Kementrian Lembaga: BNN

  • Penguatan Rehabilitasi, BNN dan DPD Sepakati P4GN

    Penguatan Rehabilitasi, BNN dan DPD Sepakati P4GN

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) berencana untuk memberantas narkoba dan memperkuat layanan rehabilitasi.

    Hal tersebut dibahas dalam Rapat Kerja. Adapun rapat tersebut bertujuan untuk menginventarisasi materi pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya terkait rehabilitasi medis dan sosial, serta menjalin kolaborasi program kerja kedua lembaga.

    Kepala BNN RI, Suyudi Ario Seto memaparkan kondisi terkini penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Pada tahun 2023, angka prevalensi tercatat sebesar 1,73% atau setara dengan 3,33 juta penyalahguna, di mana 2,71 juta di antaranya berasal dari kelompok usia produktif (15–49 tahun).

    “Pada kesempatan tersebut, BNN turut memaparkan peran strategisnya dalam mendukung visi ‘Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045’ melalui Asta Cita ke-7, yang menitikberatkan pada penguatan reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba,” dikutip dari siaran pers, Rabu (10/9/2025).

    Hal ini selaras dengan Program Prioritas ke-6 pemerintah yang juga menekankan pentingnya pencegahan dan pemberantasan narkoba.

    Rapat kerja ini menghasilkan beberapa kesimpulan dan kesepakatan penting, antara lain:

    • Dukungan Anggaran: Komite III DPD RI berkomitmen untuk mendukung peningkatan anggaran BNN dalam mewujudkan Asta Cita ke-7 dan program prioritas pemerintah.

    • ⁠Pembiayaan Rehabilitasi: Komite III DPD RI akan mendorong kebijakan agar BPJS Kesehatan menanggung biaya layanan rehabilitasi bagi pasien korban narkoba.

    • ⁠Regulasi dan Pengawasan: Komite III DPD RI mendukung penetapan regulasi untuk keseragaman pola tarif layanan rehabilitasi dan akan mendorong pemerintah daerah untuk mengawasi standar penyelenggaraan layanan rehabilitasi.

    • ⁠Penambahan Tenaga Ahli: Komite III DPD RI mengusulkan kepada pemerintah untuk menambah jumlah konselor BNN dan petugas layanan rehabilitasi di seluruh provinsi.

    • ⁠Perbedaan Perlakuan: BNN melalui Balai Besar Rehabilitasi BNN didukung untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara pasien korban narkoba dengan pelaku/pengedar yang berproses hukum.

    • ⁠Kolaborasi Program: Kedua lembaga sepakat untuk menguatkan kolaborasi dalam advokasi, edukasi, dan pencegahan penyalahgunaan narkoba di daerah. Hal ini juga mencakup usulan agar kurikulum khusus tentang narkoba ditambahkan di sekolah.

    Adapun rapat kerja ini bisa menjadi langkah awal yang kuat dalam sinergi antara BNN dan DPD RI untuk mengatasi permasalahan narkoba dan memperkuat ketahanan masyarakat.

  • Wanita Ukraina Nekat Selundupkan 1,9 Kg Narkoba Jenis 4-CMC ke Bali

    Wanita Ukraina Nekat Selundupkan 1,9 Kg Narkoba Jenis 4-CMC ke Bali

     

    Liputan6.com, Bali – Seorang wanita Warga Negara Ukraina bernama Kateryna Vakarova (21), nekat menyelundupkan narkoba jenis 4-Chloromethcathinone (4-CMC) seberat 1,9 kilogram masuk ke Bali. Beruntung, aksi penyelundupan narkoba itu berhasil dibongkar BNN Bali.

    Penyidik Ahli Madya Bidang Pemberantasan BNNP Bali Komisaris Besar Polisi Tri Kuncoro, Selasa (10/9/2025) mengatakan, narkotika tersebut berupa narkotika Golongan I jenis 4-CMC dengan berat netto 1.991,25 gram dibawanya dari Polandia ke Bali. Narkotika tersebut baru pertama kali diungkap di Bali.

