Kementrian Lembaga: BPKP

  • Kerugian Negara Korupsi Pertamina, Boyamin Soiman: Ini Menghitungnya Gampang Kok Nilai Kerugiannya

    Kerugian Negara Korupsi Pertamina, Boyamin Soiman: Ini Menghitungnya Gampang Kok Nilai Kerugiannya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Nilai kerugian negara pada kasus dugaan korupsi di lingkungan PT Pertamina menyita perhatian luas publik tanah air. Betapa tidak, kerugian negara disebut-sebut mencapai Rp1 kuadtriliun.

    Itu jika asumsi kasus rasuah tersebut terjadap pada periode 2018-2023. Pasalnya, untuk kerugian negara pada tahun 2023 saja, Kejaksaan Agung (Kejagung) memperkirakan mencapai Rp192,7 triliun.

    Merespons angka kerugian negara itu, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan kerugian negara yang diperkirakan oleh Kejagung mencapai Rp.193,7 triliun di kasus dugaan korupsi impor minyak adalah hal yang masuk akal.

    Dalam penghitungan kerugian negara itu, menurut Boyamin, bisa maksimal. “Seluruh keuntungan atau biaya bisa dianggap kerugian negara, kalau cara memperolehnya dengan cara yang tidak sesuai aturan,. Misalnya, cara pekerjaan menyuplai BBM dengan cara yang tidak benar, karena dengan penunjukan langsung. Maka biaya yang muncul dari mengangkut, membeli dan menyerahkan kepada anak perusahaan Pertamina bisa dihitung sebagai kerugian negara,” ungkap Boyamin, Senin (3/3).

    Kerugian lainnya, menurut Boyamin, adalah selisih harga pertamax dengan pertalite.
    Sehingga, menurut Boyamin, masuk akal kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun tersebut.

    “Toh ini nanti juga masih dikonfirmasi hasil auditor negara, baik itu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP. Ini menghitungnya gampang kok nilai kerugiannya,” kata Boyamin.

    Dengan langkah Kejagung mengungkap kasus minyak di Pertamina ini, Boyamin, mengatakan, bisa menjadi pemicu perbaikan di internal Pertamina.

  • KPK Usut 11 Debitur Kredit Fiktif LPEI, Potensi Kerugian Negara Rp11,7 Triliun

    KPK Usut 11 Debitur Kredit Fiktif LPEI, Potensi Kerugian Negara Rp11,7 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap terdapat total 11 debitur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang tengah diusut atas dugaan kecurangan (fraud) hingga menyebabkan kerugian keuangan negara. 

    Plh. Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo menyebut lembaganya telah memulai penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut sejak Maret 2024. Penyidikan dilakukan terhadap 11 perusahaan yang mendapatkan fasilitas kredit ekspor LPEI. 

    Budi menyebut total kredit yang disalurkan untuk 11 debitur itu, termasuk potensi kerugian keuangan negara mencapai sebesar Rp11,7 triliun. 

    “Adapun, total kredit yang diberikan dan juga menjadi potensi kerugian keuangan negara akibat pemberian kredit tersebut adalah kurang lebih Rp11,7 triliun,” jelasnya pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (3/3/2025). 

    Salah satu dari 11 debitur itu yakni PT Petro Energy (PE). Kepada debitur tersebut, KPK menyebut LPEI menyalurkan fasilitas kredit sebesar US$60 juta atau sekitar Rp900 miliar.

    Nilai kredit yang disalurkan juga merupakan total kerugian keuangan negara terkait dengan debitur tersebut berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

    Lembaga antirasuah baru menetapkan lima orang tersangka untuk klaster debitur tersebut. Sisanya, penyidik masih mengusut lebih lanjut soal sisa debitur lainnya. 

    “10 debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan penyelidikan lanjut untuk kemudian nantinya akan kita sampaikan juga kepada rekan-rekan jurnalis saatnya akan ditetapkan sebagai tersangka,” papar Budi. 

    Menurutnya, 11 debitur yang diduga terlibat fraud kredit ekspor itu menyalahgunakan fasilitas yang diberikan LPEI. Mereka diduga melakukan side-streaming, atau memanfaatkan kredit ekspor bukan untuk sektor usaha yang diajukan ke LPEI. 

    Misalnya, PT PE yang mengaku menjalankan bisnis bahan bakar solar menggunakan kredit dari LPEI untuk usaha atau investasi selain itu. 

    Adapun debitur LPEI yang diduga terlibat fraud meliputi berbagai macam sektor. Mulai dari logistik perkapalan hingga energi. 

