Kementrian Lembaga: BPKP

  • Tom Lembong Klaim Masyarakat Lebih Suka Gula Lokal karena Lebih Kuning, Ini Kata Eks Pejabat BUMN – Halaman all

    Tom Lembong Klaim Masyarakat Lebih Suka Gula Lokal karena Lebih Kuning, Ini Kata Eks Pejabat BUMN – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Eks Menteri Perdagangan Tom Lembong mengklaim bahwa masyarakat Indonesia lebih suka gula lokal karena lebih kuning dan butirannya besar.

    Adapun hal tersebut diungkapkan Tom Lembong dalam sidang lanjutan kasus dirinya dalam dugaan korupsi impor gula Kementerian Perdagangan periode 2015-2016 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/4/2025). 

    “Jadi, apakah benar bahwa yang namanya gula putih atau gula konsumsi Indonesia itu cukup unik, karena lebih kuning dan butirnya lebih besar daripada standar gula pasir di luar?” tanya Tom Lembong kepada saksi Deputi Bidang Usaha Industri Argo dan Farmasi Kementerian BUMN periode 2015-2016, Wahyu Kuncoro di persidangan.

    Wahyu menerangkan memang karakteristik gula yang dihasilkan dari pabrik-pabriknya BUMN itu lebih kuning warnanya dibandingkan gula rafinasi. 

    Ia melanjutkan mengapa gula lokal lebih kuning karena teknologi yang digunakan pabrik gula BUMN, masih menggunakan sulfur untuk memutihkan gula tersebut. 

    “Sementara kalau di luar pabrik-pabrik yang teknologinya maju itu menggunakan karbonasi,” jawab Wahyu.

    Kemudian Tom Lembong mengatakan hal itu menjadi preferensi konsumen Indonesia.

    “Dimana konsumen Indonesia sukanya gula pasir yang butirnya emang besar, kasar, dan lebih kuning?” tanya Tom.

    Wahyu menerangkan belum ada penjelasan ilmiah terkait hal itu.

    “Tapi paling tidak masyarakat itu memahami yang kuning itu lebih manis,” jawab Wahyu.

    “Betul, kami juga dengar begitu,” respon Tom Lembog.

    “Berarti gula putih, gula kristal putih yang dikonsumsi di Indonesia boleh dibilang cukup unik. Hanya Indonesia yang produksi dan hanya pabrik gula BUMN yang memproduksi,” tanya Tom Lembong.

    “Saya tidak mengetahui persisnya. Intinya pabrik gula kami yang di BUMN itu memang outputnya, gulanya itu memang tidak sebagus gula yang diolah di pabrik rafinasi. Satu karena pabriknya tua, kemudian dua teknologinya sudah teknologi tingkatan zaman Belanda, cuman kami ini mengolah tebu rakyat, jadi tadi kristalnya lebih besar, warnanya lebih kuning,” jelas Wahyu.

    “Tapi, gula itu selalu laris kan? Selalu terjual habis kan?” tanya Tom Lembong.

    “Karena supply and demand memang tidak imbang kan Pak Tom. Jadi karena produksinya di BUMN itu hanya 1,6 juta, butuhnya 3 juta, apapun jenisnya ya diserap,” tegas Wahyu.

    Seperti diketahui dalam perkara ini Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 578 miliar dan memperkaya 10 orang akibat menerbitkan perizinan importasi gula periode 2015-2016.

    Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (6/3/2025).

    Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut, kerugian negara itu diakibatkan adanya aktivitas impor gula yang dilakukan Tom Lembong dengan menerbitkan izin impor gula kristal mentah periode 2015-2016 kepada 10 perusahaan swasta tanpa adanya persetujuan dari Kementerian Perindustrian.

    Jaksa menyebut Tom telah memberikan izin impor gula kristal mentah kepada:

    Tony Wijaya NG melalui PT Angels Products (AP),
    Then Surianto Eka Prasetyo melalui PT Makassar Tene (MT),
    Hansen Setiawan melalui PT Sentra Usahatama Jaya (SUJ),
    Indra Suryaningrat melalui PT Medan Sugar Industry (MSI),
    Eka Sapanca melalui PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU),
    Wisnu Hendra ningrat melalui PT Andalan Furnindo (AF),
    Hendrogiarto A. TiwowMmelalui PT Duta Sugar International (DSI),
    Hans Falita Hutama melalui PT Berkah Manis Makmur (BMM),
    Ali Sandjaja Boedidarmo melalui PT Kebun Tebu Mas (KTM),
    Ramakrishna Prasad Venkatesha Murthy melalui PT Dharmapala Usaha Sukses (DUS).

    “Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian memberikan surat Pengakuan Impor atau Persetujuan Impor Gula Kristal Mentah (GKM) periode tahun 2015 sampai dengan periode tahun 2016,” kata Jaksa saat bacakan berkas dakwaan.

    Tom kata Jaksa juga memberikan surat pengakuan sebagai importir kepada sembilan pihak swasta tersebut untuk mengimpor GKM untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP).

    Padahal menurut Jaksa, perusahaan swasta tersebut tidak berhak melakukan mengolah GKM menjadi GKP lantaran perusahaan tersebut merupakan perusahaan gula rafinasi.

