Kementrian Lembaga: BPOM

  • Lebihi Batas Aman, Pelabelan Bahaya BPA pada Galon Perlu Dipercepat

    Lebihi Batas Aman, Pelabelan Bahaya BPA pada Galon Perlu Dipercepat

    Jakarta

    Paparan bahan kimia berbahaya Bisphenol A (BPA) secara terus-menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan, apalagi jika jumlahnya melebihi ambang batas aman. Pakar Polimer dari Universitas Indonesia, Profesor Mochamad Chalid mengungkapkan bahwa pelepasan BPA terjadi ketika material plastik bersentuhan dengan air pada suhu dan durasi tertentu.

    “Pelepasan BPA terjadi akibat peluruhan material plastik saat bersentuhan dengan air pada suhu dan waktu tertentu,” ujar Chalid dalam keterangannya, Kamis (11/9/2025).

    Sekadar diketahui, BPA dikenal sebagai senyawa yang dapat mengganggu sistem hormon (endokrin) dan berisiko memicu gangguan reproduksi, masalah perkembangan otak pada anak, hingga meningkatkan risiko diabetes dan penyakit jantung.

    BPA banyak ditemukan pada kemasan plastik berbahan polikarbonat yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti galon guna ulang air minum, botol bayi, wadah makanan, hingga lapisan dalam kaleng. Karena kemasan ini dipakai berulang kali, risiko pelepasan BPA ke dalam makanan atau minuman semakin tinggi.

    Ia menambahkan, perpindahan galon dari pabrik ke tangan konsumen dapat memicu risiko pelepasan zat berbahaya. Hal ini terutama disebabkan oleh penggunaan galon yang dilakukan berulang kali.

    “Proses ini berpotensi terjadi selama distribusi galon dari pabrik ke konsumen, terutama karena galon digunakan berulang kali,” tambahnya.

    Temuan BPOM dan Riset Internasional

    Hasil pemeriksaan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan enam daerah dengan kadar BPA pada galon guna ulang melebihi ambang batas aman 0,06 bagian per sejuta (ppm). Keenam daerah tersebut adalah Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tengah.

    Sejumlah riset internasional juga menunjukkan BPA dapat luruh ke dalam makanan dan minuman. Studi Harvard yang dipublikasikan di Environmental Health Perspectives (2009) mencatat penggunaan kemasan polikarbonat selama satu minggu dapat meningkatkan kadar BPA dalam urin hingga 69 persen.

    Penelitian lain dalam Food Additives and Contaminants (2008) menemukan migrasi BPA hingga 4,83 nanogram per sentimeter persegi per jam pada suhu 70°C. Sementara itu, studi di Chemosphere (2010) menunjukkan migrasi BPA dari botol bayi polikarbonat meningkat signifikan setelah penggunaan berulang.

    Temuan ini semakin mengkhawatirkan setelah European Food Safety Authority (EFSA) pada 2023 memperketat ambang batas paparan harian BPA menjadi hanya 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari, atau 20.000 kali lebih ketat dari standar sebelumnya. Beberapa hasil penelitian bahkan menunjukkan paparan BPA ribuan kali lipat di atas ambang batas ini.

    Perlunya Percepat Pelabelan Bahaya BPA

    BPOM kini mewajibkan label peringatan bahaya pada galon berbahan polikarbonat yang mengandung BPA. Menurut Chalid, pelabelan ini penting agar konsumen memahami risiko yang ada dan dapat membuat pilihan yang lebih aman.

    Dengan semakin banyak bukti ilmiah dan standar internasional yang semakin ketat, evaluasi ulang terhadap keamanan kemasan BPA menjadi mendesak. Langkah pengawasan dan pencegahan yang lebih ketat diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari paparan BPA berlebihan.

