Kementrian Lembaga: BNPT

  • Polisi di Jabatan Sipil, Mahfud MD Sebut Perpol 2025 Telah Melawan UU

    Polisi di Jabatan Sipil, Mahfud MD Sebut Perpol 2025 Telah Melawan UU

    Bisnis.com, JAKARTA  – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menilai bahwa regulasi Polri bisa berada di jabatan sipil yang tertuang dalam Peraturan Polisi (Perpol) No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri, sudah melanggar atau melawan undang-undang.

    Mahfud menilai  bahwa peraturan tentang Polri yang bisa melakukan tugas di luar struktur Polri sudah bertentangan dengan dua Undang-Undang yaitu, pertama Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, di mana di dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri. 

    Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 tahun 2025. Kedua, dia mengatakan bahwa Perpol terbaru yang dirilis 2025 itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

    Menurutnya, Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam Undang-Undang Polri tidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri.

    “Dengan demikian, perkap itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutip Minggu (14/12/2025).

    Dia menegaskan pernyataan soal polisi adalah jabatan sipil sehingga dapat menjabat ke jabatan sipil lainnya merupakan pernyataan yang salah. Dia menjelaskan sipil tidak boleh masuk ke sipil jika di ruang lingkup tugas dan profesinya beririsan.

    “Misalnya, seorang dokter bertindak sebagai jaksa kan tidak bisa. Jaksa bertindak sebagai dokter kan tidak bisa. Dosen bertindak sebagai notaris kan tidak boleh,” tandasnya.

    Sebelumnya, Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. Anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    Adapun 17 jabatan kementerian atau lembaga yang bisa diduduki Anggota Polri, yaitu:

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Profil Untung Budiharto, Dirut Antam yang Baru Eks Jenderal TNI

    Profil Untung Budiharto, Dirut Antam yang Baru Eks Jenderal TNI

    Jakarta, Beritasatu.com – Untung Budiharto resmi menapaki babak baru dalam kariernya setelah dipercaya memimpin PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

    Penetapan Untung Budiharto sebagai direktur utama PT Aneka Tambang Tbk dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan pada Senin (15/12/2025). Melalui keputusan tersebut, perseroan sekaligus memberhentikan Achmad Ardianto dari jabatan direktur utama dengan hormat.

    Penunjukan ini menjadikan Untung Budiharto sebagai pimpinan tertinggi Antam, perusahaan tambang pelat merah yang memiliki peran strategis dalam pengelolaan sumber daya mineral Indonesia.

    Direktur Pengembangan Usaha Antam I Dewa Wirantaya, menyampaikan bahwa RUPSLB 2025 menyetujui perubahan komposisi pengurus perseroan. Ia menegaskan bahwa jajaran komisaris dan direksi menyampaikan penghargaan atas dedikasi pimpinan sebelumnya selama menjalankan tugas di Antam.

    “Kami optimistis susunan pengurus yang baru akan memperkuat kinerja Antam dan mendorong penciptaan nilai tambah yang berkelanjutan bagi perusahaan dan negara,” ujar Dewa.

    Selain menetapkan direktur utama yang baru, RUPSLB juga mengangkat Irwandy Arif sebagai komisaris utama Antam. Kehadiran jajaran komisaris dan direksi yang baru ini menumbuhkan optimisme manajemen terhadap penguatan sistem pengawasan serta pengambilan keputusan strategis di masa mendatang.

    Kombinasi kepemimpinan direksi dan komisaris diharapkan mampu menjawab tantangan industri pertambangan yang semakin kompleks, sekaligus menjaga kinerja perusahaan tetap kompetitif.

    Profil Pribadi Untung Budiharto

    Menilik lebih jauh profil Untung Budiharto, ia lahir di Tegal pada 26 April 1965. Sebelum dipercaya sebagai dirut Antam yang baru, Untung menjabat sebagai Komisaris Utama PT Transportasi Jakarta sejak 8 Juni 2023.

    Latar belakang ini menunjukkan bahwa Untung Budiharto telah terbiasa memimpin organisasi besar dengan kompleksitas tinggi, baik di sektor publik maupun korporasi. Pengalaman tersebut menjadi bekal penting dalam mengemban amanah barunya di Antam.

    Untung Budiharto merupakan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Ia adalah lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1988 dari kecabangan infanteri.

