Kementrian Lembaga: BPJS

  • Biaya Bikin SIM Baru Agustus 2025, Siapin Duit Segini

    Biaya Bikin SIM Baru Agustus 2025, Siapin Duit Segini

    Jakarta

    Biaya bikin SIM baru bulan Agustus 2025 belum mengalami perubahan. Buat kamu yang baru mau bikin SIM pada Agustus ini, segini estimasi biayanya.

    Surat Izin Mengemudi (SIM) wajib dimiliki bagi mereka yang mau berkendara di Indonesia. SIM bisa dibuat dengan memenuhi persyaratan tertentu, mulai dari batas usia, administrasi, tes kesehatan, tes psikologi, ujian teori, dan ujian praktik. Bila semua persyaratan tersebut lulus, barulah kamu mendapatkan SIM.

    Syarat Bikin SIM Baru

    Adapun semua persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Kepolisian nomor 2 tahun 2023 tentang Perubahan atas Perpol 5 tahun 2021 Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi.

    Pertama ada batas usia. Untuk diketahui, batas usia untuk membuat SIM adalah 17 tahun. Batas usia tersebut berlaku untuk pembuatan SIM A, SIM C, SIM D, dan SIM D1. Sementara untuk membuat SIM C1 batas usianya 18 tahun. Selanjutnya untuk pembuatan SIM CII, batas usianya 19 tahun. SIM A Umum dan SIM B1 bisa dibuat dengan batas usia minimal 20 tahun. Usia minimal 21 tahun dibutuhkan sebagai syarat pembuatan SIM BII. Berikutnya untuk pembuatan SIM B1 Umum usia minimalnya 22 tahun. Terakhir untuk SIM BII Umum, syarat usia minimalnya 23 tahun.

    Selanjutnya ada persyaratan administrasi yang harus dilengkapi pemohon. Syarat administrasi ini meliputi, formulir pendaftaran secara manual atau menunjukkan bukti pendaftaran secara elektronik, melampirkan fotokopi e-KTP, melampirkan fotokopi sertifikat pendidikan mengemudi dari sekolah mengemudi yang terakreditasi paling lama enam bulan sejak tanggal diterbitkan, perekaman biometri sidik jari, melampirkan tanda bukti kepesertaan aktif BPJS Kesehatan, dan menyerahkan bukti pembayaran penerimaan bukan pajak.

    Hasil tes kesehatan juga wajib disertakan sebagai salah satu syarat membuat SIM. Tes kesehatan ini meliputi pemeriksaan fisik dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang dapat digunakan paling lama 14 hari sejak diterbitkan.

    Selain hasil tes kesehatan, hasil tes psikologi juga wajib disertakan. Tes psikologi bisa dilakukan secara online ataupun langsung di kantor Satpas.

    Rincian Biaya Bikin SIM Baru per Agustus 2025

    Kalau semua persyaratan sudah dipenuhi, jangan lupa menyiapkan biayanya. Biaya bikin SIM baru ini ada beberapa komponen yang dikenakan seperti tes kesehatan, tes psikologi, asuransi, dan biaya penerbitan SIM.

    Biaya penerbitan SIM masih mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 76 tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Polri. Tarifnya sebagai berikut.

    Penerbitan SIM A, SIM B I, SIM BII: Rp 120.000 per penerbitan
    Penerbitan SIM C, SIM C1, dan SIM CII: Rp 100.000 per penerbitan
    Penerbitan SIM D dan SIM DI: Rp 50.000 per penerbitan.

    Soal biayanya, umumnya tes kesehatan dikenakan tarif Rp 35.000. Selanjutnya tes psikologi bila dilakukan lewat online tarifnya Rp 57.500 sedangkan bila ujian di Satpas kini tarifnya Rp 100.000. Terakhir ada biaya asuransi sebesar Rp 50.000. Nah berikut ini estimasi biaya bikin SIM baru per Agustus 2025 dengan skema biaya tes psikologi Rp 57.500 dan Rp 100.000.

    Estimasi Biaya Bikin SIM Baru Agustus 2025

    Tes Psikologi Rp 57.500

    SIM A, SIM B I, SIM BII: Rp 262.500SIM C, SIM C1, dan SIM CII: Rp 242.500SIM D dan SIM D1: Rp 192.500

    Tes Psikologi Rp 100.000

    SIM A, SIM B I, SIM BII: Rp 305.000SIM C, SIM C1, dan SIM CII: Rp 285.000SIM D dan SIM D1: Rp 235.000

    (dry/din)

  • Strategi BPJS Ketenagakerjaan Menuju 57,55 Juta Peserta Aktif Tahun 2025

    Strategi BPJS Ketenagakerjaan Menuju 57,55 Juta Peserta Aktif Tahun 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menargetkan akan menyerap 57,55 juta peserta aktif pada tahun 2025.

    Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Eko Nugriyanto mengatakan bahwa tengah menjalankan langkah-langkah strategis agar dapat memenuhi target kepesertaan aktif hingga 57,55 juta.

    “Di tahun 2025 ini kita punya target coverage bisa sekitar 57 juta untuk masyarakat bekerja di Indonesia dilindungi,” katanya beberapa waktu lalu, dikutip Kamis (31/7/2025).

    Dari data yang dipaparkan, peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan mengalami pertumbuhan dari tahun 2020 sampai Juni 2025. Pada 2020, peserta aktif mencapai 29,98 juta, lalu naik menjadi 30,66 juta setahun kemudian.

    Pada 2022, tercatat ada 35,86 juta peserta aktif, 41,55 juta tahun 2023, 45,23 juta peserta aktif 2024, dan 39,35 juta per Juni 2025. BPJS Ketenagakerjaan diperkirakan akan menambah sekitar 33% atau 19,20 juta peserta.

    Eko menjelaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan sudah melakukan strategi untuk mencapai target tersebut. Pertama, terbitnya Inpres 2 Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jamsos.

    Kedua, kolaborasi bersama K/L dan pemerintah daerah terkait kepesertaan non-ASN dan pekerja rentan. Ketiga, menerapkan regulasi kepesertaan debitur KUR kecil, dana bagi hasil, nelayan awak kapal, dan jasa konstruksi.

    Keempat, kolaborasi kemitraan dengan Agen Laku Pandai (Brilink dan Agen 46), POS, SRC, operator driver online, BPR, dan koperasi.

    Kelima, peningkatan kepatuhan terkait kewajiban pembayaran iuran, kepesertaan, program, dan upah kepada pemberi kerja dengan melibatkan APH, pemerintah daerah, dan tokoh masyarakat

    Menurutnya, terdapat 40% dari 101,81 juta potensi pekerja eligible di sektor pekerja formal berpeluang terserap menjadi peserta aktif ketenagakerjaan.

    Lalu 60% di sektor pekerja informal, 30,85 juta merupakan pekerja rentan berpotensi menjadi peserta aktif. Oleh karena itu, Eko berharap agar para pekerja dapat bergabung kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

  • Badai PHK Tak Cuma Hantam RI, Pengusaha Ungkap Fakta Ini

    Badai PHK Tak Cuma Hantam RI, Pengusaha Ungkap Fakta Ini

    Jakarta

    Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi sorotan publik beberapa waktu terakhir. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam, PHK memang sedang terjadi di beberapa negara.

    Bob menyebut terjadinya PHK merupakan efek jangka panjang pandemi COVID-19. Pandemi menyebabkan kegiatan produksi terhambat, namun pencetakan uang terus berjalan.

    “Kalau soal PHK, kita bilang sekarang di negara manapun PHK, karena ekonomi menciut, ekonomi dunia begini loh. Waktu COVID kita nggak memproduksi apa-apa. Tapi hanya satu yang kita produksi. Printing money. Jadi duitnya dipakai macam-macam. Nah sekarang saatnya kita harus bayar, sehingga ekonomi itu shrinking,” katanya saat dijumpai di kantor Kemenperin, Jakarta, Rabu (30/7/2025).

    Akibat kondisi itu roda ekonomi dunia menjadi semakin tertekan. Efek dominonya terasa hingga sektor ketenagakerjaan dan menyebabkan terjadinya badai PHK. Bob memberi contoh China dan Singapura yang juga menghadapi isu ketenagakerjaan.

    “Memang dalam waktu tertentu ini ekonomi akan tertekan. Jadi PHK akan jadi mana-mana, bukan hanya di Indonesia, di semua negara juga. Bahkan sekarang surprise ya kalau kita dengar youth unemployment di China itu udah 20-30%, jangan salah. Bahkan Singapura pun dia akan mengurangi tenaga kerja di sektor perbankan karena ada digital transformasi,” bebernya.

    Dalam kondisi ini Bob menyebut yang perlu dilakukan adalah terus menyediakan lapangan kerja. Artinya jika ada 10 buruh terkena PHK maka harus ada 15 lowongan kerja baru yang dibuka.

