Kementrian Lembaga: BPS

  • Rupiah menguat seiring data NFP AS jauh di bawah ekspektasi pasar

    Rupiah menguat seiring data NFP AS jauh di bawah ekspektasi pasar

    Jakarta (ANTARA) – Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong memperkirakan nilai tukar (kurs) rupiah menguat seiring data pekerjaan Nonfarm Payrolls (NFP) Amerika Serikat (AS) sangat melemah.

    “Rupiah diperkirakan akan menguat terhadap dolar AS yang melemah cukup tajam setelah data pekerjaan AS NFP yang sangat lemah memicu peningkatan pada prospek pemangkasan suku bunga oleh The Fed (Federal Reserve),” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

    Mengutip Anadolu, NFP AS tercatat mencapai 73 ribu lapangan kerja pada bulan Juli 2025, jauh di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 106 ribu.

    Adapun penambahan lapangan kerja untuk bulan Juni direvisi turun sebesar 133 ribu dari 147 ribu.

    Untuk tingkat pengangguran, naik tipis menjadi 4,2 persen pada bulan Juli dari 4,1 persen pada Juni, sesuai perkiraan.

    Jumlah pengangguran sedikit berubah di angka 7,2 juta pada bulan Juli, sementara tingkat partisipasi angkatan kerja berada di angka 62,2 persen.

    Sementara itu, rasio lapangan kerja terhadap populasi stabil di angka 59,6 persen pada bulan Juli, dan jumlah orang yang bukan angkatan kerja tetapi saat ini menginginkan pekerjaan sedikit berubah yaitu 6,2 juta.

    Terkait rata-rata pendapatan per jam untuk semua karyawan non-pertanian, naik 0,3 persen menjadi 36,44 per dolar AS pada bulan Juli dibandingkan dengan Juni, sementara secara tahunan naik 3,9 persen.

    Menurut Lukman, data NFP AS yang melemahkan kurs dolar AS mendorong harapan pemangkasan suku bunga Fed sebanyak dua kali pada tahun ini sebesar 100 persen dengan total 50 basis points (bps). Ekspektasi tiga kali pemangkasan suku bunga dengan total 75 bps juga meningkat dari 46,4 persen menjadi 48,1 persen.

    Potensi pemotongan tersebut diperkirakan terjadi pada September, Oktober, dan Desember.

    “Pelemahan besar pada data tenaga kerja ini besar kemungkinan karena kekhawatiran investor akan tarif Trump yang akan berdampak sangat negatif pada perekonomian AS,” ungkap Lukman.

    Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin pagi di Jakarta menguat sebesar 104 poin atau 0,63 persen menjadi Rp16.409 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.513 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemprov DKI sebut alasan munculnya fenomena “childfree”

    Pemprov DKI sebut alasan munculnya fenomena “childfree”

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berpendapat fenomena childfree atau keputusan pasangan tidak memiliki anak terjadi sebagai bagian dari dinamika sosial yang muncul seiring dengan perubahan pola pikir masyarakat terhadap hak-hak individu.

    Kepala Dinas Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP), Iin Mutmainnah saat dihubungi di Jakarta, Senin menyebutkan hak-hak individu ini termasuk hak atas kesehatan reproduksi dan perencanaan hidup.

    Iin mengatakan pilihan childfree umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pertimbangan karir, kondisi ekonomi, kesehatan mental, lingkungan sosial, serta pandangan terhadap peran keluarga dan pola pengasuhan. Namun, belum ada survei yang dilakukan Pemprov DKI terkait fenomena ini di Jakarta.

    Dinas PPAPP DKI memandang childfree di Jakarta sebagai fenomena baru yang perlu menjadi perhatian karena dapat mempengaruhi struktur demografi nasional.

    “Dinas PPAPP DKI menekankan keputusan untuk tidak memiliki anak perlu dikaji lebih dalam, terutama terkait faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhinya,” kata Iin.

    Iin mendorong setiap pasangan menikah untuk merencanakan membangun keluarga sebaik mungkin dan mendorong agar semua keputusan diambil secara sadar, berdasarkan informasi yang benar, dan dengan tanggung jawab sosial.