    “Dia ini sebagai kurir. Barangnya (narkoba) ada padanya, tetapi dia tidak mengaku barang itu miliknya,” kata Kuncoro didampingi Kepala BNNP Bali Brigjen Pol. Rudy Ahmad Sudrajat.

    Tri menjelaskan KV ditangkap pada Minggu 3 Agustus 2025 sekitar pukul 01.00 Wita di Terminal Kedatangan Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali.

    Kasus tersebut terungkap saat petugas Bea dan Cukai Bandara Ngurah Rai mencurigai KV yang akan melewati pemeriksaan petugas saat tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali.

    Saat dilakukan prosedur pemeriksaan menggunakan mesin X-Ray, petugas mencurigai barang bawaan KV. Dari hasil pemeriksaan tersebut ditemukan barang bukti diduga narkotika dalam kopernya.

    Setelah dilakukan uji laboratorium, narkotika tersebut masuk Golongan I jenis 4-CMC dengan berat netto 1.991,25 gram. Menurut Tri, dalam menyelundupkan narkoba tersebut, KV menyimpannya dalam koper yang dibawanya.

    Rencananya, narkoba tersebut diedarkan di Bali untuk komunitas WNA yang terbatas mengingat harga CMC terhitung mahal.

     

  • Indonesia-Selandia Baru siap tingkatkan kerja sama berantas narkotika

    Indonesia-Selandia Baru siap tingkatkan kerja sama berantas narkotika

    “Saya berharap kerja sama antara BNN RI dan pemerintah Selandia Baru ke depan dapat semakin meningkat, khususnya dalam bidang pemberantasan narkotika, baik berupa pelatihan maupun pertukaran informasi,”

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Selandia Baru siap meningkatkan kerja sama dalam pemberantasan narkotika, dalam pertemuan di Jakarta, Senin (8/9).

    Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Inspektur Jenderal Polisi Suyudi Ario Seto mengungkapkan BNN RI dan pemerintah Selandia Baru sebelumnya pernah memiliki beberapa program kerja sama, di antaranya pertukaran polisi wanita pada tahun 2007 dan pelatihan anggota BNN di New Zealand Police Dog Training School pada tahun 2017.

    “Saya berharap kerja sama antara BNN RI dan pemerintah Selandia Baru ke depan dapat semakin meningkat, khususnya dalam bidang pemberantasan narkotika, baik berupa pelatihan maupun pertukaran informasi,” ungkap Irjen Pol. Suyudi, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

    Oleh karena itu dengan adanya kunjungan Duta Besar (Dubes) Selandia Baru Phillip Taula ke Kantor BNN RI, Suyudi berharap kerja sama yang baik dengan pemerintah Selandia Baru dapat terus terjalin dan terealisasi dalam berbagai program nyata.

    Dikatakan bahwa hal tersebut mengingat BNN RI sangat memerlukan pelatihan dalam memperdalam investigasi, mata uang kripto (cryptocurrency), maupun web gelap (dark web).

    Dia pun turut berharap dengan adanya audiensi tersebut hubungan baik BNN RI dengan pemerintah Selandia Baru yang telah lama terjalin semakin erat.

    Sementara itu, Dubes Selandia Baru Phillip Taula yang baru saja dilantik pada Februari 2025, pada kesempatan tersebut menyampaikan ucapan selamat kepada Suyudi atas pelantikannya sebagai Kepala BNN RI.

    “Saya ingin mengenal BNN lebih dekat dan meningkatkan kerja sama khususnya dalam bidang penanganan narkotika,” ujar Philip.

    Dalam kunjungan kerja itu, Dubes Selandia Baru didampingi oleh Atase Kepolisian Selandia Baru Paul Borrell serta Penasihat Kepolisian, Politik, dan Keamanan Kedubes Selandia Baru Awan Poesoro, diterima secara langsung oleh Kepala BNN RI

    Adapun Kepala BNN RI didampingi Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN RI Agus Irianto, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Pemberantasan BNN RI Budi Wibowo, dan Direktur Interdiksi BNN RI Tery Zakiar Muslim.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Diungkap Wamenkum, Jokowi Minta Polisi Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil

    Diungkap Wamenkum, Jokowi Minta Polisi Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil

    GELORA.CO – Terungkap Presiden ke-7 RI, Joko Widodo alias Jokowi pernah meminta agar anggota polisi aktif dapat menduduki jabatan sipil. 