    “Ada di sektor perkebunan, kemudian di shipping, ada juga kemudian di industri terkait dengan energi juga ada. Jadi di tiga sektor itu yang 11 [debitur],” kata Budi. 

    Pada dugaan fraud PT PE, KPK menyebut LPEI telah menyalurkan fasilitas kredit sejak 2015 sebesar total US$60 juta atau sekitar Rp900 miliar. Terdapat lima orang yang sudah ditetapkan tersangka. 

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, lima orang tersangka itu meliputi di antaranya dua orang Direktur Pelaksana LPEI Dwi Wahyudi (DW) dan Arif Setiawan (AS). 

    Kemudian, tiga orang dari PT Petro Energy adalah pemilik perusahaan yakni Jimmy Masrin (JM), Direktur Utama Newin Nugroho (NN) serta Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD). 

    Sebelumnya, KPK telah mengumumkan penyidikan terhadap perkara LPEI pada awal 2024 lalu. Namun, saat itu penyidikan dilakukan belum dengan menetapkan tersangka. 

  • KPK Bongkar Modus Dugaan Kredit Fiktif LPEI, Negara Rugi Hampir Rp1 Triliun

    KPK Bongkar Modus Dugaan Kredit Fiktif LPEI, Negara Rugi Hampir Rp1 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah modus perbuatan melawan hukum yang dilakukan pada kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit fiktif (fraud) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy (PE).

    KPk saat ini telah menetapkan lima orang sebagai tersangka di satu kasus tersebut.

    Plh. Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo menjelaskan salah satu modus yang ditemukan penyidik adalah persetujuan pemberian kredit oleh direksi LPEI kepada PT PE, kendati current ratio perusahaan berada di bawah 1. 

    Sebagaimana diketahui, current ratio di bawah 1 menunjukkan bahwa utang lancar suatu perusahaan lebih besar daripada aset lancar yang dimiliki. Dengan demikian, perusahaan seharusnya tidak pantas mendapatkan kredit karena keuangan perusahaan yang tidak sehat. 

    “Para direksi dari LPEI ini mengetahui bahwa current ratio PT PE ini di bawah 1 atau tepatnya 0,86. Sehingga hal ini menyebabkan laba perusahaan yaitu PT PE sebagai sumber penambahan aset lancar tidak bertambah,” ujar Budi pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (3/3/2025). 

    Meski demikian, LPEI tetap menyalurkan kredit ekspor kepada PT PE. Padahal, lanjutnya, pendapatan perusahaan sudah lebih kecil daripada tanggungan yang harus ditanggung kepada LPEI. 

    Sejak Oktober 2015, PT PE menerima tiga kali fasilitas pembiayaan dari LPEI. Pemberian kredit tahap pertama sekitar Rp297 miliar. 

    Kemudian, pemberian kedua dan ketiga atau top up masing-masing kurang lebih Rp400 miliar pada 2016, dan Rp200 miliar pada 2017. Kredit tahap kedua dan ketiga tetap diberikan usai kredit tahap pertama diketahui tidak lancar alias macet.

    “Jadi kreditnya sebesar kurang lebih US$60 juta atau kalau [dirupiahkan] kurang lebih Rp900 miliar,” terang Budi.

    Di sisi lain, direksi LPEI saat itu diduga tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diberikan PT PE saat mengajukan kredit. Sejalan dengan hal itu, PT PE diduga turut membuat kontrak-kontrak palsu dalam mengajukan kredit ke LPEI. 

    “Karena memang di awal sebelum dilaksanakan proses pemberian kredit antara direksi PT PE yang tadi telah dijadikan tersangka dua orang tersebut terjadi pertemuan, dan mereka bersepakat bahwa untuk proses pemberian kredit itu akan dipermudah yaitu sebesar pada saat itu janjinya sebesar kurang lebih Rp1 triliun,” ungkap Budi. 

    Selain dugaan pemalsuan kontrak hingga pembiaran dari pihak LPEI, KPK menduga PT PE memalsukan sejumlah purchase order serta invoice tagihan ketika mencairkan kredit. 

    Budi menyebut dugaan itu terkonfirmasi dari keterangan saksi, bukti dokumen hingga elektronik yang didapatkan penyidik, serta percakapan handphone. 

    “Semuanya ter-record bahwa itu semua invoice maupun purchase order yang dibuat oleh PT PE untuk mencairkan kredit itu adalah palsu ataupun fiktif,” kata Budi. 

