Kementrian Lembaga: BPS

  • The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga Bulan Ini Meski Sinyal Pemangkasan Menguat

    The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga Bulan Ini Meski Sinyal Pemangkasan Menguat

    Bisnis.com, JAKARTA — Para pejabat Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29-30 Juli 2025 mendatang. 

    Meski demikian, perdebatan yang semakin tajam dalam rapat kebijakan pekan ini dinilai dapat memperkuat ekspektasi pemangkasan suku bunga pada musim gugur mendatang.

    Ketua The Fed Jerome Powell berada di bawah tekanan besar dari Presiden AS Donald Trump dan para pendukungnya untuk segera menurunkan biaya pinjaman. Powell bahkan diperkirakan akan menghadapi penolakan dari sejumlah pejabat bank sentral yang menginginkan dukungan bagi pasar tenaga kerja yang mulai melambat.

    Meski demikian, The Fed secara luas diproyeksikan tidak akan mengubah suku bunga acuannya usai pertemuan dua hari pada 30 Juli 2025, seiring sikap wait-and-see terhadap dampak tarif impor terhadap harga-harga konsumen.

    Ekonom senior Wells Fargo Sarah House menuturkan, walaupun tidak ada perubahan suku bunga, dia menyebut adanya indikasi bahwa pasar sedang berada di titik balik dalam arah kebijakan.

    “Tapi mayoritas anggota komite tampaknya belum sampai di tahap itu — mereka masih berhati-hati terhadap potensi tekanan inflasi akibat tarif,” jelas House dikutip dari Bloomberg, Senin (28/7/2025).

    Pernyataan hasil rapat akan dipublikasikan pada Rabu (30/7/2025) pukul 14.00 waktu Washington, disusul konferensi pers oleh Powell 30 menit kemudian. Pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga kemungkinan besar akan terjadi pada rapat berikutnya, September, dan pelaku pasar akan mencermati setiap pernyataan yang memperkuat ekspektasi tersebut.

    Keputusan suku bunga kali ini juga berada di tengah pekan yang padat dengan rilis data ekonomi penting, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan pada Jumat. Analis memperkirakan angka ketenagakerjaan pada Juli melambat, seiring ketidakpastian kebijakan dagang Trump yang membayangi prospek ekonomi.

    Potensi Dissenting Vote

    Sejumlah analis memprediksi adanya perbedaan pendapat (dissenting voice) dari Gubernur Fed Christopher Waller dan Wakil Ketua Pengawasan Michelle Bowman, dua pejabat yang diangkat oleh Trump dan secara terbuka menyuarakan kekhawatiran bahwa suku bunga saat ini terlalu tinggi di tengah risiko pelemahan pasar kerja.

    Waller sebelumnya telah memberi sinyal kemungkinan perbedaan pendapat awal bulan ini, dengan menyatakan The Fed seharusnya segera bertindak untuk mendukung pasar tenaga kerja yang ada di ujung tanduk. 

    Sementara itu, Bowman pada Juni lalu juga mengatakan dirinya dapat mendukung pemangkasan suku bunga jika tekanan inflasi tetap lemah.

    Jika Waller dan Bowman sama-sama melakukan dissent, maka ini akan menjadi kali pertama dua gubernur Fed tidak sejalan sejak 1993. Waller sendiri disebut-sebut sebagai salah satu kandidat pengganti Powell saat masa jabatannya berakhir pada Mei mendatang.

    Namun beberapa pihak menilai perbedaan suara ini lebih bernuansa politis ketimbang teknis. Michael Feroli, Kepala Ekonom AS di JPMorgan Chase & Co., dalam catatannya menyebut dissent ganda lebih merupakan uji panggung untuk posisi Ketua The Fed dibanding cerminan kondisi ekonomi.

    Ekonom KPMG Diane Swonk juga menilai dissent menjadi hal lazim menjelang perubahan arah kebijakan. 

    “Perbedaan pandangan memang wajar muncul saat The Fed mendekati keputusan untuk memangkas suku bunga, apalagi dengan ketidakpastian tinggi soal dampak tarif,” jelasnya.

    Saat Waller dan Bowman menitikberatkan mandat lapangan kerja, sebagian besar pejabat Fed lainnya masih fokus pada inflasi. Ketidakpastian terkait dampak tarif terhadap harga juga tercermin dari proyeksi yang dirilis Juni lalu, di mana 10 dari 19 pejabat mengusulkan dua kali pemangkasan suku bunga, sementara 7 lainnya tidak mengusulkan pemangkasan sama sekali.

    Laporan inflasi terbaru menunjukkan adanya kenaikan harga pada sejumlah barang yang terdampak tarif, seperti mainan dan peralatan rumah tangga. Namun, inflasi inti naik di bawah ekspektasi untuk bulan kelima berturut-turut pada Juni, mengindikasikan tekanan harga belum menyebar luas.