    “Ya memang harus ada effort dari kita untuk bagaimana men-create employment. Cuma yang bahayanya begini, begitu ekonomi lagi melemah, pemerintah kan kurang penerimaan. Nah karena kurang penerimaan, pajak dinaikkan. Yang bayar pajak siapa? Ya mereka yang bekerja, ya mereka yang berusaha,” ujar Bob.

    Saat ditanya soal tarif 19% dari Amerika Serikat (AS) terhadap sektor ketenagakerjaan Indonesia, Bob menyebut yang perlu diwaspadai adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bila pelemahan rupiah bisa diatasi maka Indonesia akan terhindar dari badai PHK.

    Saat ini beberapa industri berorientasi ekspor memang masih mengandalkan bahan baku dari impor yang menggunakan dolar AS untuk transaksi. Di sisi lain, ekspor ke AS berpotensi turun karena adanya tarif yang lebih tinggi.

    “Kalau PHK sih pastilah kita akan menghadapi situasi seperti itu. Tapi yang penting dia dapat kerja baru. Nah jadi harus dibuka ladang-ladang pekerjaan baru. Oleh karena itu regulasi harus lebih elastis, jangan terlalu ribet,” tutupnya.

    Sebelumnya, Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani menyebut PHK hingga Juni 2025 sudah memakan korban hingga 150 ribu orang. Angka tersebut merujuk pada data yang dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

    “Kalo kami di APINDO kami pakai data PHK itu kan dari BPJS Ketenagakerjaan, jadi kita melihat yang keluar dari BPJS itu kan PHK sampai dengan Januari sampai Juni 2025 itu kan sudah 150 ribu. Dan yang klaim itu 100 ribuan. Jadi ini angka yang dipakai, dasarnya dari BPJS Ketenagakerjaan,” katanya dalam konferensi pers di Kantor APINDO, Jakarta, Selasa (19/7/2025).

    Angka itu lebih tinggi dari data yang disampaikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Kemnaker mencatat jumlah korban PHK pada Januari sampai bulan Juni mencapai 42.385 pekerja, naik sekitar 32,19% dari periode yang sama di tahun yang sebesar 32.064 pekerja.

    Lihat juga Video: Momen Kapolri Lepas 1.575 Buruh Korban PHK untuk Bekerja Kembali

    (ily/kil)

  • Pengusaha Minta Pemerintah Kucurkan Stimulus Jelang Tarif Trump 1 Agustus

    Pengusaha Minta Pemerintah Kucurkan Stimulus Jelang Tarif Trump 1 Agustus

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan sejumlah insentif untuk industri padat karya sebagai upaya mengantisipasi tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap barang-barang Indonesia.

    Untuk diketahui, Presiden Donald Trump telah mengumumkan kesepakatan dagang tarif impor sebesar 19% kepada Indonesia dari sebelumnya di level 32%. Di sisi lain, ekspor produk dari Negara Paman Sam ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk alias tarif 0%.

    Adapun, tarif impor 19% dari AS terhadap Indonesia menjadi salah satu yang terendah dibandingkan negara Asia lainnya, seperti Vietnam dengan tarif impor sebesar 20%.

    Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menilai keberhasilan diplomasi perdagangan antara AS—Indonesia harus dibarengi dengan pembenahan struktural di dalam negeri, termasuk kepastian hukum dan berusaha, upah tenaga kerja, hingga efisiensi logistik.

    “Apindo menekankan pentingnya pemberian insentif yang terukur dan berdampak langsung pada industri, khususnya sektor padat karya,” kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Shinta mengungkapkan usulan insentif ini mencakup insentif fiskal seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) jasa subkontrak dan bahan baku, percepatan restitusi PPN, penghapusan bea masuk bahan baku untuk industri, hingga perluasan skema pajak penghasilan atau PPh 21 ditanggung pemerintah.

    “Hal-hal ini juga sudah kami sampaikan kepada Pak Dirjen Pajak yang baru, kami juga baru berdialog dengan beliau dan kami sudah sampaikan juga hal-hal yang menjadi harapan daripada pelaku usaha,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Apindo juga mendorong adanya kemudahan akses pembiayaan yang lebih inklusif kepada dunia usaha. Pasalnya, Shinta menyebut suku bunga acuan alias BI rate masih berada pada level tinggi.

    Padahal, sambung dia, akses pembiayaan termasuk BI rate menjadi bagian untuk keberlangsungan dunia usaha, menjaga arus kas, menopang kapasitas produksi, serta untuk mengurangi gelombang PHK.