    Setelah menyelesaikan pendidikan militernya, Untung mengawali penugasan di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pengalaman awal ini membentuk karakter kepemimpinan, disiplin, serta kemampuan pengambilan keputusan yang tegas.

    Sepanjang pengabdiannya di TNI, Untung Budiharto dipercaya menduduki berbagai posisi penting. Ia pernah menjabat sebagai komandan resor militer (Danrem) Bangka Belitung, perwira bantuan staf operasi, wakil asisten operasi kepala staf angkatan darat (Waasops KSAD), hingga kepala staf Kodam (Kasdam) I/Bukit Barisan.

    Pada periode 2016-2017, Untung mengemban tugas sebagai inspektur kodam (Irdam) XVIII/Kasuari. Setelah itu, ia kembali dipercaya sebagai waasops KSAD pada 2017-2019, lalu menjabat kasdam I/Bukit Barisan pada 2019–2020. Puncak karier militernya ditandai dengan penugasan sebagai panglima Kodam Jaya.

    Tidak hanya berkecimpung di dunia militer, Untung Budiharto juga memiliki rekam jejak di sejumlah lembaga sipil strategis. Ia pernah menjabat sebagai direktur operasi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

    Selain itu, Untung juga dipercaya sebagai sekretaris utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pengalaman lintas sektor ini memperkaya perspektif kepemimpinannya, khususnya dalam mengelola organisasi dengan kepentingan nasional yang luas.

    Pada awal Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto memberikan kenaikan pangkat istimewa kepada 11 purnawirawan TNI. Salah satu penerimanya adalah Untung Budiharto.

    Melalui keputusan tersebut, Untung memperoleh kenaikan pangkat kehormatan dari mayor jenderal menjadi letnan jenderal kehormatan atau jenderal bintang tiga kehormatan. Penghargaan ini menjadi pengakuan atas dedikasi dan pengabdiannya selama bertugas.

    Selama masa pengabdiannya, Untung Budiharto menerima berbagai tanda kehormatan negara. Beberapa di antaranya adalah Satya Lencana Seroja Ult, Satya Lencana Kesetiaan XXIV Tahun, serta Satya Lencana GOM IX/Raksaka Dharma.

    Deretan penghargaan tersebut mencerminkan konsistensi, loyalitas, dan kontribusinya dalam menjalankan berbagai penugasan strategis.

    Pengangkatan Untung Budiharto sebagai direktur utama menandai fase baru kepemimpinan Antam di tengah tantangan industri pertambangan, baik di tingkat nasional maupun global. Dengan latar belakang militer dan pengalaman panjang di sektor publik, Untung diharapkan mampu memperkuat kinerja, tata kelola, serta daya saing perusahaan.

  • Perpol 10/2025 Bikin Polisi Jabat  di 17 K/L, Kapolri: untuk Hormati Putusan MK

    Perpol 10/2025 Bikin Polisi Jabat di 17 K/L, Kapolri: untuk Hormati Putusan MK

    Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Perpol No.10/2025 diterbitkan untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal larangan anggota Polri isi jabatan sipil.

    Sebelumnya, Perpol No.10/2025 mengatur soal 17 Kementerian atau Lembaga (K/L) bisa dijabat anggota polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi polri. 

    “Jadi perpol yang dibuat oleh polri tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK,” ujar Sigit di kompleks Istana Negara, Senin (15/12/2025).

    Dia menambahkan perpol No.10/2025 yang ditekennya itu telah melewati koordinasi atau konsultasi dengan kementerian maupun stakeholder terkait.

    Di samping itu, Sigit enggan bicara banyak terkait dengan pihak lain yang menilai Perpol No.10/2025 ini berkaitan dengan putusan MK. 

    “Biar saja yang bicara begitu. Yang jelas langkah yang dilakukan kepolisian sudah dikonsultasikan. Baik dengan kementerian terkait, stakeholder terkait, lembaga terkait. Sehingga baru disusun perpol,” imbuhnya.

    Dia menambahkan, Perpol mengenai aturan penugasan anggota ini bakal ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah dan bakal dimasukkan ke dalam revisi undang-undang (RUU) Polri.

    “Yang jelas perpol ini tentunya akan ditingkatkan menjadi pp dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi UU,” pungkasnya.

