Kementrian Lembaga: BPS

  • Produsen Tekstil Bidik Peningkatan Ekspor ke Eropa 60% Jika IEU-CEPA Berlaku

    Produsen Tekstil Bidik Peningkatan Ekspor ke Eropa 60% Jika IEU-CEPA Berlaku

    Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja ekspor produk-produk tekstil diprediksi akan meningkat setelah kesepakatan dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) resmi berlaku. Bahkan, pelaku usaha telah bersiap meningkatkan produksi untuk ekspor hingga 60%. 

    Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap, potensi besar pasar Eropa, meskipun tidak langsung dapat menggantikan pangsa pasar Amerika Serikat yang berpotensi berkurang imbas tarif Trump. 

    Ketua Umum APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan, pihaknya menargetkan dapat mengekspor tekstil hingga 30% dan seiring waktu untuk penyesuaian certificate of origin (COO) dalam 2 tahun bisa naik di atas 50% setelah IEU-CEPA berlaku.

    “Secara keseluruhan bisa naik 60% [ekspor TPT],” kata Redma kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025). 

    Redma menerangkan bahwa aturan COO sangat penting untuk dipertimbangkan khususnya agar tarif ekspor ke Eropa dikenakan 0%. Syaratnya bahan baku yang digunakan pada produk yang diekspor berasal dari Indonesia atau Uni Eropa itu sendiri. 

    Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk hulu tekstil (HS 50-54) ke wilayah Eropa Barat mencapai US$24,6 juta pada 2024 dengan volume 8,17 kg, sementara ke Eropa Utara mencapai US$986,080 dengan volume 365,691 kg.

    Di sisi lain, ekspor produk serupa ke Eropa Selatan mencapai US$24,6 juta dengan volume 8,4 juta kg pada 2024, sedangkan ekspor ke Eropa Timur mencapai US$6,5 juta dengan volume 5 juta kg pada tahun lalu. 

    “Tapi ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah merespon permasalahan terkait integrasi karena aturan COO dan tren industri hijau terkait concern zero carbon emission sesuai Paris Agreement,” jelasnya. 

    Menurut Redma, jika Indonesia mendapatkan tarif 0% ke Eropa, maka produk tekstil Indonesia dapat bersaing dengan China, India, dan Vietnam. 

    “Selain itu industri mid-stream dan upstream juga akan ditarik karena COO yang berlaku adalah dua step process di mana bahan bakunya harus dibuat di dalam negeri,” tambahnya.

    Di sisi lain, dia juga menyoroti isu produk hijau yang menjadi perhatian utama dari segi bahan baku/penolong maupun terkait dengan jejak karbon atau carbon footprint dalam pengolahan yang mencakup energi hijau maupun logistik. 

  • Dicecar DPR Soal 7 Juta Data Keluar dari PBI, Ini Jawab Kepala BPS!

    Dicecar DPR Soal 7 Juta Data Keluar dari PBI, Ini Jawab Kepala BPS!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar mengatakan bahwa DTSEN adalah integrasi data pertama kali sepanjang sejarah Indonesia. Hal tersebut disampaikan saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Selasa (15/7/2025).

    “Adanya integrasi pertama kali Indonesia punya data terintegrasi,” ucapnya.

    Sehingga ia mengatakan bahwa ada proses transisi sehingga akan menjadi pembelajaran ke depan. Ia mengatakan demikian setelah anggota mencecar adanya sekitar 7 juta data yang keluar dari daftar penerima PBI.

    “Bapak ibu kita perhatikan 7 juta itu, 5 juta status NIK tidak aktif. Kami saling melakukan perapihan data kementerian dan lekukan koherensi data kementerian,” katanya.

    “Ini tentunya sepakat dengan dukcapil NIK tidak aktif orang itu tidak ada di DTSEN ini merupakan proses melakukan rekon dan perapihan agar sinkron dan koheren,” sambungnya.

    Ia juga mengatakan dalam proses transisi penyatuan data BPS melakukan berbagai kolaborasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait.

    “Kami kolaborasi dengan Kemendagri sejak awal melakukan integrasi data jadi DTSN. Kolaborasi erat dengan Mensos dan Menteri Bappenas PBI. Kami sepakat duduk bareng Menkes dan Mendagri dan juga Mensos dan BPJS untuk rekon memetakan yang 7 juta,” katanya.

    Sebelumnya Menteri Sosial Gus Ipul mengatakan bahwa ada konsekuensi dari penyatuan data DTSEN yakni adanya sejumlah sekitar 8.261.801 dikeluarkan dari penerima PBI karena berada di luar DTSEN.

    “Mereka yang berada di luar DTSEN sejumlah 5.090.334. mereka yang berada pada desil 6-10 dan tidak pernah mengakses layanan kesehatan sejumlah 2.306.943,” ucapnya saat raker dengan Komisi IX DPR RI pada Selasa (15/7/2025).

