Kementrian Lembaga: BPJS

  • Rujukan Berjenjang BPJS Tidak Masuk Akal dan Merugikan Pasien

    Rujukan Berjenjang BPJS Tidak Masuk Akal dan Merugikan Pasien

    GELORA.CO -Sistem rujukan berjenjang BPJS Kesehatan sudah tidak layak dipertahankan. Mekanisme tersebut bukan hanya tidak efisien, tetapi juga merugikan pasien karena memperlambat akses terhadap layanan medis yang tepat.

    Ketua Umum Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia, Agung Nugroho mengatakan, pola rujukan bertingkat telah menjadi keluhan umum masyarakat. Pasien yang datang ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) harus melewati sejumlah rumah sakit sebelum akhirnya tiba di fasilitas yang mampu menangani penyakitnya.

    “Pasien dari FKTP harus ke RS tipe D atau C dulu, lalu pindah ke tipe B, dan baru ke tipe A. Ini bertele-tele dan membuang waktu. Padahal dari awal dokter FKTP sudah tahu pasien butuh rumah sakit tipe apa,” ujar Agung dalam keterangannya, Jumat, 14 November 2025.

    Menurut Agung, praktik tersebut menunjukkan bahwa sistem rujukan yang berlaku lebih menekankan prosedur administratif daripada kepentingan keselamatan pasien. Ia menilai banyak kasus pasien yang tertunda penanganannya karena harus berpindah-pindah rumah sakit hanya untuk memenuhi aturan birokratis.

    “Rujukan berjenjang membuat pasien dipingpong. Pemeriksaan diulang, antrean diulang, biaya naik, dan risiko memburuknya kondisi pasien semakin besar,” tegasnya.

    Agung mendorong pemerintah dan BPJS Kesehatan segera menerapkan rujukan berbasis kompetensi. Dengan sistem ini, dokter FKTP dapat langsung merujuk pasien ke rumah sakit yang memiliki kemampuan sesuai kebutuhan medis, tanpa harus melalui tahapan bertingkat.

    “Kalau butuh tipe A, ya langsung saja ke tipe A. Jangan dipersulit. Negara tidak boleh menyusahkan orang yang sedang sakit,” katanya.

    Ia juga menyoroti aspek pembiayaan. Menurutnya, perpindahan pasien antarlevel rumah sakit justru menambah beban biaya BPJS secara keseluruhan karena banyak tindakan medis dan administrasi yang dilakukan berulang.

    Agung menekankan bahwa perbaikan sistem rujukan harus menjadi prioritas pemerintah jika ingin meningkatkan kualitas layanan kesehatan nasional. “Rujukan berjenjang ini sudah tidak masuk akal. Saatnya pemerintah melakukan koreksi total. Ini menyangkut nyawa masyarakat,” ujar Agung.

    Hingga saat ini, pemerintah belum menetapkan waktu implementasi perubahan sistem rujukan. Namun desakan dari berbagai kalangan, termasuk organisasi kesehatan masyarakat, terus menguat seiring meningkatnya keluhan terhadap kompleksitas layanan BPJS. 

  • Menkes Usul BPJS Kesehatan Tak Perlu Cover Orang Kaya, Ini Alasannya

    Menkes Usul BPJS Kesehatan Tak Perlu Cover Orang Kaya, Ini Alasannya

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan pentingnya menjaga keberlanjutan (sustainability) sistem pembiayaan jaminan kesehatan nasional. Salah satu langkah yang didorong adalah agar BPJS Kesehatan lebih fokus melayani masyarakat menengah ke bawah. Sementara peserta mampu diarahkan untuk menggunakan asuransi swasta.

    “Kita ingin agar sistem iuran dan mekanisme reimburse-nya dibuat seefisien mungkin. BPJS itu fokusnya ke yang bawah saja,” ujar Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (13/11/2025).

    Pernyataan ini disampaikan Budi saat menjelaskan rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), yang bertujuan menyeragamkan fasilitas layanan rawat inap di seluruh rumah sakit.

    Budi menilai, prinsip utama BPJS adalah menjamin akses layanan kesehatan universal bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi dengan penekanan pada kelompok masyarakat yang membutuhkan subsidi negara.

