Kementrian Lembaga: BPK

  • DKI sudah dapat dukungan pusat bangun RS tipe A di lahan Sumber Waras

    DKI sudah dapat dukungan pusat bangun RS tipe A di lahan Sumber Waras

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan Rumah Sakit (RS) Tipe A di lahan milik Pemprov DKI Jakarta di Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

    “Alhamdulillah kami mendapatkan ‘support’ sepenuhnya dari pemerintah pusat. Bapak Presiden, Ketua DPR, Wakil Ketua DPR RI. Sehingga dengan demikian, kami menjadi semakin bersemangat untuk menyelesaikan persoalan ini dan akan segera kami bangun menjadi rumah sakit tipe A,” ujar Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo saat dijumpai di Jakarta, Senin.

    Lebih lanjut Pramono menjelaskan, lahan seluas 3,6 hektare di samping RS Sumber Waras tersebut kini bisa dimanfaatkan setelah dihentikannya status penyelidikan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2023.

    Pramono mengatakan, dari lima temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berdampak pada tertundanya pembangunan, tiga di antaranya sudah dipenuhi.

    Dengan telah selesainya persoalan hukum lahan itu, Pramono menyatakan Pemerintah Jakarta sudah siap untuk membangun rumah sakit di sana.

    “Kalau persoalan hukumnya sudah selesai, di BPK-nya sudah tidak ada masalah, karena itu kami berterima kasih sudah ada ‘green light’,” kata Pramono.

    Pramono pun mengaku telah meminta jajarannya agar segera melanjutkan rencana pembangunan dan menyusun studi kelayakan (feasibility study).

    Sebelumnya, Pramono menargetkan pembangunan rumah sakit tersebut akan dimulai tahun depan.

    Hal itu disampaikan Pramono usai mengunjungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (16/10) untuk berkonsultasi terkait rencana pemanfaatan lahan RS Sumber Waras yang terbengkalai.

    “Kami juga membahas mengenai tanah di Rumah Sakit Sumber Waras, yang sudah terbengkalai dari 2014, dan pada waktu itu dari hasil temuan BPK tentunya pemerintah Jakarta memenuhi apa yang menjadi temuan BPK untuk ditindaklanjuti,” kata Pramono.

    Pramono menjelaskan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah di Sumber Waras telah lebih tinggi dibanding saat kasus ini diusut KPK.

    Untuk itu, pihaknya berkonsultasi ke KPK agar tanah yang terbengkalai bisa dimanfaatkan.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rekrutmen Pansel BPJS Ketenagakerjaan Disebut Bermasalah dan Minim Pengawasan

    Rekrutmen Pansel BPJS Ketenagakerjaan Disebut Bermasalah dan Minim Pengawasan

    JAKARTA – Lembaga Inisiatif Audit Watch (IAW) menyoroti dugaan kejanggalan dalam proses rekrutmen Panitia Seleksi (Pansel) BPJS Ketenagakerjaan 2025 yang dinilai cacat secara administratif dan lemah dalam pengawasan. Padahal, BPJS mengelola dana publik lebih dari Rp600 triliun dan menjadi penopang jaminan hidup serta kesehatan bagi 278 juta warga Indonesia.

    Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menyebut proses unggah berkas peserta seleksi bermasalah, mulai dari dokumen tidak terunggah, gagal konfirmasi, hingga ketiadaan mekanisme klarifikasi atas kelengkapan administrasi.

    “Peserta sudah mengunggah berkas lengkap, tapi dinyatakan gagal karena sistem tidak merekamnya. Tidak ada kanal keberatan atau verifikasi ulang, dan DJSN tidak melakukan koreksi,” ujarnya, Minggu, 27 Oktober.

    Padahal, menurut Iskandar, peraturan telah mengatur seleksi harus transparan dan akuntabel. UU No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24/2011 tentang BPJS mewajibkan proses seleksi Dewan Pengawas dan Direksi dilakukan secara terbuka. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2015 bahkan merinci mekanisme pengawasan DJSN dan tanggung jawab kementerian terkait.

    IAW juga mengutip temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama satu dekade terakhir yang menunjukkan lemahnya sistem verifikasi dan evaluasi BPJS. Tahun 2019 defisit keuangan mencapai Rp125 triliun, meski turun menjadi Rp32,4 triliun pada 2023. Data peserta bermasalah juga mencapai jutaan orang akibat NIK ganda dan data tidak sinkron.

    “Masalah ini bukan sekadar teknis, tapi budaya birokrasi yang lemah dan minim kontrol berlapis. DJSN pasif menindaklanjuti rekomendasi BPK,” tegas Iskandar.

    IAW menilai cacat administrasi dalam rekrutmen dapat menimbulkan dampak hukum dan fiskal serius. Pasal 38 UU 40/2004 bahkan mengatur, bila defisit terjadi akibat kesalahan pengelolaan, negara wajib menutupinya melalui APBN.