    Modus lain yang diduga dilakukan dalam fraud tersebut, yaitu pengakuan PT PE bahwa usaha yang dijalankannya adalah untuk bisnis bahan bakar solar. Padahal, terang Budi, nyatanya perusahaan itu melakukan side-streaming atau kredit yang digunakan justru untuk investasi ke usaha lain. 

    “Dan ini sebenarnya sudah diketahui oleh para direksi LPEI, namun dikarenakan dari awal mereka sudah bersepakat hal tersebut tidak pernah diindahkan,” terangnya. 

    Atas hal tersebut, KPK berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung potensi kerugian keuangan negara dan menemukan potensi kerugian keuangan negara sebesar US$60 juta atau setara dengan sekitar Rp900 miliar.

    “Atas pemberian fasilitas kredit oleh LPEI khusus kepada PT PE ini, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar US$60 juta,” jelas Budi. 

    Pada kasus tersebut, KPK pun menetapkan lima orang tersangka. Berdasarkan informasi yang dihimpun, lima orang tersangka itu meliputi di antaranya Direktur Pelaksana LPEI I Dwi Wahyudi (DW) dan Direktur Pelaksana IV Arif Setiawan (AS). 

    Kemudian, tiga orang dari PT Petro Energy adalah pemilik perusahaan, yakni Jimmy Masrin (JM), Direktur Utama Newin Nugroho (NN) serta Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD). 

    Kasus dugaan fraud senilai sekitar Rp900 miliar itu pun hanya lapisan atas gunung es. KPK menyebut tengah mengusut dugaan fraud kredit LPEI pada 10 debitur lain. 

    Dengan demikian, ada total 11 debitur LPEI yang diusut dengan potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp11,7 triliun. 

    “Total kredit yang diberikan dan jadi potensi kerugaian negara kurang lebih Rp11,7 triliun. Jadi untuk bulan Maret ini KPK telah menetapkan lima orang tersangka, sedangkan 10 debitur lainnya masih penyidikan,” pungkas Budi. 

    Sebelumnya, KPK telah mengumumkan penyidikan terhadap perkara LPEI pada awal 2024 lalu. Namun, saat itu penyidikan dilakukan belum dengan menetapkan tersangka. 

  • Direksi LPEI Bertemu dengan Debitur untuk Atur Pemberian Kredit

    Direksi LPEI Bertemu dengan Debitur untuk Atur Pemberian Kredit

    Direksi LPEI Bertemu dengan Debitur untuk Atur Pemberian Kredit
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan
    Korupsi
    (
    KPK
    ) mengungkapkan bahwa direksi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (
    LPEI
    ) pernah bertemu dengan pihak debitur, yakni
    PT Petro Energy
    , sebelum menyetujui kredit.
    Plt Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo menyebutkan, dalam pertemuan itu, kedua belah pihak menyepakati agar proses pemberian kredit dipermudah, meski PT Petro Energy tidak layak menerima kredit.
    “Karena memang di awal sebelum dilaksanakan proses pemberian kredit antara Direksi (LPEI) dan PT PE (Petro Energy) yang tadi telah dijadikan tersangka dua orang tersebut, terjadi pertemuan,” kata Budi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (3/3/2025).
    Ketika itu, kata dia, perjanjian pemberian kredit untuk PT Petro Energy (PE) sebesar Rp 1 triliun diberikan secara bertahap.
    “Hal ini dilaksanakan juga, yaitu pada saat para bawahan dari direktur (LPEI) menyampaikan bahwa PT PE ini sebenarnya tidak layak untuk menerima kredit karena kondisi keuangannya yang tidak baik,” ujar Budi.
    Di sisi lain, Budi juga mengatakan bahwa PT Petro Energy melakukan kecurangan dengan membuat kontrak palsu yang dijadikan dasar ketika mengajukan kredit ke LPEI.
    Hal ini sudah diketahui oleh direksi LPEI, tetapi mereka tidak mencek dan malah membiarkan kredit pertama dicairkan sebesar Rp 229 miliar.
    “Dan ini sudah diketahui dan diberikan masukan oleh pihak analis ataupun bawahan dari direktur. Namun, para direktur tetap memberikan kredit kepada PT PE walaupun kondisi tersebut sudah dilaporkan dari bawahan,” ujar Budi.
    Ia menambahkan, PT Petro Energy mestinya tidak berhak mendapatkan
    top-up
    kredit sebesar Rp 400 miliar dan Rp 200 miliar setelah pengucuran yang pertama.
    “Namun, ini tidak diindahkan oleh para direktur yang mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap dikeluarkannya kredit tersebut,” kata Budi.
    Tak hanya itu, PT Petro Energy memalsukan
    purchase order
    maupun
    invoice
    tagihan yang digunakan ketika melakukan pencairan di LPEI.
    Hal ini terkonfirmasi dari saksi-saksi maupun dokumen-dokumen serta barang bukti elektronik yang ditemukan penyidik KPK.
    Di sisi lain, LPEI menyebutkan di dalam proposal bahwa tujuan memproduksi kredit adalah untuk bisnis bahan bakar solar.
    “Namun faktanya, mereka melakukan
    side streaming
    , jadi tidak digunakan untuk bisnis solar tersebut, tapi malah digunakan untuk berinvestasi ke usaha yang lain,” kata Budi.
    Berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian keuangan negara akibat kasus
    korupsi
    di LPEI ini mencapai 60 juta dollar AS atau setara Rp 900 miliar.
    “Jadi total kurang lebih Rp 900 miliar atau dikurskan dalam USD kurang lebih 60 juta USD,” ucap dia.
    Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi pemberian kredit oleh LPEI.
    Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Dwi Wahyudi selaku Direktur Pelaksana I LPEI; Arif Setiawan selaku Direktur Pelaksana IV LPEI; Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku debitur dari PT Petro Energy.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kerugian Negara akibat Korupsi Pertamina Rp193,7 Triliun, Hitungan Kejagung Masuk Akal