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025 

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Lewat Medsos, Bocah di Tulungagung Terpapar Paham Radikalisme

    Lewat Medsos, Bocah di Tulungagung Terpapar Paham Radikalisme

    Tulungagung (beritajatim.com) -Seorang bocah di Kabupaten Tulungagung terindikasi telah terpapar paham radikalisme. Bocah tersebut diduga menjadi bagian jaringan radikalisme internasional. Aktivitas tersebut terbongkar setelah pihak Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melakukan pelacakan. Saat ini pihak Dinas Keluarga Berencaa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBPPPA) Tulungagung melakukan pendampingan deradikalisasi terhadap bocah tersebut.

    Kepala Dinas KBPPPA Tulungagung, dr Kasil Rokhmad mengatakan sudah satu bulan ini pihaknya secara intesif melakukan pendampingan. Bersama BNPT mereka melakukan deradikalisasi terhadap paham radikal yang telah diterima oleh bocah tersebut. Deradikalisasi ini bertujuan untuk menghindari paham radikal menjadi ideologi. “Hasilnya cukup positif saat ini kami masih terus melakukan pendampingan,” ujarnya, Senin (15/12/2025).

    Kasil menjelaskan paham radikalisme ini masuk melalui aktivitas bocah tersebut di media sosial tik tok. Selama ini bocah berusia 11 tahun kerap mengunggah dukungan terhadap suatu peristiwa. Hal ini digunakan oleh jaringan radikal internasional untuk memasukkan paham radikalisme. Mereka mengundang bocah tersebut untuk masuk ke dalam grup whatsapp milik jaringan tersebut. “Aktivitas anak di media sosial ini tidak diketahui oleh keluarga, selama proses pendampingan pihak keluarga sangat kooperatif sehingga berjalan lancar,” tuturnya.

    Dengan temuan ini, Kasil meminta orang tua mengawasi anak-anaknya yang menggunakan gawai. Aktivitas anak di media sosial juga perlu dipantau oleh orang tua. Hal ini diperlukan agar anak tidak dimanfaatkan oleh kelompok radikal yang secara masif menyebarkan pahamnya. “Karena sudah ada anak Tulungagung yang terpapar ajaran radikalisme lewat media sosial, kami mengimbau kepada orang tua untuk selalu mengawasi penggunakan gawai pada anak” pungkasnya. [nm/kun]

  • Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?

    Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?

    Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – K
    apolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, aturan mengenai polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga justru mempertegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengisian jabatan aparatur sipil negara (ASN) oleh polisi aktif.
    Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
    “Di situ kan klausanya sudah jelas dan tentunya akan dilakukan perbaikan. Di situ kan yang dihapus dalam putusan MK, penugasan oleh Kapolri, kemudian frasa yang terkait dengan tugas-tugas kepolisian kan sudah jelas di situ,” kata Kapolri di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (15/12/2025).
    “Untuk itu, kemudian itu harus diperjelas limitatifnya seperti apa. Jadi, apa yang dilanggar? Ya, saya kira cukup ya,” imbuh dia.
    Perpol 10/2025 ini menjadi sorotan karena mengatur polisi bisa menjabat di 17 instansi di luar Polri, padahal MK menyatakan bahwa polisi harus mundur atau pensiun dari Polri sebelum menjabat di jabatan luar Polri.
    Kapolri mengeklaim bahwa Polri menghormati putusan MK tersebut.
    Oleh karena itu, Polri menindaklanjutinya dengan melakukan konsultasi terhadap kementerian/lembaga terkait yang berujung pada penerbitan Perpol 10/2025.
    “Jadi Perpol yang dibuat oleh Polri, tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK. Saya kira itu,” tegasnya.
    Sigit juga memastikan, aturan soal polisi bisa menduduki
    jabatan di kementerian
    /lembaga ini akan ditingkatkan dalam peraturan pemerintah (PP) dan revisi Undang-Undang (UU) Polri.
    “Perpol ini tentunya nanti akan ditingkatkan menjadi PP dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan direvisi undang-undang,” tutur dia.
    Diberitakan sebelumnya, keputusan Kapolri meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
    Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken Perpol 10/2025 yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
    Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.

    Perpol Nomor 10 Tahun 2025
    itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
    Kompas.com
    , Jumat (12/12/2025).
    Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
    UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
    “Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menutup celah hukum penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, tetapi dalam penerapannya menuai perdebatan karena bersinggungan dengan aturan sektoral dan kebijakan internal Polri.

