Kementrian Lembaga: BPKP

  • KPK Panggil Mulyono Kasus Suap Proyek Jalan di Daerah Bobby Nasution

    KPK Panggil Mulyono Kasus Suap Proyek Jalan di Daerah Bobby Nasution

    GELORA.CO – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil delapan orang saksi dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan yang menjerat mantan Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting Cs, yang disebut sebagai orang dekat Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.

    Salah satu saksi yang dipanggil adalah mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Mulyono (MUL).

    “Pemeriksaan dilakukan di Kantor BPKP Perwakilan Medan atas nama MUL, Mantan Kadis PUPR Provinsi Sumatera Utara,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/7/2025).

    Selain Mulyono, saksi lain yang turut dipanggil yaitu Winda, staf Dinas PUPR Kabupaten Mandailing Natal; Ryan Lubis, Kasi UPT Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara; Suryadi Gozali, pemilik sparepart Daihatsu Motor di Kota Padangsidimpuan; Andi Junaedi, dari UPTD Paluta/Gunung Tua; Addi Mawardi Harahap, Kabid Binamarga Padangsidimpuan; Abdul Azis, staf PU Padangsidimpuan; dan Mardiah, staf honorer Dinas PUPR Kabupaten Mandailing Natal.

    “Hari ini, Kamis (17/7), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait proyek pembangunan jalan di Provinsi Sumatera Utara (Sumut),” ujar Budi.

    Sebelumnya diberitakan, pada Kamis malam, 26 Juni 2025, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Sumatera Utara. Dalam OTT tersebut, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah I Sumut. Total nilai proyek yang menjadi sorotan mencapai Rp231,8 miliar dari enam proyek jalan yang dikondisikan. KPK menyatakan, penyidikan masih terus dikembangkan terhadap proyek-proyek lain yang diduga bermasalah.

    Kelima tersangka yang telah diumumkan dan ditahan adalah Topan Obaja Putra Ginting selaku Kepala Dinas PUPR Sumut; Rasuli Efendi Siregar sebagai Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Heliyanto sebagai PPK Satker PJN Wilayah I Sumut; M. Akhirun Efendi Siregar sebagai Direktur Utama PT Daya Nur Global (PT DNG); dan M. Rayhan Dulasmi Piliang sebagai Direktur PT Rukun Nusantara (PT RN).

    KPK memperkirakan total suap dalam kasus ini mencapai sekitar Rp2 miliar dan akan didalami lebih lanjut. Dalam OTT tersebut, penyidik turut mengamankan uang tunai sebesar Rp231 juta yang diduga merupakan bagian dari komitmen fee.

    Dalam konstruksi perkara, kasus pertama terjadi di lingkungan Dinas PUPR Sumut. Topan Obaja Putra Ginting bersama Rasuli Efendi Siregar dan M. Akhirun Efendi Siregar diduga merekayasa pengadaan proyek pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labuhanbatu Selatan dan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp157,8 miliar. PT Daya Nur Global ditunjuk sebagai pelaksana proyek tanpa melalui prosedur yang sah. Dalam pelaksanaannya, Akhirun bersama putranya, Rayhan, diduga memberikan uang kepada Rasuli dan Topan sebagai imbalan atas pengaturan proyek tersebut.

    Sementara itu, dalam kasus kedua yang melibatkan Satker PJN Wilayah I Sumut, Heliyanto selaku PPK diduga menerima suap sebesar Rp120 juta dari Akhirun dan Rayhan sebagai balas jasa atas pengaturan proyek melalui sistem e-katalog. Akibatnya, PT DNG dan PT RN memenangkan sejumlah proyek sepanjang 2023 hingga 2025.

    Gubernur Sumut, Bobby Nasution, mengaku siap jika dipanggil oleh KPK terkait kasus yang menyeret Topan Obaja Putra Ginting.

    “Namanya proses hukum kita bersedia saja, apalagi kalau tadi katanya ada aliran uang,” ujar Bobby di Kantor Gubernur Sumut, Medan, Senin (30/6/2025).

  • Geisz Skeptis Tom Lembong Akan Bebas Meski Dakwaan Jaksa Cacat

    Geisz Skeptis Tom Lembong Akan Bebas Meski Dakwaan Jaksa Cacat

    GELORA.CO -Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dijadwalkan akan membacakan vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada Jumat, 18 Juli 2025.

    Menanggapi hal itu, penggiat demokrasi Geisz Chalifah mengaku skeptis atas proses hukum yang tengah berlangsung, meskipun meyakini Tom Lembong tidak bersalah.

    “Fakta-fakta persidangan telah mengungkap dengan seterang-terangnya. Dakwaan Jaksa terhadap Tom Lembong tak dapat dibuktikan,” ujar Geisz seperti dikutip redaksi, melalui akun X miliknya, Kamis, 17 Juli 2025.

    Ia menilai bahwa penetapan tersangka terhadap Tom Lembong janggal sejak awal. Tom ditetapkan sebagai tersangka pada November 2024, sementara audit BPKP yang menjadi dasar tuduhan baru keluar pada Juni 2025.

    “Tom ditetap sebagai tersangka dulu baru dicarikan bukti,” tegas mantan komisaris Ancol tersebut.

    Meski secara hukum ia optimistis Tom seharusnya divonis bebas, Geisz mengaku tetap ragu. 

    “Bukan karena Tom bersalah, tapi karena hukum telah menjadi alat kekuasaan,” ujarnya.

    Tom Lembong dituntut penjara selama 7 tahun dalam kasus korupsi impor gula di Kemendag tahun 2015-2016. Selain 7 tahun penjara, menteri era Presiden Joko Widodo ini juga dituntut membayar denda Rp750 juta. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan.

    Tom Lembong didakwa terlibat kasus dugaan impor gula yang merugikan negara Rp578 miliar. Mantan Timses Capres Anies Baswedan di Pilpres 2024 ini disebut-sebut menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian atau lembaga.

    Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

  • Topan Ginting Tersangka, KPK Kini Periksa Eks Bupati Mandailing Natal dan Pejabat PUPR di Sumut

    Topan Ginting Tersangka, KPK Kini Periksa Eks Bupati Mandailing Natal dan Pejabat PUPR di Sumut

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa delapan orang saksi terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Salah satu yang diperiksa adalah mantan Bupati Mandailing Natal, Muhammad Jafar Sukhairi Nasution.

    “Pemeriksaan dilakukan di kantor BPKP Medan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu, 16 Juli.

    Selain Jafar, KPK juga memeriksa Elpi Yanti Sari Harahap selaku Plt Kadis PUPR Mandailing Natal, Natalina dari Pokja PUPR Madina, serta Isabela yang disebut sebagai pengurus rumah tangga.

    Turut diperiksa Taufik Lubis (Komisaris PT Dalihan Natolu), Mariam (Bendahara PT Dalihan Natolu), Maskuddin Henri (Direktur dan pemegang saham PT Rona Na Mora), dan Seri Agustina Melinda (Wakil Direktur PT Dalihan Natolu).

    Meski belum merinci materi pemeriksaan, Budi menyebut bahwa penyidikan tidak hanya berhenti pada proyek jalan di Dinas PUPR Sumut maupun Satker PJN Wilayah I, melainkan berpotensi meluas ke wilayah lain seperti Mandailing Natal dan Kota Padangsidimpuan.

    “Tentu perkara ini masih akan terus berkembang. Tidak menutup kemungkinan terkait proyek-proyek di wilayah Mandailing Natal dan Padangsidimpuan,” ujar Budi.

    Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Sumatera Utara pada Kamis, 26 Juni. OTT ini terkait dugaan suap dalam proyek pembangunan jalan.

    Lima orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Topan Obaja Putra Ginting alias Topan Ginting (Kadis PUPR Provinsi Sumut), Rasuli Effendi Siregar (Kepala UPTD Gunung Tua/PPK Dinas PUPR Sumut), Heliyanto (PPK Satker PJN Wilayah I Sumut), M. Akhirun Efendi Siregar (Dirut PT DNG), dan M. Rayhan Dulasmi Pilang (Direktur PT RN).

    Topan Ginting menjadi sorotan karena baru dilantik sebagai Kadis PUPR Sumut oleh Gubernur Bobby Nasution pada 24 Februari lalu. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Dinas PU Kota Medan dan sempat menjadi Plt Sekda Kota Medan saat Bobby masih menjabat Wali Kota.

    Kini kelima tersangka ditahan di rumah tahanan KPK untuk masa penahanan awal selama 20 hari. Penyidik masih terus mendalami dugaan keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus ini.

  • Apakah BLT BBM Bisa Dicabut? Ini Ketentuan Terbaru Kemensos

    Apakah BLT BBM Bisa Dicabut? Ini Ketentuan Terbaru Kemensos

    Jakarta – Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM adalah salah satu bantuan sosial (bansos) menjadi angin segar bagi masyarakat luas. Sebab kehadiran bansos ini dapat meringankan beban serta melindungi daya beli masyarakat prasejahtera akibat inflasi.

    Program ini merupakan langkah pemerintah dalam mengalihkan subsidi BBM yang selama ini berbasis pada komoditas menjadi subsidi yang lebih terarah kepada penerima yang tepat. Langkah ini dianggap lebih efektif dalam mendukung masyarakat yang membutuhkan, serta menghindari pembengkakan dana subsidi yang tidak tepat sasaran.

    Apakah BLT BBM Bisa Dicabut?

    Sayangnya, pemberian BLT BBM ini bisa saja dicabut. Sebab prosedur pemberian bansos ini tidak dilakukan dengan sembarangan. Untuk mendapatkan bantuan ini, terdapat beberapa syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan.

    Secara khusus, penerima bansos ini harus masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kemensos yang sekarang juga sudah diverifikasi Badan Pusat Statistik (BPS).

    Sementara data ini terus diperbarui oleh pemerintah, sehingga berpotensi terjadi perubahan para penerima bantuan. Dari yang dulu sempat menerima kemudian BLT BBM-nya dicabut, atau dulu tidak menerima kemudian kini bisa mendapatkan BLT BBM.

    Dalam hal ini, sebelumnya Kemensos bahkan tercatat sudah mencabut sekitar 1,9 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dari daftar penerima bantuan. Mereka-mereka yang namanya terhapus dari daftar penerima bansos inilah yang ke depan tidak dapat lagi menerima bantuan dari pemerintah.

    Secara umum berikut syarat mendapatkan bansos dari Kemensos 2025.
    – Warga Negara Indonesia (WNI)
    – Memiliki Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku
    – Terkategori sebagai masyarakat miskin
    – Tidak menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), Polri, atau Tentara Nasional Indonesia (TNI)
    – Terdaftar dalam DTKS Kemensos

    Skema penyaluran BLT BBM 2025

    Berdasarkan laporan Antara, penyaluran BLT BBM 2025 akan menggunakan sistem teknologi yang lebih canggih. Pemerintah akan memanfaatkan Government Financial Technology (GFT) untuk memastikan bantuan sampai kepada penerima yang tepat. Sistem ini juga dilengkapi dengan fitur barcode untuk memantau penggunaan dana.

    Dalam skema baru ini, setiap penerima bantuan diwajibkan memiliki rekening bank yang aktif. Tujuannya adalah untuk mempermudah proses transfer dana serta mengurangi potensi penyalahgunaan. Selain itu, dana BLT hanya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pokok seperti sembako, sesuai dengan tujuan program.

    Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan melakukan audit secara berkala untuk memastikan penyaluran yang transparan. Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mengurangi kebocoran anggaran dan memastikan dana digunakan sesuai dengan peruntukannya.

    Jadwal pencairan BLT BBM 2025

    Hingga saat ini, jadwal pencairan BLT BBM 2025 belum diumumkan secara resmi. Namun, pemerintah telah memberikan gambaran umum mengenai alur penyaluran bantuan.