    John Briggs, Kepala Strategi Suku Bunga AS di Natixis North America mengatakan, pasca lonjakan inflasi akibat Covid-19, beberapa pejabat Fed lebih berhati-hati karena dampak tarif mungkin butuh waktu lebih lama untuk muncul.

    “Masalahnya, The Fed jadi terus menunda pengambilan keputusan karena data yang belum jelas,” katanya

    Natixis memproyeksikan The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada Oktober dan melanjutkan penurunan bertahap sebesar 25 bps hingga Juni 2026.

  • RI Raja Kelapa Dunia, Tapi Dihajar Negara Tetangga

    RI Raja Kelapa Dunia, Tapi Dihajar Negara Tetangga

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia merupakan negara produsen kelapa yang besar. Namun di balik dominasi produksi, performa ekspor kelapa Indonesia justru terus mengalami pasang surut.

    Meski menjadi produsen kelapa terbesar dunia, kontribusi Indonesia dalam pasar kelapa global justru masih tertinggal dari negara-negara dengan produksi lebih kecil.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kelapa Indonesia dalam bentuk utuh dan olahan menunjukkan fluktuasi yang cukup tajam dalam lima tahun terakhir. Pada 2020, total nilai ekspor mencapai US$9,27 juta. Angka ini turun menjadi US$7,10 juta pada 2021, kemudian naik menjadi US$10,77 juta di tahun 2022. Namun dua tahun berikutnya, angka tersebut kembali merosot masing-masing menjadi US$9,38 juta (2023) dan US$7,05 juta (2024).

    Salah satu pasar penting yang menjadi sorotan adalah China. Pada 2020, ekspor kelapa Indonesia ke China hanya senilai US$35 ribu, kemudian tumbuh hampir empat kali lipat menjadi US$140 ribu pada 2021. Puncaknya terjadi pada 2023 ketika nilai ekspor menembus US$958 ribu. Namun, tren itu tidak bertahan. Di 2024, nilainya kembali turun signifikan ke US$683 ribu.

    Fluktuasi ini memperlihatkan belum adanya strategi ekspor yang konsisten dan terstruktur. Tidak hanya dari sisi pasar, tetapi juga dari segi produk, kualitas, dan regulasi yang mengikuti tren permintaan global. Padahal, permintaan dunia terhadap kelapa terus meningkat seiring popularitas gaya hidup sehat, vegan, dan produk alami.

    Foto: Pohon Kelapa. (Dok. Pixabay)
    Pohon Kelapa. (Dok. Pixabay)

    Sementara Indonesia masih mengekspor dalam bentuk kelapa utuh atau copra mentah, negara lain sudah melangkah lebih jauh.

    Filipina misalnya, sukses membangun sistem ekspor berbasis produk jadi seperti virgin coconut oil, santan siap konsumsi, dan coconut flour untuk kebutuhan industri makanan dan kecantikan. Sri Lanka menembus pasar Eropa dengan produk-produk kelapa organik bersertifikat. Brazil bahkan menjelma menjadi pemain utama air kelapa kemasan di pasar Amerika Serikat.

    Indonesia sejatinya memiliki keunggulan geografis dan iklim tropis yang ideal. Provinsi seperti Sulawesi Utara, Riau, Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara memiliki luasan lahan kelapa yang sangat besar. Namun keunggulan produksi ini belum diikuti oleh transformasi hilirisasi yang optimal. Ekosistem industri pengolahan masih minim, begitu juga dengan sertifikasi mutu yang menjadi kunci dalam ekspor bernilai tinggi.

    Filipina melibatkan lebih dari 3,5 juta petani dalam sistem rantai pasok yang terhubung dengan eksportir besar. Di Vietnam, lebih dari 600 perusahaan aktif dalam produksi dan pengolahan kelapa, dengan sepertiga produksinya telah mengantongi sertifikasi organik dari Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada rantai pasok tradisional yang terputus antara petani, koperasi, dan pelaku ekspor.

    Tidak adanya perjanjian dagang bilateral khusus juga menjadi penghambat besar.

    Sebagian besar ekspor Indonesia masuk melalui skema tarif umum. Berbeda dengan Vietnam yang sudah memiliki kesepakatan tarif rendah dengan China, memudahkan produk mereka masuk dengan volume dan margin yang lebih besar. Indonesia masih menghadapi tarif standar, tanpa insentif yang membuatnya lebih kompetitif.

    Di tengah permintaan pasar dunia yang semakin mengarah pada produk berstandar tinggi, Indonesia harus segera menyesuaikan diri. Sertifikasi seperti USDA Organic, Fairtrade, atau ISO22000 bukan lagi opsional jika ingin bersaing di pasar Eropa dan Amerika. Produk kelapa kini bukan sekadar komoditas agrikultur, melainkan bagian dari gaya hidup konsumen urban global.