    (akn/ega)

  • Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar

    Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar

    Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar

  • Kepala BPOM Ajak 150 Pengusaha Korea Selatan Investasi Produk Kesehatan di RI

    Kepala BPOM Ajak 150 Pengusaha Korea Selatan Investasi Produk Kesehatan di RI

    Jakarta

    Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Prof Dr Taruna Ikrar, memaparkan gagasan strategis kerjasama bilateral dengan Korea Selatan dalam bidang produk kesehatan. Di hadapan 150 pengusaha asal Negeri Ginseng, Prof Ikrar mengajak untuk memperkuat investasi di Indonesia, khususnya pada sektor obat-obatan, makanan, skincare, minuman kesehatan, hingga produk inovatif lainnya.

    Menurut Prof Ikrar, potensi Indonesia sebagai pasar sekaligus mitra produksi sangat besar. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa serta pertumbuhan kelas menengah yang pesat, kebutuhan terhadap produk kesehatan terus meningkat.

    “Indonesia bukan hanya pasar, tetapi juga mitra strategis untuk pengembangan riset, produksi, dan distribusi produk kesehatan yang berkualitas,” ujarnya.

    Prof Ikrar juga menekankan bahwa BPOM berkomitmen menghadirkan regulasi yang transparan, efisien, serta mendukung ekosistem investasi.

    Ia menambahkan kerjasama dengan Korea Selatan dapat membuka jalan transfer teknologi, peningkatan kapasitas SDM, serta mempercepat hadirnya produk-produk inovatif yang aman dan bermutu di Indonesia.

    Lebih lanjut, Prof Ikrar menegaskan masuknya investasi dari pengusaha Korea Selatan akan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat Indonesia, salah satunya dengan terbukanya lapangan pekerjaan baru.

    “Setiap investasi yang masuk tidak hanya menghadirkan produk berkualitas, tetapi juga membuka kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia. Ini adalah salah satu dampak nyata yang kami harapkan dari kemitraan dengan Korea Selatan,” ungkapnya.

    Dalam presentasinya, Prof Ikrar juga menekankan pentingnya konsep ABG (Academic, Business, Government) sebagai fondasi utama kolaborasi. Menurutnya, hubungan erat antara perguruan tinggi (academic), dunia usaha (business), dan pemerintah (government) akan menciptakan ekosistem yang sehat untuk melahirkan inovasi berkelanjutan di bidang kesehatan.

    “Dengan sinergi ABG, Indonesia dan Korea Selatan dapat membangun rantai nilai yang kuat, mulai dari riset, inovasi, produksi, hingga distribusi produk kesehatan. Inilah kunci agar kerjasama kita tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi berkelanjutan,” tegasnya.

    Sebagai contoh, Taruna mendorong adanya riset bersama antara universitas di Indonesia dan Korea Selatan untuk pengembangan obat-obatan berbasis bioteknologi. Dunia usaha dapat menjadi motor penggerak komersialisasi produk hasil riset, sementara pemerintah melalui BPOM memastikan regulasi yang jelas dan ramah investasi. Dengan model ini, inovasi dapat lahir di kampus, diproduksi oleh industri, dan segera sampai ke masyarakat dengan standar keamanan tinggi.

    Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia menyampaikan apresiasi atas inisiatif yang digagas Kepala BPOM RI. Ia menegaskan hubungan Indonesia-Korea Selatan selama ini sangat erat dan memiliki ruang besar untuk berkembang, khususnya di bidang kesehatan dan inovasi industri.

    “Kami melihat Indonesia sebagai mitra yang memiliki potensi luar biasa. Dengan dukungan BPOM, kerjasama ini diharapkan tidak hanya meningkatkan investasi, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi masyarakat kedua negara,” ujar Dubes Korsel.

    Selain memaparkan peluang investasi, Prof Ikrar juga meresmikan Pameran Produk Kesehatan yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC). Pameran tersebut menghadirkan 150 stand dari para pengusaha Korea Selatan, yang menampilkan beragam produk mulai dari obat-obatan modern, pangan fungsional, minuman kesehatan, hingga produk kecantikan berbasis inovasi terbaru.