    Rencananya pencairan BLT BBM 2025 akan dilaksanakan secara bertahap, dengan tujuan memastikan bantuan disalurkan tepat waktu dan sesuai sasaran. Jadwal pencairan umumnya akan diumumkan oleh pemerintah setelah proses verifikasi data penerima selesai.

    Proses validasi data penerima masih berlangsung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memastikan keakuratan informasi. Masyarakat diminta untuk terus mengikuti pengumuman resmi dari pemerintah melalui situs web Kementerian Sosial dan kanal Youtube Info Bansos karena informasi terkini mengenai tanggal pencairan akan terus diperbarui.

    Sedangkan untuk pencairan dana BLT akan dilakukan melalui bank-bank yang telah ditunjuk, seperti Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank BTN. Bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank, dana bantuan bisa diambil di kantor pos terdekat.

    Tonton juga video “Masalah BPJS-Penerima Bansos Terlibat Judol Dibahas Cak Imin-Prabowo” di sini:

    (igo/fdl)

  • Korupsi, AI, dan Pleidoi “Di Persimpangan” Thomas Lembong

    Korupsi, AI, dan Pleidoi “Di Persimpangan” Thomas Lembong

    Korupsi, AI, dan Pleidoi “Di Persimpangan” Thomas Lembong
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    SIDANG
    kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015-2016 oleh Thomas Prikasih Lembong adalah babak genting dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Ini jalan pembuktian untuk sekurang-kurangnya tiga hal.
    Pertama, apakah kebijakan oleh pejabat publik dapat dipidana dan apa alasan adikuat untuk menjerat kebijakan dengan hukum pidana?
    Kedua, apakah unsur kerugian negara secara absolut memastikan adanya korupsi di balik kebijakan oleh pejabat publik?
    Ketiga, apakah penegakan hukum yang berat ke soal kerugian negara akan terus jadi tumpuan di masa mendatang? Mungkinkah kasus
    Thomas Lembong
    bakal menjadi titik balik dalam urusan membidik koruptor secara tepat sasaran dan adil?
    Tiga soal ini sudah mencuat sejak “Centurygate”, Karen Agustiawan dan sekarang: Thomas Lembong.
    Pembacaan pleidoi oleh Thomas Lembong, 9 Juli 2025 lalu, memberi dimensi lain dalam memahami kasus dugaan korupsi mantan Menteri Perdagangan itu.
    Entah frustrasi atau tidak, ia membawa-bawa
    artificial intelligence
    atau kecerdasan buatan untuk meyakinkan hakim bahwa dirinya tak bersalah. Belakangan AI menjadi kekuatan “adimanusia” yang celakanya membuat manusia kian tergantung.
    Menurut Tom, jika AI ditanya atas kasus yang menjeratnya, AI akan menyimpulkan ia tak bersalah.
    “Dan pada saat itu, artificial intelligence akan menjawab ‘Berdasarkan ribuan halaman berkas, berita acara pemeriksaan, kompilasi aturan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat disimpulkan bahwa Thomas Lembong, Charles Sitorus dan sembilan individu dari sektor institusi gula tidak bersalah’,” papar Tom (
    Kompas.com
    , 9 Juli 2025).
    Dalam pleidoi itu, Tom berkilah AI dapat mendorong pada “penilaian yang sepenuhnya objektif” dan dengan begitu membantu manusia menemukan kebenaran. Sebuah sentilan yang kita tahu kepada siapa itu dialamatkan: Penegak hukum.
    Saat ini, pleidoi Tom tersebut mungkin masih sebuah nubuat. Di masa depan jauh mungkin saja menjadi kenyataan. Seiring derasnya kecerdasan buatan yang merambah banyak bidang, di masa depan, AI boleh jadi akan merampas peran hakim, jaksa atau kuasa hukum.
    Ketika manusia tak dapat mengendalikan AI, ia akan membiarkan tugas mahapenting tadi kepada bukan manusia. Hal yang absurd karena bagaimanapun manusia tetaplah manusia—tak semua hal bisa diserahkan pada AI, algoritma, robot, dan komputer.
    Mari menempatkan kasus Tom sebagai peristiwa yang dilakukan oleh manusia, menguntungkan manusia, lalu dituntut dan diadili oleh manusia.
    Pokok kata, kasus Tom harus dipandang sebagai kasus tentang Homo sapiens–spesies yang berkat volume otaknya disebut sebagai manusia bijaksana.
    Korupsi adalah musuh terbesar dan terberat bangsa ini. Sudah lama diingatkan proklamator, Bung Hatta. Korupsi menyengsarakan rakyat, namun bikin kaya pelaku, pihak lain serta korporasi yang diuntungkan oleh perbuatan aktor utama.
    Untuk urusan ini kita satu sikap: Maling, pencuri, garong, penilep, tukang sogok, tukang gasak duit negara mesti digelandang ke meja hijau dan mendapat hukuman seberat-beratnya.
    Diksi-diksi di atas yang diniatkan untuk mengganti–atau sebagai padanan–kata koruptor itu pernah digunakan
    Kompas
    di masa-masa awal harian tadi menapakkan jejak dalam sejarah jurnalisme Indonesia.
    Diksi-diksi itu sangat pas–mengutip wejangan seorang guru–karena lebih tanpa tedeng aling-aling, apa adanya serta dapat memberi efek “muak” kepada masyarakat luas sehingga emoh meniru perbuatan koruptor.
    Koruptor tak ubahnya maling ayam, seharusnya diperlakukan sama dan justru lebih berat dari maling, karena mudharat yang ditimbulkan jauh lebih besar, masif dan luas.
    Sebaiknya sematan stempel itu diberikan setelah kasusnya telah berkekuatan hukum tetap, inkrah. Sebelum itu, tersangka dan terdakwa kasus dugaan korupsi mesti diperlakukan dengan hormat. Asas praduga tak bersalah berlaku karena itu terdakwa boleh dan wajib membela diri.
    Di sini, relevan kalimat Pramoedya Ananta Toer di tetralogi “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”.
    Lewat seorang tokohnya, terukir kalimat menyentak ini. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Aspek “adil” dan “keadilan” ini mestinya menonjol dalam persidangan di pengadilan.
    Korupsi menghendaki adanya dua hal: Ada niat jahat (
    mens rea
    ) dan perbuatan jahat (
    actus reu
    s). Menurut Legal Information Institute, “mens rea” diterjemahkan dari bahasa Latin. Artinya pikiran bersalah.
