Kementrian Lembaga: BPKP

  • Hadapi Reaksi Keras dari Pengembang, Menteri PKP Ungkap Ada Proyek Rumah Subsidi Tak Berkualitas – Halaman all

    Hadapi Reaksi Keras dari Pengembang, Menteri PKP Ungkap Ada Proyek Rumah Subsidi Tak Berkualitas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Maruarar Sirait mengungkap adanya pengembang yang tak bertanggung jawab dalam membangun rumah subsidi yang berkualitas. 

    Dalam rapat dengan Komisi V DPR RI, Ara mengaku dirinya menghadapi reaksi keras dari sejumlah pengembang rumah subsidi. 

    “Karena kami menemukan rumah subsidi yang dikelola dengan tidak berkualitas, contoh yang tidak ada hujan tapi banjir, yang retak-retak belum setahun, dan kami menemukan dalam setiap kunjungan kekecewaan dan kesedihan,” kata Ara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Dia mencontohkan di Kabupaten Semarang, ada pembeli rumah subsidi dan sudah membayar sertifikat, tetapi para pembeli tersebut tak kunjung menerima kunci rumah.

    Dirinya pun bersedia jika Komisi V mau mempertemukan dirinya dengan pengembang rumah subsidi.

    “Saya siapkan data-datanya lengkap. Kalau mau meninjau lapangan saya bisa antar, karena kalau bisa ya data dibalas dengan data, fakta dibalas dengan fakta karena kami menyampaikan datanya lengkap,” kata dia.

    Ara mengatakan pihaknya juga sudah berkonsultasi dengan sejumlah lembaga, seperti KPK, BPK, dan BPKP untuk proses lanjutan terkait temuan Kementerian PKP tersebut.

    “Saya terbuka saja, karena itu adalah bagian dari keuangan negara, kita harus lindungi  rakyat kita, kita tak bisa biarkan rakyat kita mendapat perlakuan seperti itu,” kata Ara.

    Politikus Gerindra itu memahami bahwa proyek rumah subsidi menguntungkan para pengembang.

    “Tapi jangan juga dapat untung dari rumah subsidi tapi tidak bertanggung jawab. Saya terbuka saja kalau diundang DPR, dipertemukan dengan pengembang juga saya siap. Kalau mau turun ke lapangan saya juga siap, karena kami sudah pegang data-data lengkap dan beberapa sudah masuk proses hukum,” tandasnya.

     

  • Alasan Gubernur Jateng Kumpulkan 7.810 Kades di Semarang: Taat Aturan Tanpa Korupsi

    Alasan Gubernur Jateng Kumpulkan 7.810 Kades di Semarang: Taat Aturan Tanpa Korupsi

    TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – 7.810 Kepala Desa di Jawa Tengah dikumpulkan di GOR Indoor Kompleks Stadion Jatidiri Semarang untuk mengikuti Sekolah Antikorupsi, Selasa (29/4/2025). 

    Ini sesuai instruksi Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi.

    Sekolah Antikorupsi ini bertagline “Ngopeni Nglakoni Desa Tanpo Korupsi”.

    Gubernur Ahmad Luthfi mengatakan, ini penting bagi orang nomor satu di desa. 

    Sebagai pemimpin suatu desa, mereka wajib mengetahui aturan-aturan pokok, sehingga tidak melanggar ketentuan sebagaimana perundang-undangan.

    Seluruh Kades diberi pembekalan pembangunan, sehingga anggaran yang dimiliki bisa digunakan tepat sasaran dan tidak melanggar aturan.

    “Kami kumpulkan Kades sebagai upaya preventif dan preemtif terkait tindak pidana korupsi,” kata Gubernur Ahmad Luthfi, Selasa (29/4/2025).

    Sebagai pembicara kunci (keynote speaker) pada acara yang diinisiasi Gubernur Jateng itu adalah Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto.

    Narasumber lainnya adalah Dirkrimsus Polda Jateng Kombes Pol Arif Budiman, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jateng Tri Handoyo, dan Jaksa Fungsional Kejati Jateng Sugeng.

    Sementara itu, moderator adalah Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Tengah, Siti Farida.

    “Para narasumber memberikan pembekalan kepada para Kades dalam pembangunan yang taat aturan,” tandasnya.

    Ahmad Luthfi menekankan, pembangunan di desa di Jawa Tengah ke depannya diharapkan bisa semakin maksimal, mengingat desa bisa menjadi pusat perekonomian.

