Kementrian Lembaga: BKKBN

  • Ini tanggapan DKI terkait warga berusia 19 tahun ke atas belum menikah

    Ini tanggapan DKI terkait warga berusia 19 tahun ke atas belum menikah

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Provinsi DKI Jakarta mengemukakan warga berusia di atas 19 tahun belum menikah bukan selalu karena takut menikah, melainkan kesadaran untuk mempersiapkan kehidupan secara lebih matang.

    Kepala Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta, Iin Mutmainnah mengatakan hal itu menanggapi data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta bahwa sebanyak 2.098.685 dari 7.781.073 jiwa penduduk Jakarta berusia 19 tahun ke atas belum menikah.

    “Hal tersebut merupakan bagian dari perubahan sosial yang terjadi secara alamiah di masyarakat urban seperti Jakarta. Menunda pernikahan tidak selalu berarti ada ketakutan, tetapi lebih pada meningkatnya kesadaran individu dalam mempersiapkan kehidupan pernikahan secara lebih matang,” jelas Iin saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

    Kemudian, dari jumlah penduduk yang belum menikah, sebanyak 1.201.827 jiwa adalah laki-laki, sementara sisanya yakni 896.858 jiwa merupakan perempuan.

    Data Dukcapil juga menunjukkan, laki-laki rata-rata menikah di usia 30-31 tahun, sementara perempuan di usia 27-28 tahun.

    Dia melihat fenomena tersebut sebagai sinyal penting bahwa perencanaan hidup, termasuk pernikahan, sehingga perlu terus didukung dengan edukasi dan pembekalan.

    Adapun mengenai usia ideal menikah, sambung dia, Dinas PPAPP DKI Jakarta sejalan dengan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN mempromosikan bahwa usia ideal menikah bagi perempuan minimal 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.

    “Usia ini dianggap sebagai titik kematangan fisik, mental, emosional, serta kesiapan sosial dan ekonomi seseorang untuk membangun rumah tangga,” katanya.

    Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas PPAPP DKI hadir melalui program-program edukatif yang mendorong kesiapan generasi muda membentuk keluarga yang sehat, setara, dan berdaya.

    “Ini karena pada akhirnya, yang paling penting bukan hanya kapan menikah, tapi seberapa siap membangun kehidupan keluarga yang berkualitas,” katanya.

    Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta menawarkan berbagai kemudahan bagi warga untuk melangsungkan pernikahan, termasuk penerbitan akta perkawinan, yang dapat diakses secara daring melalui aplikasi Alpukat Betawi.

    Calon pengantin juga bisa mendatangi loket pelayanan Dukcapil di tingkat kecamatan atau langsung ke Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Film “Panggil Aku Ayah”. Menteri Wihaji: Jawab pertanyaan soal GATI

    Film “Panggil Aku Ayah”. Menteri Wihaji: Jawab pertanyaan soal GATI

    Menteri Wihaji menghadiri Gala Premier film Panggil Aku Ayah Rabu 30/7/2025 (Foto : Humas Kemendukbangga/BKKBN)

    Film “Panggil Aku Ayah”. Menteri Wihaji: Jawab pertanyaan soal GATI
    Hiburan   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Kamis, 31 Juli 2025 – 18:40 WIB

    Elshinta.com – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, mengungkapkan bahwa film Panggil Aku Ayah dapat menjadi salah satu cara menjawab berbagai pertanyaan publik terkait Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), sebuah inisiatif dari Kemendukbangga/BKKBN.

    Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Wihaji saat menghadiri Gala Premier film Panggil Aku Ayah bersama produser, sutradara, dan para pemeran film di Epicentrum XXI, Jakarta, Rabu sore (30/07/2025).

    “Bagaimana nasib mereka yang tidak mempunyai ayah karena meninggal, perceraian, tanpa status. Ini beberapa pertanyaan yang muncul. Lalu ada film Panggil Aku Ayah. Ini mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut,” ujar Menteri Wihaji.

    GATI sendiri merupakan bagian dari upaya pembangunan keluarga yang dijalankan Kemendukbangga/BKKBN untuk merespons fenomena fatherless yaitu anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan sosok ayah. Program ini mencakup layanan konseling pranikah hingga pengasuhan anak, serta pembentukan konsorsium komunitas ayah teladan.

    Menteri Wihaji menjelaskan, pada 14 Juli 2025, program ini telah dimulai dengan Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Masuk Sekolah. Gerakan yang didukung melalui Surat Edaran Mendukbangga/Kepala BKKBN ini pun menuai perhatian luas masyarakat.