    Hal ini disampaikan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam sidang gugatan UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 dengan nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025 yang disidangkan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin 8 September 2025. 

    Awalnya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menanyakan terkait alasan polisi menduduki jabatan sipil yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kepolisian. 

    “Kalau jabatan di luar kepolisian ada kaitannya kan, masih reasoning (beralasan). Tapi, kalau tidak? Nah, ini bagaimana ini?” kata Guntur. 

    Guntur merujuk pada penjelasan Eddy sebelumnya, yang menyebut bahwa anggota polisi aktif tetap bisa ditugaskan di jabatan sipil sepanjang penugasan tersebut dilakukan oleh Kapolri. 

    “Nah, itu juga menjadi apa (tidak jelas), setidaknya perlu ada lebih penjelasan lagi menyangkut (diperbolehkannya menduduki jabatan sipil) itu,” kata Guntur. 

    Eddy kemudian menjawab bahwa ada beberapa polisi aktif yang menduduki jabatan sipil tidak dilandaskan oleh penugasan Kapolri. 

    Karena ada beberapa instansi yang meminta secara langsung dengan syarat memenuhi profesionalisme, sehingga ada anggota polisi aktif yang menjadi direktur jenderal atau sekretaris jenderal dalam sebuah kementerian dan lembaga. 

    “Saya ingat persis, Yang Mulia, ketika poin ini dibahas dalam ratas di Istana, waktu itu Presiden (ke-7 RI) Joko Widodo meminta untuk ada resiprokal (timbal balik),” kata Eddy. 

    Atas dasar itu juga, kata Eddy, ketentuan Pasal 20 Undang-Undang ASN yang baru memungkinkan aparatur sipil negara menduduki jabatan di kepolisian. 

    “Nah, itu mengapa sampai ada prinsip resiprokal dalam undang-undang yang terbaru, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 dan itu ditulis secara ekspresif verbis dalam Pasal 20,” kata Eddy.

    Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin yang menggugat Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). 

    Alasan mereka menggugat adalah karena saat ini banyak anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT. 

    Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. 

    Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik. 

    Pemohon juga menilai, norma pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat.

  • RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 September 2025

    RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang? Nasional 8 September 2025

    RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?
    Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