    “Padahal mengetahui perusahaan tersebut tidak berhak mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP), karena perusahaan tersebut merupakan perusahan gula rafinasi,” kata Jaksa.

    Selain itu, Tom Lembong juga didakwa melakukan izin impor GKM untuk diolah menjadi GKP kepada PT AP milik Tony Wijaya di tengah produksi gula kristal putih dalam negeri mencukupi.

    Tak hanya itu, dijelaskan Jaksa, bahwa pemasukan atau realisasi impor Gula Kristal Mentah (GKM) tersebut juga dilakukan pada musim giling.

    Dalam kasus ini, kata jaksa Tom juga melibatkan perusahaan swasta untuk melakukan pengadaan gula kristal putih yang dimana seharusnya hal itu melibatkan perusahaan BUMN.

    “Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak melakukan pengendalian atas distribusi gula dalam rangka pembentukan stok gula dan stabilisasi harga gula yang seharusnya dilakukan oleh BUMN melalui operasi pasar dan atau pasar murah,” jelasnya.

    Dalam dakwaannya, Tom juga dianggap telah memperkaya diri sendiri dan 10 pihak swasta yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Akibat perbuatannya, Tom Lembong menurut Jaksa telah kerugian keuangan negara sebesar Rp578.105.411.622,47 atau Rp 578 Miliar.

    Angka tersebut ditemukan berdasarkan hasil perhitungan dari Badan  Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).

    Tom Lembong diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Tentang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)

  • BGN Bakal Sanksi Mitra yang Tak Sejalan dengan Program MBG
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    BGN Bakal Sanksi Mitra yang Tak Sejalan dengan Program MBG Nasional 18 April 2025

    BGN Bakal Sanksi Mitra yang Tak Sejalan dengan Program MBG
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Badan Gizi Nasional
    (BGN) menegaskan akan menjatuhkan sanksi teguran hingga administratif bagi yayasan atau mitra yang tidak sejalan dengan misi Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
    Langkah ini menjadi bagian dari upaya penguatan pengawasan menyusul mencuatnya
    dugaan penggelapan dana
    oleh yayasan berinisial MBN dalam kasus dapur MBG di Kalibata, Jakarta Selatan.
    Kepala BGN, Dadan Hindayana, menegaskan bahwa pihaknya akan bertindak tegas terhadap yayasan atau mitra yang terbukti tidak melaksanakan kerja sama sesuai komitmen awal.
    “Untuk kasus Kalibata, mereka memang ada perjanjian khusus yang terjalin sebelum mekanisme detail dari BGN selesai kami cermati. Ke depan, semua bentuk kemitraan akan diawasi lebih ketat,” ujar Dadan kepada
    Kompas.com
    , Jumat (18/4/2025).
    Selain itu, Dadan juga akan memperkuat proses identifikasi mitra dengan meminta data jati diri yang lebih lengkap sejak awal kerja sama.
    “Kami akan menambahkan opsi penjelasan jati diri mitra sebagai bentuk peningkatan identifikasi sejak awal,” kata Dadan.
    BGN juga berkomitmen untuk melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta lembaga audit independen guna melakukan pemeriksaan rutin.
    “Secara rutin meminta BPKP dan lembaga lain melakukan audit agar deteksi dini dilakukan,” ujarnya.
    Selain itu, BGN juga akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem kemitraan MBG dan memperbaiki tata kelola guna mencegah kejadian serupa terulang.
    “Penggunaan virtual account yang merupakan rekening bersama sudah menjadi salah satu bentuk pengawasan ketat di sistem kami,” kata Dadan.
    “Selain itu, penetapan biaya berbasis
    at cost
    , baik untuk bahan baku maupun operasional, disertai dengan referensi harga yang umum berlaku, adalah bagian dari sistem pengawasan kami,” tegas Dadan.
    Sebelumnya,
    mitra dapur MBG
    di Kalibata mengalami kerugian hampir Rp 1 miliar karena dugaan penggelapan dana oleh yayasan berinisial MBN.
    Dilansir dari Antara, Selasa (15/4/2025), Mitra Dapur Makan Bergizi Gratis di Kalibata, Ira Mesra Destiawati telah bekerja sama dengan pihak yayasan MBN dan SPPG Kalibata sejak bulan Februari sampai Maret 2025.
    Pihak Ira kurang lebih sudah memasak 65.025 porsi makan bergizi gratis yang terbagi dalam dua tahap.
    Namun, pihaknya mengalami kerugian sebesar Rp 975.375.000 dan sudah melapor ke kepolisian terkait dugaan penggelapan dana oleh yayasan MBN.
    “Kami selaku kuasa hukum menyesalkan tindakan MBN yang tidak membayarkan sepeser pun hak dari Ibu Ira, selaku mitra dapur Makan Bergizi Gratis di Kalibata,” ujar kuasa hukum korban, Danna Harly, kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas Nasional 17 April 2025

    Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DALAM
    lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) adalah simbol. Simbol harapan, integritas, dan perlawanan terhadap kebusukan kekuasaan.
    Namun, simbol hanya hidup jika ia terus dipelihara dalam jarak dari kekuasaan itu sendiri. Ketika jarak itu lenyap, maka runtuh pula kepercayaan publik yang menjadi pondasi utama keberadaan KPK.
    Masuknya Ketua KPK, Setyo Budiyanto, ke dalam struktur Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI
    Danantara
    ), adalah kabar buruk bagi demokrasi, lebih-lebih bagi agenda antikorupsi.
    Sebab di sanalah pengawas formal ikut duduk di meja kuasa, dan batas etik pun tergilas logika kekuasaan.
    KPK melalui juru bicaranya berusaha menjelaskan bahwa keikutsertaan Ketua KPK adalah representasi institusi, bukan pribadi.
    Penjelasan itu tampak normatif dan steril. Publik bukan sedang membahas legalitas formal, melainkan integritas moral.
    Dalam praktiknya, KPK tidak pernah lepas dari wajah-wajah yang memimpinnya. Ketua KPK adalah simbol politik etik institusional. Ketika simbol itu bergabung dalam struktur pengelola kekayaan negara, yang diawasi justru kehilangan pengawasan.
    Lebih runyam lagi, Ketua KPK tidak sendirian. Di dalam struktur itu juga duduk Ketua BPK, Kepala PPATK, Kepala BPKP, Jaksa Agung, dan Kapolri.
    Maka lengkap sudah: seluruh simpul utama pengawasan dan penegakan hukum negara duduk dalam satu struktur yang sama dengan objek yang semestinya mereka awasi.
    Inilah ironi pengawasan dalam rezim modern. Dalam bayang-bayang
    good governance
    , pengawasan dilebur ke dalam kuasa.
    Dalam balutan akuntabilitas, pengawas disulap jadi kolega. Sementara publik, yang selama ini menggantungkan harapan pada institusi seperti KPK, hanya bisa menyaksikan pergeseran ini dengan getir.
    Masuknya Ketua KPK dalam struktur Danantara bukan sekadar soal formalisme jabatan. Ini adalah titik balik dalam sejarah relasi antara lembaga pengawas dan kekuasaan yang diawasinya.
    KPK sejak awal didesain sebagai lembaga ad hoc, independen, dan bebas dari intervensi politik serta konflik kepentingan. Bahkan pada masa-masa awal pascareformasi, prinsip “jaga jarak dengan kekuasaan” menjadi mantra etik yang dijaga ketat.
    Namun kini, KPK bukan saja tak menjaga jarak, ia justru mengambil tempat di lingkaran dalam. Di sinilah letak soal utamanya: potensi konflik kepentingan tak lagi potensial, melainkan faktual.
    Kita tentu ingat bagaimana sejarah Indonesia mencatat upaya sistematis pelemahan KPK sejak revisi UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019.
    Perubahan itu telah menempatkan KPK sebagai bagian dari cabang eksekutif, tunduk pada presiden melalui Dewan Pengawas, dan terbelenggu dalam tata birokrasi yang kaku.
    Kini, setelah nyaris tak bertaji dalam penindakan, KPK malah aktif menempatkan diri dalam pusaran kekuasaan.
    Pertanyaannya sederhana: bagaimana publik dapat memercayai KPK mengusut kasus korupsi dalam tubuh Danantara jika ketua KPK adalah bagian dari struktur pengawas lembaga tersebut?
    Bagaimana prinsip kehati-hatian dan independensi ditegakkan jika batas antara pengawasan dan keterlibatan menjadi kabur?
    Tidak ada yang salah dengan tujuan Danantara: mengelola dana investasi negara untuk kemakmuran rakyat. Namun, pengelolaan dana jumbo selalu membuka celah korupsi.
    Dan ketika pengelolaan itu tidak diawasi secara independen, maka lubang hitam penyalahgunaan akan tumbuh lebar.
    Pengawasan tidak cukup dijalankan dari dalam. Ia butuh jarak, tegas, dan bebas dari komitmen loyalitas.
    Masuknya pengawas dalam ruang kuasa justru mengaburkan peran dan memperbesar ruang kompromi. Yang terjadi kemudian bukan pengawasan, melainkan normalisasi kekuasaan tanpa kritik.
    Zaenur Rohman, peneliti PUKAT UGM, menyebut bahwa struktur dan tugas Komite Pengawasan Danantara tidak transparan. Tidak ada kejelasan soal bagaimana keputusan dibuat, bagaimana independensi dijaga, dan bagaimana mekanisme koreksi internal dibentuk.
    Artinya, keterlibatan KPK dalam struktur itu bukan hanya berisiko secara etik, tetapi juga secara prosedural dan substantif.
    Dalam konteks itu, KPK tak lagi bisa berdalih. Ia tak bisa berlindung di balik retorika representasi kelembagaan, karena sesungguhnya ia tengah menggali liang kubur bagi integritasnya sendiri.
    Dalam bahasa yang lebih keras, publik bisa saja menyimpulkan: KPK tak lagi menjadi bagian dari solusi, melainkan bagian dari sistem yang hendak dipertahankan kekuasaannya.
    Publik tentu tak berharap KPK menjadi musuh negara. Namun, yang diharapkan adalah KPK tetap menjadi musuh korupsi.
    Untuk itu, ia harus menjaga jarak dari kekuasaan, sebab kekuasaanlah ruang paling rawan bagi praktik korupsi. Ketika lembaga antikorupsi justru memeluk kekuasaan, maka tak ada lagi yang menjaga pagar dari dalam.
    Kita sedang menyaksikan pergeseran besar dalam peta etika kelembagaan. KPK tidak lagi berdiri sebagai institusi yang merepresentasikan keberanian moral dalam melawan korupsi.
    Ia kini lebih mirip seperti lembaga birokratis yang jinak, mengikuti irama kekuasaan yang sedang dominan.
    Masyarakat sipil harus bersuara. Lembaga pengawas tidak boleh larut dalam sistem yang diawasi.
    Pemisahan peran bukan soal ego institusional, tapi soal akuntabilitas demokratis. KPK harus segera menarik diri dari struktur Danantara jika ingin memulihkan kembali kepercayaan publik.
    Kita tak bisa terus-menerus membenarkan langkah keliru dengan dalih formalitas hukum. Etika publik adalah pijakan utama dalam pemberantasan korupsi. Ia tak bisa dinegosiasikan, apalagi dikompromikan demi kenyamanan politik atau keterlibatan struktural.
    Kini, saat pengawas duduk di meja kuasa, publik mesti bertanya: siapa yang akan mengawasi pengawas? Siapa yang akan menegakkan etika, jika institusi penjaga etika justru memilih jadi bagian dari kuasa?
    KPK bisa saja bertahan secara legal. Tapi tanpa legitimasi moral, keberadaannya hanya akan menjadi simbol kosong.
    Kita tak butuh KPK yang sekadar ada, kita butuh KPK yang bekerja dan menjaga jarak. Sebab hanya dengan jarak, pengawasan bisa tajam. Hanya dengan integritas, kepercayaan bisa tumbuh.
    Dan hanya dengan kepercayaan publik, KPK bisa kembali jadi harapan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5 Anak Perusahaan Duta Palma Didakwa Rugikan Keuangan Negara Rp4,7 Triliun