    Terlebih, banyak potensi yang bisa dikembangkan di masing-masing daerah. (*)

  • Staf Khusus Tom Lembong Buat Rapat Terbatas Bahas Impor Gula, Alat Komunikasi Dilarang Dibawa – Halaman all

    Staf Khusus Tom Lembong Buat Rapat Terbatas Bahas Impor Gula, Alat Komunikasi Dilarang Dibawa – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saksi Dayu Patmara Rengganis, selaku Direktur Utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) 2015–2016, mengungkapkan bahwa staf khusus Menteri Perdagangan Tom Lembong, Gunariyo, membuat rapat terbatas untuk membahas impor gula.

    Dalam rapat terbatas tersebut, kata Dayu, semua alat komunikasi dilarang dibawa masuk.

    Hal itu disampaikan Dayu saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi impor gula Kementerian Perdagangan periode 2015–2016 dengan terdakwa eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/4/2025).

    “Pada saat kami tidak mendapatkan stok gula dari perusahaan BUMN, kami mengirimkan surat permintaan pada tanggal 19 November,” ujar Dayu di persidangan.

    Dayu menjelaskan, PT PPI meminta izin impor Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 400.000 ton.

    “Kemudian turun penugasan dari Kementerian Perdagangan menunjuk PT PPI untuk melakukan importasi gula?” tanya Ketua Majelis Hakim, Arsan.

    Dayu menerangkan, pihaknya hanya mendapatkan penugasan untuk mengimpor 200.000 ton gula.

    Selanjutnya, Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, dikatakan Dayu mendatangi kantornya.

    “Pak Charles mendatangi saya, menyampaikan bahwa dirinya diundang Pak Gunariyo untuk menghadiri rapat,” kata Dayu.

    Dalam persidangan, terungkap bahwa Gunariyo merupakan staf khusus Menteri Perdagangan Thomas Lembong.

    “Pada saat saya dan Pak Charles memasuki ruangan rapat tersebut, Pak Gunariyo langsung meminta kami untuk meletakkan alat komunikasi seperti HP di bangku belakang,” imbuh Dayu.

    Menurut Dayu, permintaan tersebut dilakukan karena rapat bersifat terbatas.

    “Pada saat kami masuk, sudah banyak orang di ruangan itu, tetapi saya tidak mengenal satu pun selain Pak Gunariyo dan Pak Charles Sitorus,” jelasnya.

    Dayu juga menegaskan, dalam pertemuan itu tidak ada kehadiran terdakwa, eks Mendag Thomas Lembong.

    Ketika hakim menanyakan inti dari pertemuan tersebut, Dayu menjelaskan:

    “Pak Gunariyo menyampaikan bahwa Kementerian Perdagangan sedang menggodok surat penugasan untuk PT PPI sebagai stabilisator harga gula dan penyangga stok nasional. Penugasan itu nantinya akan melibatkan kerja sama dengan pabrik-pabrik gula, dan perwakilan pabrik tersebut sudah hadir di ruangan,” ungkapnya.

    Dayu menambahkan, karena surat penugasan masih dalam tahap finalisasi, informasi dari rapat itu tidak boleh disampaikan kepada pihak mana pun.

    “Itulah sebabnya alat komunikasi kami diminta ditinggalkan di belakang, Yang Mulia,” katanya di persidangan.

    Seperti diketahui, Thomas Lembong telah menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015–2016.

    Selain Tom Lembong, terdapat 10 orang lainnya yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni TWN (Direktur Utama PT AP); WN (Presiden Direktur PT AF);
    HS (Direktur Utama PT SUJ); IS (Direktur Utama PT MSI);  TSEP (Direktur PT MT);  HAT (Direktur Utama PT BSI);  ASB (Direktur Utama PT KTM);  HFH (Direktur Utama PT BFF);  IS (Direktur PT PDSU) dan CS (Direktur PT PPI).

    Dalam perkara ini, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar, menyatakan bahwa total kerugian keuangan negara mencapai Rp578 miliar.

    “Ini sudah fix, nyata, dan riil. Berdasarkan perhitungan kerugian negara oleh BPKP, nilainya mencapai Rp578.105.411.622,48,” kata Qohar dalam jumpa pers, Senin (20/1/2025).