    PECUNIA non olet
    ”, demikian postulat yang artinya uang itu tidak ada baunya (
    the money doesn’t smell
    “).
    Postulat itu berasal dari perkataan Kaisar Romawi Vespansianus saat menanggapi kritik dari anaknya atas pengenaan pajak urine di toilet-toilet umum Romawi pada masa itu.
    Vespansianus menunjukkan koin hasil pungutan pajak itu kepada anaknya sambil mengatakan bahwa sekalipun uang itu berasal dari pungutan pajak urine, uang itu tidak bau.
    Kemudian ungkapan tersebut terkenal dan sering dikaitkan dengan uang-uang hasil kejahatan yang tidak menebarkan bau kejahatan, karena selalu disimpan dan disembunyikan.
    Salah satu dari 17 tuntutan yang terangkum dalam ”17+8, Tuntutan Rakyat” adalah “sahkan dan tegakkan UU perampasan aset koruptor”.
    Tuntutan ini tentu tidak keliru, tapi tidak sepenuhnya tepat, karena RUU Perampasan Aset bukan hanya dimaksudkan untuk tindak pidana korupsi saja, melainkan untuk merespons tindak pidana bermotif ekonomi (
    economic crimes
    ) yang umumnya bersifat
    transnational organized crime.
    Dalam
    economic crimes
    , penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan memang bukan lagi merupakan primadona.
    Pasalnya, memutus rantai aset sebagai “aliran darah” untuk kejahatan, dianggap sebagai langkah yang lebih efektif, baik terhadap aset yang berbentuk benda bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, tidak berwujud sepanjang mempunyai nilai ekonomis.
    Paling tidak, anggapan ini menjadi hipotesis realita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana substitusi dari pembayaran uang pengganti dengan penjara yang tidak melebihi ancaman hukuman maksimal pidana pokoknya dapat dituding sebagai “peluang” bagi koruptor untuk memilih opsi tersebut ketimbang harus membayarnya.
    Cuplikan pandangan dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di media sosial yang menyatakan bahwa akar masalah di Indonesia adalah korupsi sehingga Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset atau menerbitkan Peraturan Pemerintah dari UU No 7/2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC, 2003) nyatanya tidak semudah itu untuk diwujudkan.
    Berdasarkan konstitusi, meskipun Perppu bisa serta-merta berlaku ketika ditetapkan oleh presiden, tapi suatu Perppu haruslah mendapatkan persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya.
    Sedangkan untuk usulan PP dari UU No 7/2006 secara hukum bukan merupakan
    self executing treaty
    , sehingga karena materi muatanya adalah hukum acara yang erat dengan hak asasi manuia, maka pelaksanaannya harus dengan peraturan setingkat UU.
    Namun, persoalan sebenarnya juga bukan terletak pada formalitas pengaturannya di Perppu, UU, atau di PP, melainkan pada pergeseran dari paradigma pemidanaan.
    Saat ini, paradigma lama yang masih digunakan adalah “in personam”, yang fokusnya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Misalnya, korupsi dengan “hukuman” pidana yang seberat-beratnya, bahkan kalau perlu sampai pidana mati (Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor).
    Sedangkan dalam RUU Perampasan Aset, paradigma barunya adalah “in rem”, yang fokusnya pada pemulihan asset (
    upon the thing
    ), yaitu melalui rezim penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dengan permohonan kuasi perdata (
    Civil Forfeiture
    ).
    Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) jenis aset yang dapat dirampas melalui mekanisme ini.
    Pertama, segala aset yang diduga merupakan hasil pidana dan aset lain yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta kekayaan lain.
    Kedua, aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
    Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti. Keempat, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana sejak berlakunya RUU tersebut.
    Adapun pertimbangan dilakukannya perampasan aset secara “in rem” adalah:
    Dalam draft RUU Perampasan Aset yang beredar, prosesnya dimulai dari penelusuran untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul, keberadaan, dan kepemilikan aset tindak pidana yang dapat dilakukan oleh penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, BNN dan Penyidik PNS.
    Selanjutnya, dilakukan pemblokiran dan penyitaan, yaitu serangkaian tindakan pembekuan sementara aset yang diduga merupakan aset tindak pidana yang kemudian diikuti tindakan untuk mengambil alih sementara penguasaan atas aset yang diduga merupakan aset tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.
    Sesudah pemberkasan aset selesai dilakukan, maka penyidik atau penuntut umum akan menyerahkan hasil pemberkasan itu kepada jaksa pengacara negara pada kejaksaan negeri setempat untuk diajukan permohonannya ke pengadilan.
    Setelah permohonan diajukan ke pengadilan negeri, majelis hakim yang ditunjuk akan memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan perampasan aset sehingga membuka kemungkinan adanya keberatan atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan haknya atas permohonan perampasan aset bahwa itu bukan merupakan aset tindak pidana.
    Sebagai mekanisme kuasi perdata, putusan majelis hakim akan menyatakan permohonan perampasan aset diterima jika jaksa pengacara negara dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membuktikan bahwa aset yang dimintakan untuk dirampas itu merupakan aset tindak pidana.
    Sebaliknya, jika pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan dapat membuktikan bahwa aset yang diblokir, disita, dan/atau aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan miliknya yang sah dan/atau bukan merupakan aset tindak pidana, maka putusan majelis hakim menyatakan bahwa permohonan perampasan aset yang diajukan jaksa pengacara negara ditolak.
    Mencermati RUU Perampasan Aset yang dirancang ibarat sapu jagat, maka harapannya Pemerintah dan DPR bukan hanya fokus pada pengesahan kilat dari RUU Perampasan Aset sebagai suatu substansi hukum (
    legal substance
    ).
    DPR dan pemerintah perlu mendorong perbaikan dari sisi profesionalisme dan integritas dari aparat penegak hukum (
    legal structure
    ).
    Selain partisipasi yang bermakna (
    meaningful participation
    ), harus dipastikan bahwa RUU Perampasan Aset ini tidak jadi bumerang, dijadikan instrumen
    political engineering
    yang hanya melayani kepentingan kekuasaan.
    Pengesahan RUU tersebut harus berfungsi sebagai rekayasa keadilan sosial (
    social justice engineering
    ), yakni memulihkan kembali aset hasil tindak pidana sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
    Tantangan dari penerapan RUU Perampasan Aset ini bukanlah semata-mata untuk menjustifikasi tindakan sewenang-wenang dari Negara terhadap warga negaranya, dan harus dapat diuji objektifitasnya di pengadilan oleh pihak ketiga yang beriktikad baik, sebagaimana postulat “ex turpi causa non oritur actio”, yang artinya penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum jika hal itu berkaitan dengan perbuatan gelapnya sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bupati Subandi dan Wabup Mimik Idayana Ajak Ojol Jaga Sidoarjo