    Menurut IAW, dampak lemahnya tata kelola kini dirasakan langsung oleh peserta. Sejumlah rumah sakit mulai menunda layanan karena klaim BPJS lambat dibayar, antrean peserta memanjang, dan risiko turunnya kepercayaan publik meningkat.

    Untuk itu, IAW merekomendasikan lima langkah perbaikan: audit penuh terhadap proses rekrutmen Pansel 2025; kewajiban laporan pengawasan publik DJSN; revisi Perpres 81/2015 dengan sanksi bagi pihak lalai; judicial review ke MA untuk memperjelas kewenangan antar lembaga; serta digitalisasi penuh dan keterbukaan publik terhadap seluruh proses seleksi.

    “BPJS bukan sekadar lembaga keuangan, melainkan janji konstitusi agar rakyat hidup sehat dan terlindungi. Jika rekrutmen saja tak akuntabel, bagaimana mungkin pelayanan di lapangan bisa adil,” pungkas Iskandar.

  • Rumah Pensiun Jokowi Capai Rp200 M, Menurut Keppres Maksimal Rp20 M, Pengamat Minta BPK & KPK Usut!

    Rumah Pensiun Jokowi Capai Rp200 M, Menurut Keppres Maksimal Rp20 M, Pengamat Minta BPK & KPK Usut!

    GELORA.CO – Pemerhati Politik dan Kebangsaan, M Rizal Fadillah, kembali melontarkan kritik tajam terhadap mantan Presiden Jokowi.

    Ia menilai, proyek rumah hadiah negara untuk Jokowi sarat dengan kejanggalan dan berpotensi membuka ruang korupsi besar-besaran dari uang rakyat.

    Dikatakan Rizal, berdasarkan UU No. 7 tahun 1978, mantan Presiden dan atau Wakil Presiden berhak mendapatkan rumah yang layak dengan perlengkapannya. Namun UU ini tidak mengatur besaran atau nilai.

    “Presiden SBY mendapat tanah seluas 1500 M2 di Jakarta. Presiden Suharto dan lainnya menerima hadiah negara dalam bentuk uang,” ujar Rizal kepada fajar.co.id, Minggu (26/10/2025).

    Lanjut Rizal, berdasarkan Keppres 81 tahun 2004, besaran harga rumah itu maksimal 20 milyar.

    Namun, pemerintahan Jokowi justru membuat aturan dengan harga tidak terbatas.

    “APBN dapat membiayai berapa saja asal luas tanah di DKI Jakarta 1500 M2 di luar setara dengan itu. Aturan dibuat oleh Sri Mulyani melalui Permenkeu No. 120/PMK-06/2022. Ruang korupsi terbuka setelah ada aturan ini,” tegas Rizal.

    Lebih lanjut, ia menyebut bahwa Jokowi minta sendiri tanah yang kemudian mulai dibangun pada bulan Juli 2024, dengan luas tanah 12.000 M2 di Jl Adi Sucipto Colomadu Karang Anyar.

    “Menurut Kades Blulukan Colomadu Slamet Wiyono harga tanah disana dahulu 10-12 juta rupiah per meter, kini katanya 15-17 juta per meter persegi,” sebutnya.

    Dengan harga lama minimal, kata Rizal, maka harga tanah yang dibeli APBN untuk Jokowi berada di angka Rp120 milyar.

    “Itu baru tanahnya saja,” bebernya.

    Ia kemudian menyinggung ketimpangan antara aturan lama dan kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah saat ini.

    “Dimulai dari luas tanah menurut Permenkeu 120 tahun 2022 antara 1.500 M2 di DKI dengan 12.000 M2 di Colomadu batas Surakarta-Karang Anyar sangat mencolok. Ini perlu audit akan kesetaraannya,” lanjutnya.

    Bukan hanya itu, ia juga menaruh perhatiannya pada pembangunan dengan tanpa pembatasan biaya yang justru membuka peluang bagi ketidakterbatasan penggunaan dana APBN.

    “Aturan terdahulu hanya maksimal 20 milyar itu sudah tanah dan bangunan. Kini untuk Jokowi tanahnya saja sudah 120 milyar belum bangunan maka bukan mustahil jika dana APBN yang digelontorkan bisa mencapai lebih dari 200 milyar,” Rizal menuturkan.

    Rizal juga menyebut, Sri Mulyani telah membuka pintu bagi perampokan dana APBN.

    “Sri Mulyani adalah Menteri atau pembantunya Jokowi. Dugaan kuat Sri Mulyani atas perintah dan atau sepengetahuan Jokowi,” ucapnya.

    Rizal kemudian membeberkan kejanggalan lain terkait asal-usul tanah yang diberikan kepada Jokowi.