    Selain itu, dunia usaha juga mengusulkan stimulus biaya tenaga kerja dan energi melalui subsidi iuran BPJS Kesehatan untuk sektor terdampak, diskon listrik, subsidi gas, serta pengembangan energi terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dengan skema net-metering.

    Shinta menambahkan, dunia usaha juga mendorong akan adanya efisiensi biaya dan hambatan perizinan untuk menekan biaya operasional.

    Dia menjelaskan sederet insentif ini juga sekaligus untuk mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) lanjutan dan penciptaan lapangan kerja.

    “Seluruh langkah ini dirancang untuk menjaga arus kas, mempertahankan kapasitas produksi, dan mencegah gelombang PHK lanjutan,” terangnya.

    Shinta menyampaikan bahwa sederet kebijakan ini mencerminkan komitmen Apindo untuk menciptakan usaha yang lebih kompetitif, lebih inklusif, menjadi pondasi utama dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan perluasan lapangan pekerjaan.

    “Industri padat karya kita tengah berada di persimpangan jalan. Jika tidak diberi perlindungan dan insentif yang cukup, maka kita berpotensi kehilangan sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” pungkasnya.

  • Industri Padat Karya di Persimpangan Jalan, Badai PHK Masih Jadi Momok

    Industri Padat Karya di Persimpangan Jalan, Badai PHK Masih Jadi Momok

    Bisnis.com, JAKARTA – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya masih terus terjadi seiring tekanan yang dihadapi industri.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, saat ini fenomena PHK di industri padat karya terus meningkat, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mengalami kesulitan.

    “Tapi memang kalau lihat kondisinya, PHK ini terus meningkat, dan terutama di dalam sektor-sektor yang juga menjadi sektor padat karya seperti TPT, tekstil, sektor-sektor yang sangat tertekan pada hari ini,” kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu menggelontorkan berbagai kebijakan dukungan agar sektor industri padat karya dapat bertahan dan terus menciptakan lapangan kerja.

    Dukungan tersebut mencakup insentif fiskal seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) jasa subkontrak dan bahan baku, percepatan restitusi PPN, penghapusan bea masuk bahan baku untuk industri, perluasan skema PPh 21 ditanggung pemerintah, serta akses pembiayaan yang lebih inklusif.

    Di samping itu, dunia usaha juga mengusulkan stimulus biaya tenaga kerja dan energi melalui subsidi iuran BPJS Kesehatan untuk sektor terdampak, diskon listrik, subsidi gas, serta pengembangan energi terbarukan melalui PLTS atap dengan skema net-metering.

    Shinta menjelaskan bahwa seluruh langkah ini dirancang untuk menjaga arus kas, mempertahankan kapasitas produksi, dan mencegah gelombang PHK lanjutan.

    “Industri padat karya kita tengah berada di persimpangan jalan. Jika tidak diberi perlindungan dan insentif yang cukup, maka kita berpotensi kehilangan sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” kata Shinta.

    Adapun, dalam survei terbaru Apindo, 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerjanya atau melakukan PHK imbas ketidakpastian ekonomi yang tengah terjadi saat ini. Kondisi ini diperkirakan terus berlangsung ke depannya.

    Dalam kesempatan terpisah, Shinta menuturkan, situasi ekonomi global yang terus berubah, kondisi geopolitik yang semakin tinggi, hingga proyeksi pertumbuhan yang terus menurun, telah membuat banyak perusahaan tidak memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan.

    “Akhirnya, banyak yang bersikap dengan menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru,” kata Shinta dalam sambutannya di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).

    Kondisi itu bahkan terbukti melalui survei terbaru yang dilakukan Apindo. Shinta mengungkapkan, survei Apindo menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan.

    “Dalam survei Apindo yang baru saja kami lakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini,” tuturnya.

    Peluang dari Tarif Trump

    Negosiasi Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang menghasilkan kesepakatan penurunan tarif dagang resiprokal dari 32% menjadi 19% untuk produk Indonesia dinilai dapat meminimalisir risiko lonjakan PHK di industri padat karya.

    Shinta menilai jika Indonesia dikenai tarif impor yang lebih tinggi maka akan berdampak pada ekspor TPT yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.

    “Kalau sekarang kita enggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin lagi bertambah. Jadi ini hal-hal contoh yang coba dilakukan untuk meminimalisir PHK yang sudah ada,” ujarnya.

    Dengan tarif resiprokal yang dikenakan terhadap Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara kompetitor, menurut Shinta, dapat menjadi peluang Indonesia untuk menarik investasi di industri TPT.