    Dia juga menekankan pentingnya pembangunan keluarga yang berkualitas karena keluarga tetap menjadi unit dasar pembangunan manusia dan masyarakat.

    “Setiap pasangan harus memahami dengan baik terkait hak dan kesehatan reproduksi,” kata dia.

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melalui data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2022 menunjukkan, sebanyak 71 ribu perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun (usia subur) yang sudah pernah menikah namun belum pernah melahirkan, tak ingin memiliki anak.

    Perempuan yang menjalani hidup secara childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi.

    BPS mencatat, dalam jangka pendek, perempuan childfree dapat dikatakan meringankan beban anggaran pemerintah karena subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak menjadi berkurang.

    Namun, dalam jangka panjang, kesejahteraan perempuan childfree usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mau Tahu Trik Atur Keuangan Biar Nggak Boncos? Yuk Daftar LPS Financial Festival

    Mau Tahu Trik Atur Keuangan Biar Nggak Boncos? Yuk Daftar LPS Financial Festival

    Jakarta

    Peningkatan literasi keuangan menjadi salah satu langkah penting untuk memperkuat sektor keuangan di Indonesia. Tujuannya adalah agar masyarakat lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan finansial di masa depan.

    Literasi keuangan juga berperan besar dalam menghindarkan masyarakat dari berbagai praktik kecurangan atau penipuan di bidang finansial.

    Sebagaimana diketahui, hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 memperlihatkan adanya kenaikan indeks literasi keuangan mencapai 66,46% dan indeks inklusi keuangan 80,51%.

    Hasil SNLIK 2025 yang diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) ini lebih tinggi dibandingkan SNLIK 2024 yang mana indeks literasi keuangan ada di level 65,43% dan indeks inklusi keuangan 75,02%.

    Melihat hal itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun hadir menjadi salah satu tulang punggung dalam peningkatan literasi keuangan masyarakat Indonesia melalui berbagai inovasi dan inisiatifnya.

    Upaya ini sejalan dengan visi LPS untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki indeks literasi keuangan yang tinggi (well literate). Dengan begitu, masyarakat dapat memanfaatkan produk dan/atau layanan jasa keuangan secara bijak dan optimal.

    Seiring meningkatkan indeks literasi keuangan, LPS akan menggelar Financial Festival pada 6-7 Agustus di Dyandra Convention Center Surabaya, Jl. Basuki Rahmat No.93-105, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur. Acara ini menghadirkan beragam kegiatan mulai dari diskusi inspiratif, kelas bisnis, hingga hiburan.

    LPS Financial Festival hari pertama akan menghadirkan diskusi dengan Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa, Pendiri CT Corp Chairul Tanjung, dan Ketua Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun. Hadir juga Raffi Ahmad yang akan membagikan kisah inspiratif.

    Kemudian pada sesi kedua akan hadir narasumber Anggota Dewan Komisioner LPS Didik Madiyono, Mantan Menteri Pendidikan Kebudayaan Prof. Dr. Mohammad Nuh, dan Cak Lontong. Untuk kelas bisnis LPS Financial Festival hari pertama akan diisi oleh influencer Ellen May.

    Sementara pada hari kedua, menghadirkan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dadak, Anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto, dan Presiden Direktur PT HM Sampoerna Ivan Cahyadi. Hadir juga Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang akan menyampaikan keynote speech.

    Untuk kelas bisnis LPS Financial Festival hari pertama akan diisi oleh influencer Cinta Laura. LPS Financial Festival di Surabaya turut dimeriahkan oleh Wali, Coldiac, Nassar, dan RAN.

    Melalui acara ini, para peserta diharapkan mendapatkan ilmu dari berbagai tokoh-tokoh penting di industri keuangan mulai dari LPS hingga praktisi keuangan.

    Jadi, jangan sampai ketinggalan untuk menghadiri LPS Financial Festival di Surabaya dan Medan. Yuk tunggu apalagi? Daftarkan diri segera, klik di sini.