    “BPJS nggak usah cover yang kaya-kaya deh. Karena yang kaya kelas satu itu biar diambil swasta,” katanya.

    Menurutnya, jika kelompok masyarakat mampu tetap memanfaatkan fasilitas BPJS untuk layanan kelas satu atau VIP, beban keuangan BPJS semakin berat dan mengancam keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional.

    “Kalau yang kaya semua diambil BPJS, nanti sustain-nya susah. Biarkan yang besar diambil swasta, supaya BPJS bisa fokus ke masyarakat bawah, dan tetap kuat secara keuangan,” jelas Budi.

    Untuk mendukung arah kebijakan ini, Kementerian Kesehatan bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi XI DPR tengah menyiapkan mekanisme kombinasi manfaat (coordination of benefit) antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta.

    “Itu sebabnya nanti pagi kita tanda tangan sama OJK untuk combine benefit. Sudah di-improve juga oleh Komisi XI, POJK mengenai kombinasi swasta dan BPJS,” ungkap Budi.

    Sebelumnya, koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dan perusahaan asuransi swasta dinilai sulit diterapkan karena aturan yang belum memungkinkan penggabungan manfaat antara dua skema tersebut. Melalui revisi regulasi dan kerja sama lintas lembaga, pemerintah berupaya membuka jalan bagi model integrasi tersebut.

    Dengan begitu, masyarakat kelas menengah ke atas bisa mendapatkan perlindungan tambahan dari asuransi swasta, sementara BPJS Kesehatan tetap menjadi jaring pengaman utama bagi masyarakat yang kurang mampu.

    Menkes menegaskan, tujuan dari penyesuaian kebijakan ini bukan untuk membatasi akses layanan bagi warga mampu, melainkan untuk menjaga keberlanjutan keuangan BPJS Kesehatan dan memastikan subsidi negara tersalurkan tepat sasaran.

    “Supaya BPJS bisa sustain, ambil yang level bawah, semuanya di-cover sama negara. 280 juta rakyat Indonesia, kaya atau miskin, harusnya tetap punya perlindungan kesehatan, tapi yang mampu sebaiknya lewat skema swasta,” tegasnya.

    Kebijakan ini juga diharapkan dapat menciptakan sistem pembiayaan kesehatan yang lebih berkeadilan dan efisien, tanpa mengurangi hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan medis yang layak.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Respons Menkes soal Warga Baduy Korban Begal Sempat Ditolak Rumah Sakit”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Sistem Rujukan BPJS Bakal Diubah, Menkes: agar Tak Bertele-tele

    Sistem Rujukan BPJS Bakal Diubah, Menkes: agar Tak Bertele-tele

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin ingin sistem rujukan pasien BPJS Kesehatan diperbaiki. Budi mengatakan sistem rujukan harus lebih cepat agar pasien langsung tertangani.

    Budi awalnya mencontohkan seorang pasien BPJS Kesehatan terkena serangan jantung. Dia mengatakan sistem rujukan membuat pasien harus dirujuk ke rumah sakit tipe C dulu.

    “Kita akan ubah rujukannya berbasis kompetensi. Supaya menghemat BPJS juga. Sekarang kalau orang misalnya sakit kena serangan jantung, harus di bedah jantung terbuka, dia dari puskesmas, masuk dulu ke rumah sakit tipe C,” kata Budi Sadikin dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR bersama Ketua Dewas BPJS Kesehatan, Ketua DJSN hingga Dirut BPJS Kesehatan, gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).

    Budi mengatakan seharusnya ada penyakit yang langsung dirujuk ke rumah sakit tipe A agar tertangani. Dia mengatakan sistem rujukan bertingkat malah membahayakan nyawa.

    “Tipe C rujuk lagi tipe B, nanti tipe B, rujuk lagi tipe A. Padahal yang bisa lakukan udah jelas tipe A. Tipe C, tipe B nggak mungkin bisa tangani,” kata Budi.

    “Harusnya dengan demikian, BPJS nggak usah keluar uang tiga kali, dia keluarnya sekali aja, toh, langsung dinaikin ke yang paling atas,” tambahnya.