    “Ke depan, kita masih melihat berbagai peluang seperti contohnya kalau memang tarif resiprokal Indonesia ini lebih rendah daripada negara kompetisi di industri TPT, seperti Bangladesh, Vietnam, dan lain-lain,” kata Shinta.

    Menurutnya, jika pengenaan tarif resiprokal terhadap Indonesia lebih rendah, maka peluang investor asing mengalihkan investasi ke Indonesia akan meningkat.

    Bahkan, Shinta menyebut beberapa perusahaan asing dari China sudah mulai mengalihkan investasi ke Tanah Air, terutama di sektor ritel.

    “Kalau ini [tarif resiprokal Trump] memang kita bisa lebih kompetitif, tidak menutup kemungkinan kita ada juga relokasi investasi untuk industri ini, seperti China juga ada beberapa saya rasa yang mulai masuk investasi ke TPT,” ungkapnya.

    Insentif untuk Industri Padat Karya

    Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian paket insentif fiskal ke sejumlah sektor industri padat karya, seperti keringanan pajak hingga subsidi energi.

    Hanya saja, Yusuf menilai usulan insentif fiskal untuk industri padat karya perlu dilakukan secara selektif dan berbasis pemetaan sektoral. Menurutnya, situasi ekonomi saat ini berbeda dengan masa pandemi Covid-19 yang mendorong insentif diberikan secara luas.

    “Tidak semua sektor padat karya mengalami tekanan yang sama. Misalnya, sektor tekstil dan produk tekstil [TPT] mungkin lebih tertekan dibandingkan sektor makanan-minuman atau alas kaki. Pemetaan ini penting untuk memastikan bahwa insentif tidak diberikan secara menyamaratakan, melainkan tepat sasaran,” ujar Yusuf kepada Bisnis.

    Dia menjelaskan bahwa meskipun ketidakpastian global masih tinggi akibat konflik geopolitik, kebijakan tarif AS, perlambatan ekonomi China, dan tekanan nilai tukar serta suku bunga, dampaknya saat ini bersifat lebih sektoral dan tidak menyeluruh seperti saat pandemi.

    Kendati demikian, ada satu persamaan yang menurutnya signifikan yaitu perlambatan permintaan—baik dari pasar ekspor maupun domestik. Perlambatan permintaan, sambungnya, menekan daya saing dan keberlangsungan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja informal dan berupah rendah.

    Di samping itu, Yusuf mengingatkan bahwa ruang fiskal pemerintah saat ini tidak seleluasa masa pandemi. Oleh karena itu, insentif harus diprioritaskan untuk sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pemulihan permintaan dalam negeri.

    “Insentif seperti PPh 21 Ditanggung Pemerintah [DTP] untuk pekerja upah rendah dan relaksasi PPh Badan bisa saja dipertimbangkan lagi, tetapi skalanya mungkin tidak sebesar saat pandemi,” ucapnya.

    Tak hanya keringanan pajak, Yusuf juga menilai pemerintah bisa mempertimbangkan subsidi biaya energi industri, seperti listrik dan gas pada jam sibuk, yang menurutnya merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi.

    Selain itu, dia juga menilai bahwa insentif non fiskal seperti fasilitasi ekspor dapat menjadi opsi yang berdampak nyata. Yusuf menyarankan langkah-langkah seperti pengurangan tarif logistik, simplifikasi dokumen ekspor, hingga percepatan restitusi PPN dapat membantu pelaku usaha.

    “Insentif semacam ini tidak langsung mengurangi beban fiskal, tapi memberi ruang napas cukup besar bagi pengusaha,” tutupnya.

  • Pengusaha Ungkap 150.000 Orang Jadi Korban PHK, Diprediksi Bertambah!

    Pengusaha Ungkap 150.000 Orang Jadi Korban PHK, Diprediksi Bertambah!

    Jakarta

    Angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) meningkat tahun ini. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, PHK hingga Juni 2025 sudah memakan korban hingga 150 ribu.

    Angka tersebut merujuk pada data yang dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Dari jumlah tersebut, kata Shinta, 100 ribu di antaranya terdata sudah mengajukan klaim manfaat.

    “Kalau kami di APINDO kami pakai data PHK itu kan dari BPJS Ketenagakerjaan, jadi kita melihat yang keluar dari BPJS itu kan PHK sampai dengan Januari sampai Juni 2025 itu kan sudah 150 ribu. Dan yang klaim itu 100 ribuan. Jadi ini angka yang dipakai, dasarnya dari BPJS Ketenagakerjaan,” katanya dalam konferensi pers di Kantor APINDO, Jakarta, Selasa (19/7/2025).