    Kerugian Negara akibat Korupsi Pertamina Rp193,7 Triliun, Hitungan Kejagung Masuk Akal

    loading…

    Salah satu tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero). Foto/Istimewa

    JAKARTA – Kerugian negara akibat kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mencapai Rp193,7 triliun. Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai jumlah kerugian negara yang diperkirakan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) itu hal yang masuk akal.

    Boyamin berpendapat, dalam penghitungan kerugian negara itu bisa maksimal. Dia menuturkan, seluruh keuntungan atau biaya bisa dianggap kerugian negara, kalau cara memperolehnya dengan cara yang tidak sesuai aturan.

    Dia memberikan contoh misalnya cara pekerjaan menyuplai bahan bakar minyak (BBM) dengan cara yang tidak benar, karena dengan penunjukan langsung. “Maka biaya yang muncul dari mengangkut, membeli dan menyerahkan kepada anak perusahaan Pertamina bisa dihitung sebagai kerugian negara,” ujar Boyamin, Senin (3/3/2025).

    Boyamin melanjutkan, kerugian lainnya adalah selisih harga Pertamax dengan Pertalite. Sehingga, menurut Boyamin, masuk akal kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun tersebut. “Toh ini nanti juga masih dikonfirmasi hasil auditor negara, baik itu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP. Ini menghitungnya gampang kok nilai kerugiannya,” kata Boyamin.

    Dia melanjutkan, dengan langkah Kejagung mengungkap kasus minyak di Pertamina ini, bisa menjadi pemicu perbaikan di internal Pertamina. Dengan langkah hukum Kejagung, maka tata kelola yang dilakukan Peramina akan lebih baik, dan tidak macam-macam lagi.

    Boyamin mengungkapkan, sejak reformasi diduga ada praktik monopoli yang tidak tersentuh. “Hanya kelompok tertentu yang menjadi supplier BBM,” kata dia.

    Terlebih, lanjut dia, ada proses yang tidak benar dengan memaksa impor dengan alasan produk minyak dalam negeri tidak memenuhi syarat. Sehingga (minyak mentah) produk dalam negeri hanya dijual ke luar negeri.

    Sementara Pertamax atau Pertalite harus impor dari luar negeri. “Padahal bisa saja Pertalite dan Pertamax ini bahan bakunya adalah minyak kita yang kita jual ke mereka,” imbuhnya.

    Boyamin meminta agar semua pihak yang terlibat diproses hukum agar masalah ini tuntas. Boyamin juga minta agar semua yang terlibat dikenai pasal pencucian uang. “Dengan pencucian uang maka owner dan pemilik yang sesungguhnya akan bisa diproses hukum semua,” pungkasnya.

    (rca)

  • KPK Tetapkan 5 Tersangka Kasus LPEI, Rugikan Negara Rp988 Miliar

    KPK Tetapkan 5 Tersangka Kasus LPEI, Rugikan Negara Rp988 Miliar

    loading…

    Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo dan Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika dalam jumpa pers. Foto/Nur Khabibi

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) mengumumkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ( LPEI ). Dari lima orang tersebut, dua berasal dari LPEI dan sisanya dari PT Petro Energy (PE) selaku debitur.