    (ras/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kementerian UMKM sebut 65,5 juta UMKM serap 119 juta tenaga kerja

    Kementerian UMKM sebut 65,5 juta UMKM serap 119 juta tenaga kerja

    Pangkalpinang (ANTARA) – Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Republik Indonesia menyebut sebanyak 65,5 juta UMKM telah menyerap 119 juta tenaga kerja di Indonesia, sehingga UMKM menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

    “Keberadaan UMKM ini berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional,” kata Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian UMKM Eiza Damanik saat pembukaan Koperasi Usaha Kecil Menengah Festival (KUKM Fest) 2025 di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Babel, Selasa.

    Ia menyatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM di Indonesia mencapai 65,5 juta unit usaha dan berkontribusi 61,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

    “UMKM ini juga menyerap 119 juta lebih tenaga kerja atau sekitar 97 persen dari total tenaga kerja nasional,” katanya.

    Namun demikian, ia menyatakan tantangan utama UMKM ini masih berkisar pada produktivitas yang rendah, keterbatasan akses pembiayaan, digitalisasi yang belum merata, dan lemahnya jejaring pasar.

    Oleh karena itu, Kementerian UMKM telah merumuskan beberapa solusi prioritas diantaranya akses pembiayaan murah dan inklusif melalui program KUR yang di tahun ini ditargetkan 2,34 juta debitur dan menyalurkan pembiayaan Rp300 triliun untuk UMKM.

    Penguatan SDM dan produktivitas melalui program inkubasi bisnis, pelatihan berbasis kompetensi, standarisasi produk serta pendampingan sertifikasi halal dan izin edar.

    Selain itu untuk peningkatan akses pasar domestik dan ekspor, Kementerian UMKM bersama lintas sektoral mendorong pembentukan klasterisasi pengusaha UMKM di daerah termasuk Bangka Belitung.

    “Semua langkah ini tidak akan berhasil tanpa sinergi yang nyata antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga keuangan perguruan tinggi, asosiasi bisnis hingga komunitas makro,” katanya.

    Pewarta: Aprionis
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menkes Soroti Data Penerima Iuran BPJS Tak Standar: Sekjen Saya Dibayarin Pemda

    Menkes Soroti Data Penerima Iuran BPJS Tak Standar: Sekjen Saya Dibayarin Pemda

    Menkes Soroti Data Penerima Iuran BPJS Tak Standar: Sekjen Saya Dibayarin Pemda
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kesehatan (Mereka)
    Budi Gunadi Sadikin
    menyoroti kategori Peserta Bantuan Iuran (PBI) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)
    BPJS Kesehatan
    yang belum terstandarisasi.
    Ketiadaan standar baku ini menyebabkan sasaran pemberian jaminan kesehatan oleh pemerintah daerah (pemda) berbeda-beda.
    Padahal, standar baku diperlukan agar pemberian bantuan iuran lebih tepat sasaran.
    “PBPU (dari) pemda ini biasanya diberikan oleh pemerintah daerah untuk desil 5 dan 6. Tapi karena berbeda-beda datanya, pemerintah daerah masih berbeda-beda juga memberikannya. Kami sedang diskusi juga ini dimasukkan ke dalam BPS supaya bisa lebih terstandarisasi,” kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
    Budi lantas mencontohkan konsekuensi dari ketiadaan standar penerima bantuan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta misalnya, memilih menerapkan kebijakan universal coverage.
    Lewat kebijakan itu, setiap warga didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan kelas III tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Mereka dibiayai lewat skema PBPU pemda dengan total iuran yang telah ditetapkan per bulan.
    Tak heran, salah satu eselon I di kementeriannya juga mendapat bantuan tersebut.
    “Sekjan saya, Pak Kunta Wibawa (Dasa Nugraha) itu juga dibayarin PBPU-nya karena dia di DKI Jakarta pada saat itu. Bapak ibu pernah dengar kan DKI Jakarta semua dibayarin sama pemda, termasuk Pak Kunta. Dan ada orang lain yang lebih kaya dari beliau juga dibayarin,” ucap Budi.
    Oleh karenanya, pihaknya ingin merapikan data penerima bantuan iuran. Hal ini kata dia, sejalan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan kesatuan data.
    Masyarakat yang dikategorikan miskin dan mendapat bantuan sosial di bidang ekonomi juga mendapatkan bantuan di bidang kesehatan.
    “Jadi kalau bisa miskin di kesehatan, miskin di ekonomi, miskin di subsidi listrik kalau bisa sama (penerimanya),” jelasnya.
    “Jadi itu sebabnya ditugaskan semua data harus ditaruh di BPS, penerima subsidi listrik, penerima PBI, penerima PKH, penerima subsidi BBM, subsidi pupuk, nanti diusahakan sebaiknya orangnya kategorinya sama,” imbuh Budi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ekonom catat konsensus pasar terbelah antara BI-Rate turun atau tetap

    Ekonom catat konsensus pasar terbelah antara BI-Rate turun atau tetap

    Kami melihat BI-Rate dapat diturunkan sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen pada RDG kali ini.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri mencatat saat ini konsensus pasar terbagi antara ekspektasi suku bunga acuan (BI-Rate) tetap 5,50 persen atau turun, jelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), Rabu (16/7) besok.