    Diversifikasi produk juga harus diperluas. Saat ini, permintaan global tidak lagi terbatas pada kelapa utuh atau minyak saja, tetapi juga mencakup air kelapa botolan, coconut flour, krim kelapa organik, sabun kelapa, hingga arang aktif dari tempurung kelapa. Tanpa investasi di sektor pengolahan, Indonesia akan terus tertinggal sebagai eksportir bahan mentah dengan nilai tambah rendah.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cak Imin Ingin 210.000 Orang yang Tak Lagi Miskin Kian Sejahtera

    Cak Imin Ingin 210.000 Orang yang Tak Lagi Miskin Kian Sejahtera

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mengalami penurunan 210.000 orang dibandingkan September 2024.

    Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan, pihaknya terus memperkuat upaya pemberdayaan masyarakat menyusul angka kemiskinan di Indonesia yang menunjukkan penurunan.

    “Sebanyak 210.000 orang yang telah keluar dari belenggu kemiskinan akan kita fokuskan untuk menjadi berdaya dan sejahtera,” kata Menko Muhaimin Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/7/2025).

    Dia mengatakan, Kemenko Pemberdayaan Masyarakat akan mempercepat transformasi masyarakat miskin menjadi sejahtera dan mandiri. Muhaimin Iskandar menjelaskan, upaya pemberdayaan juga akan difokuskan terhadap 2,38 juta orang yang termasuk dalam kemiskinan ekstrem.

    Cak Imin pun menjelaskan, upaya pemberdayaan terus dilakukan dengan mengkoordinasikan kementerian/lembaga sebagaimana amanat Inpres 8/2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

    “Model-model upaya pengentasan kemiskinan terus kami perkuat dan kembangkan dengan mengorkestrasikan kementerian/lembaga terkait agar target kemiskinan ekstrem 0% pada 2026 dapat tercapai,” katanya.

    Berdasarkan Inpres tersebut, model pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan yang dilakukan antara lain dengan optimalisasi dana keumatan melalui kerja sama dengan lembaga filantropi seperti Baznas dan Forum Zakat, serta kerja sama dengan swasta/perusahaan untuk optimalisasi program tanggung jawab sosial (CSR) berdampak.

    Muhaimin Iskandar menambahkan, angka kemiskinan terbaru akan menjadi landasan data bagi Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dalam membuat kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih terpadu, tepat sasaran, dan berkelanjutan.

    Menurutnya, pengambilan kebijakan berbasis data krusial agar upaya pengentasan kemiskinan, utamanya mengurangi kantong kemiskinan dan peningkatan ekonomi masyarakat, berjalan tepat sasaran.

  • Fenomena Rojali di Mal: Pengunjung Ramai, tapi Penjualan Lesu
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Juli 2025

    Fenomena Rojali di Mal: Pengunjung Ramai, tapi Penjualan Lesu Megapolitan 27 Juli 2025

    Fenomena Rojali di Mal: Pengunjung Ramai, tapi Penjualan Lesu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 