  • Karut-marut MBG
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 April 2025

    Karut-marut MBG Nasional 26 April 2025

    Karut-marut MBG
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DI ATAS
    kertas, Program
    Makan Bergizi Gratis
    (
    MBG
    ) adalah narasi kemanusiaan yang indah. Negara hadir memberi makan bagi anak-anak bangsa.
    Gizi terpenuhi, masa depan terjamin. Namun, di balik janji yang manis itu, publik menemukan kesemrawutan, ketidaksiapan, dan ironi politik yang menusuk akal sehat.
    Dicanangkan sebagai program unggulan Presiden Prabowo Subianto, MBG diklaim sebagai bentuk keberpihakan negara kepada kelompok rentan, terutama anak-anak, ibu hamil, dan balita.
    Pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun untuk 2025, dengan target penyediaan makanan bergizi untuk 83 juta penerima manfaat. Langkah besar, monumental, dan—sayangnya—tidak cukup transparan dan terukur.
    Apa yang membuat MBG menuai kritik bahkan sebelum benar-benar berjalan? Jawabannya adalah akuntabilitas.
    Ketika anggaran Rp 71 triliun diumumkan, publik berhak bertanya: bagaimana pengelolaannya? Siapa yang mengawasi? Apa tolok ukur keberhasilannya?
    Di berbagai diskusi kebijakan, para ekonom dari INDEF dan CELIOS sudah mengingatkan: program ini berpotensi menjadi “ladang basah” baru jika tidak dikawal ketat.
    Distribusi dana yang besar ke unit-unit bernama SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) dengan nilai Rp 7 miliar hingga Rp 10 miliar per unit justru menambah ruang untuk penyelewengan, bukan kepastian gizi.
    Belum lagi jika dihitung berapa persen dari anggaran yang benar-benar sampai ke perut anak-anak.
    Kita ingat bagaimana program makan gratis di masa lalu sering kali bermuara pada proyek fiktif, pengadaan siluman, dan makanan basi di lapangan. Alih-alih menyehatkan, justru bisa mencederai. Pelajaran itu seolah diabaikan.
    MBG dalam konstruksi politik kekuasaan adalah simbol. Ia lebih merupakan manuver pencitraan daripada kebijakan publik yang matang.
    Di tengah tekanan publik pasca-Pemilu yang sarat kontroversi, program ini tampil seperti tameng moral. Bahwa rezim ini peduli, bahwa negara tidak abai. Namun, simbol tidak cukup. Bangsa ini sudah kenyang dengan kebijakan kosmetik.
    Program sebesar ini seharusnya dimulai dengan
    pilot project
    yang serius, data gizi yang akurat, dan evaluasi sistemik. Namun yang terjadi, pemerintah justru mendahulukan seremoni dan alokasi anggaran jumbo sebelum sistemnya siap.
    Seorang kepala daerah di Jawa menyampaikan keluhannya kepada media: “Kami belum tahu mekanisme distribusinya, tetapi kami diminta mendukung penuh.”
    Ini bukan anekdot, ini potret sistem birokrasi yang dibutakan oleh euforia politik pusat.
    Satu narasi yang terus didorong dalam MBG adalah penggunaan bahan pangan lokal. Ini seharusnya menjadi momentum besar bagi petani dan pelaku UMKM pangan.
    Namun dalam praktiknya, muncul kekhawatiran soal dominasi penyedia besar yang punya akses pada kekuasaan.
    Jika rantai distribusi dikuasai oleh korporasi tertentu atau bahkan afiliasi politik tertentu, maka program ini hanya akan melahirkan ketimpangan baru dengan jubah bantuan sosial.
    Masalah lainnya adalah soal standarisasi gizi. Bagaimana memastikan bahwa makanan yang disediakan benar-benar memenuhi kebutuhan nutrisi yang beragam dari balita hingga siswa SMA? Tanpa pedoman ketat dan pengawasan medis, gizi bisa jadi jargon, bukan substansi.
    Survei yang dirilis oleh CELIOS menunjukkan bahwa 59 persen responden menyatakan tidak setuju dengan MBG. Alasannya? Karena khawatir program ini tidak tepat sasaran, menambah beban fiskal negara, dan membuka celah korupsi.
    Kritik ini bukan berarti publik antibantuan. Justru sebaliknya, rakyat mendambakan program yang benar-benar solutif.
    Namun ketika bantuan disiapkan tanpa kesiapan sistem, data penerima tidak akurat, dan distribusi tidak efisien, maka kepercayaan publik akan runtuh.
    MBG bisa jadi seperti bansos Covid-19 yang penuh masalah—transaksi politik di balik kantong plastik berisi beras dan mie instan.
    Hingga kini, belum ada informasi yang gamblang mengenai siapa yang bertanggung jawab mengawasi MBG secara nasional.
    Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan masuk dari awal untuk mencegah? Apakah BPKP akan mengaudit realisasi dan dampaknya? Apakah masyarakat bisa mengakses laporan kinerja MBG secara terbuka?
    Tanpa akuntabilitas yang kuat, MBG hanya akan menambah daftar panjang program bantuan yang gagal karena lebih sibuk mengurus narasi daripada implementasi.
    Memberi makan rakyat bukan hanya soal memberi makan. Ia adalah soal martabat. Negara yang sungguh-sungguh ingin menyejahterakan rakyatnya harus mampu melampaui seremoni.
    Ia harus hadir dalam sistem berkeadilan, tata kelola yang bersih, dan penghormatan terhadap penerima bantuan sebagai warga negara, bukan sebagai objek.
    Dalam banyak kasus, bantuan makanan di lapangan justru disertai stigma. Anak-anak yang menerima makanan gratis dianggap “miskin”, dan kadang diejek oleh teman sekelasnya.
    Jika hal ini tidak dipikirkan sejak awal, maka MBG tidak hanya gagal secara kebijakan, tetapi juga secara etik.
    Sebagai program nasional, MBG sudah terlanjur diluncurkan. Maka tugas kita bukan hanya mengkritik, tetapi mendorong evaluasi dan koreksi secepat mungkin.
    Pemerintah harus membuka data, membentuk pengawas independen, dan merancang sistem audit publik. DPR harus lebih aktif, bukan hanya menyetujui anggaran, tapi juga mengawal penggunaannya.
    Publik juga harus diberi ruang untuk melaporkan penyimpangan, tanpa takut dibungkam. Dalam era digital seperti sekarang, pengawasan masyarakat harus menjadi bagian tak terpisahkan dari desain kebijakan publik.
    MBG adalah peluang, tetapi juga ujian. Apakah negara benar-benar ingin hadir untuk rakyat, atau hanya menggunakan rakyat untuk kepentingan politik kekuasaan?
    Apakah makan gratis menjadi pintu masuk untuk revolusi gizi, atau sekadar pintu belakang bagi korupsi?
    Di balik nasi bungkus yang dibagikan ke sekolah-sekolah, tersimpan pertanyaan besar tentang cara kita membangun bangsa. Apakah dengan kejujuran dan tanggung jawab, atau dengan retorika dan transaksionalisme?
    MBG harus menjawab itu. Jika tidak, maka ia hanya akan menambah daftar panjang kegagalan kebijakan yang lahir dari niat baik, tapi ditelan kerakusan kekuasaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mendagri: BPHTB-PBG Gratis Telah Berjalan di 93% Kabupaten/Kota