    Para pengusaha Korea Selatan menyambut baik ajakan tersebut. Mereka melihat peluang besar untuk memperluas jejaring bisnis sekaligus mendukung penguatan industri kesehatan di Indonesia yang selaras dengan agenda pemerintah menuju Indonesia Emas 2045.

    (suc/up)

  • Ada Temuan Residu Pestisida, Bukan Kali Pertama Taiwan Larang Produk Indomie

    Ada Temuan Residu Pestisida, Bukan Kali Pertama Taiwan Larang Produk Indomie

    Jakarta

    Taiwan melaporkan satu batch produk Indomie rasa Soto Banjar Limau Kuit produksi Indonesia yang mengandung residu etilen oksida. Kadar residu yang terdapat dalam Indomie tersebut ada di tingkat yang tidak memenuhi standar negara tersebut.

    Menurut Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, batch Indomie itu memiliki batas kedaluwarsa 19 Maret 2026. Sementara itu, Centre for Food Safety (CFS) Taiwan meminta seluruh produk untuk tidak dikonsumsi.

    “Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” demikian tulis laporan CFS.

    Kejadian ini bukan kejadian pertama bagi Indomie. Pada tahun 2023, Malaysia sempat menarik dua produk mi instan, yaitu Indomie Rasa Ayam Spesial dan Ah Lai Curry Noodles dari Malaysia. Namun, setelah melakukan serangkaian pengujian, Malaysia menyebut kedua produk tersebut dibuat sesuai standar yang berlaku.

    Penarikan yang dilakukan oleh Malaysia menyusul pernyataan Departemen Kesehatan Taiwan yang mengatakan kedua produk itu mengandung etilen oksida.

    Mereka menemukan pada bumbu mi instan produk Indonesia, ditemukan mengandung 0,187 mg/kg etilen oksida, sedangkan pada produk Malaysia ditemukan sebanyak 0,065 mg/kg etilen oksida.

    Pada saat itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memastikan bahwa produk Indomie Rasa Ayam Spesial Aman dikonsumsi karena residu etilen oksida masih berada di bawah ambang batas maksimal 85 ppm. Ini mengacu pada regulasi Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 soal Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida.

    “Dengan demikian, kadar yang terdeteksi pada sampel mi instan di Taiwan (0,34 ppm) masih jauh di bawah batas maksimal residu di Indonesia dan di sejumlah negara lain, seperti Amerika dan Kanada. Oleh karena itu, di Indonesia produk mi instan tersebut aman dikonsumsi, karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar,” kata pihak BPOM.

    Pada tahun 2022, produk Mie Sedaap juga pernah mengalami kasus serupa. Tiga negara termasuk Hong Kong, Singapura, hingga Malaysia meminta warganya untuk lebih hati-hati dalam konsumsi beberapa varian Mie Sedaap.

    Pihak Mie Sedaap saat itu juga sudah membantah adanya kandungan etilen oksida atau pestisida yang kemungkinan dipakai sebagai bahan pengawet.

    Apa Itu Etilen Oksida?

    Etilen oksida dalam produk makanan digunakan sebagai pengawet dan pembunuh bakteri serta jamur. Menurut BPOM, etilen oksida merupakan pestisida yang digunakan sebagai fumigasi dan dalam jumlah kecil juga dapat digunakan sebagai bahan pensteril.

    Dikutip dari Cancer.gov, etilen oksida dalam keadaan suhu kamar merupakan gas yang tidak memiliki warna dan memiliki aroma manis. Etilen oksida dikaitkan sebagai zat karsinogenik yang dapat memicu kanker.

    Limfoma dan leukemia menjadi dua jenis kanker yang paling sering dikaitkan dengan paparan etilen oksida. Etilen oksida juga dikaitkan dengan risiko kanker lambung dan payudara.

    Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Zullies Ikawati mengatakan jumlah residu etilen oksida pada makanan umumnya sangat kecil. Residu biasanya juga menguap melalui proses pemasakan.