    Rombongan Jarang Beli
    atau
    Rojali
    makin sering terlihat di pusat-pusat perbelanjaan Jakarta.
    Pengunjung datang berkelompok, lalu berkeliling toko tanpa membeli. Perilaku ini mulai dirasakan pekerja ritel di mal.
    Salah satu penjaga toko optik di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Arlo (27), mengaku fenomena ini kian masif sepanjang tahun 2025.
    “Lebih masif sekarang sih. Di 2025 ini yang paling banyak,” ujar Arlo saat ditemui Kompas.com di lokasi, Minggu (27/7/2025).
    Menurut Arlo, meski lalu lintas pengunjung masih tinggi, pola belanja mereka telah berubah.
    “Sekarang tuh anak-anak muda ke mal cuma jalan-jalan, kalau enggak makan. Sedangkan beli ke tempat retail, itu jarang banget,” tuturnya.
    Arlo, yang sejak awal memang bekerja di bidang optik, menyebut perubahan konsep toko yang lebih terbuka ikut mendorong tren “lihat-lihat tanpa beli”.
    Bahkan, sebagian pengunjung memanfaatkannya untuk membuat konten media sosial.
    “Kalau dulu orang datang ke optik, pasti beli. Kalau sekarang, coba-coba aja. Bahkan ada yang bikin konten,” ujarnya.
    Ia menambahkan, e-commerce kini menjadi lawan berat toko fisik karena mampu memberikan harga dan diskon yang lebih menarik.
    “Iya, jauh lebih murah. Jadi kita bersaing sama
    e-commerce.
    Diskon mereka juga lebih gede,” kata dia.
    Dampaknya terasa nyata pada penjualan. Arlo menyebut omzet toko turun signifikan dalam dua tahun terakhir.
    “Dari awalnya yang 80 persen, turun jadi 60–50 persen pembeli kira-kira,” ujarnya.
    Sejumlah pengunjung juga mengaku datang ke mal hanya untuk melepas penat, bukan untuk berbelanja.
    Salah satunya, Dinda (21), mahasiswa tingkat akhir, yang rutin mengunjungi mal seusai kuliah atau saat akhir pekan.
    “Aku biasanya makan, itu pasti. Terus lihat-lihat aja,
    refreshing.
    Jadi meskipun cuma lihat-lihat doang, udah
    fun
    banget buat aku,” ujar dia.
    Bagi Dinda, mal kini jadi tempat untuk melihat langsung barang sebelum membeli secara daring.
    “Biasanya aku ke mal dulu buat lihat barangnya langsung, terus baru beli di
    e-commerce.
    Selisih harganya lumayan,” kata dia.
    Strategi ini, menurutnya, menjadi cara efisien untuk tetap terkoneksi dengan tren sekaligus menghemat pengeluaran.
    Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono, menyebut fenomena Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan, tetapi menjadi sinyal sosial penting yang patut dicermati.
    “Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan. Tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial,” kata Ateng dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
    Menurut Ateng, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 menunjukkan bahwa kelompok pengeluaran atas cenderung menahan konsumsi.
    Namun, perubahan itu belum berdampak langsung terhadap angka kemiskinan.
    “Kelompok atas memang agak menahan konsumsinya. Ini kita amati dari Susenas. Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena itu kelompok atas saja,” ujarnya.
    BPS mencatat jumlah penduduk miskin nasional pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari total penduduk. Angka ini menurun 0,2 juta orang dibandingkan September 2024.
    Namun, di kawasan perkotaan, terjadi tren sebaliknya. Persentase penduduk miskin di kota naik 0,07 poin menjadi 6,73 persen, sementara di desa justru turun menjadi 11,03 persen.
    Pada saat yang sama, jumlah setengah penganggur di kota juga meningkat sebanyak 460 ribu orang dari Agustus 2024 ke Februari 2025.
    “Kenaikan harga bahan pokok mempersempit ruang konsumsi rumah tangga bawah dan kelompok rentan. Kalau tidak diantisipasi, mereka bisa turun ke bawah garis kemiskinan,” ujar Ateng.
    Ateng menekankan, fenomena seperti Rojali dapat menjadi alarm sosial bagi pemerintah agar tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan semata, tetapi juga menjaga daya beli masyarakat kelas menengah bawah.

    Rojali adalah
    sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan stabilitas ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah,” ujar Ateng.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mengapa "Rojali" Pilih Nongkrong di Mal meski Tidak Belanja?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Juli 2025

    Mengapa "Rojali" Pilih Nongkrong di Mal meski Tidak Belanja? Megapolitan 27 Juli 2025

    Mengapa “Rojali” Pilih Nongkrong di Mal meski Tidak Belanja?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Fenomena “
    Rojali
    ” alias rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan terus jadi sorotan, termasuk di Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
    Meski sering kali diidentikkan dengan pengunjung yang hanya berjalan-jalan tanpa belanja, banyak dari mereka justru merasa mal adalah ruang nyaman untuk rehat dari penatnya hidup di kota besar.
    Bagi pengunjung seperti Roshi (25) karyawan swasta asal Malang, mal bukan hanya tempat mencari barang, tapi juga zona aman untuk perempuan.
    “Sekarang jadi perempuan itu harus waspada banget kalau di ruang terbuka. Kalau di mal lebih nyaman, lebih aman juga,” kata Roshi saat ditemui
    Kompas.com
    tengah bersantai di lantai 3A Grand Indonesia, Minggu (27/7/2025).
    Senada, temannya Rani (22) menganggap mal sebagai tempat cuci mata sekaligus terapi mental usai kerja seminggu penuh.
    “Lihat barang lucu, lihat orang-orang
    happy,
    kita jadi ikut
    happy
    juga. Kalau cocok, nanti balik lagi,” kata dia.
    Fenomena ini bukan sekadar soal enggan belanja. Banyak pengunjung merasa keberadaan mal mengisi kekosongan ruang publik yang seharusnya dimiliki kota.
    Sebagian besar dari mereka datang bukan karena konsumtif, melainkan karena butuh ruang aman.
    Meski mengapresiasi ruang hijau seperti Hutan Kota GBK, ia menyebut ruang publik terbuka sering kali tidak menjamin kenyamanan, apalagi privasi.
    “Kalau mal itu ada AC, tenang, enggak terlalu terbuka, dan yang penting di mal lebih aman,” ujar Rani.
    Sementara penjaga toko optik di Grand Indonesia, Arlo (27) membenarkan bahwa tren pengunjung hanya melihat tanpa membeli makin masif di 2025.
    “Dulu orang ke optik itu pasti beli. Sekarang banyak yang nyoba-nyoba, bahkan ada yang cuma bikin konten,” ujar dia.
    Arlo bekerja di bidang retail sejak 2017 dan merasakan penurunan penjualan hingga 30 persen dalam dua tahun terakhir.
    “Dulu bisa 80 persen yang datang itu beli. Sekarang tinggal 50-60 persen,” imbuh dia.
    Diketuai Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan, fenomena Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan, namun bisa menjadi gejala sosial akibat tekanan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan.
    “Kelompok atas juga mulai menahan konsumsinya,” ujar dia, Jumat (25/7/2025).
    BPS belum memiliki survei khusus tentang Rojali. Namun, data Susenas Maret 2025 menunjukkan kenaikan angka setengah pengangguran di perkotaan dan peningkatan harga bahan pokok telah mempersempit ruang konsumsi rumah tangga bawah.
    “Rojali bisa jadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan. Jangan cuma fokus ke angka kemiskinan, tapi juga lihat stabilitas ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah,” kata Ateng.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Datang ke Mal Tanpa Belanja, Pengunjung: Harga di E-Commerce Jauh Lebih Murah
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Juli 2025

