Kementrian Lembaga: BKKBN

  • Muncul Fenomena ‘Childfree’ di RI, BKKBN Singgung soal Pemicunya

    Muncul Fenomena ‘Childfree’ di RI, BKKBN Singgung soal Pemicunya

    Jakarta

    Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN) Dr Bonivasius Prasetya Ichtiarto, S Si, M Eng, mengatakan ada sejumlah alasan yang membuat pasangan di Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak atau menjalani hidup childfree.

    Menurutnya, permasalahan seperti kesehatan hingga trauma masa lalu juga bisa memicu pasangan enggan untuk memiliki anak.

    “Penyebabnya apa? Banyak sekali, misalkan kesehatan, ada problem di perempuannya. Ada juga penyebabnya, mohon maaf, trauma. Karena trauma keluarganya,” ujar Boni saat ditemui di agenda Press Briefing State of World Population (SWP) 2025, di Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).

    Boni mengatakan, seseorang yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga memilih untuk tak memiliki anak.

    Keputusan tersebut, lanjutnya, sebagai upaya menghindari trauma atau siklus kekerasan berulang pada generasi berikutnya.

    “KDRT misalkan. Itu terjadi juga, dia nggak mau anaknya mengalami hal serupa. Menikah pun nggak mau karena takut anaknya jadi korban seperti itu,” lanjutnya lagi.

    Di sisi lain, Kemendukbangga mencatat angka childfree di Indonesia masih sangat kecil, hanya di bawah 0,01 persen. Fenomena ini umumnya terjadi di daerah perkotaan.

    Meskipun tergolong kecil, Boni menyebut hal ini tetap harus dikendalikan agar tidak berdampak terhadap turunnya angka fertilitas nasional.

    Adapun angka pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 1,1 persen, dengan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) 2,11 persen. Menurut Boni, angka tersebut sudah ideal, namun pemerintah tetap harus memastikan angka kelahiran di tiap daerah merata.

    “Kebanyakan di perkotaan memang. Tapi saya katakan masih kecil. Ini terpengaruh oleh media sosial. Jadi (semacam) tren,” kata Boni.

    (suc/kna)

  • Muncul Fenomena “Childfree”, BKKBN: Penyebabnya Trauma dan KDRT

    Muncul Fenomena “Childfree”, BKKBN: Penyebabnya Trauma dan KDRT

    Muncul Fenomena “Childfree”, BKKBN: Penyebabnya Trauma dan KDRT
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan Kemendukbangga/
    BKKBN
    Bonivasius Prasetya Ichtiarto mengatakan, alasan pasangan memilih
    tidak memiliki anak
    atau
    childfree
    disebabkan oleh banyak hal.
    Boni menyebutkan, sebagian besar permasalahan pasangan yang enggan memiliki anak adalah karena
    trauma masa lalu
    .
    “Penyebabnya apa? Banyak sekali, misalkan kesehatan, ada problem di perempuannya. Ada juga penyebabnya, mohon maaf, trauma. Karena trauma keluarganya,” ujar Boni, usai agenda Press Briefing State of World Population (SWP) 2025, di Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).
    Boni mengatakan, seseorang yang pernah mengalami
    KDRT
    di masa lalu juga memilih untuk tidak memiliki anak.
    Keputusan tersebut merupakan upaya untuk menghindari trauma atau siklus kekerasan terulang pada generasi berikutnya.
    “KDRT misalkan. Itu terjadi juga, dia enggak mau anaknya mengalami hal serupa. Menikah pun enggak mau karena takut anaknya jadi korban seperti itu,” ungkap dia.
    BKKBN mencatat, angka fenomena
    childfree
    di Indonesia masih terbilang kecil, hanya kurang dari 0,01 persen.
    Namun, kata Boni, hal ini tetap harus dikendalikan agar tidak berdampak terhadap turunnya angka fertilitas nasional.
    “Kita memang harus tetap hati-hati. Kalau itu terus digaung-gaungkan, ya akan menuju ke sana,” ujar dia.
    Boni menuturkan, angka pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 1,1 persen, dengan
    angka kelahiran
    total atau
    total fertility rate
    (TFR) ada di angka 2,11 persen.
    Menurut dia, angka tersebut sudah ideal, tetapi pemerintah tetap harus memastikan angka kelahiran di tiap daerah merata.
    Adapun pada 2023 lalu, Badan Pusat Statistik merilis laporan yang bertajuk ‘Menyusuri Jejak Childfree di Indonesia’.
    Data tersebut menunjukkan bahwa 8 persen atau setara dengan 71.000 perempuan Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak atau
    childfree
    .
    Mayoritas perempuan yang memilih untuk
    childfree
    berasal dari Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Muncul Fenomena “Childfree”, BKKBN: Penyebabnya Trauma dan KDRT