    Angka itu lebih tinggi dari data yang disampaikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Kemnaker mencatat jumlah angka korban PHK pada Januari sampai bulan Juni mencapai 42.385 pekerja. Angka ini naik sekitar 32,19% dari periode yang sama di tahun lalu yakni sebanyak 32.064 pekerja.

    Namun, Shinta menyebut tak ingin berdebat soal perbedaan angka PHK. Ia hanya menekankan bukti PHK itu ada, dan angkanya meningkat cukup tinggi.

    “Tapi tentunya kita juga melihat bahwa dalam Kemenaker punya laporan dari Disnaker dan lain-lain. Jadi makanya saya bilang kita nggak usah berdebat soal angka, data. Tapi yang jelas kelihatan tadi kenaikan itu ada, pemerintah mengatakan 32%. Itu kan angka tinggi, kenaikan tinggi. Dan ini memang sudah dirasakan juga dari survey yang dibuat APINDO,” beber Shinta.

    Shinta berpendapat gelombang PHK masih akan terus bergulir. Apalagi dengan adanya tarif 19% dari Amerika Serikat, hal itu berpotensi mengganggu kinerja industri berorientasi ekspor.

    “Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya PHK biasa, tapi ini PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir. Makanya dari sisi tarif Trump dan lain-lain itu jangan sampai kita bertambah lagi. Karena yang kena kan ekspor yang kena di sana TPT (Tekstil dan Produk Tekstil)” sebut Shinta.

    “Kalau sekarang kita nggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK-nya akan semakin bertambah,” tutupnya.

    (ily/hns)

  • Soal Bantu Produksi Obat Murah untuk Masyarakat, TNI AD Tunggu Koordinasi Kemenhan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juli 2025

    Soal Bantu Produksi Obat Murah untuk Masyarakat, TNI AD Tunggu Koordinasi Kemenhan Nasional 29 Juli 2025

    Soal Bantu Produksi Obat Murah untuk Masyarakat, TNI AD Tunggu Koordinasi Kemenhan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    TNI Angkatan Darat
    (TNI AD) menyatakan kesiapannya mendukung penuh kebijakan strategis pemerintah, termasuk rencana produksi
    obat murah
    untuk masyarakat.
    Hal ini sebagai bentuk tindak lanjut dari nota kesepahaman antara
    Kementerian Pertahanan
    (Kemenhan) dan
    Badan Pengawas Obat dan Makanan
    (BPOM).
    Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengatakan, TNI AD pada prinsipnya siap menjalankan peran sesuai porsi dan tanggung jawab yang diberikan.
    “TNI Angkatan Darat pada prinsipnya selalu siap mendukung penuh setiap kebijakan strategis pemerintah, termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan produksi obat murah untuk masyarakat,” kata Wahyu kepada
    Kompas.com
    , Selasa (29/7/2025).
    Namun demikian, ia menegaskan bahwa mekanisme teknis dan pengaturannya masih menunggu koordinasi lebih lanjut yang akan dilakukan Kementerian Pertahanan bersama kementerian dan lembaga terkait.
    “Untuk pelaksanaannya secara mekanisme teknis dan pengaturannya akan ditentukan serta dikoordinasikan lebih lanjut oleh Kementerian Pertahanan bersama kementerian dan lembaga terkait,” ujarnya.
    Menurut Wahyu, TNI AD sebagai bagian dari Kemenhan akan menjalankan tugasnya sesuai dengan arahan dan tanggung jawab yang nantinya diberikan.
    Sebelumnya diberitakan, Kemenhan menggandeng BPOM untuk mewujudkan kebijakan obat murah dengan harga 50 persen dari harga pasaran.
    Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan, produksi obat saat ini sudah berjalan dan beberapa sudah disalurkan melalui Satkes Koperasi Merah Putih.
    “Tapi langkah berikut, nanti menjelang 5 Oktober, kita akan produksi massal obat-obatan dan kita akan kirim ke desa-desa dengan harga 50 persen lebih murah dari harga pasaran,” ucap Sjafrie pada penandatanganan nota kesepahaman antara Kemenhan, Kemenkes, dan BPOM di Kantor Kemenhan RI, Selasa (23/7/2025).
    Sjafrie mengatakan, obat-obatan dengan harga miring ini dapat dinikmati oleh rakyat di desa dan para pensiunan.
    Ia menyebutkan, jika memungkinkan, obat-obatan ini akan disalurkan juga melalui mekanisme Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dewas BPJS Ketenagakerjaan Ungkap Tantangan Jaminan Sosial, Apa Saja?

