Juli mendatang tetap akan mempengaruhi penurunan ekspor Indonesia karena adanya kecenderungan tarif resiprokal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tarif dasar.

    Lebih lanjut, Faisal menjelaskan bahwa laju ekspor Indonesia akan mengalami perlambatan ketika ada tekanan imbas adanya hambatan perdagangan yang dipicu oleh tarif Trump. Hal itu lantaran AS merupakan pasar untuk impor terbesar di seluruh dunia.

    Dia menerangkan, ketika pasar impor AS terhambat maka akan berpengaruh ke banyak negara, termasuk Indonesia, meski proporsi ekspor Indonesia ke AS hanya 10% atau lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.

    “Tetapi tetap saja ada pengaruhnya [ke ekspor Indonesia], walaupun tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, Thailand,” terangnya.

    Selain tarif Trump, Faisal menyebut penurunan ekspor pada April 2025 juga dipengaruhi faktor musiman, yakni libur lebaran. Umumnya, libur lebaran akan mempengaruhi penurunan kegiatan ekspor-impor.

    Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebelumnya menyebut negosiasi kebijakan tarif resiprokal Trump yang masih berlangsung turut membuat ekspor perdagangan Indonesia melambat secara bulanan meski surplus pada April 2025.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan negosiasi terkait kebijakan tarif Trump menjadi salah satu penyebab menurunnya ekspor Indonesia pada Maret—April 2025.

    Budi mengatakan beberapa negara turut mengakui banyak eksportir menunggu kebijakan final tarif Trump yang hingga saat ini masih dinegosiasikan.

    “[Faktor] yang kedua, ini banyak terkait kebijakan Trump. Apalagi, kemarin waktu kami ketemu teman-teman Mendag di Kuala Lumpur waktu KTT ASEAN. Kami juga ngobrol ternyata pengaruhnya bagi masing-masing sangat besar bahkan banyak eksportir yang cenderung masih menunggu [keputusan tarif Trump],” kata Budi di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (4/6/2025).

    Budi menjelaskan bahwa keputusan tarif Trump ini juga berdampak pada ekspor ke negara lain. “Jadi tidak hanya sekadar ekspor ke Amerika, tetapi ekspor ke negara lain pun juga saling menunggu,” kata Budi..