    Reny mengatakan, Bank Mandiri memperkirakan BI-Rate dipangkas sebesar 25 basis point (bps) pada RDG BI periode Juli 2025.

    “Kami melihat BI-Rate dapat diturunkan sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen pada RDG kali ini,” kata Reny saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

    Untuk menetapkan BI-Rate, BI akan mempertimbangkan sejumlah faktor. Reny menjelaskan, jika bank sentral menilai tekanan eksternal mulai mereda dan fundamental domestik tetap terkendali, maka ruang untuk menurunkan BI-Rate akan terbuka.

    Sejumlah indikator yang menjadi perhatian BI, antara lain perlambatan ekonomi, inflasi yang tetap sesuai target, stabilitas nilai tukar rupiah, kecukupan likuiditas perbankan, stabilitas sistem keuangan, serta ekspektasi pelaku usaha. Faktor-faktor inilah yang dapat mendukung keputusan penurunan BI-Rate.

    Berbeda dengan Bank Mandiri, Bank Syariah Indonesia (BSI) memproyeksikan BI-Rate bertahan pada level 5,50 persen pada bulan ini seiring dengan ketidakpastian global yang masih tinggi serta arus modal asing keluar (capital outflow) yang masih menekan rupiah.

    Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo menilai, momentum yang tepat untuk penurunan BI-Rate yakni pada September mendatang ketika belanja pemerintah mulai mengalir dan mendorong perekonomian.

    “Saat pelaku usaha mulai bergairah lagi menangkap peluang, demand ke depan muncul dari kebutuhan pembiayaan modal kerja,” kata Banjaran.

    Senada dengan Banjaran, Head of Macroeconomic and Financial Market Research PermataBank Faisal Rachman memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuannya.

    Meskipun terdapat ruang untuk penurunan BI-Rate seiring dengan tren apresiasi rupiah belakangan ini, bank sentral diperkirakan lebih berhati-hati menyusul meningkatnya tensi perang dagang, terutama setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan putaran terbaru tarif resiprokal terhadap mitra dagang utama.

    “Langkah tersebut kembali memicu sentimen risk-off di pasar keuangan global, yang berpotensi memberikan tekanan terhadap rupiah dalam jangka pendek,” ujar Faisal.

    PermataBank melihat potensi satu kali lagi penurunan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen, yang kemungkinan akan terjadi pada September 2025.

    Proyeksi ini sejalan dengan meningkatnya kejelasan arah kebijakan perdagangan AS serta potensi tercapainya kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia sebelum tenggat waktu 1 Agustus 2025.

    Selain itu, The Fed juga diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate (FFR) pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan September 2025.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • IHSG menguat ditopang sektor properti dan sentimen regional

    IHSG menguat ditopang sektor properti dan sentimen regional

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    IHSG menguat ditopang sektor properti dan sentimen regional
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 15 Juli 2025 – 18:27 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup menguat pada akhir perdagangan Selasa (15/7), seiring dengan penguatan di sektor properti, hingga sentimen bursa saham Asia.

    IHSG naik 43,32 poin atau 0,61 persen ke posisi 7.140,47. Penguatan juga terjadi pada indeks LQ45 yang menguat 2,16 poin atau 0,28 persen ke level 779,44.

    “Saham-saham sektor properti menguat mengantisipasi potensi penurunan suku bunga,” kata Tim Riset Phintraco Sekuritas di Jakarta, Selasa.

    Sektor properti dinilai menjadi motor penggerak utama.

    IDXPROPERT menguat 1,33 persen ke level 750,34, seiring ekspektasi pasar bahwa Bank Indonesia (BI) akan menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen dalam Rapat Dewan Gubernur pada Rabu besok (16/7). Penurunan suku bunga dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong daya beli masyarakat dan menggairahkan sektor riil, khususnya properti.

    Sektor infrastruktur juga mencatatkan kinerja impresif. IDXINFRA melesat 5,36 persen ke posisi 1.637,18, disusul IDXTRANS yang naik 1,84 persen ke 1.473,34. Sebaliknya, tekanan terjadi di sektor kesehatan dan industri. IDXHEALTH melemah 0,43 persen dan IDXINDUST turun 0,27 persen.

    Dari sisi eksternal, pelaku pasar mencermati data ekonomi China yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 melambat ke 5,2 persen dari 5,4 persen di kuartal sebelumnya.

    Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 5,1 persen. Data produksi industri China juga mencatat kenaikan 6,8 persen secara tahunan, naik dari 5,8 persen pada Mei, yang turut menopang sentimen positif di pasar Asia.

    Sementara itu, pasar global tengah menantikan rilis data inflasi produsen (PPI) Amerika Serikat (AS) untuk Juni yang diperkirakan melambat ke 2,5 persen (yoy).

    Sepanjang perdagangan hari ini, sebanyak 268 saham menguat, 320 saham melemah, dan 214 saham stagnan. Total nilai transaksi tercatat sebesar Rp16,38 triliun dengan volume perdagangan mencapai 23,53 miliar saham dalam 1,75 juta kali transaksi.

    Dari bursa regional, mayoritas indeks Asia ditutup di zona hijau. Indeks Straits Times di Singapura naik 0,31 persen, Hang Seng di Hong Kong menguat 1,60 persen, dan Nikkei 225 di Jepang naik 0,55 persen. Sebaliknya, indeks Shanghai Composite di China melemah 0,42 persen.

    Sementara itu, bursa saham AS turut menguat. Indeks S&P 500 naik 0,14 persen, Dow Jones bertambah 0,20 persen, dan NASDAQ Composite menguat 0,27 persen. Di Eropa, indeks DAX Jerman naik 0,34 persen dan FTSE 100 Inggris tipis menguat 0,02 persen. 

    Sumber : Antara

  • Menkes Buka-bukaan Banyak Orang Kaya Terdaftar Jadi Peserta PBI BPJS Kesehatan

    Menkes Buka-bukaan Banyak Orang Kaya Terdaftar Jadi Peserta PBI BPJS Kesehatan

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti banyaknya peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang tidak sesuai dengan status ekonomi alias salah sasaran terutama di DKI Jakarta. Hal ini kembali disorot menyusul gaduh pemerintah menonaktifkan sekitar 7 juta peserta PBI pasca dilakukan verifikasi data bersama antar lembaga dan kementerian.

    Budi mengaku, nihil rekonsiliasi data antara Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, juga Kementerian Dalam Negeri.

    “Memang karena berbeda-beda juga datanya, pemerintah daerah juga masih berbeda,” beber Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (15/7/2025).

    “Jadi jangan sampai seperti yang sempat ramai kemarin. Sekjen saya juga dibayarin PBPU-nya, di DKI, kan itu data ada semua di DKI, dan orang-orang yang lebih kaya dari Pak Kunta (Sekjen) juga dibayarin,” sorotnya.

    Karenanya, pemerintah ke depan melakukan pemutakhiran untuk satu data dari seluruh kementerian dan lembaga, seluruhnya berada di Badan Pusat Statistik (BPS), untuk menghindari salah sasaran penerima PBI.

    PBI tercatat sebagai jumlah kunjungan layanan terbanyak di fasilitas kesehatan, setelah pekerja bukan penerima upah (PBPU) mandiri. Total hingga Mei 2025 tercatat sebanyak 30 juta kunjungan.

    “Sekali lagi, data PBI di kita nggak pernah tau mana yang benar dan yang nggak, antara datanya Kemensos, Kemenkes, data Dukcapil, itu nggak pernah sama sudah puluhan tahun,” titir dia.

    Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyebut pihaknya bertahap melalukan realokasi peserta PBI. Belakangan mulai teejadi perbaikan proporsi PBI pada angka kemiskinan daerah.

    Ia mencontohkan salah satu redistribusi alokasi PBI yang sudah dilakukan per Juni 2025. Misalnya di Kabupaten Jombang, total penduduk miskin sebanyak 110.570 warga dengan kuota ideal PBI 424 ribu.

    Setelah dilakukan realokasi, jumlah peserta PBI di sana dikurangi sebanyak 6.803 lantaran tercatat ada lebih dari 33 ribu pemberian salah sasaran.

    Meski begitu, bagi masyarakat yang ingin mengakses pelayanan tetapi baru menyadari dinonaktifkan sebagai peserta PBI, bisa melakukan reaktivasi dengan syarat tergolong masyarakat miskin atau rentan miskin.

    Berikut caranya:

    – Masuk dalam daftar peserta PBI JK yang dinonaktifkan pada Mei 2025
    – Mengikuti verifikasi di lapangan dan dinyatakan termasuk kategori miskin dan rentan miskin
    – Memiliki kondisi darurat medis yang mengancam keselamatan jiwa

    Peserta diimbau untuk melapor ke Dinas Sosial dengan membawa surat keterangan membutuhkan layanan kesehatan. Setelah melewati tahap tersebut, Dinas Sosial akan mengusulkan peserta ke Kementerian Sosial, untuk melakukan verifikasi status peserta.

    Jika peserta lolos verifikasi, maka BPJS Kesehatan akan mengaktifkan kembali status JKN peserta tersebut, sehingga peserta yang bersangkutan dapat kembali mengakses layanan kesehatan.