    Menkes: BPJS Fokus yang Bawah Aja

    Selain itu, Budi mengusulkan layanan BPJS Kesehatan hanya fokus kepada masyarakat kelas bawah. Sementara masyarakat kaya diarahkan untuk menggunakan asuransi swasta.

    “Kita juga ingin sistem mekanisme iuran dibikin seefisien mungkin, di mana standar kelas rawat inap standar. Maksudnya apa, supaya ya sudah BPJS fokus di bawah aja. Saya bilang nggak usah cover yang kaya kaya, yang kaya kelas 1 biarin diambil swasta,” kata Budi.

    Hal ini sebagai salah satu cara agar BPJS Kesehatan memberikan layanan kesehatan berkelanjutan. Pasalnya, selama tidak ada kenaikan iuran, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit.

    Berdasarkan data Kemenkes, keuangan BPJS Kesehatan positif hanya pada 2016, 2019, 2020, 2021, dan 2022. Sementara sisa tahun lainnya selalu mengalami defisit. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir dilakukan pemerintah pada 2016 dan 2020.

    Pada 2023, pendapatan iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp 151,7 triliun, sementara beban JKN yang harus dibayarkan Rp 158,9 triliun. Lalu pada 2024, pendapatan iuran BPJS Kesehatan Rp 165,3 triliun dan beban Rp 175,1 triliun. Melihat kondisi tersebut, Budi menyebut iuran BPJS Kesehatan harus terus dikaji agar layanan kesehatan bisa berkelanjutan.

    “Tetapi ini harus dikaji terus untuk menjaga sustainability dari kemampuan BPJS dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Maka kita bersama mengatakan bahwa iuran sangat-sangat murah dan menguntungkan bagi kesehatan masyarakat,” tuturnya.

    Saksikan informasi selengkapnya hanya di program detikPagi edisi Jumat (14/11/2025). Nikmati terus menu sarapan informasi khas detikPagi secara langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 08.00-11.00 WIB, di 20.detik.com, YouTube dan TikTok detikcom. Tidak hanya menyimak, detikers juga bisa berbagi ide, cerita, hingga membagikan pertanyaan lewat kolom live chat.

    “Detik Pagi, Jangan Tidur Lagi!”

    (vrs/vrs)

  • Beban BPJS Kesehatan Makin Berat, Pengeluaran Lebih Besar dari Iuran

    Beban BPJS Kesehatan Makin Berat, Pengeluaran Lebih Besar dari Iuran

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa beban Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan selalu lebih besar dari pendapatannya sejak 2014. Hal itu ia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR.

    “Emang BPJS (Kesehatan) itu nggak pernah sustainable, dia positif karena dinaikin iuran. Jadi kenaikan iuran itu selalu telat, dan minus, minus, minus, naikin,” kata Budi, Kamis (13/11/2025).

    Menurutnya, BPJS sempat mencatat surplus pendapatan pada 2019 dan tahun-tahun pandemi karena pemanfaatan layanan menurun. Namun tren defisit kembali terlihat sejak 2023 hingga 2025.

    Data iuran vs beban BPJS Kesehatan2014 – Iuran: Rp 40,7 T | Beban: Rp 42,7 T2015 – Iuran: Rp 52,8 T | Beban: Rp 57,1 T2016 – Iuran: Rp 67,4 T | Beban: Rp 67,3 T2017 – Iuran: Rp 74,3 T | Beban: Rp 84,4 T2018 – Iuran: Rp 85,4 T | Beban: Rp 94,3 T2019 – Iuran: Rp 111,8 T | Beban: Rp 108,5 T2020 – Iuran: Rp 139,9 T | Beban: Rp 95,5 T2021 – Iuran: Rp 143,3 T | Beban: Rp 90,3 T2022 – Iuran: Rp 144,0 T | Beban: Rp 113,5 T2023 – Iuran: Rp 151,7 T | Beban: Rp 158,9 T2024 – Iuran: Rp 165,3 T | Beban: Rp 175,1 T2025 (s.d. September) – Iuran: Rp 129,9 T | Beban: Rp 139,4 T

    Budi menegaskan bahwa keberlanjutan pembiayaan BPJS Kesehatan perlu dijaga, sambil mengingatkan bahwa iuran BPJS “sangat-sangat murah dan menguntungkan masyarakat.” Ke depan, pemerintah mendorong agar mekanisme iuran lebih efisien melalui penerapan kelas rawat inap standar.