    Hasil dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta kembali menjadi panggung bagi satu perdebatan lama yang tak pernah benar-benar selesai sejak Reformasi 1998 sejauh mana batas antara polisi dan jabatan sipil dalam negara demokratis.

    Ketukan palu Ketua MK Suhartoyo menandai dibacakannya Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang secara tegas menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

    Frasa kunci yang dipersoalkan mengenai “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Putusan ini langsung mengguncang satu praktik yang selama bertahun-tahun berlangsung nyaris tanpa perdebatan serius penempatan perwira aktif Polri di kementerian dan lembaga sipil.

    Namun, sebagaimana banyak putusan MK lainnya, palu hakim tidak otomatis mengakhiri polemik. Dia justru membuka babak baru perdebatan tafsir, benturan regulasi, dan tarik-menarik kepentingan antara supremasi sipil dan kebutuhan koordinasi negara.

    Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyebut keberadaan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sebagai sumber ketidakpastian hukum.

    Norma tersebut, menurut MK, justru memperluas makna Pasal 28 ayat (3) yang sejatinya sudah tegas bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi aparatur sipil negara di luar kepolisian,” ujar Ridwan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    MK juga menilai frasa itu berpotensi melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan satu kalimat penjelasan, seorang polisi aktif dapat menduduki jabatan yang tertutup bagi warga sipil lain.

    Putusan ini tidak bulat. Dua hakim Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah menyampaikan dissenting opinion. Hakim Arsul Sani mengajukan concurring opinion. Namun, mayoritas hakim bersepakat bahwa norma penugasan Kapolri telah melampaui batas konstitusional.

    Gugatan Warga dan Bayang-bayang Dwifungsi

    Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, dua warga negara yang memandang praktik penugasan polisi aktif di jabatan sipil sebagai ancaman serius bagi netralitas aparatur negara.

    Dalam permohonannya, mereka menyinggung sederet contoh: anggota Polri aktif yang menduduki posisi strategis di KPK, BNN, BNPT, BSSN, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan tanpa mengundurkan diri atau pensiun.

    Menurut para pemohon, praktik ini tidak hanya menciptakan ketimpangan kesempatan bagi warga sipil, tetapi juga membuka kembali bayang-bayang dwifungsi Polri sebuah konsep yang secara ideologis ingin dikubur pasca-Reformasi.

    Polisi, dalam kerangka negara demokratis, memang ditempatkan sebagai alat negara yang bersifat sipil. Namun, ketika seragam kepolisian tetap melekat di ruang-ruang birokrasi sipil, garis pembatas itu kembali kabur.

    Legislator: Hormati MK, Tapi Jangan Tergesa

    Di Senayan, putusan MK disambut dengan sikap hati-hati. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Rudianto Lallo menyatakan menghormati putusan MK, tetapi menilai implementasinya tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa penyelarasan regulasi.

    “Putusan MK itu ya kita menghormati. Tapi tidak serta-merta diberlakukan begitu saja. Kita harus lihat dulu norma-norma yang ada di undang-undang lain,” ujarnya, Jumat (13/11/2025).

    Rudianto menyoroti bahwa UU Polri masih memberikan ruang penugasan perwira aktif, selama berkaitan dengan fungsi kepolisian dan dilakukan atas perintah Kapolri. Dengan pendekatan acontrario, dia menilai jabatan yang relevan dengan tugas kepolisian masih dimungkinkan diisi perwira aktif.

    Bagi Rudianto, penugasan lintas lembaga justru bagian dari penguatan sinergi antarinstitusi, sejalan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tentang fungsi keamanan negara.

    Namun, sikap ini juga menegaskan satu hal: putusan MK belum sepenuhnya menjadi titik temu, melainkan awal dari perdebatan legislasi baru.

    Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025

    Di tengah dinamika itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah lebih dulu menandatangani Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi.

    Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa peraturan tersebut masih sejalan dengan regulasi yang berlaku, bahkan setelah putusan MK.

    Menurut Trunoyudo, sejumlah aturan masih membuka ruang penugasan, antara lain mulai dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28 ayat (3); UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang memungkinkan jabatan tertentu diisi anggota Polri; dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

    Berdasarkan regulasi tersebut, Polri mencatat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota Polri, mulai dari Kemenko Polkam hingga lembaga strategis seperti BNN, BIN, BSSN, OJK, PPATK, dan KPK.