    Mendagri: BPHTB-PBG Gratis Telah Berjalan di 93% Kabupaten/Kota

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengeklaim penghapusan pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) telah berjalan di sekitar 93% Kabupaten/Kota di Indonesia.

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menjelaskan hingga saat ini implementasi bebas BPHTB bagi MBR itu telah berlaku di 478 Kabupaten/Kota. 

    “Per hari ini itu dari 512 Kabupaten/Kota untuk pembebasan BPHTB sudah 478 Kabupaten/Kota, artinya lebih kurang 93%,” kata Tito di Kantor BPKP, Kamis (25/4/2025) malam. 

    Di samping itu, Tito juga mengungkap progres implementasi pembebasan biaya Perizinan Bangunan Gedung (PBG) yang diklaim telah berlaku di 433 Kabupaten/Kota atau telah mencapai 84%. 

    Meski telah berlaku cukup masih di seluruh Indonesia, Tito mengungkap pada awal implementasi program tersebut banyak mendapat layangan keberatan dari Pemerintah Daerah setempat. 

    Pasalnya, selama ini pembayaran PBG masyarakat masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga implementasi program itu dikhawatirkan bakal menurunkan pendapatan daerah.

    “Memang awalnya ada yang sedikit keberatan, karena ini berpengaruh pada PAD, narasi kita pertama, masa iya pemerintah mengambil pajak dari masyarakat rendah?,” tegasnya. 

    Untuk diketahui, pembebasan pengenaan BPHTB dan PBG tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Tiga Menteri yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang dirilis pada 25 November 2025.

    Adapun, Keputusan 3 Menteri membebaskan pengenaan BPHTB hingga PBG itu dilakukan dalam rangka mendorong kemampuan masyarakat memiliki hunian yang bakal berdampak pada realisasi program 3 juta rumah. 