    Menurut Wihaji, film Panggil Aku Ayah mengangkat sisi kemanusiaan dalam peran seorang ayah. Film ini menggambarkan bahwa menjadi ayah tidak harus berdasarkan garis darah, melainkan dilandasi keterlibatan, kepedulian, dan kasih sayang.

    “Sikap dan perilaku orang bisa berubah dalam beberapa detik. seperti karakter yang ada di film tersebut, yang menampilkan karakter Rosa, Pacil, Mang Dedi, Mang Tatang, Rahmat dan karakter lainnya,” ujarnya.

    Berdasarkan data Kemendukbangga/BKKBN, terdapat sekitar 72,18 juta keluarga di Indonesia, dengan kepala keluarga perempuan mencapai 11,5 juta dan anak yang kehilangan ayah sekitar 20,9 persen. Angka tersebut menunjukkan pentingnya peran figur ayah, baik kandung maupun non-kandung, dalam membentuk keluarga yang kuat.

    Penulis : Rizki Rian Saputra

    Sumber : Radio Elshinta

  • Menteri Agama Angkat HP, Ini Iblis atau Malaikat?

    Menteri Agama Angkat HP, Ini Iblis atau Malaikat?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Agama Nasaruddin Umar menanyakan apakah HP bagian dari iblis atau malaikat kepada anak-anak dalam acara Festival Lindungi Anak di Era Digital di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Kamis (31/7/2025).

    “Saya ingin tanya anak-anakku semua, jawab ya. Apakah ini iblis atau malaikat? Atau ada iblisnya atau malaikatnya?” kata Nasaruddin sambil mengangkat ponselnya.

    Dia menyebut jika perangkat memiliki iblis dan malaikat atau diartikan memiliki hal buruk dan baik. Kepada anak-anak, Nasaruddin berpesan untuk melihat fungsi baik dari ponselnya.

    Anak-anak juga diminta untuk saling mengingatkan jika melihat temannya menggunakan ponsel bukan untuk kebaikan. Hanya gunakan untuk pembelajaran saja, ucapnya.

    “Kalau kalian melihat teman-temannya buka iblisnya di sini, tegur dia ‘jangan itu merusak jalan pikiran kita’. Tapi handphone ini harus dibuka window malaikatnya, seperti pembelajaran, belajar ngaji,” dia berpesan.

    Nasaruddin berpesan khusus kepada anak-anak yang beragam muslim untuk membuka ponsel sambil membaca Bismillah. Dnegan begitu tidak digunakan untuk hal buruk.

    “Setiap kali membuka handphone kalau yang beragama Islam baca bismillahirrahmanirrahim, supaya nanti jangan terbuka iblisnya itu. Kalau terbuka iblisnya, cepat pindah ke malaikatnya. Setuju?” ucap Nasaruddin.

    Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Wihaji juga mengingatkan HP sudah menjadi bagian dari keluarga. Semua hal juga dapat dilakukan dengan menggunakan ponsel, termasuk bermain game.

    “Game ini potensi beberapa problem kekerasan. Karena itu, saya titip anak-anak hati-hati dengan game. bukan saya anti teknologi, anti handphone. Tapi hati-hati,” tutur Wihaji.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Anak SD Sudah Menstruasi, Menteri Wihaji Dorong Edukasi Seks Sejak Dini
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        29 Juli 2025

    Anak SD Sudah Menstruasi, Menteri Wihaji Dorong Edukasi Seks Sejak Dini Bandung 29 Juli 2025