    Mens rea
    adalah keadaan pikiran yang diwajibkan oleh UU untuk menghukum terdakwa tertentu atas kejahatan tertentu.
    Saat kali pertama diumumkan Kejaksaan Agung, akhir Oktober 2024, Thomas Lembong dijerat Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya seumur hidup. Dan ini konstruksi tuduhan perbuatan jahat kepada Tom.
    Pada 2015, ia diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta, PT AP, untuk mengimpor gula kristal mentah/GKM (
    Kompas.com
    , 29 Oktober 2024). Besarnya 105.000 ton.
    PT AP lalu mengolah GKM menjadi gula kristal putih atas seizin Tom. Tindakan itu dinilai tak senapas dengan rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015, yang menyatakan Indonesia surplus gula dan tidak butuh impor.
    Menurut Kejaksaan, Thomas Lembong telah melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004. Beleid ini menyatakan, pemerintah hanya boleh mengimpor gula kristal putih yang siap dijual ke masyarakat.
    Patgulipat berikutnya, masih menurut Kejaksaan, gula kristal putih yang telah diolah lalu dibeli PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
    Kemudian delapan perusahaan swasta menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 16.000 per kilogram, lebih mahal dibandingkan harga eceran tertinggi (HET) gula saat itu, yang sebesar Rp 13.000 per kilogram. Akibatnya negara merugi sebesar Rp 400 miliar.
    Belakangan kerugian negara itu membengkak menjadi Rp 578 miliar menurut hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Setidaknya begitu yang dipaparkan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan (
    Kompas.com
    , 6 Maret 2025).
    Selanjutnya, dalam sidang 4 Juli, jaksa menuntut Thomas Lembong hukuman tujuh tahun penjara. Namun Tom tak dibebani untuk membayar uang pengganti. Jaksa juga tidak menyebut Tom memperoleh keuntungan dari perkara tersebut (
    Kumparan.com
    , 4 Juli 2025).
    Pidana uang pengganti hanya dibebankan kepada para terdakwa dari pihak swasta.
    Selama ini ada dua pasal yang sering digunakan untuk menggaruk tersangka atau terdakwa kasus korupsi, yakni Pasal 2 ayat 1 serta Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
    Pasal 2 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
    Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal satu miliar.
    Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor ini menegaskan bahwa perbuatan korupsi itu harus ada niat dan perbuatan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara”. Ketika ada kerugian negara akibat niat dan perbuatan jahat dari pejabat publik, maka itu korupsi.
    Kebijakan atau
    policy
    oleh pejabat publik terikat pada ruang lingkup masalah, ruang dan waktu. Ia tak terjadi di ruang hampa.
    Sang pejabat harus mengambil
    policy
    berdasarkan konteks masalahnya. Kebijakan itu bisa benar dan salah. Imbas terbitnya
    policy
    itu bisa menguntungkan, dan dapat juga merugikan negara.
    Selama si pejabat tak punya niat jahat dan perbuatan jahat, sebuah kebijakan dari pejabat publik yang merugikan negara, mestinya tidak dikategorikan sebagai korupsi dan pelakunya tak dapat dijerat pidana.
    Itulah mengapa belakangan menyembul usulan untuk mempertegas hal-ihwal yang dikategorikan sebagai korupsi.
    Kebijakan oleh pejabat publik yang merugikan negara, secara langsung atau tidak langsung, “tidak disebut korupsi” selama sang pejabat tidak menerima uang sogok atau suap atau gratifikasi dari orang lain atau korporasi yang mendapat manfaat alias diperkaya oleh kebijakan yang diterbitkan oleh si pejabat publik.
    Ide ini untuk membedakan mana yang administrasi dan mana yang kriminal. Kesalahan administrasi beda dengan kriminalitas.
    Kriminalitas atau kasus kriminal wajib dijerat hukum, sedang kesalahan administrasi harusnya tidak berujung kriminalisasi.
    Thomas Lembong memberi judul pleidoinya dengan dua kata: “Di persimpangan”. Dia memang ada di persimpangan jalan, divonis hukuman penjara seturut tuntutan jaksa, lebih berat, lebih ringan atau justru bebas.
    Dalam pemberantasan dan penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi, saya kira negeri kita senasib dengan Thomas: Berada di persimpangan jalan.
    Bukan saja karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibuat lemah di masa pemerintahan Joko Widodo, tapi lantaran pemberantasan korupsi kerap bertumpu pada unsur kerugian negara.
    Saatnya dua pasal UU Tipikor, yakni Pasal 2 ayat 1 serta Pasal 3, ditinjau ulang. Sudah sejak 1999 atau 26 tahunan, dua pasal itu disebut-sebut telah menjadi “pasal primadona” dalam tumpas kelor terhadap koruptor.
    Jangan sampai dua pasal itu menjadi “pedang” yang pada sebagian kasus atau perkara justru menghantam alamat yang salah.
    Hukum bukan untuk menghukum, tapi hukum mengabdi pada kebenaran dan keadilan. Adili koruptor yang memang menggasak duit negara—bukan mereka yang tak terbukti menerima uang sogok atau suap.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Modus Dugaan Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI, Kongkalikong Tunjuk Vendor Swasta

    Modus Dugaan Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI, Kongkalikong Tunjuk Vendor Swasta

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah modus yang digunakan para tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI (BBRI) pada 2020-2024.

    Lembaga antirasuah menjelaskan, pengadaan EDC selama 2020-2024 yang diperkarakan ini menggunakan dua skema yakni beli putus dan sewa. Total nilai anggaran pengadaan yang digelontorkan untuk dua skema itu adalah Rp2,1 triliun. 

    Untuk skema beli putus, total nilai pengadaan selama 2020 hingga 2024 mencapai Rp942,7 miliar dengan jumlah EDC Android sebanyak 346.838 unit. 