    Datang ke Mal Tanpa Belanja, Pengunjung: Harga di E-Commerce Jauh Lebih Murah Megapolitan 27 Juli 2025

    Datang ke Mal Tanpa Belanja, Pengunjung: Harga di E-Commerce Jauh Lebih Murah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Fenomena rombongan jarang beli (
    Rojali
    ) dan rombongan hanya nanya (
    Rohana
    ) makin banyak didapati di sejumlah pusat perbelanjaan di Ibu Kota.
    Meskipun mal-mal besar tampak ramai dikunjungi, tidak sedikit pengunjung yang datang hanya untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat barang tanpa melakukan pembelian.
    Salah satu alasan yang kerap diungkapkan para pengunjung adalah harga produk di
    e-commerce
    yang dinilai jauh lebih murah dibandingkan di toko fisik.
    “Aku ke mal dulu buat lihat barangnya langsung. Tapi tetap belinya di
    e-commerce,
    karena harganya jauh lebih murah,” kata Dinda (21), mahasiswa tingkat akhir yang ditemui di Grand Indonesia, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025).
    Menurut Dinda,
    window shopping
    ke mal justru menjadi semacam riset lapangan sebelum membeli barang di platform online.
    Di mal, ia bisa melihat dan menyentuh barang secara langsung untuk memastikan kualitas dan kecocokan.
    “Kalau belanja online kan kadang kita enggak tahu barangnya kayak apa. Tapi kalau sudah lihat fisiknya, bisa lebih yakin, baru deh beli online. Soalnya selisih harganya lumayan jauh,” jelas dia.
    Rani (22) dan Roshi (25), karyawan swasta asal Malang, juga merasakan hal serupa.
    Kalaupun tertarik pada suatu barang, keduanya memilih menunda pembelian sambil melihat kondisi keuangan.
    “Kadang kita catat dulu, siapa tahu pas rezeki udah ada baru kita beli. Jadi semacam
    self-reward
    juga,” tambah dia.
    Di balik banyaknya pengunjung yang hanya melihat-lihat, para pekerja retail justru menghadapi tantangan tersendiri.
    Alro (27), penjaga toko optik di Grand Indonesia, yang sudah delapan tahun bekerja di sektor optik, mengaku tren Rojali dan Rohana semakin meningkat dalam dua tahun terakhir.
    “Dulu orang kalau ke optik, pasti beli. Sekarang banyak yang cuma coba-coba. Bahkan ada yang cuma bikin konten doang,” kata dia.
    Ia menyebut bahwa turunnya daya beli dan ketatnya persaingan harga dengan
    e-commerce
    menjadi penyebab utama.
    “Diskon
    e-commerce
    itu gede banget. Harga lebih murah. Jadinya kita kalah,” ucap dia.
    Sebelumnya Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menilai,
    fenomena Rojali
    dan Rohana belum tentu menandakan kemiskinan.
    Namun ini bisa jadi sinyal tekanan ekonomi, terutama pada kelas menengah bawah.
    “Rojali ini gejala sosial yang layak dicermati. Konsumen menahan belanja. Ini terlihat juga dari kelompok pengeluaran atas yang mulai mengurangi konsumsi,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).
    Data BPS mencatat, jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang.
    Sementara itu, angka kemiskinan kota justru naik menjadi 6,73 persen, seiring meningkatnya setengah pengangguran dan tingginya harga bahan pokok.
    “Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan. Kita perlu menjaga ketahanan konsumsi, bukan hanya menurunkan angka kemiskinan,” kata Ateng.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Modal Asing Rp11,3 Triliun Tinggalkan RI Pekan Ini, Investor Ramai Jual SRBI

    Modal Asing Rp11,3 Triliun Tinggalkan RI Pekan Ini, Investor Ramai Jual SRBI

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia mencatat sebanyak Rp11,3 triliun modal asing keluar dari pasar keuangan Tanah Air pada 21—24 Juli 2025 atau selama pekan ini.

    Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso merincikan bahwa terdapat pembelian neto di pasar surat berharga negara (SBN) dan pasar saham. Hanya saja, lebih banyak penjualan neto di pasar surat berharga BI (SRBI).