    (naf/kna)

  • Apakah BLT BBM Bisa Dicabut? Ini Ketentuan Terbaru Kemensos

    Apakah BLT BBM Bisa Dicabut? Ini Ketentuan Terbaru Kemensos

    Jakarta – Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM adalah salah satu bantuan sosial (bansos) menjadi angin segar bagi masyarakat luas. Sebab kehadiran bansos ini dapat meringankan beban serta melindungi daya beli masyarakat prasejahtera akibat inflasi.

    Program ini merupakan langkah pemerintah dalam mengalihkan subsidi BBM yang selama ini berbasis pada komoditas menjadi subsidi yang lebih terarah kepada penerima yang tepat. Langkah ini dianggap lebih efektif dalam mendukung masyarakat yang membutuhkan, serta menghindari pembengkakan dana subsidi yang tidak tepat sasaran.

    Apakah BLT BBM Bisa Dicabut?

    Sayangnya, pemberian BLT BBM ini bisa saja dicabut. Sebab prosedur pemberian bansos ini tidak dilakukan dengan sembarangan. Untuk mendapatkan bantuan ini, terdapat beberapa syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan.

    Secara khusus, penerima bansos ini harus masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kemensos yang sekarang juga sudah diverifikasi Badan Pusat Statistik (BPS).

    Sementara data ini terus diperbarui oleh pemerintah, sehingga berpotensi terjadi perubahan para penerima bantuan. Dari yang dulu sempat menerima kemudian BLT BBM-nya dicabut, atau dulu tidak menerima kemudian kini bisa mendapatkan BLT BBM.

    Dalam hal ini, sebelumnya Kemensos bahkan tercatat sudah mencabut sekitar 1,9 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dari daftar penerima bantuan. Mereka-mereka yang namanya terhapus dari daftar penerima bansos inilah yang ke depan tidak dapat lagi menerima bantuan dari pemerintah.

    Secara umum berikut syarat mendapatkan bansos dari Kemensos 2025.
    – Warga Negara Indonesia (WNI)
    – Memiliki Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku
    – Terkategori sebagai masyarakat miskin
    – Tidak menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), Polri, atau Tentara Nasional Indonesia (TNI)
    – Terdaftar dalam DTKS Kemensos

    Skema penyaluran BLT BBM 2025

    Berdasarkan laporan Antara, penyaluran BLT BBM 2025 akan menggunakan sistem teknologi yang lebih canggih. Pemerintah akan memanfaatkan Government Financial Technology (GFT) untuk memastikan bantuan sampai kepada penerima yang tepat. Sistem ini juga dilengkapi dengan fitur barcode untuk memantau penggunaan dana.

    Dalam skema baru ini, setiap penerima bantuan diwajibkan memiliki rekening bank yang aktif. Tujuannya adalah untuk mempermudah proses transfer dana serta mengurangi potensi penyalahgunaan. Selain itu, dana BLT hanya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pokok seperti sembako, sesuai dengan tujuan program.

    Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan melakukan audit secara berkala untuk memastikan penyaluran yang transparan. Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mengurangi kebocoran anggaran dan memastikan dana digunakan sesuai dengan peruntukannya.

    Jadwal pencairan BLT BBM 2025

    Hingga saat ini, jadwal pencairan BLT BBM 2025 belum diumumkan secara resmi. Namun, pemerintah telah memberikan gambaran umum mengenai alur penyaluran bantuan.

    Rencananya pencairan BLT BBM 2025 akan dilaksanakan secara bertahap, dengan tujuan memastikan bantuan disalurkan tepat waktu dan sesuai sasaran. Jadwal pencairan umumnya akan diumumkan oleh pemerintah setelah proses verifikasi data penerima selesai.

    Proses validasi data penerima masih berlangsung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memastikan keakuratan informasi. Masyarakat diminta untuk terus mengikuti pengumuman resmi dari pemerintah melalui situs web Kementerian Sosial dan kanal Youtube Info Bansos karena informasi terkini mengenai tanggal pencairan akan terus diperbarui.

    Sedangkan untuk pencairan dana BLT akan dilakukan melalui bank-bank yang telah ditunjuk, seperti Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank BTN. Bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank, dana bantuan bisa diambil di kantor pos terdekat.

    Tonton juga video “Masalah BPJS-Penerima Bansos Terlibat Judol Dibahas Cak Imin-Prabowo” di sini:

    (igo/fdl)

  • Pemerintah Didorong Naikkan Iuran Jaminan Pensiun Secara Bertahap Demi Keberlanjutan

    Pemerintah Didorong Naikkan Iuran Jaminan Pensiun Secara Bertahap Demi Keberlanjutan

    Jakarta: Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendorong pemerintah untuk menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap guna menjamin keberlanjutan dana pensiun dalam jangka panjang.