    Anak SD Sudah Menstruasi, Menteri Wihaji Dorong Edukasi Seks Sejak Dini
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala
    BKKBN
    ,
    Wihaji
    , menyoroti perubahan signifikan dalam siklus kehidupan masyarakat, terutama terkait aspek reproduksi pada generasi muda.
    Menurut Wihaji, saat ini terjadi pergeseran usia pubertas pada anak perempuan yang cenderung lebih awal dibanding sebelumnya.
    “Begini, maksudnya bergesernya begini, siklus kehidupan ini kan dari hulu sampai hilir, kemudian ada beberapa yang berkenan dengan reproduksi. Salah satunya adalah, mohon maaf, umur perempuan yang dalam tanda petik mengalami reproduksi itu sekarang sudah sedikit maju,” ujar Wihaji usai menutup Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ikatan Penyuluh
    Keluarga Berencana
    (IPeKB) di salah satu hotel di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/7/2025).
    Ia mencontohkan bahwa kini anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) sudah mulai mengalami menstruasi. Hal ini mendorong BKKBN untuk memperluas edukasi
    kesehatan reproduksi
    ke jenjang SD, bukan lagi dimulai dari Sekolah Menengah Pertama (SMP).
    “Anak-anak SD itu sudah mulai, mohon maaf, menstruasi. Sehingga saya minta para penyuluh untuk memberikan edukasi pada tingkat dini. Salah satunya kalau dulu kan zaman-zaman SMP ini, sekarang sudah SD karena SD juga dikasih edukasi tentang pembelajaran mengenai hal-hal yang mengenai dengan reproduksi,” ujarnya.
    Wihaji menilai edukasi ini penting agar anak-anak memahami perubahan tubuh mereka secara tepat dan tidak merasa takut.
    “Karena apa pun yang terjadi, dia sudah ngalami. Maka harus diedukasi biar nanti tidak salah, tidak takut, dan dikasih edukasi yang baik,” ucapnya.
    Ia mengingatkan adanya potensi risiko jika edukasi tidak diberikan secara hati-hati. Di tengah derasnya arus informasi dan pesatnya teknologi, anak-anak menjadi kelompok yang sangat rentan.
    “Kalau dampak pasti ada. Yang paling penting begini, kesiapan untuk memberikan edukasi yang paling baik. Kan dampak itu kalau nggak hati-hati, namanya juga sekarang dunia teknologi luar biasa, dunia masalah luar biasa, dunia pergaulan luar biasa,” kata Wihaji.
    “Karena itu saya minta tolong pesan kepada anak-anak kita untuk hati-hati bahwa ada pemahaman, ada pengetahuan yang harus kita jelaskan kepada mereka hal-hal yang berkenaan dengan materi tentang reproduksi, materi dan mohon maaf, adalah pengetahuan tentang seksualitas, sehingga tidak ada kekerasan seksual, tidak ada kekerasan rumah tangga, tidak ada hal yang bertentangan dengan apa yang menjadi norma-norma kehidupan di Indonesia,” lanjutnya.
    Wihaji menegaskan bahwa edukasi reproduksi harus dimulai sedini mungkin.
    “Sangat penting dan mulai dari hulu, dimulai dari dini. Karena itulah cikal bakal. Kalau nggak, mohon maaf, nanti ada satu dua case yang itu menjadi korban,” katanya.
    Untuk itu, BKKBN menggandeng sejumlah kementerian guna memperkuat program edukasi keluarga, termasuk Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Sosial, dan kementerian terkait lainnya.
    “Sama-sama ngeroyok program-program yang berkenan dengan program keluarga,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tren 1 Anak Makin Populer? Ini Kata Pasangan Muda RI yang Ogah Nambah Anak

    Tren 1 Anak Makin Populer? Ini Kata Pasangan Muda RI yang Ogah Nambah Anak

    Jakarta

    Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Kemendukbangga/BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto, menyoroti pentingnya pendekatan yang berbeda di setiap daerah, menyikapi tren total fertility rate (TFR) atau jumlah anak rata-rata yang dilahirkan wanita. Meski secara nasional angkanya relatif ideal di 2,1, nyatanya TFR beberapa daerah mengalami tren penurunan.

    Contohnya, di Yogyakarta, angka TFR sudah menyentuh 1,6 hingga 1,8. Di wilayah seperti ini, pendekatan keluarga berencana (KB) tidak boleh lagi difokuskan pada pembatasan jumlah anak, melainkan pada peningkatan kualitas dan pengaturan jarak kelahiran.

    Sebaliknya, di wilayah seperti NTT, angka TFR masih di atas 2,5 bahkan bisa mencapai 4,5. Di daerah ini, pendekatan KB yang lebih aktif dan menyasar peningkatan kesadaran kontrasepsi masih relevan.

    “Masalahnya bukan hanya berapa anak, tapi juga jarak kelahiran yang terlalu pendek dan kesiapan keluarga dalam membesarkan anak. Jadi pendekatannya harus kontekstual,” beber Boni di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (26/7/2025).

    Kekhawatiran berikutnya adalah Indonesia ikut mengalami depopulasi seperti yang sudah terjadi di Jepang hingga Korea Selatan. Bila TFR terus menurun, hal semacam itu bisa saja terjadi.