    Selain skema beli putus, perseroan turut melakukan pengadaan Full Managed Services atau FMS EDC Single Acquirer (skema sewa) untuk kebutuhan merchant BRI. Total realisasi pembayaran pengadaan skema sewa itu selama 2021-2024 adalah Rp1,2 triliun untuk 200.067 unit. 

    Tersangka Catur, Indra dan Dedi diduga menandatangani sejumlah dokumen terkait dengan pengadaan tersebut. Pengadaan EDC dilakukan oleh sejumlah penyedia mesin tersebut yakni PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) yang dipimpin oleh tersangka Elvizar, dan PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT) yang dipimpin tersangka Rudy.

    Pada 2019, Catur bersama dengan Indra menyepakati bahwa perusahaan Elvizar akan menjadi vendor pengadaan EDC BRI dengan menggandeng PT BRI IT. 

    Indra kemudian memerintahkan dua anak buahnya agar EDC Android merek Sunmi P1 4G yang dibawa Elvizar dan PT PCS, serta merek Verifone yang dibawa PT BRI IT untuk menjalani proof of concept (POC) agar bisa kompatibel dengan sistem di BRI.

    KPK menduga hanya merek Sunmi dan Verifone yang melalui uji kelayakan teknis atau pengujian kompatibilitas POC pada 2019. Proses POCC itu juga tidak dipublikasikan secara luas atau kepada masyarakat. Padahal, vendor rekanan lain sudah membawa merek EDC Android di antaranya Nira, Ingenico dan Pax.

    Sementara itu, harga perkiraan sendiri (HPS) yang digunakan untuk pengadaan mesin EDC dari PT PCS dan PT BRI IT bersumber dari informasi harga vendor yang sudah di-plotting untuk memenangkan PT PCS, PT BRI IT dan PT Prima Vista Solusi.

    Di sisi lain, untuk pengadaan mesin EDC dengan skema sewa atau FMS, baik PT PCS, PT BRI IT dan PT Verifone Indonesia turut mensubkontrakkan seluruh pekerjaannya kepada perusahaan lain tanpa izin BRI.

    KPK lalu menduga terdapat tiga dari lima orang tersangka yang diduga menerima hadiah atau janji maupun keuntungan dari pada vendor EDC. Tersangka Catur diduga menerima Rp525 juta dari Elvizar (PT PCS) dalam bentuk sepeda dan kuda sebanyak dua ekor.

    Kemudian, tersangka Dedi diduga menerima sepeda Cannondale dari Elvizar Rp60 juta.

    Selanjutnya, tersangka Rudy diduga menerima sejumlah uang dari Country Manager Verifone Indonesia, Irni Palar serta Account Manager Verifone Indonesia, Teddy Riyanto sebesar Rp19,72 miliar atas pekerjaan EDC BRIlink dan FMS. 

    Adapun mengenai nilai kerugian keuangan negara, KPK menyebut akan bekerja sama dengan BPK atau BPKP untuk menghitung besaran final atas kerugian negara dari pengadaan tersebut. 

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima orang tersangka. Tiga orang di antaranya berasal dari bank BUMN itu yakni Catur Budi Harto (mantan Wakil Direktur Utama BRI), Indra Utoyo (mantan Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI) serta Dedi Sunardi (mantan SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI). 

    Dalam catatan Bisnis, Catur sudah tidak lagi menjabat sebagai wakil direktur utama BRI, sedangkan Indra kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk. atau Allobank. 

    Kemudian, dua tersangka lain adalah dari pihak swasta atau vendor pengadaan EDC yakni Elvizar (Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi) dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja (Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi). 

    Elvizar juga ditetapkan sebagai tersangka pada kasus KPK lain terkait dengan BUMN, yakni digitalisasi SPBU PT Pertamina (Persero). 

    “Yang memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara, yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp744.540.374.314,00,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Rabu (9/7/2025). 

    Asep menjelaskan, hitungan kerugian keuangan negara oleh accounting forensic KPK tersebut menggunakan metode real cost atau biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh BRI, dibandingkan dengan harga yang perseroan secara riil bayarkan kepada vendor. 

    Kerugian itu diduga timbul dari total nilai anggaran pengadaan sebesar Rp2,1 triliun untuk pengadaan EDC selama 2020-2024, baik dengan metode beli putus maupun sewa. 

    Hasilnya, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara lebih dari 30% nilai pengadaan yakni Rp744,5 miliar.

    “Atau kita bandingkan dengan nilai anggarannya tadi Rp2,1 triliun kira-kira tadi sekitar 33%-nya, sepertiga nya [anggaran], hilang dari situ. Kehilangan sekitar 33%, Rp744 miliar dari pengadaan Rp2,1 triliun. Ini yang sudah terjadi,” terang Asep.

    Atas kasus tersebut, lima orang tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 dan pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • 10
                    
                        Kasus-kasus yang Menyeret Nama Riza Chalid Selain Korupsi Pertamina, Ada "Papa Minta Saham"
                        Nasional