    “Biasanya kalau makan mi instan itu dimasak dulu kan? Ketika dimasak itu udah menguap karena itu kan bentuknya gas. Jadi kecil sekali sebetulnya,” jelas Prof Zullies dalam acara detik Pagi, Jumat (28/4/2023).

    “Yang berisiko mengalami karsinogenesis atau kanker dengan etilen oksida adalah mereka yang memang kerjanya itu setiap hari misalnya terpapar itu. Contohnya orang-orang yang memang bekerja di pabrik etilen oksida atau pabrik yang menggunakan etilen oksida sebagai bahan yang digunakan untuk menggunakan bahan lagi di industri kimia,” sambungnya lagi.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • BPOM RI Panggil Produsen Buntut Taiwan Larang Makan Indomie Soto Banjar

    BPOM RI Panggil Produsen Buntut Taiwan Larang Makan Indomie Soto Banjar

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) tengah menelusuri lebih lanjut laporan temuan etilen oksida di luar ambang batas aman pada Indomie Soto Banjar Kuit. Taiwan belakangan menarik produk tersebut dari peredaran dan meminta warganya untuk membuang juga menyetop konsumsi Indomie Soto Banjar Kuit.

    Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menekankan akan segera memanggil produsen terkait laporan Taiwan. Mengingat, ini bukan kali pertama Indomie tersandung kasus etilen oksida.

    “Terkait etilen oksida di mi instan, kami akan memanggil pihak produsen,” beber dia saat ditemui detikcom di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (12/10/2025).

    Adapun pemanggilan tersebut untuk memastikan apakah pangan yang diimpor sudah sesuai dengan standar dan mengikuti mekanisme yang benar.

    BPOM RI juga tidak menutup kemungkinan akan mengkaji kadar laporan cemaran etilen oksida di Indomie Soto Banjar Kuit, termasuk batas aman yang ditolerir.

    “Nanti teknisnya, kami juga akan pastikan apakah sudah sesuai standar,” sambungnya.

    Otoritas Taiwan sebelumnya melaporkan satu batch mi instan merek Indomie Soto Banjar Limau Kuit produksi Indonesia mengandung residu pestisida etilen oksida pada tingkat yang tak memenuhi standar negara tersebut.

    Dikutip dari Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, batch Indomie tersebut memiliki batas kadaluwarsa 19 Maret 2026.

    Apa Itu Etilen Oksida?

    Etilen oksida dalam produk makanan digunakan sebagai pengawet dan pembunuh bakteri serta jamur. Menurut BPOM, etilen oksida merupakan pestisida yang digunakan sebagai fumigasi dan dalam jumlah kecil juga dapat digunakan sebagai bahan pensteril.

    Dikutip dari Cancer.gov, etilen oksida dalam keadaan suhu kamar merupakan gas yang tidak memiliki warna dan memiliki aroma manis. Etilen oksida dikaitkan sebagai zat karsinogenik yang dapat memicu kanker.

    Limfoma dan leukemia menjadi dua jenis kanker yang paling sering dikaitkan dengan paparan etilen oksida. Etilen oksida juga dikaitkan dengan risiko kanker lambung dan payudara.

    detikcom sudah berupaya menghubungi PT Indofood untuk meminta informasi lebih lanjut terkait laporan Taiwan, tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lebih lanjut.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Taiwan Larang Indomie Soto Banjar Limau Kuit, BPOM RI Angkat Bicara

    Taiwan Larang Indomie Soto Banjar Limau Kuit, BPOM RI Angkat Bicara

    Jakarta

    Otoritas Taiwan melaporkan satu batch Indomie merek soto banjar limau kuit mengandung residu pestisida etilen oksida. Kadar zat kimia tersebut teridentifikasi melampaui batas standar aman menurut otoritas setempat.

    Centre for Food Safety (CFS) Taiwan sementara menarik seluruh produk Indomie soto banjar limau kulit dari pasaran dan mengimbau masyarakat untuk berhenti mengonsumsinya.