    Selain itu ada pula kompetisi video Financial Literacy Competition, dengan tema lomba Jangan Tunggu Nanti, Rencanakan Keuanganmu Sekarang! Berminat ikutu lomba? Langsung daftar, klik di sini.

    Pantau terus cnbcindonesia.com dan CNBC Indonesia TV untuk update informasi seputar ekonomi dan bisnis.

    (hns/hns)

  • Begini Jurus BI Hadapi Fenomena Rojali-Rohana di Mal

    Begini Jurus BI Hadapi Fenomena Rojali-Rohana di Mal

    Jakarta

    Bank Indonesia (BI) menyoroti fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana) yang banyak ditemui di pusat perbelanjaan atau mal. BI menilai bahwa fenomena ini menjadi sinyal bahwa masyarakat yang sedang menyesuaikan pola konsumsi dengan kondisi terkini.

    Melihat hal ini, BI berusaha menjaga roda ekonomi tetap bergerak, dengan menurunkan BI Rate atau suku bunga acuan. Sepanjang semester I-2025, BI telah menurunkan suku bunga acuan tiga kali.

    Pertama pada Januari turun 25 bps menjadi 5,75%, pada Mei turun 25 bps menjadi 5,5%, dan terakhir pada Juni turun 25 bps menjadi 5,25% Tujuannya, untuk mendorong perbankan agar bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih terjangkau.

    “Sehingga konsumsi dan investasi tetap tumbuh di tengah tantangan. Didukung sinergi berbagai pihak, kebijakan ini diharapkan dapat membuka ruang lebih banyak bagi peluang usaha, akses pembiayaan, dan perputaran ekonomi berkelanjutan,” tulis BI dikutip dari akun Instagram resmi, Minggu (3/8/2025).

    BI menjelaskan, ketika suku bunga acuan turun, bank bisa mendapatkan atau menghimpun dana dengan biaya yang lebih rendah atau biasa disebut penurunan biaya dana (cost of fund). Hal ini juga memberikan ruang untuk menawarkan kredit dengan bunga yang lebih kompetitif kepada masyarakat dan dunia usaha.

    Dengan begitu, diharapkan akan mendorong masyarakat untuk lebih leluasa dalam melakukan konsumsi dan investasi, seperti membeli aset dan juga ekspansi usaha lewat pembiayaan permodalan.

    “Untuk mendapatkan hasil optimal dari kebijakan ini tentunya dibutuhkan sinergi dari berbagai mitra strategis. Sinergi dengan pemerintah, pelaku usaha, perbankan, dan masyarakat agar dampak kebijakan bisa dirasakan nyata,” katanya.

    (kil/kil)

  • BI Sebut Fenomena Rojal Jadi Sinyal Masyarakat Lagi Sesuaikan Pola Konsumsi

    BI Sebut Fenomena Rojal Jadi Sinyal Masyarakat Lagi Sesuaikan Pola Konsumsi

    Jakarta

    Belakangan ini fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana) banyak ditemui di pusat perbelanjaan atau mal. Umumnya mereka hanya sekedar melihat-lihat barang yang dijual di pusat perbelanjaan tersebut.

    Bank Indonesia (BI) menilai bahwa fenomena ini menjadi sinyal bahwa masyarakat yang sedang menyesuaikan pola konsumsi dengan kondisi terkini.

    Melihat hal ini, BI berusaha menjaga roda ekonomi tetap bergerak, dengan menurunkan BI Rate atau suku bunga acuan. Adapun sepanjang Semester I 2025, BI telah menurun suku bunga acuan hingga tiga kali. Pertama pada Januari 2025 yang turun 25 bps menjadi 5,75%, kemudian pada Mei 2025 turun 25 bps menjadi 5,5%, dan terakhir pada Juni 2025 yang turun 25 bps menjadi 5,25%

    Tujuanya, untuk mendorong perbankan agar bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih terjangkau.