    Sementara itu, rencana penghapusan BPHTB dan PBG ini memang sudah santer digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto sebelum dirinya resmi terpilih menjadi orang nomor 1 di Indonesia.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perumahan Presiden Terpilih Hashim S. Djojohadikusumo menyebut Prabowo secara total membebaskan pengenaan 16% pajak pada sektor hunian untuk MBR. 

    “BPHTB 5%, ya ini rekomendasi kita dari pemerintah untuk dihapus. Jadi sekitar 16% [insentif perumahan, bebas PPN dan bebas BPHTB],” jelasnya dikutip Senin (14/10/2024). 

  • Mendagri dorong kepala daerah susun program dukung bahasa Indonesia

    Mendagri dorong kepala daerah susun program dukung bahasa Indonesia

    Apabila program telah tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), daerah wajib merealisasikannya.

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian akan mendorong kepala daerah untuk menyusun program dukungan penggunaan bahasa Indonesia sebagai upaya melestarikan bahasa nasional tersebut sebagai identitas sekaligus bentuk kedaulatan bangsa.

    Tito dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, menyatakan kesiapannya mendukung penggunaan bahasa Indonesia secara lebih luas di berbagai daerah.

    “Kami sepakat dengan topik ini. Dan otomatis kami akan sama-sama menyosialisasikan kepada pemegang otoritas yang ada di kewilayahan (kepala daerah),” kata Tito pada Peluncuran Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia dan Pencanangan Komitmen Bersama Menjaga Kedaulatan Bahasa Indonesia di Kantor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Jakarta, Jumat.

    Menurut Tito, saat ini masih terdapat masyarakat yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Bahkan, di sejumlah daerah tidak sedikit masyarakat yang hanya memahami bahasa daerah setempat.

    Mendagri mengatakan bahwa kondisi ini menjadi tantangan bagi kepala daerah untuk memberikan pemahaman agar masyarakat dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

    Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pihaknya akan membantu menyiapkan sistem penganggaran agar pemerintah daerah (pemda) dapat menyusun program dukungan tersebut.

    Apabila program telah tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), Tito menegaskan bahwa daerah wajib merealisasikannya.

    Hal ini nantinya, lanjut dia, juga menjadi bagian dari pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

    Selain itu, pihaknya juga akan bekerja sama dengan Kemendikdasmen untuk menyusun petunjuk teknis dari program dukungan tersebut.

    Ia menilai upaya mendorong penggunaan bahasa Indonesia dapat berbasis pada pendekatan penghargaan. Oleh karena itu, beberapa program dukungan dapat berupa pelaksanaan berbagai lomba yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia.

    Tak hanya itu, Tito juga mengusulkan agar daerah yang berprestasi dalam menyosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia diberi penghargaan.

    “Bila perlu ke Menteri Keuangan meminta insentif fiskal untuk daerah-daerah yang berprestasi untuk menjaga kelestarian dan mengintensifkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu kedaulatan dan bahasa resmi,” ujarnya.

    Sebagai informasi, kegiatan tersebut dihadiri oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, pimpinan Komite III DPD RI Jelita Donal, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Bupati Sidoarjo Subandi, Wali Kota Administrasi Jakarta Selatan Munjirin, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen Hafidz Muksin, serta pejabat terkait lainnya.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Negara yang Tertidur di Bawah Kolong Tol
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 April 2025

    Negara yang Tertidur di Bawah Kolong Tol Megapolitan 24 April 2025

    Negara yang Tertidur di Bawah Kolong Tol
    Dikdik Sadikin adalah seorang auditor berpengalaman yang saat ini bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berperan sebagai quality assurer dalam pengawasan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Memiliki minat mendalam terhadap kebijakan publik, Dikdik fokus pada isu-isu transparansi, integritas, serta reformasi pendidikan dan tata kelola pemerintahan. Dikdik telah menulis sejak masa SMP (1977), dengan karya pertama yang dimuat di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan opini karyanya telah dipublikasikan di media massa, termasuk di tabloid Kontan dan Kompas. Dua artikel yang mencolok antara lain “Soekarno, Mahathir dan Megawati” (3 November 2003) serta “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan” (9 Oktober 2024). Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Warta Pengawasan selama periode 1999 hingga 2002, serta merupakan anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (lulus 2006).