    Ia menekankan dalam hal ini, Indonesia harus belajar dari negara-negara yang terlambat menyadari penurunan populasi dan kini menghadapi krisis angkatan kerja dan tekanan fiskal yang berat.

    “Kalau kita bisa menjaga TFR tetap di angka 2,1 sambil memastikan kualitas hidup terus naik dan persebaran penduduk merata, maka kita bisa menghindari jebakan depopulasi,” lanjutnya.

    “Lebih banyak yang di atas ya, lansia, tapi yang di bawah usia anak dan produktif semakin sedikit. Akhirnya menjadi populasi piramida terbalik,” katanya.

    Dampaknya, beban ekonomi menjadi lebih berat lantaran pekerja produktif semakin sedikit. Bukan tidak mungkin, hal yang terjadi ke depan adalah pencarian tenaga asing tentu meningkat.

    Demi menjaga stabilitas TFR di angka 2,11 Boni mengungkapkan perlu dilakukan upaya yang mendukung agar perekonomian para ayah dan ibu itu menjadi baik.

    “Supportnya dalam bentuk apa? Pekerjaan yang tidak lagi informal tapi formal, skema penggajian diatur. Jadi, mengarahnya kepada kepastian ekonomi,” kata Boni.

    Usia Muda Banyak Memilih Punya 1 Anak

    Tidak sedikit yang memilih untuk childfree maupun membatasi hanya memiliki satu anak saat sudah menikah. Bukan tanpa sebab, lagi-lagi pemicunya adalah ketidakpastian ekonomi.

    Hal ini yang juga dialami Annisa, wanita yang akrab disapa Sasa. Meski baru mengandung anak pertama, ia tak berpikir untuk memiliki anak lagi di kemudian hari.

    Ia memutuskan untuk fokus merawat satu anak, karena kebutuhan ekonomi dan biaya sekolah yang dinilai semakin tinggi. “Untuk merawat satu anak sekarang untuk masuk sekolah uang pangkalnya saja minimal banget Rp 30-50 juta, belum keperluan lain,” tuturnya, kepada detikcom Senin (28/7/2025).

    Sasa merasa keputusannya relatif bijak lantaran menyadari betul kesanggupan dirinya dan pasangan.

    Dihubungi terpisah, Citra Astari, pegawai swasta di Sukabumi yang menikah dengan dokter spesialis obgyn, juga merasakan hal yang sama. Menurutnya, beban finansial menjadi tantangan utama dalam membesarkan anak, meskipun bukan menjadi masalah satu-satunya.

    Ia dan suami memilih untuk terus fokus membesarkan anak yang kini sudah memasuki usia 7 tahun. “Kami juga merasa hanya punya fokus dan waktu yang cukup untuk satu anak,” bebernya.

    “Dari segi finansial, mental, dan kesiapan mendampingi, mudah-mudahan hingga hari tua,” lanjut dia.

    Menyoal hal semacam ini, Boni sebelumnya juga menilai perlu ada dukungan biaya sekolah yang terjangkau serta jaminan kesehatan memadai untuk setiap keluarga. Kemendukbangga/BKKBN juga sudah menghadirkan Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya), yang menjadi program yang layanan pengasuhan anak usia dini yang berkualitas, terutama bagi orangtua yang bekerja.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Care Economy, Ibu Rumah Tangga Diusulkan Raih Insentif dari Pemerintah

    Care Economy, Ibu Rumah Tangga Diusulkan Raih Insentif dari Pemerintah

    Semarang, Beritasatu.com — Peran ibu rumah tangga (IRT) dalam menopang kehidupan keluarga kini mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN menyuarakan pentingnya penyusunan skema insentif bagi IRT sebagai bagian dari pendekatan care economy.

    Care economy sendiri mencakup aktivitas merawat anak, lansia, penyandang disabilitas, hingga orang sakit—jenis pekerjaan yang selama ini umumnya tidak dihargai dalam bentuk upah, meski punya kontribusi besar terhadap stabilitas sosial dan ekonomi.

    “Care economy ini tidak hanya merawat anak, tetapi juga merawat lansia, orang sakit, difabel, itu adalah care economy, karena ketika pekerjaan yang formal itu sudah jelas, ada angkanya di situ, tetapi yang informal itu enggak dibayar kan? Misalnya merawat orang tua, anak-anak kita, orang sakit, itu enggak dibayar, nah care economy ini mencoba untuk menghitung itu nilainya berapa,” jelas Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan BKKBN, Bonivasius Prasetya Ichtiarto, saat ditemui di Ambarawa, Jawa Tengah, dilansir dari Antara, Sabtu (26/7/2025).