    “Sehingga konsumsi dan investasi tetap tumbuh di tengah tantangan. Didukung sinergi berbagai pihak, kebijakan ini diharapkan dapat membuka ruang lebih banyak bagi peluang usaha, akses pembiayaan, dan perputaran ekonomi berkelanjutan,” katanya dikutip dari akun Instagram resminya, Minggu (3/8/2025).

    BI menjelaskan, ketika suku bunga acuan turun, bank bisa mendapatkan atau menghimpun dana dengan biaya yang lebih rendah atau biasa disebut penurunan biaya dana (cost of fund). Hal ini juga memberikan ruang untuk menawarkan kredit dengan bunga yang lebih kompetitif kepada masyarakat dan dunia usaha.

    Dengan begitu, diharapkan akan mendorong masyarakat untuk lebih leluasa dalam melakukan konsumsi dan investasi, seperti membeli aset dan juga ekspansi usaha lewat pembiayaan permodalan.

    “Untuk mendapatkan hasil optimal dari kebijakan ini tentunya dibutuhkan sinergi dari berbagai mitra strategis. Sinergi dengan pemerintah, pelaku usaha, perbankan, dan masyarakat agar dampak kebijakan bisa dirasakan nyata,” katanya.

    (kil/kil)

  • Daftar Barang Impor Asal Israel yang Masuk Indonesia Sepanjang 2024

    Daftar Barang Impor Asal Israel yang Masuk Indonesia Sepanjang 2024

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia dengan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik hingga saat ini, meskipun perdagangan antar kedua negara tetap berjalan oleh pihak ketiga.

    Total nilai impor Indonesia terhadap sejumlah barang yang berasal dari Israel pada 2024 silam tercatat US$ 54,2 juta atau setara 0,000023% dari total nilai ekspor Indonesia pada 2024 yang sebesar US$ 233,66 miliar.

    “Tentunya Israel bukan menjadi mitra dagang utama karenanya nilai impornya sangat kecil,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti saat masih menjabat sebagai Plt pada Januari 2025 silam, seperti dikutip kembali, Minggu (3/8/2025).

    Total nilai impor dari Israel sepanjang tahun lalu itu disumbang oleh lima komoditas, pertama ialah barang berupa mesin dan peralatan mekanis beserta bagiannya atau HS84 dengan nilai US$ 33,9 juta.

    Urutan kedua berupa mesin dan perlengkapan elektrik beserta bagiannya atau tergolong HS85 dengan nilai hanya sebesar US$ 8 juta.

    Sementara itu, untuk urutan ketiga ialah perkakas dan peralatan dari peralatan logam tidak mulia atau HS82 yang hanya senilai US$ 4,1 juta.

    Adapun untuk urutan keempat dan kelima tidak didetailkan oleh BPS karena menganggap nilai impornya teramat kecil.

    “Berikutnya juga ada optik, fotografi, sinematografi dan produk farmasi yang nilainya kecil-kecil,” tutur Amalia.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Inflasi Inti Tumbuh Lambat, Inflasi Umum Melesat: Sinyal Daya Beli Belum Pulih

    Inflasi Inti Tumbuh Lambat, Inflasi Umum Melesat: Sinyal Daya Beli Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren melambatnya inflasi komponen inti secara tahunan sejak Mei 2025 di tengah inflasi umum yang justru melesat, menjadi sinyal dan bukti bahwa daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih. 

    Sekalipun pemerintah klaim bahwa daya beli mulai membaik, tetapi data berkata lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year on year (YoY). Angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%, bahkan dari April yang mencapai 2,50%. 

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pelemahan inflasi inti secara tahunan dalam tiga bulan terakhir menunjukkan indikasi mulai melemahnya tekanan permintaan domestik struktural. 

    Padahal di awal tahun, inflasi inti sempat tinggi karena dorongan konsumsi pascaLebaran, kenaikan harga jasa, serta ekspektasi pasar terhadap insentif fiskal dan kebijakan upah. 

    “Namun ketika inflasi inti justru turun di saat yang sama inflasi umum merangkak naik, ini menandakan bahwa tekanan harga yang terjadi bukan bersumber dari penguatan permintaan, tapi dari sisi suplai yang menegang terutama pangan dan energi,” ujarnya, Minggu (3/8/2025). 