    5 Anak Perusahaan Duta Palma Didakwa Rugikan Keuangan Negara Rp4,7 Triliun

    loading…

    PT Duta Palma Group melalui lima anak perusahaannya didakwa merugikan keuangan negara Rp4.798.706.951.640 (Rp4,7 triliun) dan USD7.885.857,36. Foto/Nur Khabibi

    JAKARTA – PT Duta Palma Group melalui lima anak perusahaannya didakwa merugikan keuangan negara Rp4.798.706.951.640 (Rp4,7 triliun) dan USD7.885.857,36 dalam kasus dugaan korupsi serta tindak pidana pencucian uang pengolahan sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau pada tahun 2004-2022. Lima anak perusahaan Duta Palma Group yang dimaksud adalah PT Palma Satu, PT Seberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, dan PT Kencana Amal Tani.

    “Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan Keuangan Negara sebesar Rp4.798.706.951.640 dan USD7.885.857,36,” kata Jaksa membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Jaksa menyebutkan, jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang dilakukan oleh Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu sebagaimana Laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03/SR/657/D5/01/2022 Tanggal 25 Agustus 2022.

    Jaksa menjelaskan, kelima terdakwa korporasi itu melalui Surya Darmadi selaku bos Duta Palma Group melakukan pertemuan dengan Bupati Indragiri Hulu H. Raja Thamsir Rachman. Pertemuan tersebut guna pembukaan lahan lima korporasi itu dapat disetujui oleh bupati untuk melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit meski diketahui lahan yang dimohonkan berada dalam kawasan hutan.

    “Meskipun tidak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) telah diberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit oleh Raja Thamsir Rachman, padahal diketahui bahwa lahan yang diberikan izin tersebut berada dalam kawasan hutan,” ujarnya.

    Lima korporasi tersebut dalam melaksanakan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan walaupun diberikan izin usaha perkebunan tetapi tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan, sehingga negara tidak memperoleh haknya berupa pendapatan dari pembayaran Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Sewa Penggunaan Kawasan Hutan.

    “Secara tanpa hak telah melaksanakan usaha perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan yang mengakibatkan rusaknya kawasan hutan dan perubahan fungsi hutan,” ucapnya.

    Dalam praktiknya, lima perusahaan itu juga tidak mengikutsertakan masyarakat petani perkebunan sebagaimana dipersyaratkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 357/Kpts/HK.350/5/2002 serta tidak membangun kebun untuk masyarakat paling rendah seluas 20%.

    Selain itu, untuk pencucian uang diduga telah dilakukan penempatan dana dalam bentuk pembagian dividen, pembayaran utang pemegang saham, penyetoran modal, dan transfer dana kepada PT Asset Pacific, PT Monterado Mas, PT Alfa Ledo, dan ke perusahaan afiliasi lainnya yang kemudian melakukan pembelian sejumlah aset atau setidak-tidaknya menguasai aset dengan mengatasnamakan perusahaan maupun perorangan termasuk kepemilikan sejumlah uang yang bersumber dari hasil tindak pidana korupsi.