    “KPK telah menetapkan lima orang tersangka terhadap dugaan tindak bidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh LPEI khususnya kepada PT PE,” kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo di Gedung Merah Putih KPK, Senin (3/3/2025).

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, kelimanya adalah Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi; Direktur Pelaksana IV LPEI, Arif Setiawan. Kemudian dari pihak PT PE yakni Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi Sugiarta.

    Perlu diketahui, KPK baru sekadar mengumumkan tersangka. Mereka yang diumumkan sebagai tersangka belum dilakukan penahanan.

    Budi menjelaskan, PT PE menerima kredit dari LPEI sebesar USD60 juta atau sekitar Rp988 miliar sejak Oktober 2015. Pemberian kredit ini menjadi masalah lantaran ditemukan perbuatan melawan hukum.

    “Singkatnya pendapatan dia itu lebih kecil daripada tanggungan yang harus ditanggung kepada LPEI,” ujarnya.

    Kemudian, Direksi LPEI tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diberikan pada saat PT PE ini melakukan atau mengajukan proposal kredit. PT PE juga membuat dokumen kontrak palsu yang kemudian dijadikan dasar untuk mengajukan kredit ke LPEI.

    Budi melanjutkan, pihaknya bersama BPKP telah menghitung kerugian negara akibat lasus tersebut. “Dinyatakan bahwa kerugian keuangan negara yang sampai saat ini dihitung kurang lebih 60 juta USD dikhusus untuk PT PE,” pungkasnya.

    (rca)

  • Gubernur Sumbar sampaikan pidato pertama usai dilantik

    Gubernur Sumbar sampaikan pidato pertama usai dilantik

    Sumber foto: Musthofa/elshinta.com.

    Gubernur Sumbar sampaikan pidato pertama usai dilantik
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 03 Maret 2025 – 16:21 WIB

    Elshinta.com – Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah menyampaikan pidato pertamanya pada rapat paripurna DPRD Provinsi Sumbar pasca dilantik Presiden RI, Prabowo Subianto 20 Februari 2025. 

    Gubernur menyampaikan Pidato dengan judul “Mewujudkan Sumbar Madani yang Maju dan Berkeadilan 2025 –2030”. Sumbar menghadapi berbagai tantangan dalam pembangunan yang harus dikelola dengan baik. 

    “Salah satu tantangan utama adalah pemerataan kualitas sumber daya manusia, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan dan keterampilan kerja agar sesuai dengan kebutuhan industri,” sebut Mahyeldi seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Musthofa, Senin (3/3). 

    Akses pendidikan dan layanan kesehatan, khususnya di daerah terpencil, juga perlu ditingkatkan demi kesejahteraan masyarakat. Di bidang ekonomi, modernisasi sektor pertanian dan perikanan serta pengembangan industri kreatif dan digital sangat penting untuk meningkatkan daya saing daerah. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menghadapi kesulitan dalam akses modal, teknologi dan pasar, sehingga inovasi harus menjadi strategi utama untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Tantangan lain sebut Mehyeldi, adalah penguatan infrastruktur dan konektivitas antar wilayah. Perbaikan jalan dan transportasi diperlukan agar akses antar kabupaten dan kota lebih lancar. 

    Selain itu, pengembangan infrastruktur digital sangat penting untuk mendukung transformasi 
    ekonomi berbasis teknologi. Sebagai daerah rawan bencana, Sumatera Barat perlu meningkatkan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Perubahan iklim telah terbukti mengganggu sektor pertanian dan ketersediaan air bersih, sehingga pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan menjadi prioritas.

    Dalam bidang sosial, pelestarian budaya dan identitas Minangkabau harus dilakukan untuk menjaga nilai-nilai lokal di tengah pengaruh globalisasi. Prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah harus tetapdijunjung tinggi, dan pariwisata berbasis budaya perlu dikembangkan tanpa menghilangkan kearifan lokal.

    Tuntutan agar Pemerintahan harus semakin transparan dan akuntabel sehingga kebijakan lebih efektif dan berpihak pada masyarakat. Digitalisasi layanan publik sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas birokrasi. Selain itu, pencegahan korupsi dan penyalahgunaan wewenang harus menjadi prioritas utama.

    Tantangan berat yang juga dihadapi adalah penyesuaian anggaran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang ini menetapkan bahwa pada tahun 2027, belanja pegawai maksimal diperbolehkan 30% dari total APBD, sementara belanja infrastruktur publik minimal diperbolehkan 40%. Saat ini, belanja pegawai di tingkat provinsi masih 34,21% berarti harus bisa dikurangi 4,21%, sedangkan belanja infrastruktur publik baru 32,04% dan harus kita tambah 7,96%. 