    Dewas BPJS Ketenagakerjaan Ungkap Tantangan Jaminan Sosial, Apa Saja?

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan mengungkap sederet tantangan jaminan sosial ketenagakerjaan ke depannya.

    Ketua Dewas BPJS Ketenagakerjaan Muhammad Zuhri menyampaikan, saat ini, pemahaman masyarakat, utamanya pekerja, terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan masih minim.

    Menurutnya, pemahaman ini perlu terus didorong agar semua pekerja, baik formal maupun informal memiliki kesadaran untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. 

    “Itu menjadi ekspektasi kita untuk bisa memastikan semua pekerja formal maupun non-formal itu menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan,” kata Zuhri dalam sambutannya di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).

    Tantangan kedua yakni cakupan kepesertaan. Zuhri mengungkap, hingga saat ini baru sekitar 101 juta pekerja, baik formal maupun informal, yang terlindungi oleh jaminan sosial ketenagakerjaan.

    Itu artinya, kata dia, masih ada gap yang cukup menantang bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk melindungi seluruh pekerja di Tanah Air. Dalam hal ini, Zuhri menyebut masih banyak pekerja dari sektor informal atau bukan penerima upah yang belum terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan.

    Untuk menarik lebih banyak peserta dari sektor pekerja informal, Zuhri mengharapkan dukungan dari semua pihak, utamanya dari unsur pentahelix. 

    “Kami masih membutuhkan dukungan semua pihak terutama dari unsur-unsur pentahelix,” ujarnya.

    Tantangan ketiga yakni terkait dengan aksesibilitas pelayanan BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, meski transformasi terkait pelayanan telah dilakukan, tetapi tantangan dan kebutuhan terkait dengan aksesibilitas pelayanan ini semakin meningkat.

    “Mau tidak mau kita harus terus meningkatkan, melakukan improvement yang setinggi-tingginya untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan kita,” tuturnya.

    Tantangan terakhir yakni bagaimana jaminan sosial ketenagakerjaan mendapatkan dukungan terkait dengan regulasi. 

    Dia mengatakan, dukungan regulasi yang dibutuhkan oleh jaminan sosial ketenagakerjaan tidak hanya sebatas kepesertaan saja, tetapi juga aspek lainnya.

    Menurutnya, jika keempat tantangan ini dapat dilakukan dengan baik dan benar, jaminan sosial ketenagakerjaan ke depan akan terus terjaga stabilitasnya dan memberikan jaminan perlindungan sosial kepada seluruh pekerja di Tanah Air. 

  • BSU 2025 Segera Dicairkan untuk 1,2 Juta Pakerja yang Belum Kebagian – Page 3

    BSU 2025 Segera Dicairkan untuk 1,2 Juta Pakerja yang Belum Kebagian – Page 3

    Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci kelancaran penyaluran BSU di wilayahnya. Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin menambahkan bahwa Pemerintah Kota Makassar telah menyiapkan berbagai fasilitas pendukung di lapangan dan bekerja sama erat dengan kantor pos untuk mempercepat proses penyaluran.

    “Kami di Pemerintah Kota Makassar berkomitmen mendukung penuh proses verifikasi dan pendataan agar bantuan ini benar-benar tepat sasaran, terutama untuk pekerja informal dan UMKM,” ujar Wali Kota Munafri.

    Distribusi Efisien oleh Pos Indonesia

    Direktur Bisnis Jasa Keuangan PT Pos Indonesia (Persero), Haris, menegaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan lebih dari 4.000 titik layanan nasional, termasuk pembukaan layanan khusus di hari libur serta sistem pemantauan real-time untuk memastikan distribusi berjalan aman dan transparan.

    “Kami berkomitmen menyalurkan bantuan ini dengan prinsip 3T: Tepat Waktu, Tepat Guna, dan Tepat Sasaran. Layanan Kantorpos di Makassar dan seluruh Sulsel sudah dalam status siaga penuh,” ujar Haris.

    Haris menambahkan bahwa PosIND terus bekerja memenuhi amanah dari Kemnaker dan khususunya BPJS Ketenagakerjaan dalam menyalurkan uang BSU ini hingga ke pelosok. 