    “Supaya BPJS itu fokusnya ke yang bawah aja. Nggak perlu urus yang kaya-kaya karena kelas 1 itu biayanya diambil swasta. Jadi kita tanda tangan dengan OJK untuk combine benefit,” jelasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryartono menambahkan, jumlah peserta terdaftar JKN kini mencapai 281,88 juta jiwa atau 98,3 persen dari penduduk Indonesia. Namun, peserta aktif hanya 228,67 juta jiwa atau 79,8 persen.

    Menurut Nunung, rata-rata klaim bulanan pada 2025 telah mencapai Rp 16,75 triliun, naik lima kali lipat dibanding 2014. Kenaikan ini terjadi seiring meningkatnya utilisasi dan akses pelayanan kesehatan masyarakat.

    Ia memperingatkan bahwa tanpa perubahan kebijakan seperti manfaat, tarif layanan, atau iuran, defisit BPJS Kesehatan akan terus melebar. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2018, pemerintah dapat mengambil tindakan khusus ketika aset jaminan sosial kesehatan bernilai negatif.

    “Paling sedikit dilakukan melalui penyesuaian besaran iuran sesuai ketentuan; atau pemberian suntikan dana tambahan,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/up)

  • Kapan Sistem Rujukan BPJS Tanpa “Dilempar-lempar” Rumah Sakit Berlaku?

    Kapan Sistem Rujukan BPJS Tanpa “Dilempar-lempar” Rumah Sakit Berlaku?

    Kapan Sistem Rujukan BPJS Tanpa “Dilempar-lempar” Rumah Sakit Berlaku?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin angkat bicara mengenai kapan sistem rujukan BPJS Kesehatan tanpa pasien perlu dilempar-lempar dari rumah sakit (RS) tipe D sampai tipe A mulai berlaku.
    Budi menyampaikan, pihaknya tengah menyusun Permenkes untuk memperbaiki sistem rujukan RS ini.
    “Nah itu Permenkes-nya sedang kita susun, diharapkan nanti semuanya selesai, habis ini selesai memang harus ada Perpres yang mengimplementasikan ini ke BPJS,” ujar Budi saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
    “Nah Perpres mengenai JKN ini itu satu paket untuk bisa INA CBGs tadi, diubah jadi iDRG (Indonesia Diagnosis Related Groups). Kemudian proses rujukan ini dan KRIA ini sekarang sudah jalan proses penyusunan penerbitan Perpres,” imbuhnya.
    Sebagai informasi, Kementerian Kesehatan memang berencana menghapus sistem rujukan berjenjang.
    Pasien nantinya bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang paling sesuai dengan kondisi medisnya.
    Reformasi sistem rujukan dilakukan agar pasien tidak perlu berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain sebelum mendapat perawatan yang tepat.
    Dalam sistem yang lama, pasien diwajibkan melewati rumah sakit kelas D, C, B, hingga A.
    Mekanisme itu dianggap tidak efisien.
    Dalam sistem baru, rumah sakit akan diklasifikasikan berdasarkan kompetensi medis, bukan kelas administratif.
    Kemenkes mengelompokkan layanan menjadi empat tingkat, yaitu layanan dasar di Puskesmas, Rumah Sakit Madya, RS Utama, dan RS Paripurna.
    Dokter akan menentukan rujukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
    Kemenkes memperkirakan sistem ini akan menekan biaya pengobatan peserta
    Jaminan Kesehatan Nasional
    (JKN).
    Pasien yang langsung ditangani di rumah sakit yang tepat akan menjalani perawatan lebih efisien, sehingga BPJS Kesehatan cukup membayar satu kali rujukan.
    Meski demikian, Kemenkes menegaskan bahwa pasien tetap harus ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dulu sebelum dirujuk ke rumah sakit yang tepat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        BPJS Klaim Tak Ada Lagi Sistem Rujukan Berjenjang, Pasien Bisa Dirujuk Langsung ke RS Tipe A
                        Nasional