    Tantangan lebih besar ada di kabupaten dan kota, di mana belanja pegawai berkisar antara 40% hingga 52,70%, maka harus dikurangi sebanyak 10% s/d 22,7%. Sementara itu, belanja infrastruktur publik rata-rata masih 26%, bahkan ada yang hanya 9%, sehingga kabupaten dan kota wajib meningkatkan lagi sebesar 14% s/d 31% pada tahun 2027.

    Semua tantangan diatas, diperberat lagi dengan kondisi Fiskal Sumatera Barat dan Kabupaten serta Kota. Data APBD 2025 menunjukan bahwa APBD Sumatera Barat 52,93% masih bergantung dari dana Tranfer Pemerintah Pusat, baik dalam bentuk DAU, DAK maupun dana intensif fiskal atau DIF.

    Sedangkan kondisi 19 Kabupaten dan Kota lebih tinggi lagi ketergantungannya terhadap dana Tranfer dari Pemerintah Pusat, mulai dari yang tertinggi tingkat ketergantungannya mencapai 91,34% dan yang terendah tingkat ketergantungannya 67,68%.

    Kondisi ini membuat pemerintah provinsi sangat sulit menyalurkan Bantuan Keuangan Khusus kepada Kabupaten dan Kota (BKK), karena BKK tidak dihitung sebagai bagian dari Anggaran Infrastruktur Provinsi. 

    Gubernur dalam kesempatan itu menyampaikan terima kasih atas kesempatan menyampaikan pidato dalam Rapat Paripurna tersebut. 

    Rapat paripurna dihadiri gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi-Vasco Ruseimy, unsur Forkopimda, rektor universitas negeri dan swasta di sumatra barat, Kepala perwakilan BI Sumatera Barat, Kepala OJK Sumatera Barat, kepala BPKP Sumatera Barat, Kepala BPK Sumatera Barat, Kepala Ombudsman  RI Perwakilan Sumatera Barat serta kepala Instansi vertikal dan KPU serta bawaslu provinsi Sumatera Barat.

    Sumber : Radio Elshinta

  • KPK Tetapkan 5 Tersangka di Kasus LPEI, Kerugian Negara Rp900 Miliar

    KPK Tetapkan 5 Tersangka di Kasus LPEI, Kerugian Negara Rp900 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima orang tersangka pada kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy (PE). 

    Plh. Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo mengatakan bahwa lima orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka per Februari 2025. 

    “KPK telah menetapkan lima orang tersangka terhadap dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit LPEI khususnya terhadap PT Petro Energy. Dua orang Direktur LPEI, tiga orang dari PT Petro Energy,” ujar Budi saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (3/3/2025). 

    Meski demikian, Budi tidak memerinci lebih lanjut siapa lima orang tersangka itu. Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun, lima orang tersangka itu meliputi di antaranya dua orang Direktur Pelaksana LPEI Dwi Wahyudi (DW) dan Arif Setiawan (AS). 

    Kemudian, tiga orang dari PT Petro Energy adalah pemilik perusahaan, yakni Jimmy Masrin (JM), Direktur Utama Newin Nugroho (NN) serta Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD). 

    KPK telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung potensi kerugian keuangan negara pada dugaan fraud dalam pemberian fasilitas kredit LPEI ke PT PE. 

    Hasilnya, terdapat potensi kerugian keuangan negara sebesar US$60 juta atau setara dengan sekitar Rp900 miliar pada kasus dugaan fraud tersebut. 

    “Atas pemberian fasilitas kredit oleh LPEI khusus kepada PT PE ini, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar US$60 juta,” jelas Budi. 

    Meski demikian, Budi menerangkan bahwa kasus kredit LPEI ke PT PE bukan satu-satunya dugaan fraud yang tengah diusut. Ada total 11 debitur LPEI yang tengah diusut KPK, salah satunya yakni PT PE. 

    Total potensi kerugian keuangan negara pada dugaan fraud untuk 11 debitur tersebut ditaksir mencapai Rp11,7 triliun.

    “Total kredit yang diberikan dan jadi potensi kerugaian negara kurang lebih Rp11,7 triliun. Jadi untuk bulan Maret ini KPK telah menetapkan lima orang tersangka, sedangkan 10 debitur lainnya masih penyidikan,” pungkas Budi. 