    10 Kasus-kasus yang Menyeret Nama Riza Chalid Selain Korupsi Pertamina, Ada "Papa Minta Saham" Nasional

    Kasus-kasus yang Menyeret Nama Riza Chalid Selain Korupsi Pertamina, Ada “Papa Minta Saham”
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menetapkan Muhammad
    Riza Chalid
    (MRC) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023
    Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan delapan orang lainnya karena diduga menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285 triliun.
    “(Ditetapkan sebagai tersangka adalah) MRC selaku beneficial owner PT Orbit Terminal Merak,” ujar Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Abdul Qohar, saat konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
    Kejagung diketahui telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini. Sehingga, total sudah ada 18 tersangka dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Pertamina tersebut.
    Sebelum ditetapkan sebagai tersangka di kasus
    korupsi Pertamina
    , nama Riza Chalid beberapa kali terseret dalam sejumlah skandal minyak dan gas (migas).
    Berikut sejumlah kasus yang menyeret nama Riza Chalid dirangkum
    Kompas.com
    .
    Nama Riza Chalid sempat terseret dalam skandal “
    papa minta saham
    ” yang membuat Ketua DPR RI periode 2014-2019, Setya Novanto, mengundurkan diri dan diproses oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
    Riza disebut berada dalam pertemuan antara Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia ketika itu, Maroef Sjamsoeddin di salah satu hotel di Jakarta pada 8 Juni 2015.
    Keberadaan Riza itu diketahui dari rekaman percakapan yang direkam Maroef. Dalam pertemuan itu diduga ada permintaan saham Freeport Indonesia oleh Setya Novanto dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
    Adanya Riza Chalid dalam pertemuan itu lantas dilaporkan Maroef kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Sudirman Said.
    Sudirman Said akhirnya membuat laporan terkait adanya rekaman tersebut dan dugaan keterlibatan Setya Novanto ke MKD DPR RI.
    Pelaporan dan proses sidang etik oleh MKD tersebut membuat Setya Novanto mengundurkan diri dari posisi Ketua DPR RI.
    Setya Novanto menyampaikan pengunduran diri melalui surat tertanggal 16 Desember 2015 yang ditandatanganinya di atas meterai dan ditembuskan kepada pimpinan MKD.
    Dalam surat itu disebutkan bahwa mundur sehubungan dengan penanganan dugaan pelanggaran etika yang ditangani di DPR RI, untuk menjaga martabat, dan untuk menciptakan ketenangan masyarakat.
    Kejagung juga diketahui menyelidiki kasus dugaan permintaan saham tersebut karena adanya dugaan pemufakatan jahat.
    Bahkan,
    kejagung
    sudah meminta keterangan Sudirman Said, Sekjen DPR, dan Maroef Sjamsuddin.
    Namun, Kejagung selalu gagal menghadirkan Riza Chalid untuk dimintai keterangan.
    Hingga akhirnya, Setya Novanto mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
    MK lantas memutuskan, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE. Dengan kata lain, rekaman “papa minta saham” itu tidak bisa menjadi bukti dan patut dikesampingkan.
    Adanya putusan MK itu membuat penyidikan di Kejaksaan terhenti. Jaksa Agung ketika itu, HM Prasetyo menjelaskan bahwa tidak semua perkara itu berkonotasi ke persidangan.
    “Tergantung kepada fakta dan bukti yang ada, kalian tahu persis perjalan kasus itu. Ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai hasil rekaman yang dinyatakan bukan barang bukti. Kamu tahu enggak itu? Tahu tidak tuh?” kata Prasetyo sebagaimana diberitakan Kompas.com pada 18 Juli 2018.
    “Jadi bukti-bukti yang tadinya kita anggap sebagai bisa melengkapi penanganan perkara ini, ternyata oleh MK dinyatakan tidak sah sebagai barang bukti itu, dan sekarang prosesnya sudah selesai,” ujarnya lagi.
    Senada dengan Kejagung, MKD DPR juga akhirnya mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Setya Novanto yang diajukan Fraksi Partai Golkar.
    Nama Riza Chalid juga disebut-sebut terkait dengan kasus mafia migas yang diduga terjadi di dalam tubuh perusahaan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang telah dibubarkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2015.
    Menurut laporan
    DW.com
    , selama bertahun-tahun Riza Chalid disebut mengendalikan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak usaha PT Pertamina.
    Kasus yang berawal dari audit investigatif terhadap Petral yang dipimpin oleh Faisal Basri menemukan adanya kecurangan dalam proses pengadaan minyak melalui perusahaan minyak pemerintah asing (ENOC).
    Kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menetapkan Mantan Direktur Utama Petral Bambang Irianto yang pernah menjadi Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd (PES) sebagai tersangka kasus suap terkait dengan
    kasus Petral
    .
    “KPK menetapkan satu orang sebagai tersangka, yakni, BTO, Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd periode 2009-2013,” kata Wakil Ketua KPK saat itu Laode M Syarif dalam konferensi pers pada 10 September 2019.
    Dalam kasus ini, Bambang diduga menerima 2,9 juta Dollar AS dari perusahaan Kernel Oil yang merupakan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES atau Pertamina.
    Uang itu diperoleh Bambang atas jasanya mengamankan jatah alokasi kargo perusahaan itu dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang.
    Laode mengungkapkan, dalam proses tender pada 2012, Bambang dan sejumlah pejabat PES lainnya diduga menentukan sendiri rekanan yang akan diundang mengikuti tender tanpa mengacu pada ketentuan yang berlaku.
    Salah satu peserta tender yang akhirnya terpilih asalah perusahaan Emirates National Oil Company (ENOC). Namun, ENOC dalam kasus ini hanyalah ‘perusahaan bendera’ untuk menyamarkan Kernel Oil yang tidak masuk daftar.
    Namun, penyidikan kasus ini tidak berkembang hingga memasuki pertengahan tahun 2025.
    Bahkan, KPK sempat digugat oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia ( LP3HI ) dan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) lantaran dugaan mangkraknya kasus Petral dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
    “Gugatan Praperadilan ini dimaksudkan memaksa KPK untuk terlibat melakukan pembenahan tata kelola BBM yang diduga telah terjadi penyimpangan puluhan tahun. KPK harus berani berlomba dengan Kejagung yang telah menangani kasus di Pertamina,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya pada 18 Maret 2025.
    Masih terkait dengan Petral, Riza Chalid juga pernah tersandung kasus impor minyak Petral pada tahun 2008.
    Dikutip dari pemberitaan
    Kompas.id
    pada 2 Maret 2025, kala itu, Petral membeli 600 barel minyak seharga 54 juta dollar AS atau setara dengan Rp 524 miliar melalui perusahaan Global Resources Energy dan Gold Manor. Kedua perusahaan itu ditengarai terafiliasi dengan Riza.
    Saat itu, impor minyak oleh Petral tersebut menuai kontroversi karena minyak yang diimpor itu disebut jenis baru yakni Zatapi.
    Anggota Komisi Komisi VII DPR kala itu, Alvin Lie mengatakan, Zatapi kemungkinan besar merupakan campuran minyak mentah Sudan Dar Blend dengan minyak mentah Malaysia.
    Menurut dia, berdasarkan pemberitaan Kompas pada 24 Maret 2008, harga Zatapi disamakan harga Tapis, yaitu sekitar 100 dollar Amerika Serikat (AS) per barel. Padahal, harga sebenarnya Dar Blend sekitar 70 dollar AS.
    Kemudian, kasus impor minyak Zatapi ini akhirnya ditangani Mabes
    Polri
    dan lima orang ditetapkan sebagai tersangka
    Mereka adalah Direktur Gold Manor SN, VP; Bagian Perencanaan dan Pengadaan Chrisna Damayanto; Manajer Pengadaan Kairuddin; Manajer Perencanaan Rinaldi; dan staf Perencanaan Operasi Suroso Atmomartoyo.
    Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri saat itu, Irjen Pol Abubakar Nataprawira menyebut, kelima tersangka tersebut terbukti melanggar Pasal 2 dan atau 3 Undang-Undang No. 31 tahun 99 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tipikor.
    Namun, pada Februari 2010, Polri memutuskan untuk menghentikan penyidikan kasus impor minyak Zatapi itu. Dengan alasan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak menemukan adanya kerugian negara dalam perkara tersebut.
    “Sudah kami hentikan sejak beberapa minggu lalu karena menurut BPKP tidak ada kerugian negara,” ujar Kapolri saat itu, Jenderal Bambang Hendarso Danuri di Gedung DPR, Jakarta pada 23 Februari 2010.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korupsi Pelabuhan di Riau, Jaksa Ciduk Pejabat Kemenhub