    1 BPJS Klaim Tak Ada Lagi Sistem Rujukan Berjenjang, Pasien Bisa Dirujuk Langsung ke RS Tipe A Nasional

    BPJS Klaim Tak Ada Lagi Sistem Rujukan Berjenjang, Pasien Bisa Dirujuk Langsung ke RS Tipe A
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengeklaim pihaknya tidak menerapkan sistem rujukan berjenjang selama ini.
    Menurutnya, jika seorang pasien membutuhkan layanan dari rumah sakit (RS) tipe A, maka dia tidak perlu dirujuk ke RS tipe C terlebih dahulu.
    “Sekarang ini, contoh umpamanya, orang harus di-
    transplant
    atau transplant hati ya. Ngapain harus ke RS tipe C? Paling enggak bisa juga. Cuma BPJS membolehkan, dalam situasi seperti itu, langsung ke tipe A. BPJS boleh,” ujar Ali saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
    Hanya saja, Ali mengingatkan bahwa rujukan langsung ke RS kelas atas itu memang harus tergantung pada kondisi medis pasien.
    Dia menekankan, jika pasien memang membutuhkan perawatan di RS kelas A, maka tidak perlu dirujuk ke RS kelas C terlebih dahulu.
    “Boleh, BPJS boleh. Tapi tergantung kasusnya gitu loh ya. Kasusnya cuma perlu di tipe C atau ke tipe B ya gitu. Tipe B atau tipe C. Tapi kalau enggak mungkin di tipe C, mungkinnya cuma di tipe A. Kenapa tidak begitu? Langsung,” tegasnya.
    Sebagai informasi,
    Kementerian Kesehatan
    memang berencana menghapus sistem rujukan berjenjang.
    Pasien nantinya bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang paling sesuai dengan kondisi medisnya.
    Reformasi sistem rujukan dilakukan agar pasien tidak perlu berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain sebelum mendapatkan perawatan yang tepat.
    Dalam sistem yang lama, pasien diwajibkan melewati rumah sakit kelas D, C, B, hingga A.
    Mekanisme itu dianggap tidak efisien.
    Dalam sistem baru, rumah sakit akan diklasifikasikan berdasarkan kompetensi medis, bukan kelas administratif.
    Kemenkes mengelompokkan layanan menjadi empat tingkat, yaitu layanan dasar di Puskesmas, Rumah Sakit Madya, RS Utama, dan RS Paripurna.
    Dokter akan menentukan rujukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
    Kemenkes memperkirakan sistem ini akan menekan biaya pengobatan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
    Pasien yang langsung ditangani di rumah sakit yang tepat akan menjalani perawatan lebih efisien, sehingga
    BPJS Kesehatan
    cukup membayar satu kali rujukan.
    Meski demikian, Kemenkes menegaskan bahwa pasien tetap harus ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama terlebih dahulu sebelum dirujuk ke rumah sakit yang tepat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perbaiki Sistem Rujukan BPJS, Menkes: Kasihan Pasien Dirujuk Berkali-kali sampai Dapat RS Tepat

    Perbaiki Sistem Rujukan BPJS, Menkes: Kasihan Pasien Dirujuk Berkali-kali sampai Dapat RS Tepat