    Akan hal itu, para terdakwa telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 20 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Kemudian, Pasal 4 Jo. Pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    (rca)

  • Pernah Disanksi Etik KPK, Nurul Ghufron Lolos Seleksi Calon Hakim Agung

    Pernah Disanksi Etik KPK, Nurul Ghufron Lolos Seleksi Calon Hakim Agung

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron lolos seleksi administrasi sebagai calon Hakim Agung Kamar Pidana 2025. Ghufron dinyatakan lolos proses verifikasi berkas administrasi yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). 

    Untuk diketahui, KY telah selesai menggelar tahapan seleksi administrasi seleksi calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Hak Asasi Manusia (HAM) 2025.

    Berdasarkan hasil sidang pleno yang digelar Senin (14/4/2025), terdapat total 161 orang calon Hakim Agung dan 18 calon Hakim Ad Hoc HAM yang lolos ke tahapan berikutnya. 

    Proses seleksi yang dilakukan itu untuk memenuhi pos jabatan lima Hakim Agung Kamar Pidana, tiga Hakim Agung Kamar Perdata, dua Hakim Agung Kamar Agama, satu Hakim Agung Kamar Militer, satu Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara (TUN), lima Hakim Agung Kamar TUN khusus pajak, serta tiga Hakim Ad Hoc HAM di MA. 

    KY mencatat telah menerima 183 pendaftar calon Hakim Agung konfirmasi dan 24 pendaftar calon Hakim Ad Hoc HAM di MA konfirmasi.

    “Namun, KY menyatakan calon yang memenuhi syarat administrasi hanya 161 orang calon hakim agung dan 18 orang calon hakim ad hoc HAM di MA. Seleksi administrasi ini diukur berdasarkan indikator kelengkapan berkas dan kesesuaian persyaratan,” ujar Anggota KY dan Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata dalam konferensi pers daring, dikutip dari siaran pers, Selasa (15/4/2025).

    Secara terperinci, para calon hakim yang lolos seleksi administrasi itu meliputi 68 orang calon Hakim Agung Kamar Pidana, 33 Hakim Agung Kamar Perdata, 40 Hakim Agung Kamar Agama, 7 Hakim Agung Kamar Militer, 4 Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara (TUN), 9 Hakim Agung Kamar TUN khusus pajak, serta 18 Hakim Ad Hoc HAM di MA. 

    Para calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc HAM MA itu kini dapat mengikuti seleksi kualitas yang akan digelar 29-30 April 2025. Seleksi kualitas itu meliputi tes menulis makalah di tempat, studi kasus hukum, studi kasus KEPPH serta tes objektif.

    Berdasarkan profesinya, para calon Hakim Agung yang lolos seleksi administrasi itu berasal dari hakim karier sebanyak 125 orang, akademisi (12 orang), advokat (7 orang), hakim ad hoc (5 orang), dan lainnya (12 orang). 

    Ghufron adalah Dosen Hukum Universitas Jember yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua KPK 2019-2024. Dia dinyatakan lolos seleksi administrasi untuk Hakim Agung Kamar Pidana. 

    Sementara itu, calon Hakim Ad Hoc HAM di MA yang lolos administrasi berasal dari profesi advokat sebanyak 6 orang, akademisi 5 orang, hakim ad hoc 4 orang, hakim 1 orang, dan lainnya 2 orang.

    Adapun Ghufron dan koleganya, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Johanis Tanak telah menyelesaikan masa jabatannya sebagai pimpinan KPK jilid V pada akhir 2024 lalu. Hanya Johanis Tanak, yang berlatar belakang jaksa, berhasil melanjutkan periode kedua kepemimpinan di lembaga antirasuah untuk lima tahun ke depan. 

    Ghufron sebelumnya ikut menjalani seleksi calon pimpinan KPK oleh panitia seleksi (pansel), yang dipimpin Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh. Namun, akademisi itu gagal lolos pada tes profile assessment yang menyisakan hingga 20 orang calon pimpinan dan 20 calon dewan pengawas KPK. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, Ghufron pernah dinyatakan terbukti melanggar etik berdasarkan vonis Majelis Etik Dewas KPK. Sanksi yang dijatuhkan ke Ghufron terkategorikan sedang, berupa teguran tertulis. 

    Pimpinan periode 2019-2024 itu terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewas (Perdewas) KPK No.3/2021. Kasus yang menjeratnya lantaran pernah menghubungi Sekjen Kementan saat itu, Kasdi Subagyono, terkait dengan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut. 

    “Menjatuhkan sanksi sedang kepada terperiksa teguran tertulis yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa selaku pimpinan KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku,” ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, Jumat (6/9/2024).

  • Sidang Korupsi Timah, Ahli Soroti Adanya Kekeliruan Perhitungan Kerugian Negara

    Sidang Korupsi Timah, Ahli Soroti Adanya Kekeliruan Perhitungan Kerugian Negara

    loading…

    Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Alwin Akbar kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/4/2025). Foto/Dok. SindoNews

    JAKARTA – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa mantan Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk Alwin Akbar kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/4/2025). Agenda sidang menghadirkan saksi ahli, yakni Tri Hayati, dosen Hukum Pertambangan dan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, serta Gatot Supiartono, dosen di institut Bisnis dan Informatika Kesatuan, yang ahli bidang Audit Keuangan Negara.