    Ia menambahkan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah program untuk mendukung produktivitas perempuan, terutama ibu rumah tangga, di antaranya penyediaan tempat penitipan anak di lingkungan kerja melalui program Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya).

    “Kalau seorang ibu merawat anaknya, dia tidak bisa bekerja, berarti kan dia kehilangan pekerjaan, nah pandangannya begitu kurang lebih, lalu, apa yang pemerintah lakukan? Sekarang memang sudah dirancang rencana aksi untuk care economy ini, nanti setiap dukungan yang diberikan itu dihitung nilainya, kalau misal dia enggak bekerja tetapi merawat anaknya, ada dukungan dari pemerintah,” imbuhnya.

    Dukungan pemerintah tersebut, menurutnya, tidak selalu berupa uang. Ada kemungkinan diberikan dalam bentuk fasilitas atau layanan alternatif, seperti dukungan perawat bagi warga lanjut usia. Skema serupa sudah diterapkan di negara-negara Skandinavia.

    “Ada dukungan dari pemerintah, tidak hanya berupa uang, tetapi misalnya berupa hal yang lain, misalnya ada insentif lah kepada ibu kita yang merawat anaknya atau merawat orang tua, atau nanti juga bisa seperti di kasus di negara Skandinavia, jadi kalau kita merawat orang tua kita, maka itu angkanya dinilai tetapi tidak berupa uang. Jadi, ketika kita nanti juga lansia, maka kita berhak meminta kepada pemerintah ada orang yang merawat kita,” tuturnya.

    Melalui pendekatan ini, pemerintah berharap peran besar ibu rumah tangga dalam pekerjaan domestik tak lagi dianggap remeh, melainkan dihargai setara dengan kontribusi di sektor formal.

  • Kemendukbangga Bicara Skema yang Atur Ibu Rumah Tangga Bisa Dapat Insentif

    Kemendukbangga Bicara Skema yang Atur Ibu Rumah Tangga Bisa Dapat Insentif

    Jakarta

    Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan Kemendukbangga/BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto menekankan pentingnya skema yang mengatur ibu rumah tangga (IRT) bisa mendapatkan insentif atau jaminan dari pemerintah yang termasuk ke dalam bagian dari care economy.

    “Care economy ini tidak hanya merawat anak, tetapi juga merawat lansia, orang sakit, difabel, itu adalah care economy, karena ketika pekerjaan yang formal itu sudah jelas, ada angkanya di situ,” tuturnya dalam kunjungan ke Ambarawa, Semarang, Sabtu (26/7/2025).

    Menurutnya, pekerjaan informal selama ini tentu tidak dibayar. Padahal, pekerjaan seperti merawat orang tua, anak-anak, orang sakit, juga perlu diperhitungkan untuk mendapatkan bantuan.

    “Nah care economy ini mencoba untuk menghitung itu nilainya berapa,” kata dia.

    Ia menjelaskan, selama ini pemerintah melalui Kemendukbangga/BKKBN telah merancang beberapa program untuk membuat perempuan tetap produktif, salah satunya melalui Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya), yakni tempat penitipan anak atau daycare di tempat kerja.

    “Kalau seorang ibu merawat anaknya, dia tidak bisa bekerja, berarti kan dia kehilangan pekerjaan, nah pandangannya begitu kurang lebih,” tandas dia.

    Saat ini, rencana aksi untuk care economy tengah diperhitungkan. Termasuk saat ibu sedang tidak bekerja dan masih harus merawat anaknya. Ia tidak merinci kemungkinan besaran yang diberikan.

    “Nanti setiap dukungan yang diberikan itu dihitung nilainya, kalau misal dia nggak bekerja tetapi merawat anaknya, ada dukungan dari pemerintah,” ujar dia.

    Jaminan tersebut juga menurutnya tidak selalu bisa diberikan dalam insentif, tetapi melalui dukungan fasilitas lain, misalnya penyediaan perawat ketika penduduk di usia produktif memasuki masa lansia seperti di negara-negara Skandinavia.

    “Ada dukungan dari pemerintah, tidak hanya berupa uang, tetapi misalnya berupa hal yang lain, insentif lah kepada ibu kita yang merawat anaknya atau merawat orang tua, atau nanti juga bisa seperti di kasus di negara Skandinavia.”