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) mengaku sudah mendapat laporan terkait. Pihaknya masih mendalami kemungkinan cemaran etilen oksida pada Indomie soto banjar limau kuit yang diimpor ke Taiwan.

    “Itu sudah masuk atensi kami, dan sedang berkoordinasi dengan otoritas pangan di Taiwan, laporannya nanti ber-progress ya,” beber Kepala BPOM RI Taruna Ikrar saat ditemui Jumat (12/9/2025).

    Sebelumnya diberitakan, temuan dugaan cemaran pada Indomie diumumkan dalam situs resmi otoritas keamanan pangan Taiwan.

    “Produk yang berasal dari Indonesia ditemukan mengandung residu pestisida, etilen oksida, pada tingkat yang tidak memenuhi standar Taiwan.”

    Produk tersebut memiliki batas kedaluwarsa 19 Maret 2026. “Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” demikian tulis laporan CFS.

    Kejadian ini bukan kejadian pertama bagi Indomie. Pada 2023, Malaysia sempat menarik dua produk mi instan, yaitu Indomie Rasa Ayam Spesial dan Ah Lai Curry Noodles dari Malaysia. Namun, setelah melakukan serangkaian pengujian, Malaysia menyebut kedua produk tersebut dibuat sesuai standar yang berlaku.

    Penarikan yang dilakukan oleh Malaysia menyusul pernyataan Departemen Kesehatan Taiwan yang mengatakan kedua produk itu mengandung etilen oksida.

    Mereka menemukan pada bumbu mi instan produk Indonesia, ditemukan mengandung 0,187 mg/kg etilen oksida, sedangkan pada produk Malaysia ditemukan sebanyak 0,065 mg/kg etilen oksida.

    Pada saat itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memastikan bahwa produk Indomie Rasa Ayam Spesial Aman dikonsumsi karena residu etilen oksida masih berada di bawah ambang batas maksimal 85 ppm. Ini mengacu pada regulasi Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 soal Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida.

    CFS juga tengah menyelidiki apakah produk yang terdampak sudah diimpor ke Hong Kong dan menghubungi otoritas terkait untuk informasi lebih lanjut.

    “Pembelian produk melalui pembelian daring atau perjalanan internasional tidak dapat dikecualikan. Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” imbau CFS.

    CFS disebut tetap waspada dan memantau setiap perkembangan baru untuk mengambil tindakan yang tepat bila diperlukan.

    “Investigasi oleh CFS sedang berlangsung,” demikian tutup informasi situs otoritas pangan Taiwan yang diunggah 9 September 2025.

    detikcom sudah berupaya menghubungi PT Indofood untuk meminta informasi lebih lanjut terkait laporan Taiwan, tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lebih lanjut.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Hingga Juli, DJBC tindak 15.757 kasus barang ilegal senilai Rp3,9 T

    Hingga Juli, DJBC tindak 15.757 kasus barang ilegal senilai Rp3,9 T

    Bea cukai melakukan pengawasan lalu lintas barang sebagai upaya untuk menutup kebocoran dengan memberikan perlindungan masyarakat serta optimalisasi penerimaan negara..,

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan melaporkan telah melakukan penindakan terhadap 15.757 kasus penyelundupan ilegal hingga Juli 2025, dengan taksiran nilai barang mencapai Rp3,9 triliun.

    Mayoritas barang ilegal yang ditindak merupakan produk hasil tembakau.

    Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama mengatakan bahwa kinerja pengawasan bakal terus diperkuat untuk menutup potensi kebocoran penerimaan negara.

    “Bea cukai melakukan pengawasan lalu lintas barang sebagai upaya untuk menutup kebocoran dengan memberikan perlindungan masyarakat serta optimalisasi penerimaan negara, DJBC terus memperkuat kinerja pengawasan melalui sinergi antar instansi, baik itu TNI, Polri, BNN, BPOM, serta berbagai instansi lainnya,” ujarnya.