    Perbaiki Sistem Rujukan BPJS, Menkes: Kasihan Pasien Dirujuk Berkali-kali sampai Dapat RS Tepat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin merasa kasihan dengan pasien yang harus dirujuk dari satu rumah sakit (RS) ke rumah sakit lainnya akibat sistem rujukan BPJS Kesehatan yang selama ini berlaku.
    Budi mengatakan, pasien-pasien itu selama ini harus dilempar-lempar antara
    rumah sakit
    , sebelum akhirnya mendapatkan RS yang tepat.
    “Kasihan pasiennya itu mesti beberapa kali rujuk sebelum dia sampai di rumah sakit yang tepat untuk memberikan tindakan kepada yang bersangkutan,” ujar Budi saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
    Budi menegaskan, sistem berjenjang pada rujukan rumah sakit bakal diperbaiki.
    Dia menyebut, pasien akan dirujuk ke RS tertentu berdasarkan kondisi medisnya, tanpa perlu merasakan dilempar-lempar dari RS tipe D sampai tipe A.
    “Jadi kalau orang sudah diperiksa misalnya di puskesmas, ‘oh dia perlu dipasang ring gitu jantungnya’, itu enggak usah harus ke tipe D dulu. ‘Oh dicek tipe D enggak bisa pasang ring, naikin lagi tipe C, enggak bisa pasang ring langsung ke tipe B’. Dia akan langsung masuk ke tipe B,” paparnya.
    “Jadi buat pasien akan jauh lebih cepat prosesnya.
    Anyway
    , dia akan masuk ke tipe B, justru akan mengurangi antrean pasien di tipe D dan tipe C, karena enggak usah menjalani tiga rumah sakit, dia langsung ke rumah sakit tujuan,” sambung Budi.
    Budi mengatakan, dengan reformasi sistem rujukan berjenjang ini, maka pengeluaran BPJS Kesehatan juga akan berkurang.
    Sebab, BPJS hanya perlu membayar ke satu rumah sakit saja, yakni tempat pasien langsung dirujuk.
    “Harusnya lebih sedikit, karena BPJS bayarnya langsung ke rumah sakit terakhir kan, enggak usah ke tiga kali rumah sakit,” jelasnya.
    Sementara itu, Budi menekankan, pasien harus tetap berkunjung ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebelum dirujuk ke rumah sakit yang tepat.
    Sebab, di FKTP, pasien akan ditentukan oleh dokter, rumah sakit tipe apa yang cocok untuknya.
    “Harus ke faskes, tapi faskes yang pertama akan menentukan, dia itu level layanannya itu tingkat apa. Kalau dia ternyata sakit stroke, strokenya cukup di tingkat C, nanti dia akan dikirim ke rumah sakit yang memiliki layanan stroke tingkat C,” kata Budi.
    “Kalau dia strokenya ternyata susah gitu casenya, tingkat B, dia akan dikirim langsung ke rumah sakit yang memiliki layanan stroke tingkat B,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Buka-bukaan Menkes Bakal Ubah Rujukan BPJS: Nggak Perlu 3 Kali, Keburu Wafat

    Buka-bukaan Menkes Bakal Ubah Rujukan BPJS: Nggak Perlu 3 Kali, Keburu Wafat

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mewacanakan perubahan besar sistem rujukan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Ia menilai, sistem berjenjang yang berlaku saat ini sering kali memperlambat penanganan pasien dengan kondisi gawat darurat, sekaligus menimbulkan pemborosan biaya layanan.

    “Kita akan ubah rujukannya berbasis kompetensi supaya bisa menghemat BPJS juga,” kata Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (13/11/2025).

    Selama ini, pasien BPJS yang membutuhkan layanan lanjutan harus melalui mekanisme rujukan berjenjang dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas, ke rumah sakit tipe C, lalu tipe B, sebelum akhirnya sampai ke rumah sakit tipe A.

    Padahal, tidak semua jenis penyakit memerlukan proses berlapis demikian.

    “Sekarang kalau orang misalnya kena serangan jantung dan butuh bedah jantung terbuka, dia dari puskesmas masuk dulu ke rumah sakit tipe C, di tipe C rujuk lagi ke tipe B, ujungnya ke tipe A. Padahal yang bisa lakukan itu sudah jelas tipe A,” lanjut Menkes.

    Menurut Budi, sistem tersebut tidak hanya memakan waktu, tetapi juga membuat biaya BPJS membengkak karena satu pasien bisa dicover tiga kali, di tiga rumah sakit berbeda.

    “Harusnya BPJS nggak usah keluar uang tiga kali. Cukup sekali saja, langsung dinaikin ke rumah sakit yang paling atas. Dari sisi BPJS lebih efisien, dari sisi masyarakat juga senang, nggak perlu rujuk tiga kali, keburu wafat nanti dia kan,” ucapnya.

    Budi menegaskan, sistem baru yang sedang disiapkan akan berbasis pada kompetensi layanan rumah sakit, bukan sekadar tingkatan administratif. Artinya, pasien akan langsung dirujuk ke fasilitas yang memang memiliki kemampuan menangani penyakitnya.

    “Lebih baik pasien langsung dikirim ke tempat di mana dia bisa dilayani sesuai anamnesa awalnya,” jelasnya.