    Bupati Subandi dan Wabup Mimik Idayana Ajak Ojol Jaga Sidoarjo

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Ribuan ojek online (ojol) dari berbagai wilayah di Kabupaten Sidoarjo memadati area parkir timur Gelora Delta Sidoarjo, Jumat (5/9/2025). Mereka berkumpul untuk mengikuti doa bersama bagi almarhum Affan Kurniawan yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo.

    Acara diawali dengan salat gaib yang dipimpin oleh Pengasuh Ponpes Al Basuni Siwalanpanji Buduran, Gus Hasan Jamil Kholil. Usai salat, para ojol juga menerima bantuan berupa 5 kilogram beras serta kartu BPJS Kesehatan dari Pemkab Sidoarjo.

    Kegiatan ini turut dihadiri jajaran Forkopimda Sidoarjo, di antaranya Bupati Sidoarjo H. Subandi, Wakil Bupati Hj. Mimik Idayana, serta Ketua DPRD H. Abdillah Nasih. Hadir pula Sekda Fenny Apridawati, Kapolresta Kombes Pol Christian Tobing, Dandim 0816 Letkol Inf. Dedyk Wahyu Widodo, dan Ketua BNN Sidoarjo Kombes Pol Gatot Soegeng Soesanto.

    Dalam sambutannya, Bupati Subandi menyampaikan doa agar almarhum Affan Kurniawan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Ia juga mengajak para ojol untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban di Sidoarjo.

    “Sidoarjo adalah rumah kita, tempat tinggal kita. Oleh karenanya mari kita jaga bersama agar tetap aman dan nyaman. Menjaga Sidoarjo bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tugas kita semua,” tegas Bupati Subandi.

    Bupati menekankan bahwa kekompakan masyarakat, termasuk para ojol, sangat penting untuk mencegah tindakan anarkis dan menjaga ketentraman bersama. Saat ditanya kesanggupan menjaga Sidoarjo, ribuan ojol serempak menjawab “sanggup”. [isa/but]

     

     

  • Banyak Ular Berkepala Dua di Lingkaran Kekuasaan Prabowo

    Banyak Ular Berkepala Dua di Lingkaran Kekuasaan Prabowo

    GELORA.CO – Analis Politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, menyebut banyak ular berkepala dua di lingkaran kekuasaan Presiden Prabowo Subianto.

    “Prabowo harus diingatkan bahwa banyak ‘ular berkepala dua’ di lingkaran kekuasaan,” kata Selamat dalam sinear Forum Keadilan Tv pada Kamis, 4 September 2025.  

    Ia menyebut demikian menanggapi siapa dalang di balik aksi demonstrasi pada 25 Agustus 2025 kemarin.

    Selamat menyebut banyak pihak yang diduga berkepentingan atas aksi demonstrasi yang berujung ricuh (chaos) tersebut.

    Ia mengatakan, mutasi para perwira tinggi di tubuh Polri tidak menutup kemungkinan juga menjadi bibit konflik sehingga aksi demonstrasi tak terkendali.

    “Oh sangat [menimbulkan bibit konflik] menurut saya,” ucapnya.

    Ia mencontohkan, pengangkatan kembali Eddy Hartono selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 

    “Sudah pensiun dilantik lagi, belum pernah terjadi,” katanya.