    BKKBN Sebut Pasangan Pilih “Childfree” karena Alasan Ekonomi, Bukan Tak Ingin Punya Anak

    BKKBN Sebut Pasangan Pilih “Childfree” karena Alasan Ekonomi, Bukan Tak Ingin Punya Anak
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     
    Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
    /
    BKKBN
    mengungkapkan bahwa maraknya fenomena
    childfree
    atau keluarga yang tidak memiliki anak tidak serta merta disebabkan keengganan untuk mempunyai anak.
    Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan BKKBN
    Bonivasius Prasetya Ichtiarto
    mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan generasi muda memilih 
    childfree
     adalah masalah ekonomi, bukan karena tidak ingin punya anak.
    “Bukan tidak ingin punya anak, tapi menunda karena masalahnya di ekonomi,” ujar Boni dalam agenda Press Briefing State of World Population (SWP) 2025, di Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).
    BKKBN mencatat, angka fenomena
    childfree
    di Indonesia masih terbilang kecil, hanya kurang dari 0,01 persen.
    Namun, kata Boni, hal ini tetap harus dikendalikan agar tidak berdampak terhadap turunnya angka fertilitas nasional.
    “Ternyata memang
    childfree
    itu ada, tapi fenomena kecil sekali. Kita memang harus tetap hati-hati. Kalau itu terus digaung-gaungkan, ya akan menuju ke sana,” ujar dia.
    Boni menjelaskan, angka pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 1,1 persen, dengan angka kelahiran total atau
    total fertility rate
    (TFR) ada di angka 2,11 persen.
    Menurut dia, angka tersebut sudah ideal, tetapi pemerintah tetap harus memastikan angka kelahiran di tiap daerah merata.
    “Jangan sampai tadi ya ada yang krisis fertilitas (angka kelahiran kecil), tapi ada yang masih kita bergulat dengan (daerah) penduduk yang tidak terkendali (angka kelahiran tinggi),” kata Boni.
    Oleh karena itu, fenomena
    childfree
    tetap harus diawasi meskipun angkanya masih kecil.
    “Tetap harus kita awasi juga. Jangan sampai itu menjadi membesar. Membesar-membesar akhirnya juga menghancam kita juga,” ujar dia.
    Pada 2023 lalu, Badan Pusat Statistik merilis laporan yang bertajuk ‘Menyusuri Jejak
    Childfree
    di Indonesia’
    Data tersebut menunjukkan, bahwa 8 persen atau setara dengan 71.000 perempuan Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak atau
    childfree
    .
    Mayoritas perempuan yang memilih untuk
    childfree
    berasal dari di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MBG Tetap Jalan saat Libur Sekolah, BGN Beberkan Mekanisme Pembagiannya

    MBG Tetap Jalan saat Libur Sekolah, BGN Beberkan Mekanisme Pembagiannya

    Jakarta

    Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan program makan bergizi gratis (MBG) tetap berjalan meski sekolah libur. Terkait mekanisme pembagiannya, akan disesuaikan dengan sekolah masing-masing.

    “Kadang-kadang anak sekolah itu datang dari jauh ke sekolah, kadang-kadang juga mereka liburan, jadi pembagian (MBG) ke sekolah hanya untuk sekolah-sekolah yang muridnya bersedia datang ke sekolah,” kata Dadan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (1/7/2025).

    “Sementara (MBG) untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita, kami kirimkan ke Posyandu atau ke rumah masing-masing. Oleh sebab itu, kami berkolaborasi dengan kader-kader Kemendukbangga/BKKBN untuk mendistribusikan ke posyandu dan rumah masing-masing,” sambungnya.

    Dadan menambahkan, kader-kader Kementerian Kependudukan dan Pengembangan Keluarga (Kemendukbangga) yang ikut membantu menyukseskan program MBG akan ditambahkan terkait honor.