    Menurutnya, kondisi ini mencerminkan terjadinya divergensi daya beli masyarakat bawah tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara kelompok menengah ke atas justru cenderung menahan konsumsi barang dan jasa non-esensial. Artinya, konsumsi masyarakat berjalan, tapi tidak mengarah pada perbaikan kualitas permintaan. 

    Rizal mengkhawatirkan apabila tren ini berlanjut, maka dalam jangka pendek kita justru menghadapi risiko dual pressure alias tekanan ganda. Di mana harga pangan tetap tinggi, tetapi daya dorong konsumsi domestik mulai melemah.

    Pasalnya, BPS menunjukkan bahwa inflasi secara umum yang sebesar 2,37%, naik dari 1,87% pada bulan sebelumnya, lebih diakibatkan meningkatnya harga pangan, bukan pulihnya daya beli yang tercermin dalam komponen inti. 

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menuturkan bahwa secara keseluruhan, tren pelemahan inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik masih berada di bawah potensinya.

    “[Ini] mencerminkan moderasi pada daya beli masyarakat serta pelemahan aktivitas konsumsi rumah tangga secara umum, yang dapat disebabkan oleh perlambatan ekonomi domestik atau sentimen konsumen yang menurun,” jelasnya. 

    Menurutnya, kondisi ini menciptakan dinamika yang menarik, sementara inflasi umum naik karena faktor jangka pendek yang cenderung bergejolak dan bersifat sementara, inflasi inti justru turun karena melambatnya permintaan yang lebih struktural.

    Kebijakan Moneter jadi Kompleks 

    Baik Rizal maupun Josua sepakat bahwa situasi ini menjadi sinyal kompleks bagi kebijakan moneter. Di satu sisi, inflasi umum yang naik menahan ruang pelonggaran suku bunga. Namun, di sisi lain, inflasi inti yang turun bisa terbaca sebagai tanda bahwa fundamental permintaan belum sepenuhnya pulih. 

    Maklum, tugas Bank Indonesia selain menjaga stabilitas rupiah, ikut serta dalam menjaga inflasi sesuai dalam sasaran 1,5%—3,5%.

    Rizal dari Indef melihat skenario “suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama” (higher for longer) berpeluang dipertahankan, sambil menanti kestabilan harga dari sisi pasokan khususnya pangan dan energi sebelum otoritas mengambil langkah akomodatif.

    Sementara Josua menyampaikan bahwa situasi ini menandakan ruang pelonggaran kebijakan moneter masih terbuka, terutama jika tekanan harga yang berasal dari komponen volatile dapat dikendalikan secara efektif. 

    Oleh karena itu, kebijakan makroekonomi harus fokus pada peningkatan konsumsi domestik melalui stimulus fiskal maupun pelonggaran moneter secara selektif. 

    “Sekaligus memastikan bahwa tekanan harga dari sisi suplai, terutama bahan pangan, tetap terkendali guna menghindari tekanan inflasi umum yang berlebihan,” tuturnya. 

  • Ekonom Pertanyakan Keabsahan Data Pengangguran yang Dirilis Pemerintah

    Ekonom Pertanyakan Keabsahan Data Pengangguran yang Dirilis Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini mengingatkan pemerintah untuk menyajikan data yang lebih detail terkait jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

    Menurutnya, hal ini penting guna mengetahui realitas sesungguhnya di lapangan, khususnya terkait nasib para pekerja yang terkena PHK tersebut.

    Dia mencontohkan data BPS yang menyebut jumlah pengangguran di Indonesia mengalami penambahan sebanyak 83.000 orang pada Februari 2025, sehingga totalnya mencapai 7,28 juta orang.

    Namun, tambahan jumlah pengangguran itu belum jelas berasal dari mana. Saparini pun mempertanyakan apakah lonjakan pengangguran itu berasal dari karyawan terkena PHK.