    Kemudian Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang pergantiannya dinilai kurang lembut (smooth) sehingga dapat menimbukan konflik.

    Menurutnya, Komjen Pol Marthinus Hukom sedang dalam perjalanan mau ke luar negeri, tiba-tiba diganti.

    “Ini ada situasi-situasi yang tidak normal, sampai muncul konflik antara Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan Karyoto, Kapolda Metro Jaya yang dipromosikan, ternyata bukan menjadi Kabareskrim tapi Kabaharkam,” ujarnya.

    Ia menegaskan, ini bukan hanya soal ulah Komandan Batalyon (Danyon) Resimen IV Korps Brimob (Korbrimob), Kompol Cosmas Kaju Gae, yang harus dipecat karena kendaraan taktis (rantis) yang dinaikinya menewaskan driver ojol, Affan Kurniawan.

    “Harus diperiksa Kabaintelkam, Kaharkam Polri. Dia gagal mendeteksi itu. Mendeteksi bahwa demo 25 akan pecah di 28, 29, 30. Siapa atasan Kabaintel, Kabaharkam segala macam? Ya sudah Kapolri,” katanya.

    Lebih lanjut Selamat menyebut partai poltik yang menjadi anggota koalisi pemerintahan Prabowo. Menurutnya, mereka juga bisa saja menjadi musuh dalam selimut.

    “Mana dukungan 58 persen pada Pilpres kemarin? Mana Golkar? Mana Demokrat? Mana partai-partai yang lain mendukung Prabowo itu? Demo dong, berikan dukungan,” ujarnya.

    Ia menyebut bahwa dukungan partai-partai koalisi di parlemen kepada Prabowo juga sumir.

    Kemudian juga soal Kejaksaan Agung (Kejagung) yang belum jua mengeksekusi loyalis Jokowi, Silfester Matutina ke dalam penjara, meski lembaga ini sudah di-backup TNI.

    “Ini Kejaksaan antek-antek siapa?” ucapnya.***

  • Bentuk Tim Pencari Fakta Independen

    Bentuk Tim Pencari Fakta Independen

    GELORA.CO – Harus dibentuk tim pencari fakta gabungan Independen untuk mengungkap kecurigaan apakah Polri juga ikut menunggangi aski demonstrasi akhir Agustus kemarin.

    “Herus dibentuk tim pencari fakta gabungan Independen,” kata Selamat Ginting, Analis Politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, dalam sinear Forum Keadilan Tv pada Kamis, 4 September 2025.

    Ia medalilkan demikian karena mutasi para perwira tinggi di tubuh Polri tidak menutup kemungkinan juga menjadi bibit konflik sehingga aksi demonstrasi tak terkendali.

    “Oh sangat [menimbulkan bibit konflik] menurut saya,” ucapnya.

    Ia mencontohkan, pengangkatan kembali Eddy Hartono selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

    “Sudah pensiun dilantik lagi, belum pernah terjadi,” katanya.

    Kemudian Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang pergantiannya dinilai kurang lembut (smooth) sehingga dapat menimbukan konflik.

    Menurutnya, Komjen Pol Marthinus Hukom sedang dalam perjalanan mau ke luar negeri, tiba-tiba diganti.

    “Ini ada situasi-situasi yang tidak normal, sampai muncul konflik antara Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan Karyoto, Kapolda Metro Jaya yang dipromosikan, ternyata bukan menjadi Kabareskrim tapi Kabaharkam,” ujarnya.

    Ia menegaskan, ini bukan hanya soal ulah Komandan Batalyon (Danyon) Resimen IV Korps Brimob (Korbrimob), Kompol Cosmas Kaju Gae, yang harus dipecat karena kendaraan taktis (rantis) yang dinaikinya menewaskan driver ojol, Affan Kurniawan.

    Peristiwa nahas tersebut kian menyulut amarah massa dan rakyat sehingga aksi demonstrasi kian meluas dan melibatkan entitas baru, yakni kalangan ojol.