    “Alhamdulillah kami sudah masukkan dalam pedoman kami bahwa kader-kader Kemendukbangga/BKKBN yang selama ini hanya diberi honor Rp 200-300 ribu akan kami tambahkan Rp 1 juta pak Menteri, jadi nggak usah khawatir, supaya mereka (kader) semakin semangat,” katanya.

    Saat ini, sudah ada sekitar 1.863 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) operasional dengan 5.592.745 penerima manfaat.

    “Total ini alhamdulillah kita sudah bisa memberi makan hampir seluruh penduduk Singapura, kalau Indonesia baru dua persen,” kata Dadan.

    “Ibu hamil sudah kami intervensi 18.000, ibu menyusui 30.000, anak balita kami intervensi 85.920,” sambungnya.

    BGN memiliki target di tahun 2025 ini untuk meningkatkan jumlah SPPG menjadi 30.000 pada bulan November dengan 82,9 juta penerima manfaat.

    (dpy/up)

  • BKKBN Peringatkan Ancaman Ledakan Penduduk Jika Alkon Tak Cukup

    BKKBN Peringatkan Ancaman Ledakan Penduduk Jika Alkon Tak Cukup

    JAKARTA – Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN akan mengusulkan tambahan anggaran pengadaan alat obat kontrasepsi (alkon) untuk tahun 2026.

    Alasannya, dengan ditambahnya anggaran untuk ketersediaan alat kontrasepsi ini, maka pemerintah dapat mengontrol jumlah populasi penduduk yang seimbang melalui revitalisasi pelayanan program Keluarga Berencana (KB).

    “Kami akan mengajukan kepada Presiden terutama agar berkenan untuk memperhatikan isu ini,” Sekretaris Kemendukbangga/BKKBN Budi Setiyono kepada wartawan di Pinang, Kota Tangerang, Senin, 30 Juni.

    “Dan kemudian blokir anggaran untuk persediaan alat kontrasepsi barangkali bisa untuk dibuka dan kemudian harapannya minimal mendapatkan anggaran yang sama dengan anggaran tahun lalu,” sambungnya.

    Ia mengungkapkan bila tahun ini dalam penyediaan alat obat kontrasepsi hanya mendapat Rp200 miliar setelah adanya pemblokiran dalam efisiensi anggaran pemerintah.

    Hal ini berbanding dengan tahun sebelumnya yakni mendapat anggaran sebesar Rp850 miliar.

    “Kalau kita tidak menyediakan alat kontrasepsi yang mencukupi maka struktur penduduk kita yang sekarang itu sudah relatif flat, itu akan bisa melebar kembali di bawah,” katanya.

    Menurutnya, ancaman dari ke tidak seimbangan stuktur penduduk yang saat ini terus mengalami peningkatan. Maka membludaknya kembali penduduk di Indonesia.

    Oleh sebab itu, pihaknya harus segera mencari solusi alternatif dalam pengendalian potensi tambahan jumlah penduduk tersebut.

    Salah satunya, lanjut Budi, yaitu berkoordinasi dengan seluruh provinsi perwakilan masing-masing untuk menghitung berapa kebutuhan yang real berdasarkan pada jumlah penduduk yang ada.

    “Jumlah penduduk bisa meledak kembali dan itu tentu akan mempengaruhi banyak sektor di dalam penyediaan-penyediaan fasilitas umum, misalnya atau juga di dalam tata wilayah atau transportasi dan seterusnya. Oleh karena itu kita perlu memastikannya itu,” ujarnya.

  • Tekan Stunting di Daerah, Mendukbangga Wihaji Ungkap Dapat Masukan Agar Jangan Pakai Cara Jakarta

    Tekan Stunting di Daerah, Mendukbangga Wihaji Ungkap Dapat Masukan Agar Jangan Pakai Cara Jakarta

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN (Mendukbangga) Wihaji menyampaikan bahwa penyelesaian stunting di daerah perlu disesuaikan dengan wilayahnya dan tidak menggunakan cara Jakarta.

    Kemendukbangga/BKKBN menggelar kirab untuk menyambut Hari Keluarga Nasional (Harganas) tahun 2025. Dalam kesempatan itu, Wihaji menyampaikan masukan yang diterima terkait upaya menekan stunting di NTT di mana prevalensi stunting di wilayah tersebut masih tinggi yakni 37 persen.