     

  • Diskon Pajak Rumah Diperpanjang, Ekonom: Ada Peran Dongkrak Sektor Properti

    Diskon Pajak Rumah Diperpanjang, Ekonom: Ada Peran Dongkrak Sektor Properti

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah melanjutkan stimulus fiskal berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atau PPN DTP sebesar 100% untuk pembelian rumah hingga akhir 2025. Di sisi lain, pemerintah memutuskan tidak melanjutkan subsidi listrik maupun bantuan upah.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai bahwa kebijakan PPN DTP tetap memiliki peran penting dalam mendongkrak sektor properti, khususnya segmen rumah tapak kecil.

    “Kalau syaratnya seperti sebelumnya, misalnya maksimal harga Rp2 miliar, maka insentif ini bisa sangat membantu pertumbuhan sektor properti terutama permintaan kepada rumah kecil, termasuk dari kelas menengah yang daya belinya turun,” jelas Faisal kepada Bisnis, Minggu (27/7/2025).

    Menurutnya, rumah kecil kini menjadi pilihan logis di tengah makin terbatasnya lahan dan penurunan daya beli masyarakat. Apalagi, sambungnya, kebutuhan terhadap hunian termasuk kategori esensial setelah pangan.

    Faisal mencatat, penjualan rumah menengah dan besar mengalami kontraksi dalam beberapa waktu terakhir, sedangkan rumah tipe kecil justru tumbuh karena terstimulus insentif PPN DTP. Hal itu mencerminkan pergeseran preferensi konsumen akibat tekanan harga dan daya beli.

    Kendati demikian, Faisal menekankan bahwa insentif PPN DTP untuk properti tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan bantuan upah atau diskon tarif listrik yang sempat digelontorkan pada paruh pertama tahun ini.

    “Diskon listrik itu lebih luas penerimanya. Misalnya, rumah dengan daya 2.200 VA, mayoritas dari kelas menengah ke bawah semua dapat, sedangkan PPN DTP hanya menyasar masyarakat yang memang siap beli rumah, atau belum punya rumah dan ingin beli rumah pertama,” ungkapnya.

    Sementara itu, untuk bantuan subsidi upah, efektivitasnya juga terbatas karena hanya menjangkau buruh sektor formal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Faisal menjelaskan proporsi buruh sektor formal hanya sekitar 37% dari total pekerja.

    “Nah, yang mendapat bantuan upah tentu tidak semuanya karena ada batas atas yang menerima bantuan upah berapa. Kita prediksikan tidak sampai 10% lah itu dari total tenaga kerja [yang terima bantuan upah],” ujarnya.

    Oleh sebab itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Faisal menyimpulkan bahwa diskon listrik masih lebih efektif karena cakupannya paling luas, kemudian disusul PPN DTP untuk rumah kecil, dan terakhir bantuan subsidi upah.

    Adapun bocoran paket stimulus ekonomi untuk paruh kedua tahun ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

    Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah sedang menyiapkan sejumlah program dan insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Maklum, pada kuartal I/2025 ekonomi tak sampai 5%, hanya tumbuh sebesar 4,87% year on year (YoY). 

    “Beberapa program seperti program padat karya di perhubungan, program padat karya di pekerjaan umum itu didorong untuk implementasi lebih baik,” ujarnya usai melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) Pertumbuhan Ekonomi di kantornya, Jumat (25/7/2025). 

    Menghadapi akhir tahun, pemerintah akan kembali memberikan diskon pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). Kemudian pemerintah sepakat memperpanjang kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah atau PPN DTP properti sebesar 100% alias bebas PPN hingga akhir 2025 mendatang. 

    Airlangga menjelaskan dalam rapat tersebut juga termasuk dibahas persiapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) agar dapat mencapai target pada Agustus. Pasalnya Prabowo telah memandatkan 20 juta penerima MBG di 8.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Agustus 2025. 

    Pasalnya per 1 Juli 2025, sudah ada sekitar 1.863 SPPG yang tersebar di 38 provinsi di Indonesia dengan total penerima manfaat sebanyak 5,59 juta penerima. Sejalan dengan minimnya realisasi tersebut, anggaran pada semester I/2025 juga baru terserap Rp5 triliun atau 7,1% dari total alokasi Rp71 triliun untuk tahun ini.

    Sementara terkait stimulus lainnya seperti diskon tiket pesawat, diskon tarif tol, dan diskon tiket kereta api akan berlanjut. Hanya saja, pemerintah tidak akan lagi memberikan bantuan subsidi upah (BSU) dan diskon listrik. “Tidak dengan listrik. BSU kan sudah. Paling banyak [diskon] kereta api. [Diumumkan] September,” lanjut Airlangga.