    Meski jumlah penindakan masih tinggi, DJBC mencatat ada tren penurunan pada periode Mei-Juli 2025.

    Penindakan turun dari 2.784 kasus pada Mei menjadi 2.157 kasus pada Juli.

    Djaka menilai tren tersebut mencerminkan efektivitas pengawasan yang mulai menekan angka pelanggaran di lapangan.

    “Terjadinya penurunan jumlah penindakan semester I 2025 mengindikasikan bahwa efektivitas kinerja bea cukai yang berdampak pada menurunnya jumlah pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai yang diimbangi dengan kenaikan penerimaan negara khususnya dari sektor cukai,” tuturnya.

    Selain itu, Djaka memaparkan DJBC telah melakukan penindakan narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP) sebanyak 1.156 kali dengan total tangkapan mencapai 10,21 ton

    Ia mencontohkan, beberapa penindakan yang telah dilakukan antara lain, penindakan dua ton sabu hasil kolaborasi antara DJBC, BNN, TNI, AL, dan Polri. Kemudian penindakan 49,9 ton pasir timah yang akan diekspor ke Malaysia secara legal, ulangi secara ilegal.

    Adapun hingga Juli 2025, penerimaan cukai tercatat tumbuh 9,26 persen atau setara Rp10,75 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu.

    Selain fokus pada pengawasan, Djaka menegaskan DJBC tetap menjalankan peran sebagai fasilitator perdagangan dan asisten industri.

    Upaya yang ditempuh di antaranya modernisasi sistem melalui National Logistics Ecosystem (NLE) dan Customs-Industry Service Account (CISA) 4.0 yang telah diimplementasikan di 53 pelabuhan dan tujuh bandara utama.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemenkes Bicara Alasan Cukai Minuman Berpemanis Molor Lagi ke 2026

    Kemenkes Bicara Alasan Cukai Minuman Berpemanis Molor Lagi ke 2026

    Jakarta

    Kepala Pusat Kebijakan Ketahanan Kesehatan Kemenkes RI Anas Ma’ruf memastikan pertimbangan mundurnya cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) didasari penyesuaian sejumlah pihak.

    Ketentuan termasuk kemungkinan besaran penetapan cukai MBDK sebagai penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) tengah dibahas bersama kementerian dan lembaga terkait, termasuk menyesuaikan kadar gula garam dan lemak (GGL).

    “Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) penanggulangan penyakit termasuk substansi PTM-GGL sedang proses harmoni,” tekannya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2025).

    “Rencana kebijakan minuman berpemanis, edukasi gula garam dan lemak, juga Peraturan Kepala BPOM juga sedang dibahas, diharapkan bersama segera launching,” sambungnya.

    Menyikapi pro-kontra terkait penerapan MBDK, Anas mengajak seluruh pihak termasuk industri ikut menyesuaikan penerapan regulasi baru di 2026.

    “Jadi ini mau kita dudukkan, kita bahas bersama agar nanti implementasinya tidak lagi muncul pro dan kontra,” tegas dia.

    Pihaknya juga memastikan terus membahas detail regulasi tersebut dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI bersama dengan Kementerian Keuangan. Meski begitu, Anas belum bisa memastikan bentuk cukai seperti apa yang nantinya diterapkan. Termasuk apakah menyesuaikan usulan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yakni 20 persen.

    Ia hanya memastikan penerapan benar-benar dilakukan tahun depan. “Rencana cukai MBDK diberlakukan 2026,” pungkasnya.

    (naf/kna)

  • Awal Mula Pasien di AS Jalani Transplantasi Ginjal Babi, Punya Riwayat Gagal Ginjal

    Awal Mula Pasien di AS Jalani Transplantasi Ginjal Babi, Punya Riwayat Gagal Ginjal

    Jakarta

    Seorang pria berusia 54 tahun asal Dover, New Hampshire, Amerika Serikat, menjadi salah satu penerima transplantasi ginjal babi eksperimental, sebuah langkah penting dalam upaya membuktikan apakah organ hewan benar-benar dapat menyelamatkan nyawa manusia.