    “Jaminan pensiun tidak boleh hanya jadi program administratif. Program ini harus benar-benar menjamin kehidupan di usia tua,” ujar Edy dikutip dari ANTARA.

    Ia menjelaskan bahwa jika iuran tidak disesuaikan dengan kebutuhan manfaat dan perkembangan demografi penduduk lansia, potensi terjadinya defisit tetap terbuka.

    Merujuk pada data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 dari BPS, rasio ketergantungan lansia mencapai 17,76 persen. Artinya, dari setiap 100 orang usia produktif, terdapat sekitar 17–18 orang lansia yang mungkin memerlukan dukungan sosial maupun ekonomi.

    Jumlah penduduk lansia pun menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pada 2024, populasi lansia Indonesia telah mencapai 33,67 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari total populasi, dan diperkirakan akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang.

    Lebih lanjut, Edy menekankan bahwa program JP perlu diselaraskan dengan standar internasional. Salah satunya mengacu pada Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, yang merekomendasikan agar manfaat pensiun paling tidak sebesar 40 persen dari gaji terakhir, bagi pekerja dengan masa iur 30 tahun.

    “Untuk bisa mencapai angka tersebut, pemerintah perlu segera menaikkan koefisien perhitungan manfaat dari yang saat ini berlaku menjadi 1,33 persen. Tanpa itu, manfaat yang diterima akan terus berada di bawah standar kelayakan,” kata dia. 
     

    Di samping nilai manfaat, ia juga menyoroti pentingnya perluasan cakupan kepesertaan. Dari total 145,77 juta penduduk yang bekerja, baru sekitar 15 juta yang tercatat sebagai peserta aktif program JP. Ini menunjukkan sebagian besar pekerja, khususnya di sektor informal dan mikro, belum terproteksi dalam skema pensiun nasional.

    “Ini adalah masalah serius. Artinya, sebagian besar pekerja akan memasuki masa tua tanpa perlindungan ekonomi,” ujar Legislator Dapil Jawa Tengah III ini.

    Edy juga mengingatkan pentingnya perlindungan yang layak bagi ahli waris peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total.

    Ia mengusulkan agar manfaat minimum bagi kondisi tersebut setidaknya setara dengan 1,5 kali garis kemiskinan, sebagai bentuk perlindungan dasar yang manusiawi.

    “Jika kita ingin mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan inklusif, maka manfaat JP harus naik dan pesertanya harus diperluas. Tidak bisa lagi hanya menjangkau kelompok formal,” kata dia.

    Pandangan senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany. Ia menilai bahwa jaminan pensiun untuk seluruh warga negara, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, belum sepenuhnya menjadi prioritas nasional.

    Padahal, menurutnya, UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Selama ini, kata dia, manfaat pensiun berupa pendapatan bulanan hingga akhir hayat umumnya hanya dinikmati oleh ASN.

    Ia menggarisbawahi bahwa seluruh penduduk Indonesia berpotensi mengalami masa tua atau sakit yang menyebabkan kehilangan kemampuan bekerja, dan tanpa perlindungan ekonomi, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. 
     

    “Itu adalah kebutuhan paling mendasar bagi semua orang baik muda maupun tua. Para lansia orang tua, pekerja mandiri, entah itu petani, nelayan, pedagang, ketika tua belum tentu mendapatkan pendapatan yang cukup. Tidak mungkin mengandalkan anak-anak, karena tidak selalu mendapatkan penghasilan yang cukup,” katanya.

    Sayangnya, jumlah peserta Jaminan Pensiun saat ini baru mencapai sekitar 38 juta orang, masih sangat kecil dibandingkan total pekerja informal yang mencapai 130 juta.

    Hasbullah mendorong adanya perbaikan mendasar dalam skema iuran dan pengelolaan dana pensiun. Menurutnya, seluruh pekerja yang memiliki penghasilan seharusnya dapat terdaftar sebagai peserta JP, dengan iuran yang dibagi antara pekerja dan pemberi kerja.

    Ia juga mengkritisi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dicairkan kapan saja, karena justru melemahkan esensi perlindungan jangka panjang.

    “Harusnya diakumulasi saja. Iuran JHT sebesar 5,7 persen antara pekerja dan pemberi kerja, ditambah iuran jaminan pensiun 3 persen. Total 8,7 persen itu seharusnya sudah cukup baik untuk masa pensiun,” kata Hasbullah.

    Menurutnya, banyak pekerja masih memiliki pola pikir jangka pendek. Saat terkena PHK, sebagian besar langsung mencairkan dana JHT untuk konsumsi atau usaha tanpa persiapan matang.

    “Padahal mereka tidak memiliki kompetensi untuk berbisnis. Uangnya habis, dan ketika tua atau sakit, tidak ada tabungan pensiun yang tersisa,” katanya.

    Hasbullah juga menyoroti tertinggalnya Indonesia dalam pengumpulan dana pensiun publik oleh BPJS Ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.