    Untuk mencegah rangkap jabatan, Polri melakukan mutasi struktural, menjadikan perwira tersebut sebagai pati atau pamen dalam penugasan khusus.

    Namun, di titik inilah polemik kembali mengeras apakah pengalihan jabatan administratif dapat menghapus status “polisi aktif”?

    Mantan Kapolri Badrodin Haiti melihat persoalan ini secara lebih lugas. Menurutnya, implementasi putusan MK sepenuhnya berada di tangan Kapolri.

    “Kalau secara hukum, sudah banyak pakar yang bicara. Bunyinya jelas dan harus dilaksanakan. Tapi dilaksanakan atau tidak, itu tergantung Kapolri,” ujarnya.

    Badrodin mengingatkan bahwa sejak pemisahan TNI dan Polri pada 2000, polisi secara formal sudah menjadi bagian dari sipil. Namun, dalam praktik, kultur kepolisian masih belum sepenuhnya mencerminkan civilian police.

    “Budaya militernya masih kental. Ini sering menjadi problem dalam pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” katanya.

    Pandangan senada sebelumnya pernah disampaikan Mahfud MD, mantan Ketua MK dan mantan Menko Polhukam. Dalam berbagai kesempatan, Mahfud menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, serta harus menjadi rujukan utama dalam penataan relasi sipil-militer-polisi.

    Menurut Mahfud, penempatan aparat bersenjata aktif di jabatan sipil berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan distorsi tata kelola demokrasi.

    “Kalau mau jabatan sipil, ya lepaskan dulu status kepolisian. Itu prinsip negara hukum,” kata Mahfud.

    Data Mabes Polri menyebutkan sekitar 300 anggota Polri aktif saat ini menduduki jabatan manajerial di kementerian dan lembaga. Angka itu berasal dari total 4.132 personel yang ditugaskan di luar struktur Polri.

    Di ruang publik, sentimen masyarakat relatif jelas. Survei big data Continuum INDEF menunjukkan 83,96 persen publik mendukung putusan MK, sementara 16,04 persen bersikap kritis.

    Menariknya, publik juga menuntut prinsip yang sama diberlakukan pada institusi lain, terutama TNI.

    Polemik polisi aktif mengisi jabatan sipil sesungguhnya bukan sekadar soal tafsir hukum. Dia adalah cermin dari ketegangan lama dalam demokrasi Indonesia: antara kebutuhan koordinasi negara dan tuntutan supremasi sipil.

    Putusan MK telah memberi garis tegas di atas kertas. Namun, bagaimana garis itu ditegakkan dalam praktik, akan menentukan arah reformasi kepolisian ke depan.

    Apakah Indonesia akan melangkah menuju polisi sipil sepenuhnya, atau tetap membiarkan ruang abu-abu tempat seragam dan jabatan sipil saling bertukar? Jawaban itu, kini, bukan lagi di tangan hakim konstitusi melainkan di ruang kebijakan, kepemimpinan, dan keberanian menegakkan prinsip negara hukum.

  • Tabrak Aturan MK dan UU ASN

    Tabrak Aturan MK dan UU ASN

    GELORA.CO- Profesor hukum tata negara Mahfud MD mengkritik langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mengeluarkan aturan bahwa anggota Polri aktif boleh mengisi jabatan sipil.

    Peraturan ini ditetapkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 9 Desember 2025 lalu diundangkan oleh Kementerian Hukum pada 10 Desember 2025, tak lama setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan anggota Polri aktif tak bisa menduduki jabatan sipil. 

    Perpol 10/2025 secara tegas menyebut anggota Polri dapat ditugaskan di luar struktur kepolisian pada jabatan manajerial maupun nonmanajerial, baik di dalam maupun luar negeri.

    Penempatan dilakukan atas permintaan kementerian/lembaga dan harus terkait dengan fungsi kepolisian.

     “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.

    Daftar lembaga sipil yang bisa diisi polisi aktif mencapai 17 institusi, termasuk BIN, BNPT, BNN, BSSN, OJK, PPATK, hingga ATR/BPN.

    Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanaan tugas di dalam maupun luar negeri.

    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi  dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.

    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.

    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.

    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

    Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Polri 10/2025 menyebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri tersebut dilaksanakan pada jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial.