    Dalam keterangannya, Gatot Supiartono menyampaikan pandangan dari sisi audit. Ia mengkritisi perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) dalam perkara ini.

    Menurutnya, terdapat kekeliruan dalam metode penghitungan, terutama terkait dengan penyewaan smelter dan pembelian bijih timah. Karena pihak Kejagung hanya menghitung berdasarkan harga pokok penjualan (HPP) saja.

    “Tidak bisa hanya berdasarkan HPP karena ada komponen lain yang harus dihitung. Untuk kategori kerugian lingkungan, harus nyata dan pasti. Kerusakan lingkungan memang terjadi, tapi belum tentu itu langsung dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara. Negara punya mekanisme pemanfaatan dana jamrek untuk pemulihan. Kalau belum digunakan, belum bisa disimpulkan sebagai kerugian,” katanya.

    Mantan auditor BPKP ini juga menyoroti BPKP yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa seluruh transaksi dianggap ilegal sehingga diklaim sebagai kerugian total loss.“Kalau diambil dari pemilik IUP yang sah atau berdasarkan SPK PT Timah, maka seharusnya tidak bisa disebut ilegal. Harus ada klasifikasi yang jelas sebelum menyimpulkan kerugian,” ujarnya.

    Sedangkan ahli lainnya Tri Hayati menerangkan, dalam hukum pertambangan, tanggung jawab penuh atas kegiatan penambangan berada pada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ia menjelaskan, PT Timah sebagai BUMN justru menjalankan peran negara dalam menertibkan tambang ilegal melalui program kemitraan.

    “PT Timah tidak bisa dianggap mencuri di tanah sendiri. Mereka justru diminta negara untuk menertibkan tambang ilegal. Karena penambang rakyat tidak mampu memenuhi syarat berbadan hukum, PT Timah kemudian menggandeng perusahaan untuk menyalurkan aktivitas tersebut dalam program kemitraan,” terangnya.

    Ia menambahkan kegiatan penambangan yang dilakukan melalui kerja sama dalam bentuk Surat Perintah Kerja (SPK) seharusnya dianggap legal. Tri juga menekankan bahwa istilah sewa-menyewa smelter dalam industri pertambangan bukanlah praktik ilegal. Menurutnya, kegiatan tersebut sah sepanjang didasarkan pada perjanjian konsesi untuk efisiensi produksi.

    Terkait kerusakan lingkungan, Tri Hayati menyatakan bahwa dalam setiap aktivitas tambang memang ada dampak lingkungan. Namun hal itu telah diantisipasi melalui kewajiban pembayaran jaminan reklamasi (jamrek) oleh pemegang IUP.

    “Kalau tidak mau ada kerusakan, ya jangan menambang. Tapi tambang ini dijamin oleh pasal 33 UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” katanya.

    Untuk diketahui, Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk (periode 2017-2020) Alwin Akbar didakwa telah mengakomodir kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk yang dilakukan beberapa pihak salah satunya Harvey Moeis melalui PT Refined Bangka Tin.

    Dakwaan terhadap Alwin telah dibacakan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024) malam. Turut didakwa Plt Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020 Supianto dan Direktur Jendral Minerba tahun 2015-2020 Bambang Gatot Ariyono.

    (poe)

  • Nasib Pilu 29 Tenaga Kesehatan, Haknya Disunat Bendahara dan Kepala Puskesmas

    Nasib Pilu 29 Tenaga Kesehatan, Haknya Disunat Bendahara dan Kepala Puskesmas

    TRIBUNJATENG.COM – Sedikitnya 29 tenaga kesehatan menjadi korban keserakahan bendahara dan kepala Puskesmas Amban.

    Para korban tersebut mengalami pemotongan hak.

    Setelah dilaporkan dan dilaksanakan gelar perkara, pihaknya mengembalikan uang.

    Kepala Puskesmas Amban dan bendahara puskesmas itu mengembalikan Rp 90 juta melalui penyidik Tipikor Polresta Manokwari.

    Baik YK selaku kepala puskesmas maupun BI sebagai bendahara kini berstatus tersangka setelah hasil gelar perkara penyidik Polresta Manokwari di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua Barat pada Maret 2025.

    “Sudah ada pengembalian Rp 90 juta, tapi tidak menghapus unsur pidana,” kata Kasat Reskrim Polresta Manokwari AKP Raja Napitupulu, Sabtu (12/4/2025), seperti dikutip TribunJatim.com via Kompas.com, Minggu (13/4/2025).

    Keduanya merupakan tersangka dugaan korupsi bantuan dana operasional kesehatan (BOK) di Puskesmas Amban tahun 2021. 

    AKP Raja mengatakan, pengembalian dugaan kerugian negara sebagai alat bukti yang bakal mengurangi hukuman bagi para tersangka.

    Dalam kasus dugaan korupsi dana BOK di Puskesmas Amban pada tahun 2021, kerugian negara dari hasil pemeriksaan BPKP sekitar Rp 426 juta lebih, dari total anggaran Rp 742 juta lebih.

    “Dalam bulan ini akan kita lakukan pelimpahan berkas tahap satu ke kejaksaan,” ucapnya.