    “Awalnya tanah yang dihadiahkan negara kepada Jokowi hanya 9000 M2 tapi ujug ujug bertambah menjadi 12.000 M2. Ternyata hamparan tanah tersebut terdiri dari 4 patok. 3 patok seluas 9000 M2 dibeli dari Yustinus Soeroso pemilik PO Rosalia Indah dan 1 patok +-3000 M2 dibeli dari Joko Wiyono,” terangnya.

    “Kades Blulukan Slamet tidak tahu siapa Joko Wiyono dan tidak tahu pula transaksi jual beli serta lainnya. Kata Slamet, Joko Wiyono bukan orang blulukan,” tambah Rizal.

    Kata Rizal, fakta-fakta itu memperlihatkan adanya potensi penyimpangan dalam proses pengadaan lahan.

    “Ada bau perkeliruan pada hadiah negara untuk mantan Presiden Jokowi di Blulukan Colomadu ini. Dibandingkan Presiden terdahulu, maka Jokowi telah membuat rekor keserakahan mantan Presiden,” imbuhnya.

    “Tanah paling luas dan pembiayaan APBN paling mahal. Diawali dengan indikasi kongkalikong dengan Sri Mulyani Menteri Keuangan dan Mensesneg Pratikno, pengelola hadiah,” sambung dia.

    Ia menegaskan bahwa pembelian dan pembangunan merupakan tanggungjawab Mensesneg. Adapun kontraktor pembangunan, pilihan terbaik asal Denpasar Bali PT Tunas Jaya Sanur.

    “Rupanya Jokowi ingin membangun rumah kerajaan di Colomadu,” timpalnya.

    Rizal pun mempertanyakan mekanisme proyek tersebut yang terkesan tertutup dan tanpa proses lelang terbuka.

    “Nah, untuk nilai hingga puluhan atau ratusan milyar proyek negara bolehkah dengan penunjukan langsung?,” tandasnya.

    “Ada dugaan korupsi atas hadiah negara kepada mantan Presiden Jokowi. BPK atau lembaga lain segera turun untuk mengaudit rumah Jokowi. KPK mulailah bergerak. Rakyat pun harus bergerak mendesak KPK. Ada korupsi di rumah Jokowi,” kuncinya.

    Sumber: 

  • Jadi Titik Awal Sejarah Banten, Monumen Jalur Masuk Cornelis de Houtman Diresmikan

    Jadi Titik Awal Sejarah Banten, Monumen Jalur Masuk Cornelis de Houtman Diresmikan

    BANTEN — Menteri Kebudayaan Fadli Zon meresmikan monumen simbolisasi jalur masuk Cornelis de Houtman di kawasan Banten Lama, Minggu, 26 Oktober. Peresmian ini bagian akhir dari rangkaian kegiatan Sasaka Cibanten 2025 yang bertema “Naritis Cai, Mapag Kabantenan”. Acara ini sendiri digelar Kementerian Kebudayaan melalui Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII Banten dan Jakarta.

    Menbud Fadli Zon mengatakan, monumen tersebut menandai awal upaya rekonstruksi sejarah Banten sebagai pelabuhan besar dan pusat peradaban Nusantara. “Banten memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan dan akulturasi budaya. Karena itu, kami menandai titik masuk Cornelis de Houtman sebagai bagian penting dari rekonstruksi sejarah bangsa,” ujarnya.

    Menurut Menbud Fadli, Banten telah memiliki peradaban maju jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Masjid Banten Lama berdiri pada 1527, jauh sebelum Cornelis de Houtman tiba, begitu pula Keraton Surosowan dan Kaibon. “Kami ingin menghidupkan kembali ekosistem budaya di Banten agar menjadi wisata budaya dan sumber ekonomi masyarakat,” tambahnya.

    Menbud Fadli juga menyinggung rencana pemugaran Keraton Surosowan dan Kaibon serta pemanfaatan museum di sekitar situs sebagai ruang edukasi. “Kita ingin masyarakat, khususnya generasi muda, belajar sejarah melalui pengalaman langsung di situs-situs bersejarah,” katanya.

    Akademisi Universitas Indonesia, Prof. R. Cecep Eka Permana, menyebut monumen ini sebagai penanda penting kedatangan Cornelis de Houtman ke Nusantara. “Kapalnya berlabuh di Pulau Lima karena tak bisa masuk ke pelabuhan akibat dangkal. Ia lalu naik sekoci menuju Pabean, tempat pembayaran cukai. Ini bukti Banten sudah maju dalam perdagangan,” jelasnya.

    Prof. Cecep menambahkan, sejumlah temuan seperti keramik, mata uang, dan gerabah akan menjadi bahan penelitian lanjutan dan kelak dipamerkan di Museum Situs Kebudayaan Banten Lama.

    Kepala BPK Wilayah VIII, Lita Rahmiati, mengatakan Sasaka Cibanten menjadi ruang kolektif untuk menghubungkan kembali arus peradaban Banten. “Tema Naritis Cai, Mapag Kabantenan menggambarkan air sebagai simbol yang mengalir, menyatukan, dan menghidupkan kembali kebudayaan Banten,” ujarnya.