    Selanjutnya, pada Ayat (4) diatur bahwa posisi yang bisa diduduki merupakan jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian berdasarkan permintaan dari kementerian/lembaga bersangkutan.

    Berpotensi menabrak aturan

    Mahfud MD menilai, langkah kapolri tersebut berpotensi menabrak aturan yang sudah ada

    Mantan Menkopolhukam Mahfud MD menyebut keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Perpol 10/2025 berpotensi menabrak aturan 

    Salah satunya, menurut Mahfud MD, Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

     “Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada Kompas.com, Jumat (12/12/2025).

    Putusan MK yang dimaksud Mahfud MD itu telah melarang anggota polisi aktif menduduki jabatan di luar institusi Polri, diketok MK pada 13 November 2025.

    Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.

    UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.

     “Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.

     Polri saat ini merupakan institusi sipil, namun itu tidak bisa menjadi landasan bagi polisi aktif untuk masuk ke institusi sipil lainnya.

    “Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” kata Mahfud.

     Sebagaimana diketahui, Mahfud MD saat ini merupakan anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.

    Namun demikian, Mahfud memberikan pernyataan bukan sebagai anggota Komisi Reformasi Polri melainkan sebagai dosen hukum tata negara

  • Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga

    Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga

    Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem Rudianto Lallo mengatakan, dengan adanya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025, batasan kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh polisi aktif menjadi jelas.
    Sebab, dalam aturan baru tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membolehkan polisi aktif menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
    “Jika sebelum lahirnya Perkap (Peraturan Kapolri) ini, ketidakjelasan batasan dan cakupan kementerian dan/atau lembaga apa saja yang dapat diemban melahirkan
    confusing of norm
    atau
    vague norm
    , dengan Perkap baru ini menjadi jelas dan terang batasan kementerian atau lembaga mana yang relevan dengan tugas dan fungsi kepolisian sebagaimana amanah Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945,” ujar Rudianto kepada Kompas.com, Minggu (14/12/2025).
    “Sekaligus melahirkan
    kepastian hukum
    dan konstitusi bagi peran anggota kepolisian di luar institusi kepolisian,” sambungnya.
    Rudianto menyampaikan, secara konstitusionalisme,
    policy rules
    terbaru yang dikeluarkan oleh Kapolri memperhatikan prinsip dan kaidah konstitusi.
    Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari spirit dan filosofi hukum dari Perkap tersebut, yang melahirkan sekaligus memberikan kepastian hukum terkait batasan dan cakupan kelembagaan apa saja yang dapat diemban oleh polisi di luar Polri.
    “Sebab, salah satu Ratio Decidendi atau argumentasi hukum MK membatalkan ketentuan frasa Pasal 28 Ayat (3) UU Polri, karena tidak adanya kepastian hukum dan kejelasan rumusan yang dimaksud. Dengan hadirnya Perkap ini sebagai bentuk penerjemahan spirit dan mandat substansi putusan MK tersebut agar hadir jaminan dan kepastian hukum,” imbuhnya.
    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken
    Peraturan Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud MD Sebut Perpol soal Polisi Bisa Isi Jabatan Sipil Bertentangan Undang-Undang

    Mahfud MD Sebut Perpol soal Polisi Bisa Isi Jabatan Sipil Bertentangan Undang-Undang

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengkritisi Peraturan Polisi (Perpol) No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri. Menurutnya peraturan ini bertentangan dengan dua Undang-Undang.

    “Perkap Nomor 10 tahun 2025 itu bertentangan dengan dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, di mana di dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri,” katanya sebagaimana dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutip Minggu (14/12/2025).

    Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 tahun 2025. Lebih lanjut, dia menyampaikan peraturan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

    Menurutnya, Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam Undang-Undang Polri tiidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri

    “Dengan demikian, perkap itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya.

    Dia menegaskan pernyataan soal polisi adalah jabatan sipil sehingga dapat menjabat ke jabatan sipil lainnya merupakan pernyataan yang salah.

    Dia menjelaskan sipil tidak boleh masuk ke sipil jika di ruang lingkup tugas dan profesinya beririsan.

    “Misalnya, seorang dokter bertindak sebagai jaksa kan tidak bisa. Jaksa bertindak sebagai dokter kan tidak bisa. Dosen bertindak sebagai jotaris kan tidak boleh,” tandasnya.