    Dalam perkara tersebut, diduga terdapat hak-hak tenaga medis yang dikebiri para tersangka.

    Dari hasil pemeriksaan penyidik, terdapat 29 korban yang dikurangi haknya meski mereka telah menjalankan tugasnya di lapangan.

    Kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan operasional kesehatan (BOK) di Puskesmas Amban, Manokwari, Papua Barat tahun 2021 mencapai Rp 400 juta. 

    Kasat Reskrim Polresta Manokwari, AKP Raja Napitupulu, mengaku bahwa penanganan kasus dugaan korupsi dana BOK di Puskesmas Amban sudah lama berproses.

    Hal itu disebabkan karena penyidik menunggu hasil penghitungan kerugian negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Papua Barat.

    “Kerugian negara dari BPKP sudah ada, jadi kita akan tetapkan tersangka dalam waktu dekat,” kata Raja, Rabu (1/1/2025).

    Raja menyebut penghitungan kerugian negara dari BPKP dalam kasus korupsi BOK sekitar Rp400 juta.

    “Secara riil saya tidak hafal, tapi sekitar Rp400 juta dugaan kerugian negara,” tuturnya.

    Dana Bantuan Operasional Kesehatan kepada Puskesmas Kelurahan Amban, Distrik Manokwari Barat, Tahun 2021 senilai Rp 750 juta diduga disalahgunakan.

    Dana tersebut seharusnya diberikan dalam rangka penanganan bagi ibu hamil dan bayi sesuai peraturan Menteri Kesehatan.

    Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan puluhan saksi, diduga terdapat sejumlah dokumen pertanggungjawaban fiktif.

    “Sudah sidik, tinggal kita tetapkan tersangka. Rencana awal tahun 2025,” tegas AKP Raja Napitupulu.

    Uang Rp 245 juta lenyap dalam sekejap, seorang bendahara dibuat syok hingga lemas. (*)

     

  • Bareskrim Kembali Serahkan Berkas Kasus Pagar Laut ke Kejagung, Kapuspenkum: Saat Ini Masih Ditelaah – Page 3

    Bareskrim Kembali Serahkan Berkas Kasus Pagar Laut ke Kejagung, Kapuspenkum: Saat Ini Masih Ditelaah – Page 3

     

    Liputan6.com, Jakarta – Bareskrim Polri telah melimpahkan berkas perkara dugaan pemalsuan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) untuk proyek pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten atau dikenal tahap 1 ke Kejaksaan Agung. Dalam kasus ini, salah satu tersangkanya adalah Kepala Desa (Kades) Kohod, Arsin.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengkonfirmasi, berkas perkara itu kini sedang ditelaah oleh tim peneliti Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung. Dia mengatakan, surat dari penyidik perihal pengiriman kembali berkas perkara tersangka Arsin Bin Asip, dan kawan-kawan telah diterima per 10 April 2025

    “Saat ini Tim JPU sedang mempelajari dan meneliti kembali,” kata dia kepada wartawan, Sabtu (12/4/2025).

    Harli mengatakan, Kejaksaan Agung akan meminta penyidik Bareskrim melimpahkan tersangka maupun barang bukti, bilamana berkas telah dinyatakan lengkap. Dia menegaskan, proses penelaahan hingga kini masih berjalan.

    “Jika hasil penelitiannya sudah ada nanti kita sampaikan ya,” tandas dia.

    Dalam berkas tersebut, Bareskrim menyimpulkan bahwa dugaan pelanggaran hanya sebatas tindak pidana umum, yakni pemalsuan dokumen milik warga terkait kepemilikan lahan di kawasan pesisir. Oleh karena itu, pasal korupsi tidak dimasukkan dalam dakwaan.

    Menurut penjelasan Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandani, tidak ditemukan unsur kerugian negara dalam perkara ini. Ia menegaskan bahwa penyidik merujuk pada Putusan MK No.25/PUU-XIV/2016, yang menyatakan bahwa pasal korupsi harus dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan negara secara nyata dan berdasarkan audit lembaga resmi seperti BPK atau BPKP.

    “Dalam frase dapat merugikan kerugian negara di pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.31 tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga kerugian negara secara nyata haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI atau BPKP,” tegas Djuhandani.

  • 6 Fakta Mantan Wakil Wali Kota Palembang dan Suaminya Jadi Tersangka Dugaan Korupsi PMI

    6 Fakta Mantan Wakil Wali Kota Palembang dan Suaminya Jadi Tersangka Dugaan Korupsi PMI

    Dari hasil penyelidikan, penetapan tersangka eks Wawako Palembang dan suaminya dikuatkan dengan dua alat bukti yang sah. Keduanya dijerat UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 2 dan Pasal 3 tentang UU Tipikor.

    Fitrianti Agustinda ditahan di Lapas Perempuan Kelas II A Palembang. Sedangkan suaminya Dedi mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1A Palembang. Keduanya akan dipenjara selama 20 hari sejak masuk tahanan.

    “Modusnya diduga pengelolaan dana tidak sesuai dengan ketentuan yang menimbulkan potensi kerugian negara. Hal itu dari peran aktif keduanya. Untuk berapa besar kerugiannya akan ditetapkan dari penghitungan oleh BPKP nanti,” kata Kepala Kejari Palembang Hutamrin.