    “Jadi kalau kita merawat orang tua kita, maka itu angkanya dinilai tetapi tidak berupa uang. Jadi, ketika kita nanti juga lansia, maka kita berhak meminta kepada pemerintah ada orang yang merawat kita,” tuturnya.

    (naf/kna)

  • Bonus Demografi Indonesia di Tengah Tantangan Penduduk yang Mulai Menua

    Bonus Demografi Indonesia di Tengah Tantangan Penduduk yang Mulai Menua

    Jakarta

    Bonus demografi menjadi peluang besar Indonesia untuk melompat menjadi negara maju. Di masa ini, populasi usia produktif yakni mereka yang berusia 15 hingga 64 tahun mencapai proporsi dominan dalam struktur penduduk. Namun, peluang ini bukan tanpa tantangan. Tanpa strategi yang tepat, momentum bonus demografi malah berpotensi menjadi bencana sosial yang membebani generasi mendatang.

    Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Sekretaris Utama BKKBN Prof Budi Setiyono, menyampaikan saat ini sekitar 70 persen penduduk Indonesia berada dalam kelompok usia produktif. Namun, tidak semua dari mereka memiliki pekerjaan di sektor formal, dan sebagian besar tidak memberikan kontribusi fiskal secara langsung, utamanya dalam bentuk pajak.

    “Kalau mereka tidak produktif, tidak bekerja, atau terpaksa bekerja di sektor informal yang pendapatannya tidak pasti, tentu tidak bisa menyumbang bagi negara. Ini mengancam stabilitas fiskal,” ujarnya dalam Orientasi Program Kependudukan Pembangunan Keluarga, dan Keluarga Berencana bagi Jurnalis di UPT Balai Diklat KKB Ambarawa, Sabtu (26/7/2025).

    Bahkan, sebagian dari kelompok ini terseret dalam aktivitas kriminal seperti pencurian, pembunuhan, korupsi dan kejahatan lain tekanan ekonomi atas beban biaya hidup menanggung banyak anggota keluarga.

    Dalam teori demografi, ketika dua orang produktif harus menggendong satu orang non-produktif anak atau lansia, keluarga tersebut masih bisa mengelola beban ekonomi. Namun faktanya, banyak keluarga justru menghidupi lebih dari itu, anak banyak, orang tua ikut tinggal, sementara pendapatan minim.

    “Kalau dua-duanya bekerja dan cuma punya satu anak, tanpa menanggung orang tua, keluarga itu bisa lebih sejahtera. Tapi kalau anaknya banyak dan harus menanggung kanan kiri, maka tanggal 1 gajian, tanggal 5 sudah habis. Hidupnya dari hutang ke hutang,” tegas Budi.

    Jika tidak dikelola dengan benar, bonus demografi juga akan ‘berbalapan’ dengan tantangan aging population. Pada 2024, jumlah lansia sudah mencapai 34,8 juta jiwa atau sekitar 12 persen dan diperkirakan akan naik menjadi 65,8 juta jiwa yakni 20,3 persen pada 2045.024.

    Belum lagi, kontribusi pajak terhadap PDB Indonesia masih berada di angka 10,31 persen, sangat rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Finlandia 59 persen, Jepang 52 persen, dan Korea Selatan 45 persen. Sementara itu, hanya 42 persen dari tenaga kerja Indonesia yang berada di sektor formal. Selebihnya bekerja di sektor informal yang tidak terproteksi dan tidak menyumbang fiskal.

    Siasat Mencapai Bonus Demografi

    Jika ingin memiliki jaminan kesehatan universal, jaminan hari tua yang menyeluruh, serta pendidikan gratis dan berkualitas, kontribusi fiskal rakyat disebutnya harus naik, terutama dari kelompok usia produktif. Jika tidak, negara dinilai akan terus berhutang.

    Kemendukbangga bersama lintas kementerian telah menyusun strategi konvergensi program pembangunan manusia melalui indikator Indeks Pembangunan Keluarga Berwawasan Kependudukan IPBK, yang mencakup indikator seperti:

    Persentase penduduk bekerja di sektor formalRasio pajak terhadap PDBAngka kematian ibu dan bayiTotal fertility rate (TFR) perempuan

    Namun, hal ini perlu lebih dari sekadar koordinasi sektoral. Diperlukan grand design nasional yang menjadikan kapitalisasi bonus demografi sebagai isu strategis lintas pemerintahan dan lintas generasi, salah satunya melalui revisi Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Menurut Prof Budi, revisi tersebut nantinya bisa merinci lebih detail indikator-indikator untuk mencapai keberhasilan bonus demografi.