    “Berdasarkan data transaksi 21—24 Juli 2025, non residen tercatat jual neto sebesar Rp11,30 triliun, terdiri dari beli neto sebesar Rp0,10 triliun di pasar saham dan Rp2,10 triliun di pasar SBN, serta jual neto sebesar Rp13,50 triliun di SRBI,” jelas Ramdan dalam keterangannya, dikutip Minggu (27/7/2025).

    Adapun jika mengacu pada  data Bank Indonesia, pada 14—17 Juli 2025, investor asing melakukan aksi borong Rp380 miliar pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Hal itu kontras dengan aksi jual yang dilakukan pada instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp8,95 triliun.

    SRBI merupakan instrumen buatan Bank Indonesia menggunakan SBN milik bank sentral sebagai aset dasarnya. Instrumen ini merupakan alternatif aset pendapatan tetap dengan tenor enam, sembilan, dan 12 bulan. Kemudian, aksi jual terjadi pada saham sebesar Rp1,91 triliun. 

    Sementara itu, selama tahun ini atau 1 Januari—24 Juli 2025, masih lebih banyak aliran modal investor asing yang keluar dari pasar keuangan Indonesia atau lebih tepatnya minus Rp59,62 triliun.

    Perinciannya, jual neto sebesar Rp58,92 triliun di pasar saham, jual neto sebesar Rp60,19 triliun di SRBI, dan beli neto Rp59,52 triliun di pasar SBN.

    Sejalan dengan perkembangan tersebut, premi credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun tercatat di angka 70,9 basis poin (bps) per 24 Juli, turun dibandingkan 72,51 bps pada 18 Juli.

    Di sisi lain, tingkat imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun tercatat turun sedikit ke 6,49% pada Jumat (25/7/2025) dari level 6,5% pada Kamis (24/7/2025). Sebagai perbandingan, imbal hasil UST (US Treasury) Note 10 tahun berada di level 4,396% pada Kamis (24/7/2025).

    Sementara itu, nilai tukar rupiah tercatat dibuka melemah ke posisi Rp16.315 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (25/7/2025) dari posisi Rp16.280 per dolar AS pada penutupan Kamis (24/7/2025).

    “Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” tutup Denny.

    Sebelumnya, Divisi Manajemen Aset Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan arus modal masuk ke pasar negara berkembang akan terus bergulir. Adapun, selama bertahun-tahun kelas aset ini menderita aksi jual dari investor global.

    “Arah arus dana mulai berbalik [ke pasar negara berkembang]. Kami percaya pasar negara berkembang sedang menangkap gelombang pertama,” ujar Anupam Damani, Kepala Bersama Div. Utang Pasar Negara Berkembang Goldman Sachs Asset Management, dikutip Bloomberg, Jumat (25/7/2025).

    Dia mengatakan negara berkembang sudah tersisih selama bertahun-tahun karena dominasi risiko berpusat di AS. Dengan perkembangan belakangan ini, diversifikasi kembali menjadi pilihan di dalam portofolio global.

    Berdasarkan data Bloomberg, arus masuk ke aset negara berkembang mulai meningkat sejak awal April 2025 ketika Presiden AS Donald Trump mengguncang pasar lewat pengumuman tarif resiprokal. Hal itu telah memicu peninjauan ulang atas eksposur berlebih terhadap ekonomi terbesar dunia tersebut.

    Data terbaru EPFR Global yang dihimpun Bank of America Corp. menunjukkan para investor mulai secara konsisten menanamkan dana ke dalam reksa dana utang negara berkembang selama 13 pekan berturut-turut. Alhasil, arus masuk bersih ke negara berkembang sejak awal tahun ini telah melampaui $25 miliar.

    Meskipun kekhawatiran akan resesi di AS telah mereda, Goldman Sachs memperkirakan pertumbuhan di pasar negara berkembang diperkirakan akan melampaui negara maju sebesar 2,5% tahun ini — naik dari 2,3% pada 2024.

  • Cara Cek Status Penerima PBI JK Secara Online Lewat HP

    Cara Cek Status Penerima PBI JK Secara Online Lewat HP

    Jakarta

    Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan layanan kesehatan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

    Saat menjadi peserta, masyarakat diwajibkan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan secara rutin. Namun masyarakat yang tidak mampu, mereka dapat menjadi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK).

    Sesuai dalam Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Bansos PBI JK hanya diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu dan fakir miskin. Nantinya, penerima bansos ini akan mendapatkan bantuan berupa layanan BPJS Kesehatan secara cuma-cuma. Untuk iurannya sendiri, semua akan ditanggung oleh pemerintah.

    Perlu diketahui bahwa bantuan ini tidak akan diterima langsung oleh penerima, namun akan dibayarkan pemerintah kepada BPJS Kesehatan. Sehingga masyarakat tinggal menggunakan fasilitas kesehatan secara gratis.