    “Vietnam, yang baru merdeka 30 tahun setelah Indonesia dan jumlah penduduknya hanya setengahnya, dana pensiunnya bisa lebih besar dari kita,” ujarnya.

    Sementara itu, Malaysia dan Singapura bahkan sudah masuk dalam 50 besar dunia dalam hal pengelolaan dana pensiun, meski jumlah penduduknya lebih kecil. Belanda, lanjutnya, bahkan memiliki dana pensiun setara dua kali PDB-nya.

    “Sementara kita baru 8 persen dari PDB,” kata dia.

    Ia mengajak seluruh pihak, baik pemerintah maupun pekerja dari berbagai sektor, untuk memiliki kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan sosial di usia senja.

    “Semua kita akan menjadi lansia, atau bisa saja menderita cacat karena sakit. Maka kita punya hak untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, pakaian, tempat tinggal. Negara harus hadir dan pekerja juga harus punya kesadaran itu,” katanya.

    Jakarta: Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendorong pemerintah untuk menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap guna menjamin keberlanjutan dana pensiun dalam jangka panjang.
     
    “Jaminan pensiun tidak boleh hanya jadi program administratif. Program ini harus benar-benar menjamin kehidupan di usia tua,” ujar Edy dikutip dari ANTARA.
     
    Ia menjelaskan bahwa jika iuran tidak disesuaikan dengan kebutuhan manfaat dan perkembangan demografi penduduk lansia, potensi terjadinya defisit tetap terbuka.

    Merujuk pada data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 dari BPS, rasio ketergantungan lansia mencapai 17,76 persen. Artinya, dari setiap 100 orang usia produktif, terdapat sekitar 17–18 orang lansia yang mungkin memerlukan dukungan sosial maupun ekonomi.
     
    Jumlah penduduk lansia pun menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pada 2024, populasi lansia Indonesia telah mencapai 33,67 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari total populasi, dan diperkirakan akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang.
     
    Lebih lanjut, Edy menekankan bahwa program JP perlu diselaraskan dengan standar internasional. Salah satunya mengacu pada Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, yang merekomendasikan agar manfaat pensiun paling tidak sebesar 40 persen dari gaji terakhir, bagi pekerja dengan masa iur 30 tahun.
     
    “Untuk bisa mencapai angka tersebut, pemerintah perlu segera menaikkan koefisien perhitungan manfaat dari yang saat ini berlaku menjadi 1,33 persen. Tanpa itu, manfaat yang diterima akan terus berada di bawah standar kelayakan,” kata dia. 
     

     
    Di samping nilai manfaat, ia juga menyoroti pentingnya perluasan cakupan kepesertaan. Dari total 145,77 juta penduduk yang bekerja, baru sekitar 15 juta yang tercatat sebagai peserta aktif program JP. Ini menunjukkan sebagian besar pekerja, khususnya di sektor informal dan mikro, belum terproteksi dalam skema pensiun nasional.
     
    “Ini adalah masalah serius. Artinya, sebagian besar pekerja akan memasuki masa tua tanpa perlindungan ekonomi,” ujar Legislator Dapil Jawa Tengah III ini.
     
    Edy juga mengingatkan pentingnya perlindungan yang layak bagi ahli waris peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total.
     
    Ia mengusulkan agar manfaat minimum bagi kondisi tersebut setidaknya setara dengan 1,5 kali garis kemiskinan, sebagai bentuk perlindungan dasar yang manusiawi.
     
    “Jika kita ingin mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan inklusif, maka manfaat JP harus naik dan pesertanya harus diperluas. Tidak bisa lagi hanya menjangkau kelompok formal,” kata dia.
     
    Pandangan senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany. Ia menilai bahwa jaminan pensiun untuk seluruh warga negara, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, belum sepenuhnya menjadi prioritas nasional.
     
    Padahal, menurutnya, UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Selama ini, kata dia, manfaat pensiun berupa pendapatan bulanan hingga akhir hayat umumnya hanya dinikmati oleh ASN.
     
    Ia menggarisbawahi bahwa seluruh penduduk Indonesia berpotensi mengalami masa tua atau sakit yang menyebabkan kehilangan kemampuan bekerja, dan tanpa perlindungan ekonomi, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. 
     

     
    “Itu adalah kebutuhan paling mendasar bagi semua orang baik muda maupun tua. Para lansia orang tua, pekerja mandiri, entah itu petani, nelayan, pedagang, ketika tua belum tentu mendapatkan pendapatan yang cukup. Tidak mungkin mengandalkan anak-anak, karena tidak selalu mendapatkan penghasilan yang cukup,” katanya.
     
    Sayangnya, jumlah peserta Jaminan Pensiun saat ini baru mencapai sekitar 38 juta orang, masih sangat kecil dibandingkan total pekerja informal yang mencapai 130 juta.
     