    Sebelumnya, KPK telah mengumumkan penyidikan terhadap perkara LPEI pada awal 2024 lalu. Namun, saat itu penyidikan dilakukan belum dengan menetapkan tersangka. 

  • Profil dan Harta Kekayaan Max Ruland Boseke, Sestama Basarnas yang Pakai Uang Korupsi untuk Beli Arwana

    Profil dan Harta Kekayaan Max Ruland Boseke, Sestama Basarnas yang Pakai Uang Korupsi untuk Beli Arwana

    PIKIRAN RAKYAT – Max Ruland Boseke, mantan Sekretaris Utama Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), kini menjadi sorotan publik setelah terungkap keterlibatannya dalam kasus korupsi pengadaan truk di Basarnas.

    Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik Basarnas, tetapi juga mengungkap gaya hidup mewah Max Ruland Boseke, yang salah satunya adalah membeli ikan arwana super red seharga Rp40 juta dari uang hasil korupsi.

    Profil dan Rekam Jejak Karier

    Max Ruland Boseke memulai karier di Basarnas pada Maret 1975 sebagai Staf Subbidang Operasi Basarnas. Kariernya terus menanjak hingga menduduki jabatan strategis seperti Kabag Pengangkatan, PSG. Ksb. Organisasi dan Tata Laksana, dan Sekretaris Basarnas.

    Ia diketahui sempat dirotasi sebagai Kapus Litbang Perhubungan Darat Badan Litbang Perhubungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), ia kembali ke Basarnas pada Februari 2009 sebagai Sekretaris Utama hingga pensiun.

    Setelah pensiun, Max Ruland Boseke aktif di dunia bisnis dengan mendirikan dan menjabat sebagai Direktur Utama PT Anugerah Mulia Selaras, serta Komisaris Utama di beberapa perusahaan lainnya.

    Dilansir dalam akun LinkedIn-nya, Max Ruland Boseke pernah menerima Satyalancana Karya Satya dari Presiden RI atas pengabdiannya sebagai PNS selama 20 dan 30 tahun.

    Ia juga menerima Satyalencana Wira Karya dan pernah menjadi Dosen Ilmu Kewarganegaraan.

    Akun LinkedIn Max Ruland Boseke.

    Kasus Korupsi dan Gaya Hidup Mewah

    1. Pembelian Ikan Arwana

    Dalam persidangan, Max Ruland Boseke mengakui membeli ikan arwana super red senilai Rp40 juta dari uang hasil korupsi yang disebut sebagai “dana komando”.

    2. Dakwaan KPK

    Jaksa KPK mendakwa Max Ruland Boseke melakukan korupsi pengadaan truk di Basarnas yang merugikan negara miliaran rupiah.

    Ia didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp2,5 miliar dan memperkaya pihak lain sebesar Rp17,9 miliar. Kerugian negara akibat perbuatannya mencapai Rp20,4 miliar berdasarkan audit BPKP.

    3. Modus Korupsi

    Uang korupsi tersebut berasal dari perusahaan yang memenangkan tender pengadaan barang dan jasa di Basarnas.

    Harta Kekayaan Max Ruland Boseke

    Dilansir situs resmi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara KPK, Kepala Baguna PDIP tersebut terpantau melaporkan harta kekayaan pada tahun 2001, 2006, 2009, dan 2012.

    Tanggal lapor 6 April 2001
    Total harta kekayaan: Rp586.935.000

    Tanggal lapor 23 Agustus 2006
    Total harta kekayaan: Rp2.358.088.009

    Tanggal lapor 2 November 2009
    Total harta kekayaan: Rp1.957.936.529

    Tanggal lapor 16 Maret 2012
    Total harta kekayaan: Rp2.572.704.811

    Namun saat Pikiran-Rakyat.com mencoba melihat rincian harta kekayaan Max Ruland Boseke di tiap tahunnya, terdapat tulisan ‘File tidak ditemukan’.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Sudirman Said Soroti Wakil Kepala BPKP Rangkap Komisaris Pertamina Patra Niaga: Enggak Boleh Terjadi – Halaman all

    Sudirman Said Soroti Wakil Kepala BPKP Rangkap Komisaris Pertamina Patra Niaga: Enggak Boleh Terjadi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said turut menyoroti kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.

    Salah satu yang disoroti adalah terkait adanya Wakil Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Agustina Arumsari yang turut menjabat sebagai salah satu komisaris di Pertamina Patra Niaga.

    Mulanya, Said mengatakan PT Pertamina (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang hampir menguasai pasar migas di Indonesia.

    Menurutnya, hal semacam ini semakin membuka peluang untuk terjadinya praktek korupsi di perusahaan pelat merah tersebut.