    Pria bernama Bill Stewart itu memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang berujung pada gagal ginjal, meski tidak memiliki masalah kesehatan lain. Bagi orang dengan golongan darah seperti dirinya, biasanya dibutuhkan waktu hingga tujuh tahun untuk mendapatkan ginjal yang cocok dari donor meninggal, sementara beberapa calon donor hidup tidak memenuhi syarat.

    Setelah dua tahun menjalani dialisis atau cuci darah, Stewart sempat mendengar kisah Tim Andrews, penerima transplantasi ginjal di di Massachusetts General Hospital (Mass General), dan kemudian mendaftar sebagai kandidat berikutnya.

    “Saya selalu agak jadi kutu buku sains,” kata Bill Stewart, pelatih atletik asal Dover, New Hampshire, kepada The Associated Press.

    Menyadari betapa barunya percobaan ini, ia mencari nasihat dari Andrews dan akhirnya memutuskan, “dalam skenario terburuk, ginjalnya selalu bisa diambil kembali.”

    Ia kemudian menjalani operasi eksperimental tersebut pada Selasa (14/6/2025). Operasi tersebut diketahui berakhir dalam kondisi baik.

    Senang karena tidak lagi harus menghabiskan waktu dan tenaga untuk dialisis, Stewart mengatakan ia mulai kembali ke pekerjaan kantornya dan sempat mengunjungi klinik dialisis lama untuk memberi tahu semua orang bahwa dirinya baik-baik saja, sekaligus memberikan sedikit harapan.

    “Saya benar-benar ingin berkontribusi pada ilmu di baliknya,” ucapnya.

    Spesialis ginjal di Mass General, dr Leonardo Riella mengatakan obat anti-penolakan Stewart telah disesuaikan untuk mengatasi kekhawatiran awal, dan Andrews juga memerlukan penyesuaian serupa.

    Menurutnya, masih terlalu dini untuk memprediksi berapa lama ginjal babi dapat bertahan. Namun, organ ini tetap bermanfaat jika mampu memberi jeda dari dialisis hingga pasien mendapatkan ginjal manusia yang cocok.

    “Setahun, semoga lebih lama dari itu – itu sudah merupakan keuntungan besar,” katanya.

    Kasus Transplantasi Ginjal Babi ke Manusia Lainnya

    Kasus Stewart bukan satu-satunya pencapaian tim Mass General dalam melakukan cangkok babi ke manusia. Sebelumnya, Tim Andrews, berhasil hidup tanpa dialisis selama tujuh bulan berkat ginjal babi hasil rekayasa genetika, sebuah rekor baru yang hingga kini masih berlanjut. Sebelumnya, transplantasi organ babi terlama yang tercatat hanya bertahan 130 hari.

    Berdasarkan pengalaman dari kedua pasien asal New Hampshire dan sejumlah upaya serupa, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) memberikan izin kepada produsen babi eGenesis untuk memulai studi ketat mengenai xenotransplantasi ginjal.

    Uji coba terbaru eGenesis akan menyediakan transplantasi ginjal babi hasil rekayasa genetik kepada 30 pasien berusia 50 tahun ke atas yang sedang menjalani dialisis dan terdaftar dalam daftar tunggu transplantasi. Sementara itu, pengembang organ babi rekayasa genetik lainnya, United Therapeutics, juga segera memulai perekrutan peserta untuk studi serupa yang telah mendapat persetujuan FDA.

    Lebih dari 100.000 orang masuk dalam daftar transplantasi di AS, sebagian besar membutuhkan ginjal, dan ribuan di antaranya meninggal sebelum mendapatkan donor. Sebagai alternatif, para ilmuwan memodifikasi gen babi agar organ mereka lebih menyerupai organ manusia, sehingga kemungkinan ditolak atau dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh menjadi lebih kecil.