    “Masing masing daerah punya problem yang berbeda, kemarin saya ke NTT salah satu masukannya adalah bagaimana penyelesaian itu jangan semua pakai cara cara Jakarta, harus menggunakan cara NTT,” kata Wihaji, Kamis, 26 Juni 2025.

    Dia menekankan soal pendekatan yang mesti dibalut dengan kebudayaan masyarakat setempat untuk mengedukasi orang tua turut memerangi stunting.

    “Memang ada pemahaman yang belum sampai ke mereka dan itu butuh kerja keras tim pendamping keluarga salah satunya adalah harus menggunakan cara cara lokal sehingga ada memang pendekatannya budaya mau pun lain lain,” ujarnya.

    “Jangan sampai cara Jakarta dibawa ke cara lokal nanti engga ketemu. Kurangi seminar, kurangi diskusi, kurangi lokakarya. Saya minta teman teman TPK untuk terjun ke lapangan, pastikan datanya, karena kekuatan salah satu problemnya adalah data, insyaallah yang kita intervensi tepat sasaran,” ucapnya.***

  • Jadi Salah Satu Sebab Stunting, Tokoh Agama Akan Dilibatkan untuk Ingatkan Tidak Lakukan Pernikahan Dini

    Jadi Salah Satu Sebab Stunting, Tokoh Agama Akan Dilibatkan untuk Ingatkan Tidak Lakukan Pernikahan Dini

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN) Wihaji mengatakan bahwa pernikahan dini menjadi salah satu penyebab stunting di Indonesia. Dia mengatakan akan melakukan pendekatan bersama tokoh daerah untuk mengingatkan kesadaran untuk tidak melakukan pernikahan dini.

    “Selain air bersih, asupan gizi, sanitasi, juga pernikahan dini ini yang mesti kita seriuskan,” kata Wihaji usai acara Kirab Bangga Kencana di Kantor Kemendukbangga, Jakarta Timur, Kamis, 26 Juni 2025.

    Anak yang melakukan pernikahan dini bisa memberikan dampak terhadap psikologis. Kata Wihaji, pendidikan anak bisa terganggu yang bisa mengarah pada masalah ekonomi kedepannya kemudian reproduksinya juga tidak baik.

    Di beberapa daerah menurut Wihaji, untuk mengingatkan hal ini keterlibatan tokoh agama dianggap perlu.

    “Tapi urusan urusan kayak begini butuh tokoh tokoh lokal butuh kiai, romo, pendeta yang mungkin setiap hari melakukan pendekatan secara psikologis tentang pentingnya ‘kamu masih muda jangan lakukan pernikahan dini, nanti bisa stunting,” kata Wihaji.

    “Dan hal itu salah satunya yang hari ini kita lakukan adalah bagaimana membangun kolaborasi tidak hanya lembaga tetapi juga tokoh masyarakat,” ujarnya.

    Dalam kesempatan itu, Kemendukbangga/BKKBN menggelar Kirab Bangga Kencana sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka Hari keluarga Nasional ke-32 tahun 2025 dan diikuti peserta kegiatan kirab tersebut diikuti oleh perwakilan dari 32 provinsi di Indonesia.

    Dalam paparannya, salah satu yang disinggung Wihaji mengenai target penurunan stunting pada 2029 mendatang adalah 14 persen, sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto.

    “Dari SSGI (Survei Status Gizi Indonesia), prevalensi kita 19,7 persen , artinya sudah turun dari 21,5 persen. Target presiden melalui RPJMN untuk 2025 ini adalah 18 persen, kemudian sampai 2029 adalah 14 persen,” kata Wihaji.***

  • DPR: Masyarakat Harus Ubah Mindset, BKKBN Tak Lagi Fokus Kontrasepsi, tapi…
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        20 Juni 2025

    DPR: Masyarakat Harus Ubah Mindset, BKKBN Tak Lagi Fokus Kontrasepsi, tapi… Bandung 20 Juni 2025

    DPR: Masyarakat Harus Ubah Mindset, BKKBN Tak Lagi Fokus Kontrasepsi, tapi…
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Pemerintah pusat melalui Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (
    BKKBN
    ) terus berupaya membangun
    keluarga berkualitas
    .
    Namun, masih banyak masyarakat yang menganggap program BKKBN hanya sebatas program keluarga berencana (KB).
    Wakil Ketua
    DPR
    RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menilai pentingnya kolaborasi antara BKKBN dan berbagai pihak, termasuk DPR RI. Misalnya, dalam menyampaikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat terkait pembangunan keluarga.
     