    Juga hadir dalam peresmian ini Dirjen Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Restu Gunawan, Wakil Wali Kota Serang Nur Agis Aulia, Ketua DPRD Muji Rohman, Kapolda Banten Irjen Pol. Hengki, dan sejumlah pejabat daerah.

    Rangkaian Sasaka Cibanten sebelumnya digelar di Titik Nol Cibanten (4–5 Oktober) dan Banten Girang (11–12 Oktober). Kegiatan ini menjadi penutup perjalanan kebudayaan yang meneguhkan kembali identitas sejarah dan ekologi Banten.

  • Gandrung Sewu Banyuwangi: 13 Tahun Menari di Panggung Kolosal yang Kian Memukau

    Gandrung Sewu Banyuwangi: 13 Tahun Menari di Panggung Kolosal yang Kian Memukau

    Gandrung Sewu kali ini diikuti oleh 1.400 penari yang terdiri 1.200 penari berasal dari Banyuwangi termasuk para Kepala Desa yang ikut tampil sebagai Paju Gandrung, ditambah 200 para penari diaspora dari Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Probolinggo, Situbondo, Malang, Jakarta, Sumsel, Sulawesi Selatan hingga Papua dan Amerika.

    Gandrung dari berbagai usia, mulai 4 tahun hingga mahasiswa membawakan koreografi yang apik. Mengenakan pakaian dan selendang merah, mereka menampilkan berbagai formasi. Mulai dari bunga, GS 2025, hingga formasi apik lainnya.

    Tampak pula gandrung cilik usia 4 tahun menari dengan ceria memadukan gerakan tari Gandrung dengan gerakan velocity yang lagi nge-trend. Membuat para penonton sontak memanggil mereka “Gandrung Velocity”.

    “Ini bukti semangat sinergi dan kolaborasi untuk menjaga warisan budaya dengan cara kontemporer. Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan atas semua yang berpartisipasi,” ujar Ipuk.

    Suasana haru dan bahagia menyeruak saat para penari menyelesaikan pertunjukan Gandrung Sewu. Kerja keras menjalani latihan selama tiga bulan terbayar dengan meriahnya sambutan ribuan penonton.

    “Alhamdulillah pertunjukannya selesai. Kami terharu dan bahagia karena kerja keras dan kebersamaan selama menjalani bersama teman teman mendapatkan sambutan yang meriah,” kata Diaz, salah satu penari yang merupakan mahasiswi semester pertama Kampus ISI Banyuwangi.

    Gandrung Sewu kali ini dihadiri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Rini Widianti, Asdep Pemasaran Pariwisata Nusantara Erwita Dianti, Pimpinan Pemeriksa Keuangan VII BPK RI Slamet Edy Purnomo, Kepala BKSDN Yusharto Hontoyungo, Kapolda Jatim Irjen Pol Nanang Avianto, Bupati Bondowoso Abdul Hamid Wahid. Juga dihadiri perwakilan Kementrian dan lembaga di antaranya LKPP RI, Kemendes RI, Kemen PU, Kementan, Kemendikbuddasmen, Kemenkop, Kemendagri dan lainnya.

  • Uji Coba Ulang Utang Kereta Cepat

    Uji Coba Ulang Utang Kereta Cepat

    Oleh:Defiyan Cori 

       

    KEBERANIAN memulai hal baru, mungkin inilah warisan terbesar Joko Widodo selama dua periode memimpin negeri ini. Presiden yang akrab disapa Jokowi itu berani menantang kebiasaan lama, menembus keraguan birokrasi, dan menggebrak lewat proyek-proyek infrastruktur raksasa, termasuk Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB).

    “Kereta cepat bukan soal untung rugi, yang penting rakyat dilayani,” kata Jokowi pada 2 Oktober 2023 saat meresmikan beroperasinya kereta cepat pertama di Asia Tenggara itu. Ucapan itu menegaskan satu hal: proyek ini dibangun bukan semata demi laba, melainkan pelayanan publik. Dalam logika bisnis, kerugian di awal operasi adalah hal yang lumrah. Namun di dunia korporasi, setiap angka tetap bicara: untung atau rugi menentukan kepercayaan investor dan kreditor.

    Karena itu publik terperangah ketika Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, mengeluhkan kerugian proyek KCJB di hadapan Komisi VI DPR, Rabu, 20 Agustus 2025. Ia menyebut kerugian gabungan PT KCIC dan PT KAI pada 2024 mencapai Rp4,195 triliun, sementara semester pertama 2025 (unaudited) sudah menembus Rp1,625 triliun. Ia bahkan menyebut kondisi itu sebagai “bom waktu”.