    Langkah ini diharapkan bisa memangkas waktu penanganan kasus darurat dan mempercepat akses masyarakat pada layanan spesialistik yang sesuai kebutuhan medisnya.

    Revisi Tarif INA-CBG’s

    Selain sistem rujukan, Kemenkes juga tengah menyiapkan perubahan sistem tarif INA CBG’s, yaitu mekanisme pembayaran klaim layanan rumah sakit yang digunakan BPJS Kesehatan.

    Budi menjelaskan, selama ini kelompok tarif INA-CBG’s yang digunakan di Indonesia mengacu pada sistem dari Malaysia, sehingga seringnya tidak sesuai dengan kondisi dan pola penyakit di Indonesia.

    “Rumah sakit banyak yang komplain, BPJS juga merasa bayarnya kok kebanyakan seperti ini. Jadi kita duduk bareng dengan organisasi profesi, rumah sakit, kolegium, untuk kita sederhanakan, supaya nggak memberatkan administrasi dan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” tuturnya.

    Sebagai contoh, Budi menyebut kategori konsultasi rawat jalan yang sebelumnya hanya satu jenis, kini diubah menjadi 159 jenis untuk mencerminkan variasi kebutuhan pasien.

    “Jadi pembayarannya bisa lebih pas, pasien juga dilayani lebih baik, nggak perlu datang dua atau tiga kali untuk hal yang sama,” katanya.

    “Tujuannya agar masyarakat mendapatkan pelayanan cepat dan tepat, tanpa berbelit, dan BPJS juga lebih hemat dalam pembiayaan,” pungkas Menkes.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Video: Bos BPJS Kesehatan Ungkap Rencana Pemutihan Tunggakan Iuran

    Video: Bos BPJS Kesehatan Ungkap Rencana Pemutihan Tunggakan Iuran

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan, kebijakan pemutihan tunggakan iuran belum berlaku dan masih dalam proses pembahasan pemerintah dan pihak-pihak terkait. Ia meminta masyarakat tidak salah paham dulu dan menunggu keputusan akhir.

    Selengkapnya dalam program Nation Hub CNBC Indonesia, Kamis (13/11/2025).

  • Penghapusan Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Jadi Nggak? Ini Bocorannya

    Penghapusan Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Jadi Nggak? Ini Bocorannya

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan perkembangan rencana penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) BPJS Kesehatan.

    Skema ini nantinya akan mengantikan sistem kelas 1, 2 dan 3 untuk memastikan layanan yang sama bagi semua peserta jaminan kesehatan nasional.

    “Sekarang kita nunggu, Perpresnya (Peraturan Presiden) ini satu paket. Itu sekarang sedang dalam proses untuk finalisasi,” ujar Budi Gunadi usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Budi Gunadi mengatakan KRIS adalah upaya menstandarisasi fasilitas pelayanan rawat inap untuk kesetaraan akomodasi pasien.

    Ia juga menekankan BPJS Kesehatan fokus mengurusi masyarakat kelas bawah, sementara untuk kelas atas dibiarkan ke asuransi swasta.

    “Rencana kita akan lakukan kelas rawat inap standar. Ini maksudnya apa? Supaya udah, BPJS tuh fokusnya ke yang bawah saja, BPJS nggak usah cover yang kaya-kaya deh. Kenapa? Karena yang kaya, kelas satu itu, biar dia sama swasta,” tutur Budi.

    Sebelumnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI pada Mei 2025, Budi Gunadi mengusulkan agar masa transisi penerapan KRIS BPJS Kesehatan diperpanjang sampai 31 Desember 2025.

    “Dengan masih perlu adanya penyesuaian dan Perpres-nya, masa transisi implementasi KRIS diperpanjang sampai 31 Desember 2025,” ujar Budi Gunadi.

    Agenda tersebut mundur dari rencana sesuai Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 yang mengamanatkan ketentuan soal penetapan manfaat, tarif dan iuran baru BPJS Kesehatan oleh pemerintah paling lambat pada 1 Juli 2025, seiring dengan mulai berlakunya sistem pelayanan rawat inap standar, yang tak lagi fokus pada klasifikasi kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan.

    (aid/hns)