    “Selama ini mindset masyarakat soal BKKBN masih sebatas urusan KB. Padahal, sekarang kita mendorong lahirnya komunitas berencana yang menitikberatkan pada pembentukan keluarga yang sehat, kuat, dan siap menyongsong masa depan,” ujarnya usai kegiatan
    Program Bangga Kencana
    di Solokanjeruk, Bandung, Jumat (20/6/2025).
    Cucun juga menekankan pentingnya kesadaran masyarakat mengenai isu
    stunting
    , yang menjadi perhatian utama Presiden RI Prabowo Subianto.
    DPR mendukung penuh program-program strategis BKKBN, baik dari sisi regulasi maupun penguatan anggaran.

    Stunting
    adalah masalah serius yang harus kita tangani bersama. Maka dari itu, melalui fungsi anggaran dan legislasi di DPR, kami siap memberikan dukungan, termasuk saat pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKKL). Ini menjadi momentum penting untuk menyinergikan program kerja antara eksekutif dan legislatif,” tuturnya.
    Cucun menambahkan, program-program seperti Kampung KB, yang melibatkan tokoh agama, kader KB, dan masyarakat luas, terbukti efektif dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya membangun keluarga yang berdaya.
    Ia juga menyoroti bahwa pembangunan generasi unggul tidak hanya berkaitan dengan fisik dan gizi, tetapi juga penguatan daya pikir dan pendidikan.
    “Bukan hanya makanan bergizi gratis, tapi juga gizi untuk pikirannya. Maka program-program pendidikan seperti sekolah rakyat, sekolah unggulan, adalah bagian dari strategi menciptakan generasi unggul,” jelasnya.
    Sekretaris Utama BKKBN, Prof Budi Setiyono menjelaskan, transformasi peran BKKBN saat ini tidak lagi berfokus hanya pada kontrasepsi, melainkan telah melampaui konsep
    family planning
    .
    “Program KB kini telah mencapai tahap kedewasaan, masyarakat sudah paham manfaatnya,” ujar Budi.
    Saat ini, BKKBN tengah menyusun
    roadmap
    (peta jalan) pembangunan kependudukan yang presisi dan terintegrasi dari tingkat pusat hingga desa, guna memastikan ketersediaan sarana dan layanan publik sesuai dengan kebutuhan penduduk.
    “Kita ingin pembangunan berbasis data kependudukan yang akurat, sehingga kebutuhan masyarakat dari pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan dapat dipenuhi dengan tepat. Dengan cara ini, Indonesia Emas tidak hanya menjadi slogan, tetapi realitas yang diraih bersama,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamen Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka Kunjungi Sulut, Paparkan 5 program ‘Quick Win’ Cegah Stunting

    Wamen Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka Kunjungi Sulut, Paparkan 5 program ‘Quick Win’ Cegah Stunting

    Liputan6.com, Manado – Wakil Menteri (Wamen)  Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana (Kemendukbangga/BKKBN) Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka melakukan kunjungan kerja ke Sulut pada, Jumat (13/6/2025).

    Dalam kesempatan itu, dia memaparkan terkait lima program ‘Quick Win’ untuk mengatasi stunting di Indonesia, termasuk Sulut.

    “Pertama adalah gerakan orang tua asuh cegah stunting atau Genting,” ujarnya.

    Dia mengatakan, ‘Genting’, adalah program yang mengolaborasikan bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi, dunia usaha, BUMN berusaha untuk membantu pemerintah dengan pendekatan pentahelix agar mengurangi prevalensi stunting.

    “Untuk bisa mencapai pembangunan kualitas sumber daya manusia, tentu saja stunting harus kita atasi bersama-sama,” ujarnya.

    Program berikutnya adalah taman asuh sayang anak (Tamasya), memberikan perspektif bagaimana pola pengasuhan dapat dibenahi bersama agar kualitas dari anak-anak nantinya makin maju.

    dia mengatakan, program ketiga adalah Gerakan Ayah Teladan Indonesia (Gati). Karena biasanya yang terlibat lebih dalam pengasuhan anak adalah kaum ibu.

    “Kita ingin agar ayah juga ikut terlibat dalam pola pengasuhan karena dengan adanya ayah dan ibu bersama-sama maka kualitas anak-anak generasi masa muda masa depan akan dapat lebih optimal,” tuturnya.