    Pernyataan itu sontak memicu polemik. Bukankah sejak awal proyek ini dijalankan dengan skema bisnis ke bisnis (B-to-B) tanpa jaminan APBN? Tidakkah sang direktur memahami kontrak dan risiko yang telah disepakati?

    Sebelum menuding siapa bersalah, ada baiknya publik menelusuri akar persoalan. Dalam dunia bisnis, studi kelayakan atau feasibility study (FS) adalah dokumen paling mendasar. Ia menentukan apakah sebuah proyek layak atau tidak layak dijalankan. Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya menelusuri kembali dokumen ini: apakah KCJB benar-benar dinilai layak secara teknis, ekonomi, dan finansial sebelum dijalankan?

    Kalau memang layak, mengapa kerugian menggunung sejak awal? Tapi kalau tidak layak, mengapa proyek senilai triliunan rupiah ini tetap diteruskan?

    Sebagian pihak, termasuk Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), bahkan menyebut proyek ini “sudah busuk sejak awal”.

    Awal kisahnya bisa ditarik ke 2015. Kala itu, dua raksasa ekonomi–Jepang dan China–berebut mengerjakan proyek kereta cepat sejauh 142,3 kilometer ini. Melalui Peraturan Presiden Nomor 107 dan 93 Tahun 2015, pemerintah memberi batas waktu penentuan pemenang hingga 31 Agustus 2015.

    Akhirnya, pilihan jatuh ke China. Alasannya sederhana: tawaran mereka lebih murah dan tidak membebani APBN. Jepang menawarkan nilai proyek USD 6,2 miliar (sekitar Rp86,8 triliun), sedangkan China hanya USD 5,5 miliar (Rp77 triliun). Selisihnya sekitar Rp9,8 triliun.

    China juga berjanji tidak meminta jaminan pemerintah. Janji yang belakangan menjadi sumber polemik.

    Pertengahan Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno meneken kerja sama pendanaan dengan berbagai BUMN senilai total US$40 miliar—sekitar Rp520 triliun. Padahal, nilai proyek KCJB hanya Rp78–87 triliun. Apakah seluruh pinjaman itu untuk kereta cepat semata? Pertanyaan ini belum pernah dijawab tuntas.

    Dari sinilah lahir PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), konsorsium yang terdiri dari PT KAI, PT Wijaya Karya (WIKA), PT Jasa Marga (JSMR), dan PTPN VIII. Mereka menggandeng China Railway International dengan kepemilikan saham 60:40.

    Masalahnya, sebagai leading consortium, PT KAI menanggung beban terbesar—58,53 persen saham PSBI—dan karenanya paling terdampak ketika proyek merugi. Semester pertama 2025, kerugiannya hampir Rp1 triliun.

    Mengapa Kerugian ini Tak Bisa Diantisipasi?

    Sebagian penyebabnya, proyek yang semula dirancang selesai 2019 baru rampung 2023. Biaya pun membengkak. Dari semula US$5,5 miliar, melonjak hingga US$8 miliar atau sekitar Rp114 triliun.

    Lebih runyam lagi, peralihan kepemimpinan konsorsium dari WIKA ke KAI menambah beban koordinasi. Lalu komitmen awal “tanpa APBN” berubah di tengah jalan: Menteri BUMN Erick Thohir, didukung Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, akhirnya mengusulkan keterlibatan dana negara.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 yang memberi ruang bagi penggunaan APBN. Presiden Jokowi disebut mengetahui keputusan itu. Dengan demikian, ada tiga pejabat yang memikul tanggung jawab atas perubahan fundamental proyek ini.

    Kini, Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan kembali mengusulkan penerbitan Keppres baru untuk menyelesaikan utang proyek KCJB. Padahal, langkah itu justru menambah simpul birokrasi. Penyelesaiannya cukup dilakukan lewat mekanisme renegosiasi dan restrukturisasi utang antara PT KCIC dan lembaga pembiayaan China, seperti China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC).

    Tak perlu Keppres baru. Yang dibutuhkan hanyalah profesionalisme dan keberanian mengambil keputusan.

    Pemerintah sebenarnya punya instrumen yang bisa diandalkan: BPI Danantara. Badan ini dapat menjadi fasilitator renegosiasi antara PSBI dan pihak China Railway International, yang beranggotakan China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation, TSDI Group, China Academy of Railway Sciences, CSR Corporation, serta China Railway Signal and Communication Corp.

    Mereka memegang 40 persen saham PT KCIC, dan karena itu, semua poin perjanjian kerja sama—termasuk kenaikan nilai proyek USD 1,9 miliar (Rp28,5 triliun) harus dinegosiasikan ulang berdasarkan dokumen resmi, bukan lobi politik.

    Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa sudah menegaskan: APBN tak boleh digunakan untuk menambal utang KCIC. Bahkan, memakai dividen BUMN untuk menalangi kerugian dinilai berisiko dan rawan penyimpangan.