    “Fakta bahwa Pertamina adalah pemegang pasar hampir mutlak. Ada beberapa pemain dari swasta, tetapi itu sangat kecil dan tidak berarti. Itu menjadi wilayah yang sebetulnya rentan untuk terjadinya permainan,” katanya dikutip dari program Gaspol di YouTube Kompas.com, Sabtu (1/3/2025).

    Selanjutnya, Said juga mengatakan bahwa volume perputaran uang di Pertamina sangatlah besar.

    Perputaran uang itu, sambungnya, justru semakin membuka peluang terjadinya suap di tengah maraknya kasus korupsi di Indonesia.

    Dia mencontohkan jika ada margin yang dimiliki Pertamina di balik perputaran uang tersebut, maka diduga kuat juga ada upaya untuk menyuap penegak hukum.

    “Dari mulai beresin orang-orang yang terlibat di dalam pengadaan di Pertamina, ini bukan tuduhan, tapi analisis sampai pada lembaga pengawasan yang berlapis-lapis,” katanya.

    Lalu, Said baru mengungkapkan bahwa di dalam direksi Pertamina Patra Niaga, ada Wakil Kepala BPKP yaitu Agustina Arumsari yang merangkap menjadi komisaris.

    Dia menegaskan hal tersebut tidak boleh terjadi karena diyakini akan ada konflik kepentingan.

    “Saya baru tahu bahwa Wakil Kepala BPKP adalah komisaris di salah satu anak perusahaan Pertamina yang menurut saya itu dulu tidak pernah terjadi.”

    “BPKP ya pengawas, enggak boleh ikut-ikut dalam manajemen (Pertamina Patra Niaga). Itu hanya terjadi kalau control environment atau kontrol lingkungannya rusak,” jelasnya.

    Selanjutnya, Said menilai terjadinya kasus mega korupsi di Pertamina Patra Niaga karena ada rangkaian orang yang terlibat, bahkan di lingkungan Istana.

    “Tidak mungkin transaksi semacam ini seperti halnya pengadaan di level kecamatan atau kabupaten, tetapi menyangkut value change atau supply change yang hanya orang-orang kuat yang bisa masuk dalam jaringan ini,” katanya.

    Said mengungkapkan praktek korupsi semacam ini akan hilang jika adanya kepemimpinan yang baik dari pihak-pihak terkait yang berkecimpung di dunia migas.

    Bahkan, kepemimpinan yang baik itu juga harus dimiliki oleh Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas mafia migas.

    “Kuncinya di clean leadership atau kepemimpinan yang bersih dan tidak ada interest yang kemudian menggunakan seluruh kekuatannya untuk melakukan pembersihan atau reform,” pungkasnya.

    “Bicara kepemimpinan itu berlapis-lapis. Dari anak perusahaan yang mengerjakan itu di induk perusahaannya. Di Kementerian BUMN, ESDM, dan sampai ke Kantor Presiden,” sambung Said.

    Ada 9 Tersangka Kasus Korupsi Minyak Mentah, Ini Perannya

    TERSANGKA KORUPSI PERTAMAX – (Kiri ke kanan atas) Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne; dan Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. (Kiri ke kanan bawah) Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; VP Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; dan Dirut PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi. Keenam petinggi Pertamina ini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina periode 2018-2023. Akibat perbuatan mereka, negara merugi hingga Rp193,7 triliun. (Kolase Tribunnews.com: Dok. Pertamina)

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus mega korupsi ini.

    Adapun perannya adalah Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva bersama Direktur Feedstock and Product Optimization PT Pertamina International, Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International, Agus Purwono, memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.

    Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka Agus untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.

    Adapun DW atau Dimas Werhaspati adalah Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.

    Sementara, GRJ atau Gading Ramadhan Joedoe selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (RON 92). 

    Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (RON 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi RON 92. 

    Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan. 

    Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.

    “Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi.”

    “Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN.”

    “Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Senin (24/2/2025).

    Sementara itu, peran dua tersangka baru yakni Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, mereka melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan Direktur Utama atau Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.

    “Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (mencampur) produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92,” jelas Qohar, Rabu (26/2/2025).

    Pembelian tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai kualitas barang. 

    “Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” jelasnya.

    Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu. 

    Perbuatan tersebut membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha. 

    Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan menggunakan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka supaya diperoleh harga yang wajar.

    Tak hanya itu saja, Qohar juga menjelaskan, Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap mark up dalam kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. 

    Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum. 

    “Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” jelas Qohar.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Rifqah)