    Program selanjutnya adalah lansia berdaya yang diharapkan warga lansia tetap sehat, tetap produktif dan tetap bisa menikmati hari tuanya dengan sehat dan bahagia.

    Terakhir adalah super apps keluarga Indonesia yang tengah dikembangkan oleh kementerian kependudukan dan pembangunan keluarga.

    “Inisiatif ini kami dorong untuk diadopsi di daerah sebagai bentuk percepatan dan inovasi layanan pembangunan keluarga,” ujarnya.

    Dalam kunjungan kerja ke Sulut, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka sempat berkunjung ke Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Manado untuk melihat program penanganan stunting di dua daerah tersebut.

    Dia bahkan berdialog dengan sejumlah warga seperti ibu hamil, dan anak-anak, untuk mendengar kondisi keseharian warga di sana.

     

    KOCAK!! Barisan Pramuka Anak SD Bubar Cerai Berai Gara-gara Serbuan Domba

  • Sebanyak 5 Ribu Warga Magetan Tergolong Miskin Ekstrem

    Sebanyak 5 Ribu Warga Magetan Tergolong Miskin Ekstrem

    Magetan (beritajatim.com) – Pemerintah Kabupaten Magetan melalui Dinas Sosial terus memperkuat verifikasi dan validasi data kemiskinan ekstrem. Kepala Dinas Sosial Magetan, Parminto Budi Utomo, mengungkapkan bahwa data awal dari P3KE (Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem) yang bersumber dari BKKBN menunjukkan sekitar 16.000 warga masuk kategori tersebut pada tahun 2023 lalu. Namun, setelah diverifikasi di tingkat desa dan kelurahan, jumlahnya berkurang secara signifikan.

    “Sebenarnya di 2024 sempat di Kementerian Menko Pembangunan Manusia itu kan menyampaikan tapi enggak dirilis ya. Ada Jawa Timur itu ada lima kabupaten kalau enggak salah yang P3KE-nya nol gitu ya. 2024 ya. Tapi kami pun tidak menerima surat, tidak menerima rilis resmi dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia itu. Cuma ya akhirnya bersama Bappeda ya kami verifikasi lagi, hingga ternyata data riil 5.800 sekian itu,” ujar Parminto.

    Dari proses tersebut, Dinas Sosial bersama perangkat daerah lainnya menyandingkan data dengan DTKS dan hasil musyawarah desa. “Jadi 5.800 sekian menjadi 5.100 sekian. Jadi, sudah ada pengurangan ini,” katanya.

    Upaya pengentasan kemiskinan ekstrem menurutnya tidak dapat dilakukan Dinas Sosial sendiri, tetapi melibatkan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Koperasi, Dinas Perdagangan, serta Dinas Peternakan.

    “Misalkan yang bersangkutan masuk KE sudah mendapatkan PKH misalkan tapi punya embrio usaha itu nanti bisa kami tautkan dengan Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan atau mungkin juga punya usaha UMKM ternak misalkan ya, kami komunikasikan dengan Dinas Perternakan,” ujarnya.

    Menurut Parminto, selain bansos reguler seperti PKH dan sembako, pihaknya juga menyalurkan bantuan berupa alat budidaya, alat mobilitas bagi lansia, serta perlengkapan rumah terapi. Semua bantuan disesuaikan dengan kemampuan anggaran daerah.

    Ia juga menyinggung soal indikator penerima bantuan, terutama terkait jaminan kesehatan. “Kalau jaminan kesehatan yang minimal itu dihapus berarti yang bersangkutan dianggap mampu. Yang ini tentunya nanti di masyarakat akan terkejut ya yang dulunya terima jadi enggak terima.”

    Untuk penetapan kemiskinan ekstrem, acuan utamanya berasal dari data P3KE dan Peraturan Bupati, dengan indikator utama adalah pengeluaran di bawah garis kemiskinan, sekitar Rp400.000 sampai Rp500.000 per kapita per bulan.

    “Jadi garis kemiskinan itu pengeluaran per jiwa maksimal Rp400.000. Kalau anggota keluarga ada lima ya tinggal dikalikan aja. Nah, kalau keluarga itu sudah sudah berperahasilan UMR ya dia sudah di atas garis minimum. Karena sudah di atas garis itu tadi Rp400.000 per kapita per bulan,” jelasnya. [fiq/ian]