    Ketika hukum hanya menjadi suara tanpa taring, maka kejahatan akan berjalan tegak di siang bolong
    .” (Montesquieu)
    DI BAWAH
    bayang-bayang beton
    kolong tol
    Plumpang–Pluit, Jakarta, yang membentang dekat Jakarta International Stadium (JIS), bukan hanya kendaraan yang melintas. Di sana, hukum diuji: dan gagal.
    Satu per satu pelat besi penyangga struktur raib, dicongkel dengan palu dan linggis, bukan dalam sembunyi, tetapi justru di siang bolong.
    Disaksikan warga dan bahkan, sempat pelaku dihadang petugas. Di situ petugas kita dikeroyok kemudian melepasnya. (
    Kompas.com
    , 23 April 2025)
    Fenomena ini bukan sekadar
    pencurian besi
    . Ia mencerminkan krisis peran negara dalam menjaga fasilitas publik, sekaligus memotret wajah ekonomi yang gagal memenuhi janji kesejahteraan.
    Montesquieu menulis dalam
    The Spirit of Laws
    (De l’esprit des lois, 1748) bahwa hukum akan lumpuh bila tidak diimbangi penegakan yang tegas dan konsisten.
    Saat seorang pencuri di lokasi ini ditangkap, justru puluhan orang datang menyerbu dan memaksa aparat melepasnya.
    Negara seolah berdiri, tapi tak hadir. Penegak hukum, yang seharusnya menjadi garda terakhir peradaban, dipinggirkan oleh logika massa yang beringas.
    Ini bukan sekadar kemunduran hukum, tapi penanda bahwa negara telah kehilangan kedaulatan di wilayahnya sendiri.
    Apa yang mendorong seseorang mengambil risiko mencuri di siang hari, dengan alat berat, di depan saksi mata? Jawaban paling jujur mungkin terletak pada jurang antara harapan dan kenyataan.
    Menurut BPS, per Maret 2024, tingkat kemiskinan ekstrem di Jakarta mencapai 1,1 persen, dengan angka pengangguran terbuka sebesar 7,6 persen.
    Di wilayah padat dan marjinal seperti Papanggo, ketimpangan bukan sekadar statistik: ia menjadi napas sehari-hari.
    Pencurian menjadi ekonomi alternatif ketika ekonomi formal menutup pintunya.
    Crime becomes a rational choice
    , kata Gary Becker, peraih Nobel Ekonomi, yang mengembangkan teori ekonomi kejahatan.
    Dalam logika ini, risiko ditangkap lebih kecil dibanding kemungkinan kelaparan malamnya.
    Di banyak negara, infrastruktur adalah lambang kemajuan. Namun di Indonesia, justru bisa berubah menjadi artefak yang perlahan digerogoti dari dalam.
    Dalam Global Competitiveness Index 2023, kualitas infrastruktur Indonesia berada di peringkat 72 dari 141 negara.
    Negara-negara dengan sistem hukum dan jaminan sosial kuat seperti Denmark, Norwegia, atau Jepang, justru lebih jarang mengalami pencurian aset publik secara terang-terangan.
    Mengapa? Karena ada kombinasi antara
    rule of law,
    kepercayaan sosial, dan kesejahteraan dasar yang terjamin.
    Kolong tol
    yang dilalap api karena bekas lem dari pelat yang dicuri adalah metafora keras atas sistem yang lapuk: negara membangun megastruktur, tapi gagal membangun sistem pengawasan, kesejahteraan, dan rasa aman yang menopang beton itu sendiri.
    Adalah ironi bahwa warga sekitar justru menjadi penonton dari drama ini. Di titik inilah, Habermas mengingatkan kita bahwa ruang publik adalah tempat di mana masyarakat sipil seharusnya membentuk opini dan menekan kekuasaan.
    Ketika warga hanya bisa pasrah dan berkata “kami hanya menyaksikan”, maka di situ demokrasi kehilangan tenaganya.
    Namun, apakah mereka bisa disalahkan? Ketika aparat mundur karena diancam dikeroyok, bagaimana warga biasa bisa berharap lebih? Tanpa jaminan perlindungan, keberanian sipil hanya akan berakhir pada korban tambahan.
    Pembangunan infrastruktur tak akan berarti jika rakyat yang hidup di sekitarnya tak merasa memiliki, tak ikut menjaga, bahkan malah ikut menjarah.
    Negara perlu hadir bukan hanya sebagai pelaksana proyek beton, tapi sebagai penjaga martabat warga—dengan lapangan kerja, pendidikan, dan hukum yang tegas tapi adil.
    Pencurian pelat besi itu hanya satu bab dari buku tebal tentang kegagalan tata kelola kota dan negara. Bila dibiarkan, kita akan membaca bab berikutnya: runtuhnya jembatan kepercayaan antara rakyat dan negara.
    Dan itu, seperti pelat besi yang hilang dari struktur tol: menjadikan kita semua akan runtuh bersama.
    Kini, kolong tol itu bukan sekadar tempat gelap di bawah jalan raya. Ia menjelma menjadi panggung tragis di mana negara kehilangan kendali atas wilayahnya, dan masyarakat kehilangan harapan atas masa depannya.
    Di situ, hukum tak lagi dibacakan dalam pengadilan, tapi diukur dari siapa yang membawa lebih banyak linggis dan keberanian untuk melawan.
    Pelat-pelat besi yang hilang tak hanya meruntuhkan struktur beton, tapi juga menelanjangi apa yang selama ini disangkal: bahwa keadilan bisa runtuh bukan karena badai, tapi karena kealpaan yang dibiarkan tumbuh seperti lumut di beton.
    Kita membangun jalan tol untuk menghubungkan kota-kota. Tapi kita lupa membangun jembatan antara hukum dan rasa aman, antara negara dan rakyat.
    Dan ketika jembatan itu runtuh, bahkan suara palu pencuri pun bisa terdengar lebih nyaring daripada suara negara.
    Sebab, kejahatan yang paling berbahaya bukan yang terjadi dalam gelap. Namun, kejahatan yang bekerja di siang hari, dan tak seorang pun merasa perlu menghentikannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Apa Kabar Proyek LRT Jakarta Rute Velodrome-Manggarai? – Page 3