    Uji coba awal, yang melibatkan dua jantung dan dua ginjal, berlangsung singkat dan hanya melibatkan pasien dengan kondisi sangat parah. Baru-baru ini, peneliti di China juga melaporkan transplantasi ginjal babi, meski hanya merilis sedikit informasi.

    Sementara itu, di Alabama, seorang perempuan menjalani xenotransplantasi ginjal yang bertahan hingga 130 hari sebelum akhirnya ditolak tubuhnya, sehingga ia kembali harus menjalani dialisis. Kasus ini membantu para peneliti mempertimbangkan untuk beralih ke pasien dengan kondisi yang tidak terlalu kritis.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: BPOM Minta Tambahan Anggaran Rp 2,6 T, Tak Mau Kasus Gagal Ginjal Akut Terulang”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/suc)

  • Pengusaha Waswas, Sengkarut Udang Radioaktif Ancam Ekspor RI ke AS

    Pengusaha Waswas, Sengkarut Udang Radioaktif Ancam Ekspor RI ke AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha udang yang tergabung dalam Shrimp Club Indonesia (SCI) mulai mengkhawatirkan dampak kasus dugaan  radioaktif terhadap ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat. Mereka berharap pemerintah turun tangan mengatasi masalah tersebut.  

    Diketahui, pada Agustus 2025, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration (FDA) menyarankan masyarakat untuk tidak mengonsumsi, menjual, atau menghidangkan sajian yang mengandung udang beku produksi PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods) asal Indonesia, karena diduga terkontaminasi isotop radioaktif.

    Temuan merupakan pengembangan dari laporan Bea Cukai & Perlindungan Perbatasan AS (CBP) yang menginformasikan adanya deteksi Cs-137 dalam kontainer pengiriman di empat pelabuhan, yakni Los Angeles, Houston, Savannah, dan Miami.

    Ketua Umum SCI Andi Tamsil menegaskan mengatakan bahwa temuan tersebut hanya terbatas pada satu perusahaan dan batch tertentu.  Industri udang Indonesia secara keseluruhan tetap aman dan memenuhi standar baku mutu keamanan pangan.

    “Namun dampak terhadap industri jelas ada, terutama pada kepercayaan pasar internasional. Jika tidak ditangani dengan baik, eksportir lain bisa ikut terkena imbas meski tidak ada kaitannya langsung,” kata Tamsil kepada Bisnis, Selasa (9/9/2025). 

    Tamsil mengatakan selain berdampak pada ekspor, kasus ini juga membuat harga udang di Aceh dan Medan menjadi anjlok. Masyarakat sekitar enggan mengonsumsi udang. 

    Udang hasil panen

    Selain itu diperkirakan sebanyak sekitar 630 pemilik tambak terdampak (intensif dan tradisional) dengan luas 18.000 hektare terdampak isu ini. Masalah udang radiasi membuat sebanyak 3.500 pekerja merasakan dampak langsung. 

    SCI lantas mendorong pemerintah ke FDA agar mengisolisir masalah di BMS Cikande, sehingga BMS Medan dan BMS Makasar tetap bisa menjalankan produksinya, agar petambak (teruatama Aceh Medan) bisa mendapat kepastian pasar. 

    “Saat ini FDA me-recall product dari semua BMS factories,” kata Tamsil.

    Untuk mengatasi masalah tersebut, kata Tamsil, SCI bersama pemerintah mendorong agar investigasi dilakukan secara transparan dan cepat, agar tidak menimbulkan generalisasi negatif terhadap seluruh produk Indonesia.

    Dia mengingatkan jika dibiarkan kasus ini dapat berdampak pada ekspor karena buyer akan lebih berhati-hati. 

    “Tidak hanya buyer AS, tetapi juga buyer dari negara lain sudah mulai mempertanyakan hasil investigasi final. Namun dengan langkah korektif yang jelas, termasuk penguatan sistem monitoring dan sertifikasi, kami percaya pasar akan kembali pulih,” kata Tamsil. 

    Pemerintah pastikan dampak tidak signifikan …..