    Dia berpendapat pertanyaan itu belum bisa terjawab oleh data BPS. Sebab, bisa saja jumlah karyawan terkena PHK itu malah sudah mendapat pemasukan baru dari berwirausaha, sehingga spending atau pengeluaran mereka tetap kuat.

    “Ini yang belum bisa kita jawab. Kalau mereka PHK, gak apa-apa PHK nya karena mereka beralih ke industri digital dan spendingnya masih tetap. Aman kita. Tapi konsumsi rumah tangganya [malah] turun tadi,” ucap Saparini dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

    Berdasarkan data BPS, angka konsumsi rumah tangga pada kuartal I/2025 hanya tumbuh 4,89% yoy. Angka itu lebih rendah dibanding pertumbuhan pada kuartal IV/2024 yang sebesar 4,89% yoy.

    Lebih lanjut, Saparini mengingatkan kemudahan akses data bisa menjadi kunci untuk membuat rekomendasi kebijakan ekonomi pemerintah.

    Dia mengatakan, data yang jelas dan akurat dapat menggambarkan fenomena atau keadaan ekonomi sesungguhnya. Oleh karena itu, dari data yang akurat, para pemangku kepentingan bisa memberikan kajian dan rekomendasi kebijakan.

    Menurutnya, BPS harus mampu menyediakan data yang detail dan dapat diakses oleh publik. Saparini mencontohkan, saat ini sudah terjadi shifting atau peralihan pengeluaran masyarakat miskin.

    Dia mengatakan peralihan itu misalnya, bisa dilihat dari konsumsi listrik masyarakat. Menurut Saparini, masyarakat miskin tak hanya bisa diukur dari konsumsi listrik yang sebesar 450 VA.

    “Sebenarnya, sekarang ini berapa banyak rumah tangga yang dulu 450 VA itu cukup? Sekarang orang miskin 450 juga tak cukup,” katanya.

    Tak hanya dari konsumsi listrik, Saparini juga mencontohkan, berdasarkan data saat ini jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia diperkirakan mencapai 65 juta unit usaha. Namun, detail terkait data ini masih belum jelas juga.

    Dia pun mempertanyakan terkait detil dari unit usaha yang dijalankan, sektor yang dijalani, hingga sekala dari UMKM itu sendiri.

    Menurutnya, data terkait UMKM itu harus dibuat by name by address. Sehingga, pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat menelisik permasalah lebih jelas.

    Saparini juga mencontohkan jika pemerintah menelan mentah-mentah dapat jumlah UMKM itu dan secara merata memberikan permodalan, belum tentu efektif. Sebab, belum ada bukti bahwa sebanyak 65 juta UMKM itu sedang membutuhkan modal.

    “Jadi menyelesaikan 65 juta itu tidak hanya dengan pemerintah memberikan permodalan karena banyak permasalahan mereka, bukan cuma soal modal,” katanya.

  • Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren inflasi komponen inti yang menggambarkan daya beli masyarakat terpantau melandai sejak Mei 2025 secara tahunan. Sementara secara bulanan tercatat meningkat, tetapi tetap dalam posisi yang cukup rendah. 

    Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year-on-year (YoY) dan 0,13% secara bulanan atau month-to-month (MtM). 

    Dalam periode tahunan, angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%. Sementara secara bulanan, inflasi inti meningkat tipis dari 0,07% pada Juni menjadi 0,13% pada Juli. 

    “Komoditas yang memberikan andil inflasi pada Juli 2025 di antaranya adalah emas perhiasan, kopi bubuk, dan minyak goreng,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini melalui keterangan pers, Jumat (1/8/2025). 

    Pudji menjelaskan bahwa komoditas yang dominan memberikan andil/sumbangan inflasi YoY adalah emas perhiasan sebesar 0,46% terhadap total inflasi secara umum pada Juli 2025 yang sebesar 2,37% YoY.

    Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan pada dasarnya untuk komponen inti meski melandai, indeks harga konsumen (IHK) pada komponen ini masih mengalami inflasi walaupun tidak setinggi bulan sebelumnya. 