    Sebelumnya, Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    Adapun 17 jabatan kementerian atau lembaga yang bisa diduduki Anggota Polri, yaitu:

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Pengamat Nilai Perkap 10/2025 Tak Langgar Keputusan MK

    Pengamat Nilai Perkap 10/2025 Tak Langgar Keputusan MK

    Jakarta

    Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai Peraturan Kepolisian (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 tidak melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah berkonsultasi dengan DPR serta melaporkan secara resmi kepada Presiden Prabowo sebelum regulasi itu diberlakukan.

    “Informasi yang saya dapatkan, Perkap Nomor 10 Tahun 2025 itu sudah melalui konsultasi dengan DPR dan dilaporkan ke Presiden. Jadi sangat keliru jika disebut sebagai bentuk perlawanan Kapolri terhadap Presiden Prabowo,” ujar Amir dalam keterangannya, Sabtu (13/12/2025).

    Amir menilai Perkap tersebut tidak melanggar konstitusi atau menabrak putusan MK. Ia menganggap tuduhan-tuduhan tersebut lebih banyak didorong oleh narasi politis ketimbang analisis hukum yang utuh.

    “Putusan MK mengatur prinsip-prinsip dasar profesionalisme dan netralitas Polri. Perkap ini justru hadir sebagai instrumen teknis internal untuk memastikan penugasan anggota Polri tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan negara,” imbuhnya.

    Ia menambahkan, dalam praktik ketatanegaraan modern, regulasi internal lembaga penegak hukum merupakan hal yang lazim, selama tidak mengubah norma undang-undang dan tidak menabrak prinsip konstitusional. Amir menyebut framing yang menyebut Perkap ini sebagai ‘pembangkangan Kapolri’ terhadap Presiden Prabowo merupakan narasi yang dipaksakan dan berpotensi menyesatkan publik.

    Ia menilai isu ini sengaja digulirkan untuk menciptakan kesan adanya retak hubungan antara Presiden dan Kapolri, sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Polemik Perkap Nomor 10 Tahun 2025 sejatinya mencerminkan kontestasi tafsir hukum dan politik yang lebih luas.

    Di satu sisi, ada kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya dwifungsi aparat keamanan. Di sisi lain, negara membutuhkan fleksibilitas administratif untuk mengelola sumber daya aparat secara efektif.

    Dalam konteks ini, Perkap menjadi titik temu sekaligus titik benturan. Kritik yang muncul sebagian berangkat dari trauma sejarah dan kehati-hatian terhadap kekuasaan aparat.

    Namun, tanpa membaca secara utuh substansi dan mekanisme pengawasannya, kritik tersebut berisiko berubah menjadi opini normatif yang tidak berbasis fakta hukum. Amir mengingatkan publik agar tidak terjebak pada narasi emosional dan politis semata.

    Ia mendorong diskursus publik tetap berpijak pada data, mekanisme konstitusional, dan prinsip checks and balances. “Kritik itu penting dalam demokrasi, tapi kritik harus adil dan berbasis fakta. Jangan sampai kita merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara hanya karena salah membaca konteks,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Kapolri meneken Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan peraturan tersebut mengatur mekanisme pengalihan jabatan anggota Polri aktif dari organisasi dan tata kerja Polri ke jabatan organisasi dan tata kerja kementerian/lembaga.

    Dia menyebut pengalihan jabatan anggota Polri tersebut telah dilandasi berdasarkan beberapa regulasi. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

    “Terdapat regulasi pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat setelah amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” kata Trunoyudo kepada wartawan, Sabtu (13/12/2025).

    Berdasarkan regulasi tersebut, jelas Trunoyudo, Polri mengatur mekanisme pengalihan jabatan melalui penerbitan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025.

    Terdapat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota Polri. Diantaranya Kemenko Polkam, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum, Kementerian Imipas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian P2MI, dan Kementerian ATR/BPN.

    Selanjutnya, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber Sandi Negara (BSSN), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Terkait itu, untuk menghindari adanya rangkap jabatan, Trunoyudo memastikan bahwa Kapolri memutasikan anggota Polri yang terpilih, menjadi perwira tinggi (pati)/perwira menengah (pamen) dalam rangka penugasan pada kementerian/lembaga.

    (isa/dhn)