    Korupsi Pelabuhan di Riau, Jaksa Ciduk Pejabat Kemenhub

    Liputan6.com, Pekanbaru – Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau menahan pejabat Kementerian Perhubungan di Pekanbaru berinisial RN. Dia merupakan tersangka korupsi pembangunan Pelabuhan Sagu-Sagu Langkit Tahap V di Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti.

    Korupsi pembangunan pelabuhan tahun anggaran 2022 dan 2023 itu merugikan negara Rp12,5 miliar. Penahan berlangsung 20 hari ke depan di Rutan Sialang Bungkuk untuk kepentingan penyidikan.

    Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejati Riau Zikrullah menjelaskan, selain RN penyidik juga menetapkan 2 tersangka lainnya. 

    “Semuanya sudah ditahan pada Selasa malam tadi,” kata Zikrullah, Rabu siang, 9 Juli 2025.

    Tersangka lainnya berinisial MRN dan HB dari pihak swasta. Tersangka MRN merupakan Direktur PT Berkat Tunggal Abadi selaku pelaksana proyek sedangkan HB merupakan Direktur Utama PT Gumilang Sajati sebagai konsultan pengawas. 

    “Sementara RN merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kementerian Perhubungan,” kata Zikrullah.

    Penyidik sudah mengantongi audit kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) senilai Rp12,5 miliar.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    “Mereka terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun,” jelasnya.

    Ketika ditanya mengenai kemungkinan adanya tersangka baru, Zikrullah menyatakan penyidikan masih terus berlanjut.

    “Untuk saat ini baru 3 orang yang ditetapkan tapi tidak menutup kemungkinan akan ada pengembangan lebih lanjut sesuai alat bukti yang ditemukan,” katanya.

     

    *** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Perjalanan Dinas ke Batam Diduga Rugikan Negara Rp 1 Miliar, Penyidik Kejaksaan Geledah Ruang Bendahara DPRD Nabire
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        10 Juli 2025

    Perjalanan Dinas ke Batam Diduga Rugikan Negara Rp 1 Miliar, Penyidik Kejaksaan Geledah Ruang Bendahara DPRD Nabire Regional 10 Juli 2025

    Perjalanan Dinas ke Batam Diduga Rugikan Negara Rp 1 Miliar, Penyidik Kejaksaan Geledah Ruang Bendahara DPRD Nabire
    Tim Redaksi
    NABIRE, KOMPAS.com
    – Tim Satuan Khusus Pemberantasan Korupsi dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Nabire menggeledah Ruang Bendahara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nabire, Papua Tengah, Kamis (10/7/2025).
    Penggeledahan ini terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan perjalanan dinas sekretariat DPRD Kabupaten Nabire pada tahun 2023.
    Penggeledahan dilakukan berdasarkan surat perintah Kepala
    Kejaksaan Negeri Nabire
    dan telah mendapatkan izin penetapan dari Kepala Pengadilan Negeri Nabire.
    Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Nabire, Chrispo Simanjuntak, mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan beberapa tiket asli yang masih disimpan dalam penggeledahan tersebut.
    “Namanya kan perjalanan dinas berarti modusnya tiket palsu, bill hotel palsu, dan hasilnya kami temukan hanya beberapa tiket asli. Tidak semua,” ujar Chrispo dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis malam.
    Chrispo juga menyebutkan bahwa dalam kasus ini, kurang lebih 20 orang telah diperiksa, terdiri dari anggota dewan (DPRD) dan staf kesekretariatan dewan.
    “Yang sudah diperiksa anggota dewan di atas 20-an orang ditambah 14 staf kesekretariatan yang sudah diperiksa, yakni staf keuangan dan staf persidangan, karena yang mengetahui pencairan dan ikut
    bimbingan teknis
    ,” ungkapnya.
    Dia menambahkan bahwa staf keuangan, staf persidangan, dan staf perundang-undangan sekretariat DPRD mendampingi para anggota dewan dalam perjalanan dinas tersebut.
    “Tidak hanya dari pihak Sekretariat Dewan (Setwan) saja yang diperiksa, namun juga pihak hotel serta pihak maskapai pun sudah diperiksa,” ungkap Chrispo.
    Fokus penyidikan saat ini adalah pada satu kegiatan, yaitu
    Bimbingan Teknis
    dengan anggaran sebesar Rp 2 miliar ke Batam.
    Sementara itu, potensi kerugian negara yang dihitung oleh penyidik dan sedang diperiksa  Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Papua Tengah diperkirakan mencapai Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar.
    “Setelah penghitungan kerugian negara dari BPKP selesai, baru bisa dikeluarkan penetapan tersangka dan dilanjutkan penanganan tersangka,” ucap Chrispo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kronologi Dugaan Korupsi Mesin EDC yang Jerat Eks Wadirut BRI dan Bos Allo Bank

    Kronologi Dugaan Korupsi Mesin EDC yang Jerat Eks Wadirut BRI dan Bos Allo Bank

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI pada 2020-2024. 