    Cara Cek Status Penerima PBI JK

    Dalam catatan detikcom, terdapat cara mudah untuk mengecek apakah kamu penerima Bansos PBI JK atau tidak. Sebab, kamu bisa mengeceknya secara online lewat HP di situs resmi Kemensos atau menghubungi call center di WhatsApp.

    Untuk lebih jelasnya, simak cara mengecek Bansos PBI JK di bawah ini:

    1. Cara Cek Bansos PBI JK Lewat Website

    – Buka situs cekbansos.kemensos.go.id
    – Masukkan data Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa/Kelurahan sesuai di KTP.
    – Masukkan nama PM (Penerima Manfaat) sesuai KTP
    – Masukkan 4 huruf kode yang tertera di dalam kotak.
    – Apabila huruf tidak muncul atau kurang jelas, klik ikon “refresh” untuk mendapatkan kode yang baru.
    – Selanjutnya, klik tombol “CARI DATA” agar sistem dapat mencari nama sesuai dengan wilayah yang diinput.
    – Tunggu beberapa saat, jika terdaftar dalam Bansos PBI JK maka nama kamu akan muncul.

    2. Cara Cek Bansos PBI JK Lewat WhatsApp

    – Masukkan nomor call center BPJS Kesehatan di 0811-8750-400 ke dalam HP.
    – Jika sudah, buka aplikasi WhatsApp dan chat ke call center BPJS Kesehatan.
    – Setelah dibalas, klik “Informasi” dan pilih kolom “Cek Status Peserta”.
    – Lalu, masukkan nomor NIK di KTP atau nomor BPJS milik kamu secara benar. Contoh: 318901928XXXX.
    – Setelah itu, masukkan tanggal lahir dengan format Tahun/Bulan/Tanggal (YYYYMMDD). Contoh: 198012XX.
    – Tunggu beberapa saat, apabila kamu terdaftar maka akan muncul status penerima Bansos PBI JK.

    Kriteria dan Syarat Penerima PBI JK

    Seperti yang dijelaskan di atas, masyarakat yang menerima Bansos PBI JK adalah mereka yang kurang mampu. Namun, ada sejumlah kriteria lainnya bagi penerima Bansos PBI JK.

    Dilansir situs Kementerian Kesehatan, berikut sejumlah kriteria penerima Bansos PBI JK:

    1. Kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu ditetapkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) setelah berkoordinasi dengan Menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.

    2. Hasil pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik (BPS) diverifikasi dan divalidasi oleh Kemensos untuk dijadikan data terpadu.

    3. Data terpadu yang ditetapkan oleh Kemensos akan dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota dan menjadi dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan.

    4. Kementerian Kesehatan mendaftarkan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan sebagai peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.

    Dalam meningkatkan akurasi data penerima Bansos PBI JK, Kemensos akan memastikan integrasi antara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdaftar di Dukcapil.

    Hal ini untuk menghindari data ganda, penerima yang telah meninggal dunia, atau mungkin sudah tidak lagi termasuk kategori miskin. Dengan begitu program PBI JK dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

    Lalu, ketahui juga sejumlah syarat untuk mendapatkan Bansos PBI JK, yakni sebagai berikut:

    – Terdaftar di DTKS.
    – Memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
    – Mempunyai Kartu Keluarga (KK).
    – Memiliki E-KTP.
    – Mempunyai Kartu Indonesia Sehat (KIS).
    – Nantinya proses pendaftaran akan difasilitasi oleh Kementerian Sosial.

    Cara Daftar Ulang PBI JK

    Karena peserta PBI JK merupakan mereka yang masuk dalam DTKS, maka cara untuk bisa mendapatkan bantuan sosial bidang kesehatan ini adalah dengan terdaftar sebagai penerima manfaat di Kemensos.

    Untuk itu, bagi masyarakat yang merasa berhak mendapat bantuan ini namun tidak terdaftar, segera daftarkan diri di aplikasi cek bansos. Berikut ini adalah cara daftar menjadi peserta bansos yang bisa kamu lakukan menggunakan HP:

    1. Unduh aplikasi “Cek Bansos” di HP
    2. Masuk ke “Daftar usulan”
    3. Klik “Tambah Usulan”
    4. Isi data diri yang ingin diusulkan PKH, kemudian pilih jenis bansos PKH
    5. Setelah langkah-langkah di atas, tunggu proses verifikasi dan validasi

    Jika berdasarkan hasil verifikasi dan validasi yang bersangkutan sudah benar berhak mendapatkan bansos, ke depan penerima akan menerima pencairan bantuan. Kemudian jika ada perubahan data seperti berpindah tempat tinggal atau ada anggota keluarga baru, yang bersangkutan dapat update data DTKS agar haknya tidak dicabut pemerintah.

    (igo/fdl)

  • Penduduk Miskin DIY Masih 425.000, Rokok dan Beras Jadi Penyumbang

    Penduduk Miskin DIY Masih 425.000, Rokok dan Beras Jadi Penyumbang

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 425.820 jiwa. Angka ini menurun tipis sebesar 0,17 poin dibandingkan data September 2024 yang tercatat 430.470 orang.