    Hasbullah mendorong adanya perbaikan mendasar dalam skema iuran dan pengelolaan dana pensiun. Menurutnya, seluruh pekerja yang memiliki penghasilan seharusnya dapat terdaftar sebagai peserta JP, dengan iuran yang dibagi antara pekerja dan pemberi kerja.
     
    Ia juga mengkritisi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dicairkan kapan saja, karena justru melemahkan esensi perlindungan jangka panjang.
     
    “Harusnya diakumulasi saja. Iuran JHT sebesar 5,7 persen antara pekerja dan pemberi kerja, ditambah iuran jaminan pensiun 3 persen. Total 8,7 persen itu seharusnya sudah cukup baik untuk masa pensiun,” kata Hasbullah.
     
    Menurutnya, banyak pekerja masih memiliki pola pikir jangka pendek. Saat terkena PHK, sebagian besar langsung mencairkan dana JHT untuk konsumsi atau usaha tanpa persiapan matang.
     
    “Padahal mereka tidak memiliki kompetensi untuk berbisnis. Uangnya habis, dan ketika tua atau sakit, tidak ada tabungan pensiun yang tersisa,” katanya.
     
    Hasbullah juga menyoroti tertinggalnya Indonesia dalam pengumpulan dana pensiun publik oleh BPJS Ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
     
    “Vietnam, yang baru merdeka 30 tahun setelah Indonesia dan jumlah penduduknya hanya setengahnya, dana pensiunnya bisa lebih besar dari kita,” ujarnya.
     
    Sementara itu, Malaysia dan Singapura bahkan sudah masuk dalam 50 besar dunia dalam hal pengelolaan dana pensiun, meski jumlah penduduknya lebih kecil. Belanda, lanjutnya, bahkan memiliki dana pensiun setara dua kali PDB-nya.
     
    “Sementara kita baru 8 persen dari PDB,” kata dia.
     
    Ia mengajak seluruh pihak, baik pemerintah maupun pekerja dari berbagai sektor, untuk memiliki kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan sosial di usia senja.
     
    “Semua kita akan menjadi lansia, atau bisa saja menderita cacat karena sakit. Maka kita punya hak untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, pakaian, tempat tinggal. Negara harus hadir dan pekerja juga harus punya kesadaran itu,” katanya.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (PRI)

  • Menko PM sebut difabel, lansia, ODGJ akan dapat bansos abadi

    Menko PM sebut difabel, lansia, ODGJ akan dapat bansos abadi

    Sampai hari, ini kita berkesimpulan untuk difabel, manusia lanjut usia—manula, sama ODGJ itu abadi, bansos terus

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Abdul Muhaimin Iskandar menyebut masyarakat dalam kategori difabel, lanjut usia atau lansia, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) akan mendapatkan bantuan sosial (bansos) abadi.

    “Ya, ada term (istilah) periode. Sampai hari, ini kita berkesimpulan untuk difabel, manusia lanjut usia—manula, sama ODGJ itu abadi, bansos terus,” ucap Cak Imin, sapaan akrabnya, saat ditemui di Jakarta, Minggu (13/7) malam.

    Selain dari tiga kategori kelompok masyarakat rentan itu, pemberian bansos akan dibatasi. “Untuk sementara maksimal lima tahun,” tuturnya.

    Di samping itu, Cak Imin menepis akan ada konsep baru terkait bansos untuk kategori masyarakat miskin. “Belum. Masih sesuai standar BPS (Badan Pusat Statistik),” katanya menegaskan.

    Sebelumnya, Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjatmiko mengusulkan bansos hanya diberikan kepada masyarakat miskin yang rentan, seperti golongan lansia, difabel, dan ODGJ.

    Budiman mengungkapkan usulan tersebut dalam rangka menanggapi adanya fenomena penyalahgunaan bansos untuk judi daring atau judol.

    “Bansos baiknya hanya untuk yang lansia, yang mungkin difabel, mungkin yang ODGJ, ya, ‘kan?” kata dia saat ditemui di Jakarta, Jumat (11/7).

    Ia menekankan masyarakat miskin yang secara fisik masih kuat harus diberdayakan agar mereka terbebas dari kemiskinan dengan kekuatan yang mereka miliki.

    Dalam upaya tersebut, pihaknya telah merumuskan Rencana Induk Percepatan Pengentasan Kemiskinan, yang mencakup sembilan pendekatan dalam rangka percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

    Kesembilan pendekatan tersebut, jelas Budiman, di antaranya pada sektor pangan, hunian, perumahan, energi terbarukan, transportasi, pendidikan, kesehatan, industri kreatif, dan industri digital.

    “Karena itulah, Pak Prabowo Subianto membuat BP Taskin agar pengentasan kemiskinan approach-nya tidak sekadar memberikan pelampung,” katanya menegaskan.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Indra Gultom
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.