    Masih ada cara lain yang lebih sehat secara korporasi, yakni: kebijakan delusi saham. Dengan mengalihkan sebagian kepemilikan 60 persen saham PSBI, beban utang PT KCIC dan PT KAI bisa berkurang tanpa membebani kas negara.

    Itu langkah konstitusional dan rasional, bukan jalan pintas politik. Pada akhirnya, keberanian membangun proyek besar memang perlu. Tapi keberanian itu harus disertai tanggung jawab penuh, bukan sekadar menumpahkan risiko ke negara.

    Sebuah proyek raksasa seperti KCJB hanya akan menjadi simbol kemajuan bila dikelola dengan prinsip bisnis yang sehat dan transparan. Karena di balik setiap rel yang berkilau dan setiap kereta yang melesat, tersimpan pertanyaan besar: siapa yang sesungguhnya membayar kecepatannya? 

    (Ekonom Konstitusi)

  • Ini Langkah Cegah Idle Money Pemda

    Ini Langkah Cegah Idle Money Pemda

    Bisnis,com, JAKARTA – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengusulkan pemerintah daerah wajib menyampaikan tata kelola anggaran secara berkala. 

    Seperti diketahui, sampai akhir September 2025, data Bank Indonesia menunjukkan jumlah idle money atau anggaran daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp234 triliun. Kondisi ini menurut Fitra, mencerminkan paradoks dalam tata kelola keuangan daerah. 

    Pada awal Oktober, sebanyak 18 kepala daerah memprotes Menteri Keuangan atas pemotongan Transfer ke Daerah (TKD). Namun, di sisi lain, hingga akhir September, anggaran daerah justru banyak mengendap di bank. Fenomena ini bukan hal baru, karena hampir terjadi setiap tahun.

    Fitra menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan uang daerah ini mengendap di bank yakni sebagian pemerintah daerah sengaja menimbulkan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) karena pada Januari – Februari tahun berikutnya kas daerah biasanya kosong, sementara pencairan TKD baru dilakukan paling cepat pada Maret.

    Alasannya lainnya, perencanaan proyek yang menurut Fitra buruk, membuat proses lelang dan pelaksanaan proyek dilakukan di triwulan IV, sehingga dana masih menumpuk pada triwulan III. Akibatnya, banyak proyek dilaksanakan secara tergesa-gesa agar anggaran terserap tanpa memperhatikan kualitas. Idle money juga sering terjadi akibat kegagalan lelang.

    Fitra juga melihat adanya motif untuk memperoleh keuntungan pribadi dari selisih pokok dan bunga bank. Praktik klasik ini masih sering dilakukan oleh sebagian kepala daerah dengan memanfaatkan tawaran keuntungan pribadi dari pihak perbankan.

    Alasan lainnya adalah lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa membuat pemerintah daerah sangat berhati-hati dalam proses pengadaan karena khawatir akan temuan dari lembaga pemeriksa internal (APIP) maupun eksternal (BPK). Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di daerah.

    “Rendahnya kapasitas sumber daya manusia di pemerintah daerah juga menjadi penyebab rendahnya realisasi anggaran,” tulis Fitra dikutip dari rilis, Sabtu (25/10/2025).

    Menurut lembaga itu, besarnya idle money di daerah berdampak langsung pada masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan miskin, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki layanan dasar dan infrastruktur justru tertahan di bank, sehingga banyak layanan publik terlambat, berkualitas rendah, atau bahkan tidak terlaksana akibat kegagalan lelang.

    Fitra pun melihat anggaran publik memiliki fungsi alokasi dan distribusi yang seharusnya mendorong efek berantai (trickle-down effect) bagi perekonomian daerah. Melalui belanja pemerintah daerah, lapangan pekerjaan terbuka, pendapatan masyarakat meningkat, konsumsi tumbuh, dan sirkulasi ekonomi menguat. Dampak akhirnya adalah peningkatan pendapatan pemerintah serta pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah maupun nasional.

    Dengan demikian, idle money yang mencapai Rp234 triliun bukan hanya mencerminkan buruknya tata kelola keuangan daerah, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi masyarakat dan negara. Kondisi ini berpotensi menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 sebesar 5,2–5,3 persen.

    Untuk mengatasi hal tersebut, FITRA mendorong pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh pemerintah daerah menyelenggarakan konferensi pers bulanan untuk melaporkan tata kelola anggarannya. 

    Laporan tersebut mencakup tingkat serapan, capaian program, dan berbagai tantangan yang dihadapi, sebagaimana praktik yang dilakukan pemerintah pusat melalui Konferensi Pers APBN KiTA setiap bulan, mengingat permasalahan idle money bukan hal baru dan terjadi setiap tahun, Kementerian Dalam Negeri sebagai instansi pembina dan pengawas pemerintah daerah perlu membuat aturan teknis yang jelas mengenai realisasi belanja serta melakukan monitoring berkala agar anggaran dikelola secara optimal dan akuntabel.