    Apa Kabar Proyek LRT Jakarta Rute Velodrome-Manggarai? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta PT Waskita Karya (Persero) Tbk melaporkan, realisasi pengerjaan proyek LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai telah mencapai 51,19 persen. Realisasi tersebut lebih cepat dari target yang sebesar 50,54 persen.

    Corporate Secretary Waskita Karya Ermy Puspa Yunita berharap, pembangunan LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai dapat segera selesai, agar bisa digunakan secepatnya. Secara target, proyek tersebut bisa rampung pada kuartal III 2026.

    “Waskita Karya meyakini, proyek LRT Jakarta Fase 1B dapat memudahkan mobilisasi masyarakat yang bekerja di kawasan Jakarta, khususnya bagi wanita. Hal itu karena, para wanita membutuhkan moda transportasi umum yang nyaman dan aman,” ujar Ermy dalam keterangan resmi, Selasa (22/4/2025).

    Ermy menuturkan, saat ini pengerjaan LRT Jakarta Fase 1B sudah memasuki tahap pemasangan jembatan baja atau steel box girder di Jalan Tambak, Jakarta Pusat.

    Lalu, peletakan struktur Portal Underpass Pramuka, serta pemasangan penyangga atau Pierhead stasiun LRT BPKP dan Pasar Pramuka. Pembangunan tersebut juga mencakup pemasangan rail.

    “Pada November tahun lalu, pembangunan LRT Jakarta Fase 1B pun berhasil meraih dua penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk Uji Coba Kereta Layang dan menjadi Konstruksi Rancang Bangun Struktur Stasiun LRT Tercepat,” imbuh dia.

    Digarap Waskita Karya

    Seperti diketahui, Waskita Karya ditunjuk oleh oleh PT Jakarta Propertindo (Perseroda) untuk membangun LRT Jakarta Fase 1B senilai Rp 4,55 triliun pada Oktober 2023. Adapun anggaran proyek tersebut menggunakan dana APBD DKI Jakarta.

    Pada tahap ini, dibangun sepanjang 6,4 km. Terdiri dari lima stasiun, yakni Stasiun Rawamangun, Stasiun Pramuka BPKP, Stasiun Pasar Pramuka, Stasiun Matraman, dan berakhir di Stasiun Manggarai.

     

  • Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B Capai 51,19% – Page 3

    Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B Capai 51,19% – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – PT Waskita Karya (Persero) Tbk mencatat realisasi pengerjaan proyek transportasi umum satunya Light Rail Transit (LRT) Jakarta Fase 1B. telah mencapai 51,19 persen.

    Corporate Secretary Waskita Karya Ermy Puspa Yunita mengatakan, realisasi tersebut lebih cepat dari target yang sebesar 50,54 persen. Diharapkan, pembangunan LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai dapat segera selesai, agar bisa digunakan secepatnya.

    “Waskita Karya meyakini, proyek LRT Jakarta Fase 1B dapat memudahkan mobilisasi masyarakat yang bekerja di kawasan Jakarta, khususnya bagi wanita. Hal itu karena, para wanita membutuhkan moda transportasi umum yang nyaman dan aman,” ujar Ermy dalam keterangan resmi, Selasa (22/4/2025).

    Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada 2024 menunjukkan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan mencapai 55,41 persen pada Februari 2024. Angka ini naik sekitar satu persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan merupakan kenaikan tertinggi dalam lima tahun terakhir.

    “Maka pada Hari Kartini ini, Waskita Karya mengapresiasi para pekerja wanita atau srikandi yang berkontribusi dalam pembangunan berbagai proyek infrastruktur Perseroan, termasuk LRT Jakarta Fase 1B. Kami percaya proyek tersebut nantinya akan sangat membantu masyarakat, terutama para perempuan Indonesia,” ujarnya.

    Ermy menuturkan, saat ini pengerjaan LRT Jakarta Fase 1B sudah memasuki tahap pemasangan jembatan baja atau steel box girder di Jalan Tambak, Jakarta Pusat, peletakan struktur Portal Underpass Pramuka, serta pemasangan penyangga atau Pierhead stasiun LRT BPKP dan Pasar Pramuka. Pembangunan tersebut juga mencakup pemasangan rail.

    “Dalam mengerjakan proyek, Waskita selalu mengedepankan inovasi, efisiensi, ketepatan waktu, serta berusaha memberikan hasil terbaik. Maka pada November tahun lalu, pembangunan LRT Jakarta Fase 1B pun berhasil meraih dua penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk Uji Coba Kereta Layang dan menjadi Konstruksi Rancang Bangun Struktur Stasiun LRT Tercepat,” jelasnya.

     

  • Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai Tembus 51,19%

    Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai Tembus 51,19%

    Jakarta

    PT Waskita Karya (Persero) Tbk melaporkan progres pembangunan proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai. Saat ini realisasi pembangunan telah mencapai 51,19% per Senin (21/4/2025).

    Corporate Secretary Waskita Karya Ermy Puspa Yunita mengatakan, realisasi tersebut lebih cepat dari target yang sebesar 50,54%. Diharapkan, pembangunan LRT Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai dapat segera selesai, agar bisa digunakan secepatnya.

    “Waskita Karya meyakini, proyek LRT Jakarta Fase 1B dapat memudahkan mobilisasi masyarakat yang bekerja di kawasan Jakarta, khususnya bagi wanita. Hal itu karena, para wanita membutuhkan moda transportasi umum yang nyaman dan aman,” ujar Ermy dikutip dari keterangan resmi, Selasa (22/4/2025).

    Ermy menjelaskan, saat ini pengerjaan LRT Jakarta Fase 1B sudah memasuki tahap pemasangan jembatan baja atau steel box girder di Jalan Tambak, Jakarta Pusat, peletakan struktur Portal Underpass Pramuka, serta pemasangan penyangga atau Pierhead stasiun LRT BPKP dan Pasar Pramuka. Pembangunan tersebut juga mencakup pemasangan rail.

    “Pada November tahun lalu, pembangunan LRT Jakarta Fase 1B pun berhasil meraih dua penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk Uji Coba Kereta Layang dan menjadi Konstruksi Rancang Bangun Struktur Stasiun LRT Tercepat,” kata Ermy.

    Waskita Karya terlibat dalam pembangunan LRT Jakarta melalui KSO Waskita-Nindya LRS sebagai kontraktor utama pembangunan. KSO ini ditunjuk oleh PT Jakarta Propertindo selaku pemilik proyek melalui proses tender.

    Adapun total anggaran pembangunan sebesar Rp 4,1 triliun. Dana ini berasal dari Penyertaan Modal Daerah (PMD) ke PT Jakarta Propertindo (Perseroda) yang bersumber dari APBD DKI Jakarta.

    Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B ini merupakan upaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan yang menjadi masalah klasik perkotaan akibat peningkatan pesat jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

    Kemacetan itu dinilai dapat menyebabkan kerugian besar ekonomi dalam kegiatan masyarakat sehari-hari, karena adanya peningkatan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk transportasi, penurunan kualitas kondisi lingkungan, serta peningkatan kecelakaan lalu lintas.

    Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kualitas kondisi lingkungan dan perkembangan sarana transportasi publik, Ermy menilai, masyarakat mulai melirik moda transportasi umum sebagai pilihan dalam melakukan perjalanan.

    “Maka selain bertujuan untuk melayani masyarakat secara lebih luas, Waskita Karya juga berkomitmen mendukung target nol emisi pemerintah melalui pembangunan Jakarta Fase 1B rute Velodrome-Manggarai,” ujarnya.

    (shc/kil)