    Kasus itu diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp744,5 miliar dari nilai anggaran pengadaan Rp2,1 triliun. Dari lima orang tersangka, beberapa di antarannya diduga turut menerima keuntungan atau hadiah maupun janji atas pengadaan mesin digitalisasi perbankan itu. 

    Dari lima orang tersangka, tiga di antaranya berasal dari bank BUMN itu yakni Catur Budi Harto (mantan Wakil Direktur Utama BRI), Indra Utoyo (mantan Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI) serta Dedi Sunardi (mantan SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI). 

    Dalam catatan Bisnis, Catur sudah tidak lagi menjabat sebagai wakil direktur utama BRI, sedangkan Indra kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk. atau Allobank. 

    Kemudian, dua tersangka lain adalah dari pihak swasta atau vendor pengadaan EDC yakni Elvizar (Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi) dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja (Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi). 

    Elvizar juga ditetapkan sebagai tersangka pada kasus KPK lain terkait dengan BUMN, yakni digitalisasi SPBU PT Pertamina (Persero). 

    “Yang memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara, yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp744,54 miliar,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK pada konferensi pers, Rabu (9/7/2025). 

    Asep menjelaskan, hitungan kerugian keuangan negara oleh accounting forensic KPK tersebut menggunakan metode real cost atau biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh BRI, dibandingkan dengan harga yang perseroan secara riil bayarkan kepada vendor. 

    Kerugian itu diduga timbul dari total nilai anggaran pengadaan sebesar Rp2,1 triliun untuk pengadaan EDC selama 2020-2024, baik dengan metode beli putus maupun sewa. 

    Hasilnya, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara lebih dari 30% nilai pengadaan yakni Rp744,5 miliar.

    “Atau kita bandingkan dengan nilai anggarannya tadi Rp2,1 triliun kira-kira tadi sekitar 33%-nya, sepertiga nya [anggaran], hilang dari situ. Kehilangan sekitar 33%, Rp744 miliar dari pengadaan Rp2,1 triliun. Ini yang sudah terjadi,” terang Asep.

    Atas kasus tersebut, lima orang tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 dan pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    KRONOLOGI AWAL PENGADAAN

    Lembaga antirasuah menjelaskan, pengadaan EDC selama 2020-2024 yang diperkarakan ini menggunakan dua skema yakni beli putus dan sewa. Total nilai anggaran pengadaan yang digelontorkan untuk dua skema itu adalah Rp2,1 triliun. 

    Untuk skema beli putus, pengadaan unit EDC Android setiap tahunnya berjumlah 25.000 unit (2020), 16.838 unit (2021), 55.000 unit (2022), 50.000 unit (2023) dan 200.000 unit (2023 tahap II yang dilaksanakan pada 2024). Mesin EDC ini untuk digunakan di seluruh Indonesia.

    Anggaran untuk pengadaan EDC Android BRIlink itu menggunakan anggaran investasi TI milik Direktorat Digital, IT dan Operation BRI. Total nilai pengadaan EDC android keseluruhan senilai Rp942,7 miliar, dengan jumlah EDC keseluruhan 346.838 unit. 

    Selain skema beli putus, perseroan turut melakukan pengadaan Full Managed Services atau FMS EDC Single Acquirer (skema sewa) untuk kebutuhan merchant BRI. Total realisasi pembayaran pengadaan skema sewa itu selama 2021-2024 adalah Rp1,2 triliun untuk 200.067 unit.

    Tersangka Catur, Indra dan Dedi diduga menandatangani sejumlah dokumen terkait dengan pengadaan tersebut. Pengadaan EDC dilakukan oleh sejumlah penyedia mesin tersebut yakni PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) yang dipimpin oleh tersangka Elvizar, dan PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT) yang dipimpin tersangka Rudy.

    PT PCS adalah perusahaan penyedia mesin EDC merek Sunmi, sedangkan PT BRI IT membawa merek Verifone. KPK menduga hanya merek Sunmi dan Verifone yang melalui uji kelayakan teknis atau pengujian kompatibilitas (proof of concept/POC) pada 2019, lantaran sudah ada arahan dari Indra selaku Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI saat itu. 

    Padahal, vendor rekanan lain sudah membawa merek EDC Android di antaranya Nira, Ingenico dan Pax.

    Sementara itu, harga perkiraan sendiri (HPS) yang digunakan untuk pengadaan mesin EDC dari PT PCS dan PT BRI IT bersumber dari informasi harga vendor yang sudah di-plotting untuk memenangkan PT PCS, PT BRI IT dan PT Prima Vista Solusi.

    KPK menduga terdapat tiga dari lima orang tersangka yang diduga menerima hadiah atau janji maupun keuntungan dari pada vendor EDC. Tersangka Catur diduga menerima Rp525 juta dari Elvizar (PT PCS) dalam bentuk sepeda dan kuda sebanyak dua ekor.

    Kemudian, tersangka Dedi diduga menerima sepeda Cannondale dari Elvizar Rp60 juta.

    Selanjutnya, tersangka Rudy diduga menerima sejumlah uang dari Country Manager Verifone Indonesia, Irni Palar serta Account Manager Verifone Indonesia, Teddy Riyanto sebesar Rp19,72 miliar atas pekerjaan EDC BRIlink dan FMS. 

    Adapun mengenai nilai kerugian keuangan negara, KPK menyebut akan bekerja sama dengan BPK atau BPKP untuk menghitung besaran final atas kerugian negara dari pengadaan tersebut.