    Meski ada penurunan, angka kemiskinan DIY masih dipengaruhi sejumlah komoditas utama, baik dari sektor makanan maupun nonmakanan. Di wilayah perkotaan, lima komoditas makanan penyumbang tertinggi, yaitu beras 20,15%, rokok kretek filter 7,91%, daging ayam ras 5,26%, telur ayam ras 5,05%, dan kue basah 3,19%.

    Untuk kelompok nonmakanan di kota, kontribusi terbesar berasal dari perumahan 10,09%, bensin 3,67%, pendidikan 2,22%, listrik 1,92%, dan perlengkapan mandi 1,32%.

    Sementara itu, di perdesaan, pola penyumbang kemiskinan serupa, tetapi dengan beberapa pergeseran urutan. Komoditas makanan tertinggi, yaitu beras 23,25%, daging ayam ras 4,64%, telur ayam ras 4,46%, rokok kretek filter 4,32%, dan roti 2,77%.

    Dari sisi nonmakanan di perdesaan, lima penyumbang utama kemiskinan yaitu perumahan 9,17%, bensin 4,12%, listrik 1,25%, pendidikan 1,22%, dan perlengkapan mandi 1,16%.

    “Secara umum, urutan penyumbang kemiskinan hampir sama, hanya berbeda pada beberapa peringkat,” jelas Statistisi Utama BPS DIY Sentot Bangun Widoyono kepada Beritasatu.com, Jumat (25/7/2025).

    Penurunan angka kemiskinan ini menunjukkan tren perbaikan, tetapi juga mengungkap fakta penting. Fakta tersebut, yaitu konsumsi dasar, seperti beras, rokok, dan kebutuhan rumah tangga masih membebani pengeluaran kelompok miskin, baik di kota maupun desa.

  • Pengeluaran di Bawah Rp 20 Ribu Sehari Tak Layak Jadi Patokan Miskin

    Pengeluaran di Bawah Rp 20 Ribu Sehari Tak Layak Jadi Patokan Miskin

    Jakarta

    Angka kemiskinan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami penurunan. Tercatat, angka penduduk miskin di Tanah Air ada sebanyak 23,85 juta orang. Angka ini mengalami penurunan 0,2 juta orang dibandingkan dengan September 2024.

    Dari sisi persentasenya, jumlah penduduk miskin terhadap total populasi atau total penduduk pada Maret 2025 mencapai 8,47%. Jika dibandingkan dengan September 2024 turun sebesar 0,1%.

    Untuk diketahui, penduduk miskin adalah saat pengeluarannya di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan pada Maret 2025 berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, atau sebesar Rp 20.305 per hari.

    Menanggapi hal ini, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan standar garis kemiskinan dinilai terlalu rendah. Hal ini berdampak pada angka kemiskinan yang mengalami penurunan.

    “Standarnya ini yang saya rasa terlalu rendah, Rp 20 ribu ya, terlalu rendah. Sehingga angka kemiskinannya turun. Karena itu kan nilai nominalnya, harusnya dihitung nilai realnya. Nilai real-nya untuk membeli itu harusnya lebih besar,” ujarnya kepada detikcom, Sabtu (26/7/2025).

    Selain itu, Tauhid bilang, parameter kemiskinan di Indonesia dinilai lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurutnya, pengukuran kemiskinan sudah bisa mengadopsi dari Bank Dunia ataupun lembaga lain yang relevan.

    “Kalau pengukurannya ya menurut saya ya standarnya harusnya sudah bisa diadopsi sebagian yang dari Bank Dunia, ataupun dari lembaga lain lah. Kalau BPS ‘kan masih menggunakan metode yang lama, sehingga pasti akan turun gitu,” tambahnya.

    Tauhid menilai ada pola konsumsi yang berubah yang secara rata-rata terjadi tiap 10 tahun. Kebutuhan makan memang dominan, namun ada kebutuhan lain di luar makanan yang juga perlu disertakan dalam penetapan garis kemiskinan.

    “Sekarang orang miskin itu non-makanannya juga cukup tinggi. Sederhananya, orang miskin sekarang rata-rata punya motor juga. Sekarang orang punya motor, mungkin menggunakan metode BPS, mungkin tidak dianggap orang miskin. Tapi sekarang rata-rata tiap keluarga walaupun orang miskin, tetap ada motor,” bebernya.

    “Misalnya kebutuhan untuk kendaraan, kebutuhan untuk pulsa dan sebagainya. Itu alat penghitungan yang nanti ujung-ujungnya adalah standar Rp 20 ribu itu jadi tidak layak. Ada non-makanannya yang harusnya sudah bisa diubah. Nah, ini yang tidak berubah sejak 1998,” tutupnya.

    (fdl/fdl)