    Setelah 2045, Indonesia akan masuk lebih dalam berada di era aging population. Artinya, proporsi penduduk lansia sudah lebih besar dibandingkan kelompok usia muda. Hal ini dibarengi dengan fakta hanya 5 persen dari lansia yang memiliki pensiun. Imbasnya, jutaan orang tua akan hidup dalam ketidakpastian, menjadi beban bagi keluarga dan negara.

    Sebagai mitigasi, program seperti Bina Keluarga Lansia (BKL) dan Sidaya Lansia dihidupkan. Di sini, lansia dilibatkan dalam aktivitas sosial, pelatihan produktif, pemeriksaan kesehatan rutin, hingga pelatihan kewirausahaan sesuai kapasitas. Harapannya, lansia tetap aktif, sehat, dan mandiri.

    Indonesia saat ini berada di puncak bonus demografi (2025) yang akan perlahan tertutup pada 2045, ketika rasio ketergantungan mencapai 50:50 antara usia produktif dan non-produktif.

    “Jika tidak dikelola dengan baik, kita akan kehilangan kesempatan langka ini.”

    Bonus demografi adalah jendela peluang yang tidak terbuka selamanya. Jika tidak dirancang dengan cerdas, ia akan menutup sebelum hasilnya terasa.

    “Jangan biarkan 70 persen usia produktif kita hanya menjadi angka statistik, pepesan kosong. Jadikan mereka motor penggerak kemajuan, bukan beban masa depan.”

    Halaman 2 dari 3

    (naf/kna)

  • Siasat BKKBN Agar Lansia RI Tak Berakhir ‘Lonely Death’ seperti Jepang

    Siasat BKKBN Agar Lansia RI Tak Berakhir ‘Lonely Death’ seperti Jepang

    Semarang

    Jepang menjadi salah satu negara dengan jumlah populasi lansia terbanyak, berumur panjang hingga 100 tahun. Meski termasuk negara maju, faktanya banyak lansia yang ditemukan lonely death atau meninggal kesepian.

    Fenomena ‘mati kesepian’ di Jepang dinamakan kodokushi. Trennya dinilai sudah memgkhawatirkan lantaran 68 ribu warga Jepang diperkirakan meninggal dalam kesendirian sampai akhir tahun 2024.

    Indonesia juga memasuki aging population dengan perhitungan sekitar 30 persen populasi di 2045 adalah lansia. Risiko yang sama tentu tidak bisa 100 persen dihindari, mengingat kesejahteraan lansia saat ini juga belum terpenuhi.

    Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Sekretaris Utama BKKBN Prof Budi Setiyono menyebut pemerintah sebetulnya sudah mengupayakan pemberdayaan lansia melalui program bina keluarga lansia (BKL) yang sudah berjalan di beberapa daerah.

    “Kita berusaha mengantisipasi persoalan itu, ada pertemuan rutin itu di mana lansia melaukan cek kesehatan, yang kedua melakukan olahraga bersama, yang ketiga saling mengecek kondisi satu sama lain, paling tidak satu kali seminggu menanyakan kabar rekan satu sama lain,” sorotnya, dalam diskusi bersama media di perjalanan menuju Ambarawa, Semarang, Jumat (25/7/2025).

    Prof Budi ikut menyoroti tren di Jepang terkait lonely death yang umumnya lansia ditemukan sudah tidak bernyawa berbulan-bulan bahkan setahun setelah meninggal. Sebagai negara maju, Jepang saja disebutnya ‘ketar-ketir’ menghadapi tren tersebut dengan kemudian memperbanyak shelter untuk menampung lansia kesepian.

    Jepang bahkan melibatkan tenaga kerja asing termasuk dari Indonesia sebagai perawat lansia atau caregiver di tengah keterbatasan usia produktif.

    Prof Budi mengingatkan saat ini Indonesia sudah menghadapi aging population yakni 11 persen dari populasi adalah lansia, peningkatan ke 15 persen bisa terjadi di tahun berikutnya, dan 30 persen pada 2045.