    “Selain itu, pemerintah daerah juga perlu mempublikasikan seluruh dokumen anggarannya, termasuk dokumen realisasi anggaran tahun berjalan maupun laporan yang telah diaudit, melalui situs resmi masing-masing. Langkah ini penting agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dan berpartisipasi dalam pengawasan publik. Kewajiban keterbukaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” pungkas Fitra.

     

     

  • Dedi Mulyadi Harus Jujur Soal Duit Rp4 Triliun Mengendap di Bank

    Dedi Mulyadi Harus Jujur Soal Duit Rp4 Triliun Mengendap di Bank

    GELORA.CO -Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi didesak untuk menjelaskan kepada publik khususnya rakyat Jabar terkait dana Pemda Jabar sebesar Rp4,1 triliun yang mengendap di bank, sebagaimana diungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga  menyoroti jika  anggaran Rp4 triliun tersebut diendapkan dalam bentuk deposito berjangka tiga atau enam bulan, tentu bunganya lumayan besar. 

    “Masalahnya, bunganya itu untuk siapa dan untuk apa?” kata Jamiluddin Ritonga kepada RMOL, Sabtu, 25 Oktober 2025.  

    Ia menilai sebaiknya Dedi Mulyadi dan kepala daerah lainnya dapat menjelaskan apa motivasi mengendapkan anggaran tersebut dan apakah anggaran yang disediakan benar-benar untuk pembangunan yang dilaksanakan tepat sesuai waktu yang ditetapkan.

    “Dengan begitu, pengendapan anggaran bukan dimaksudkan untuk mendapatkan bunga untuk keuntungan pihak-pihak tertentu. Kalau ini yang terjadi, maka pengendapan anggaran sudah sengaja diselewengkan,” kata Jamiluddin.

    Mereka-mereka yang melakukan hal itu tentunya sudah menghambat pembangunan di daerah, dan karenanya harus ditindak dengan sanksi yang berat.

    “Kiranya Dedi Mulyadi perlu menuntaskan hal itu, agar tuduhan negatif terkait pengendapan anggaran daerah dapat diminimalkan. Hal itu dapat diwujudkan bukan dengan kata-kata, tapi bukti berdasarkan hasil investigasi,” pungkasnya.

    Sebelumnya, KDM, sapaan Dedi Mulyadi membantah pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyebut ada dana Pemda Jabar sebesar Rp4,1 triliun mengendap di bank.

    “Kalau ada yang menyatakan ada uang Rp4,1 triliun tersimpan dalam bentuk deposito, serahin datanya ke saya. Soalnya saya bolak-balik ke BJB nanyain, kumpulin staf, marahin staf, ternyata tidak ada dibuka di dokumen, kasda juga tidak ada,” kata Dedi lewat unggahan video di akun Instagram pribadinya. Ia bahkan siap diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bila memang ada dana mengendap sebesar itu. 

    Meski demikian, Dedi mengakui Pemprov Jabar memang memiliki kas sebesar Rp2,3 triliun di perbankan. Dana itu, katanya, bukan diendapkan, melainkan disiapkan untuk pembayaran proyek dan kontrak kepada pihak ketiga menjelang akhir tahun.

    Sementara Menkeu Purbaya menegaskan data yang digunakan pemerintah pusat bersumber langsung dari pantauan Bank Indonesia (BI) yang dihimpun dari seluruh perbankan di Tanah Air. Karena itu, menurutnya, data tersebut sudah seharusnya akurat.

  • BPK Dorong Percepatan Pembangunan Jalur Lintas Selatan Banyuwangi

    BPK Dorong Percepatan Pembangunan Jalur Lintas Selatan Banyuwangi

    Banyuwangi (beritajatim.com) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) mendorong percepatan pembangunan Jalur Lintas Selatan (JLS) atau Jalur Pantai Selatan (Pansela) di Banyuwangi. Upaya ini dilakukan dengan mempertemukan sejumlah pihak terkait agar proyek strategis nasional tersebut dapat segera dilanjutkan setelah lama terhenti.

    Rapat koordinasi percepatan pembangunan JLS berlangsung di Pendopo Sabha Swagata Blambangan Banyuwangi, dipimpin oleh Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara VII Slamet Edy Purnomo, Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara III Akhansul Khaq, dan Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani. Hadir pula Plt. Dirut Perhutani Natalas Anis Harjanto, Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian ATR/BPN Embun Sari, Direktur Pengembangan Usaha PT Jasa Marga M. Agus Setiawan, dan Kepala Divisi SPI PTPN III Herry Nurudin.

    “Pertemuan ini terkait dengan akselerasi percepatan penyelesaian jalur Pansela mengingat sudah cukup lama proyek ini terhenti,” ujar Anggota VII BPK, Slamet Edy Purnomo.