    Bantah Korupsi

    Saat hendak dibawa ke Lapas Perempuan Kelas II A Palembang Fitrianti Agustinda membantah tuduhan korupsi yang dilakukannya saat menjabat sebagai Ketua PMI Palembang 2020-2023.

    “Tidak ada dana hibah. Tolong dicatat. Dana hibah sudah diperiksa oleh BPK tidak ada kerugian negara,” ucapnya.

    Dia berkilah, jika BPPD PMI Palembang bukanlah dana hibah, sehingga dia tak terima dituduh memakan dana hibah tersebut selama mencatat.

    Respon Suami Fitrianti

    Jika Fitrianti Agustinda bersuara terkait penetapan status tersangka oleh Kejari Palembang. Berbeda dengan Dedi Sipriyanto yang hanya sedikit menjawab pertanyaan awak media.

    “Kalian mau nanya apa,”ucapnya pelan.

    Setelah itu, tak ada lagi suara dari Dedi Sipriyanto sampai akhirnya pasutri tersebut dibawa ke mobil Kejari Palembang untuk diantar ke penjara.

     

  • Kemensos kerahkan KPM dukung Koperasi Desa Merah Putih

    Kemensos kerahkan KPM dukung Koperasi Desa Merah Putih

    Rakor terbats di kantor Kemenko Bidang Pangan, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Foto: Biro Humas Kemensos RI

    Kemensos kerahkan KPM dukung Koperasi Desa Merah Putih
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Kamis, 10 April 2025 – 18:28 WIB

    Elshinta.com – Kementerian Sosial mengaku siap mendukung penuh program pendirian Koperasi Desa Merah Putih dengan mengerahkan jutaan keluarga penerima manfaat (KPM) sebagai anggota serta menyuplai produk hasil usaha.

    Kesiapan ini disampaikan langsung Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) saat menghadiri rapat koordinasi terbatas di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan di Jakarta,  untuk membahas tindak lanjut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih, Kamis (10/4/2025).

    “Dalam Inpres Nomor 9 ada dua penugasan pada kami. Pertama, mendorong Keluarga Penerima Manfaat (KPM) atau Penerima Manfaat untuk menjadi anggota Koperasi Merah Putih. Dan kedua, mendorong mereka yang memiliki usaha untuk nanti bisa dijual di koperasi. Kami siap untuk mendukung dua tugas itu, sekaligus ini kami anggap sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan, jadi sangat strategis Koperasi Merah Putih,” ujarnya.

    Gus Ipul memaparkan bahwa saat ini terdapat 18 juta KPM Program Keluarga Harapan (PKH) dan 10 juta Penerima Manfaat Program Sembako. Bila digabungkan, terdapat sekitar 20 juta KPM, karena sebagian menerima kedua program tersebut secara bersamaan. Jumlah ini menjadi potensi besar untuk digerakkan bergabung dalam Koperasi Desa Merah Putih.

    “Ini nanti kita dorong menjadi anggota koperasi,” katanya.

    Selain sebagai anggota, Kemensos juga menyiapkan KPM graduasi yang potensial sebagai penyedia produk di koperasi. Tercatat klaster usaha KPM graduasi tahun 2024 meliputi 1.686 KPM di bidang jasa dan perdagangan, 315 di bidang kerajinan dan menjahit, 1.602 di bidang makanan dan minuman, 284 di bidang pertanian, serta 214 di bidang peternakan.

    “Produk dari KPM akan bisa dijual di koperasi-koperasi Merah Putih sesuai Inpres Nomor 9 Tahun 2025,” ucap Gus Ipul.

    Kemensos juga mencatat sebanyak 7.242 KPM PKH Graduasi kategori mampu tahun 2024 yang dinilai potensial untuk menjadi pengurus Koperasi Merah Putih.

    Untuk mendukung pengembangan koperasi desa, Kemensos juga siap menyediakan sumber daya manusia dari pilar-pilar sosial yang ada.

    “Kami punya 33 ribu pendamping PKH, kalau misalnya nanti diminta untuk membantu Koperasi Desa Merah Putih,” kata Gus Ipul.

    Selain pendamping PKH, Kemensos juga memiliki 6.061 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), 24.391 Taruna Siaga Bencana (Tagana), dan 1.946 Pendamping Rehabilitasi Sosial yang siap dilibatkan.

    Dalam kesempatan ini, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyambut baik kesiapan Kemensos memberikan dukungan bagi pendirian koperasi desa merah putih. Zulhas menyebut rapat pada hari ini merupakan langkah awal menindaklanjuti Inpres Nomor 9 Tahun 2025 untuk mempercepat pembentukan koperasi dengan dukungan dari berbagai kementerian.

    “Ada Menteri Koperasi tentu, ada Menteri Desa, ada Mentan, Menteri KKP, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Mendagri, Mensos, Menkes, Menteri Bappenas, Menteri Komdigi, Menteri BPKP, dan yang lainnya,” Ujarnya.

    Penulis: Hutomo Budi/Ter

    Sumber : Radio Elshinta