    “Maka dari itu celaka bila kita tidak punya tabungan untuk taking carr of them, memastikan kesejahteraan mereka, apalagi bila tidak punya uang pensiun, kita akan menderita,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • BKKBN Bicara Alasan Wajah Warga +62 Kurang Glowing, Stres Kebanyakan Beban

    BKKBN Bicara Alasan Wajah Warga +62 Kurang Glowing, Stres Kebanyakan Beban

    Jakarta

    Ada alasan medis di balik warga negara Eropa kebanyakan lebih glowing dan charming ketimbang warga Indonesia. Hal ini disinggung Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Sekretaris Utama BKKBN Prof Budi Setiyono.

    Pria yang juga memiliki pengalaman di berbagai organisasi profesional termasuk UNDP dan UNFPA tersebut menyinggung pengaruh hormon stres atau kortisol pada penampilan wajah kebanyakan warga Indonesia.

    “Kenapa orang Eropa, atau warga negara di negara maju lebih banyak warga yang charming, glowing? Itu dipastikan mereka tidak ada kekhawatiran menghadapi disrupsi kehidupan,” sorot Prof Budi dalam diskusi bersama media di perjalanan menuju Ambarawa, Semarang, Jumat (25/11/2025).

    Berbanding terbalik dengan beban yang dihadapi warga Indonesia, banyak kekhawatiran terkait finansial dan keberlangsungan masa depan. Bahkan, untuk sekadar mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari pun sulit.

    “Jadi sebenarnya tidak melulu karena DNA-nya, di kita pengaruhnya adalah hormon stres atau hormon kortisol, yang otomatis keluar dari tubuh saat menghadapi adanya ancaman, kelaparan, ketidakpastian, saat itulah hormon kortisol bergerak,” sorot dia.

    Semakin banyak hormon kortisol yang keluar, semakin besar berpengaruh pada penampilan. Sesederhana seperti melihat seseorang tengah stres, sakit, dan menghadapi beban masalah yang menumpuk.

    “Itu yang terjadi, wajah orang Indonesia sehari-hari dipenuhi dengan kortisol. Kalau kita ingin wajah kita berubah, maka kita harus mengikuti pola penjaminan hidup di atas garis kesejahteraan benar-benar terjamin,” kata dia.

    Itu pula yang disebutnya tengah diupayakan pemerintah dengan menyediakan program makan bergizi gratis, pengadaan koperasi merah putih, serta berdirinya sekolah rakyat. Meski menurutnya, belum banyak masyarakat yang benar-benar memahami program pemerintah tengah berjalan ke target tersebut.

    Prof Budi juga membandingkan tampilan wajah Korea Utara dan Korea Selatan. Meski etnik, bahasa, dan kulturnya sama, perbandingan wajah populasi umum kedua negara tersebut jelas berbeda, dengan mengesampingkan maraknya juga tren operasi plastik.

    “Lebih enak dilihat Korsel bukan karena oplas tapi Korsel itu secara hukum sudah terbebas dari kebutuhan dasar, Korea Utara belum, sehingga wajahnya berbeda,” tandasnya.

    Hal yang sama juga diklaim terjadi di masa Jerman Barat dan Timur saat dipisahkan oleh tembok Berlin. Penampilan orang Jerman timur sama seperti Korut, sementara Jerman barat seperti Korsel.

    “Jerman Barat cantik-cantik, Jerman Timur tidak, seperti kita, itu bukti keterjaminan, ketakutan, pemenuhan dasar itu berpengaruh kepada ada tidaknya hormon kortisol,” pungkasnya.

    Hal yang kemudian bisa dipelajari untuk merubah wajah penduduk Indonesia adalah jaminan hidup layak. Memperbaiki keturunan tidak selalu harus menikah dengan orang Eropa, tapi yang utama adalah memperbaiki kesejahteraan hidup atau setidaknya ansuransi hingga hari tua.

    Seluruh penduduk disebutnya perlu diupayakan mendapatkan penghasilan yang sesuai minimal dengan kebutuhan dasar, pendidikan dasar 12 tahun terpenuhi, dan hadirnya sertifikat kompetensi yang menjadi bekal ‘market’ pekerjaan banyak warga negara Indonesia.

    Belum lagi dengan persoalan prevalensi stunting yang perlu ditekan seminimal mungkin bahkan bila memungkinkan hingga zero case. Ia berharap ke depan 70 persen penduduk usia produktif Indonesia benar-benar memastikan kesehariannya produktif alias memiliki pekerjaan yang kemudian bisa ikut mengcover tanggungan 30 persen penduduk non-produktif di tengah aging population. Perhitungannya, pada 2045 sekitar 30 persen warga Indonesia berusia lansia.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)