    Ia menegaskan, BPK berperan aktif dalam mendukung realisasi program strategis nasional (PSN) tersebut. “Pansela ini termasuk Program Strategis Nasional (PSN). Karenanya kami dari BPK turut memfasilitasi pertemuan ini agar PSN segera terwujud dan agenda pembangunan nasional bisa kita jalankan dengan baik,” terangnya.

    Edy menyebut, JLS memiliki manfaat ekonomi besar karena akan memperlancar distribusi barang dan jasa di wilayah selatan Jawa. “Banyuwangi juga memiliki potensi ekonomi yang sangat banyak seperti kelautan, pertanian, dan pariwisata yang perlu terus didorong dengan infrastruktur yang baik, salah satunya melalui JLS Pansela,” katanya.

    Jalur Lintas Selatan di Banyuwangi memiliki total panjang 100 kilometer, membentang dari perbatasan Jember hingga Jalan Nasional Pelabuhan Ketapang. Saat ini, sisa jalan yang belum dibangun sepanjang 14,1 kilometer, terdiri atas 6,27 kilometer melintasi kawasan hutan KPH Banyuwangi Selatan dan 7,83 kilometer melewati area perkebunan Selogiri serta Malangsari milik PTPN I Regional 5.

    Menurut Edy, kendala utama pembangunan JLS terletak pada proses pelepasan aset dan lahan milik berbagai instansi. “Karena proyek ini sudah ditetapkan sebagai PSN, seharusnya tidak ada lagi ego sektoral. Kita harus melepas ego sektoral dan berfokus pada kepentingan nasional,” tegasnya.

    Dalam rapat tersebut, seluruh pihak sepakat untuk mempercepat realisasi pembangunan. “Alhamdulillah, dalam pertemuan hari ini yang dihadiri berbagai pihak sudah ditemukan solusi bersama. Mudah-mudahan akselerasi pembangunan Pansela bisa segera dilakukan,” ujar Edy.

    Pemerintah pusat telah menyiapkan anggaran senilai Rp47,1 miliar untuk pembangunan ruas JLS Banyuwangi–Jember. Pelaksanaannya akan mengacu pada jadwal Kementerian PUPR, yang akan membentuk tim percepatan dan berkoordinasi dengan Perhutani, Pemda, serta PTPN.

    Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menyambut baik langkah BPK dalam mendorong percepatan proyek tersebut. “Terima kasih atas dukungan untuk pembangunan JLS. Semoga bisa segera terealisasi karena itu akan berdampak positif bagi masyarakat,” ujarnya. [alr/beq[

  • Kasus Proyek Digitalisasi, KPK Bakal Kumpulkan Data di 15.000

    Kasus Proyek Digitalisasi, KPK Bakal Kumpulkan Data di 15.000

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan segera melakukan sampling atau mengambil data beberapa dari sekitar 15.000 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia.

    Budi menjelaskan pengambilan data tersebut dilakukan untuk kebutuhan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan digitalisasi SPBU di Pertamina periode 2018–2023.

    “Tentu penyidik juga akan melakukan sampling, atau pengecekan juga terkait dengan keandalan dari mesin-mesin EDC (electronic data capture, red.) yang diadakan dalam program digitalisasi di PT Pertamina (Persero) tersebut,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (24/10).

    Terlebih, kata dia, kasus tersebut melibatkan satu paket pengadaan program digitalisasi yang meliputi mesin EDC, dan alat untuk mengecek stok bahan bakar minyak (BBM) atau automatic tank gauge (ATG).

    “Jadi, ini memang satu paket pengadaan, dan program digitalisasi di SPBU ini digunakan untuk sekitar 15.000 pom (pompa) bensin di seluruh Indonesia,” katanya.

    Sebelumnya, KPK mengungkapkan mulai melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait proyek digitalisasi SPBU di Pertamina periode 2018–2023, dengan memanggil sejumlah saksi pada 20 Januari 2025.

    Pada tanggal yang sama, KPK mengungkapkan kasus tersebut telah naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan sejak September 2024.

    Selain itu, KPK juga mengungkapkan telah menetapkan tersangka kasus tersebut, tetapi belum memberitahukan jumlahnya.

    KPK baru mengumumkan jumlah tersangka kasus tersebut pada 31 Januari 2025, yakni tiga orang.

    Pada 28 Agustus 2025, KPK mengungkapkan penyidikan kasus digitalisasi SPBU telah memasuki tahap akhir, dan sedang menghitung kerugian keuangan negaranya bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

    Pada 6 Oktober 2025, KPK mengumumkan salah satu tersangka kasus digitalisasi SPBU sama dengan tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengadaan mesin electronic data capture di PT Bank Rakyat Indonesia atau BRI (Persero) pada tahun 2020–2024, yakni Elvizar (EL).

    Elvizar diketahui merupakan Direktur PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) saat kasus digitalisasi SPBU, dan Direktur Utama PCS di kasus mesin EDC.