    Menurutnya, hal tersebut dipandang karena dipengaruhi oleh perubahan harga yang bisa saja berbeda antara satu barang dengan barang yang lain dan masuk ke dalam kategori perhitungan inflasi inti itu sendiri. Terlebih, emas masih menjadi pendorong utama inflasi inti. 

    Adapun, kondisi inflasi inti yang melandai terjadi di saat inflasi secara umum justru mengalami peningkatan signifikan. Pada Juni 2025, angkanya 1,87% YoY, sementara pada Juli ke level 2,37%. 

    Yusuf melihat sebagian besar tekanan inflasi saat ini datang dari kenaikan harga pangan yang terlihat dari lonjakan inflasi volatile food ke posisi 3,82% YoY dan 3,42% (year-to-date/YtD). Pada bulan sebelumnya, inflasi harga bergejolak ini hanya sebesar 0,10% YoY. 

    Meski Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim bahwa inflasi umum yang meningkat menunjukkan daya beli, Yusuf melihat bahwa nyatanya kenaikan inflasi umum yang lebih didorong dari komponen harga bergejolak ini lebih mencerminkan masalah pasokan atau gejolak harga komoditas pangan, bukan karena masyarakat belanja lebih banyak.

    “Dalam kondisi seperti ini, daya beli justru [terindikasi] tertekan, terutama untuk kelompok pendapatan rendah,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025). 

  • Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Tren Inflasi Inti Melandai, Daya Beli Masyarakat Dinilai Masih Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren inflasi komponen inti yang menggambarkan daya beli masyarakat terpantau melandai sejak Mei 2025 secara tahunan. Sementara secara bulanan tercatat meningkat, tetapi tetap dalam posisi yang cukup rendah. 

    Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year-on-year (YoY) dan 0,13% secara bulanan atau month-to-month (MtM). 

    Dalam periode tahunan, angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%. Sementara secara bulanan, inflasi inti meningkat tipis dari 0,07% pada Juni menjadi 0,13% pada Juli. 

    “Komoditas yang memberikan andil inflasi pada Juli 2025 di antaranya adalah emas perhiasan, kopi bubuk, dan minyak goreng,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini melalui keterangan pers, Jumat (1/8/2025). 

    Pudji menjelaskan bahwa komoditas yang dominan memberikan andil/sumbangan inflasi YoY adalah emas perhiasan sebesar 0,46% terhadap total inflasi secara umum pada Juli 2025 yang sebesar 2,37% YoY.

    Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan pada dasarnya untuk komponen inti meski melandai, indeks harga konsumen (IHK) pada komponen ini masih mengalami inflasi walaupun tidak setinggi bulan sebelumnya. 

    Menurutnya, hal tersebut dipandang karena dipengaruhi oleh perubahan harga yang bisa saja berbeda antara satu barang dengan barang yang lain dan masuk ke dalam kategori perhitungan inflasi inti itu sendiri. Terlebih, emas masih menjadi pendorong utama inflasi inti. 

    Adapun, kondisi inflasi inti yang melandai terjadi di saat inflasi secara umum justru mengalami peningkatan signifikan. Pada Juni 2025, angkanya 1,87% YoY, sementara pada Juli ke level 2,37%. 

    Yusuf melihat sebagian besar tekanan inflasi saat ini datang dari kenaikan harga pangan yang terlihat dari lonjakan inflasi volatile food ke posisi 3,82% YoY dan 3,42% (year-to-date/YtD). Pada bulan sebelumnya, inflasi harga bergejolak ini hanya sebesar 0,10% YoY. 

    Meski Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim bahwa inflasi umum yang meningkat menunjukkan daya beli, Yusuf melihat bahwa nyatanya kenaikan inflasi umum yang lebih didorong dari komponen harga bergejolak ini lebih mencerminkan masalah pasokan atau gejolak harga komoditas pangan, bukan karena masyarakat belanja lebih banyak.

    “Dalam kondisi seperti ini, daya beli justru [terindikasi] tertekan, terutama untuk kelompok pendapatan rendah,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025).