    “Harus diperiksa Kabaintelkam, Kaharkam Polri. Dia gagal mendeteksi itu. Mendeteksi bahwa demo 25 akan pecah di 28, 29, 30. Siapa atasan Kabaintel, Kabaharkam segala macam? Ya sudah Kapolri,” katanya.***

  • Fachri Albar Divonis 6 Bulan Rehabilitasi Atas Kasus Penyalahgunaan Narkoba

    Fachri Albar Divonis 6 Bulan Rehabilitasi Atas Kasus Penyalahgunaan Narkoba

    JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat akhirnya memberikan vonis 6 bulan rehabilitasi terhadap aktor Fachri Albar atas kasus dugaan penyalahgunaan narkoba.

    Setelah hakim ketua menyatakan kalau pemain film Pengabdi Setan ini bersalah, Fachri diminta menjalani rehabilitasi di Balai Besar Rehabilitasi di Lido, Sukabumi.

    “Mengadili, menyatakan terdakwa Fachri Albar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkoba golongan I,” ujar hakim Iwan Anggoro Warsita di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu, 3 September.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Fachri Albar dengan pidana rehabilitasi selama 6 bulan di Balai Besar Rehabilitasi BNN di Lido,” sambungnya.

    Dalam kesempatan ini, majelis hakim juga menuturkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan mantan suami Renata Kusmanto ini.

    Salah satu faktor yang memberatkan ialah ini bukan menjadi kali pertama Fachri Albar terjerat kasus dugaan penyalahgunaan narkoba.

    Kemudian faktor meringankan adalah Fachri mengakui perbuatannya serta dia adalah tulang punggung keluarga.

    Sebagai informasi, Fachri Albar ditangkap terkait kasus dugaan penyalahgunaan narkoba di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan pada bulan April lalu. Fachri dikabarkan sedang sendirian dan dalam keadaan sadar saat penangkapan terjadi.

    Sebelumnya ia sudah dua kali tersandung kasus serupa, yaitu pada 2007 dan 2018. Atas perbuatannya tersebut, Fachri Albar dijerat dengan UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111 Ayat 1, dengan ancaman hukaman paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 8 miliar.

    Fachri juga dikenakan Pasal 112 ayat (1) dengan anacaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, serta UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 62 dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling lama Rp 100 juta.

  • Fachri Albar Divonis 6 Bulan Rehabilitasi Atas Kasus Penyalahgunaan Narkoba

    Fachri Albar Divonis 6 Bulan Rehabilitasi Atas Kasus Penyalahgunaan Narkoba

    JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat akhirnya memberikan vonis 6 bulan rehabilitasi terhadap aktor Fachri Albar atas kasus dugaan penyalahgunaan narkoba.

    Setelah hakim ketua menyatakan kalau pemain film Pengabdi Setan ini bersalah, Fachri diminta menjalani rehabilitasi di Balai Besar Rehabilitasi di Lido, Sukabumi.

    “Mengadili, menyatakan terdakwa Fachri Albar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkoba golongan I,” ujar hakim Iwan Anggoro Warsita di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu, 3 September.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Fachri Albar dengan pidana rehabilitasi selama 6 bulan di Balai Besar Rehabilitasi BNN di Lido,” sambungnya.

    Dalam kesempatan ini, majelis hakim juga menuturkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan mantan suami Renata Kusmanto ini.

    Salah satu faktor yang memberatkan ialah ini bukan menjadi kali pertama Fachri Albar terjerat kasus dugaan penyalahgunaan narkoba.

    Kemudian faktor meringankan adalah Fachri mengakui perbuatannya serta dia adalah tulang punggung keluarga.

    Sebagai informasi, Fachri Albar ditangkap terkait kasus dugaan penyalahgunaan narkoba di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan pada bulan April lalu. Fachri dikabarkan sedang sendirian dan dalam keadaan sadar saat penangkapan terjadi.

    Sebelumnya ia sudah dua kali tersandung kasus serupa, yaitu pada 2007 dan 2018. Atas perbuatannya tersebut, Fachri Albar dijerat dengan UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111 Ayat 1, dengan ancaman hukaman paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 8 miliar.

    Fachri juga dikenakan Pasal 112 ayat (1) dengan anacaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, serta UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 62 dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling lama Rp 100 juta.