Kementrian Lembaga: BIN

  • Sebut Perpol Nomor 10/2025 Mengkhianati UUD 45, Eks Intelejen: Nggak Mungkin Kapolri Jalan Sendiri

    Sebut Perpol Nomor 10/2025 Mengkhianati UUD 45, Eks Intelejen: Nggak Mungkin Kapolri Jalan Sendiri

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Polemik terbitnya Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam sejumlah pihak.

    Mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Kolonel Infanteri (Purn) Sri Rajasa Chandra, secara terbuka mengkritik kebijakan Polri yang dinilainya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/2025.

    Sri Rajasa menegaskan bahwa Perpol No.10/2025 tidak bisa dipandang sebagai persoalan administratif semata. Ia menyebut aturan itu sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap konstitusi.

    “Ini bukan sekadar pembangkangan. Ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Mengkhianati putusan MK sama saja mengkhianati Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam podcast Abraham Samad Speak Up, dikutip pada Sabtu (20/12).

    Menurutnya, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak boleh dilangkahi oleh peraturan di bawahnya. Ia mempertanyakan keberanian Polri menerbitkan aturan yang justru memberi ruang bagi anggota aktif menempati jabatan sipil.

    “Kalau putusan MK itu final, lalu dilawan dengan Perpol, berarti ini perlawanan terhadap hukum,” kata Sri Rajasa.

    Dalam dialog bersama Abraham Samad, Sri Rajasa juga menyinggung posisi Presiden dalam polemik ini. Ia meyakini Kapolri tidak mungkin mengambil keputusan strategis tanpa sepengetahuan Presiden.

    “Enggak mungkin Kapolri jalan sendiri. Kalau ini diumumkan, berarti sudah mendapatkan persetujuan Presiden,” tegasnya.

    Ia merujuk pada ketentuan bahwa kebijakan Kapolri yang berdampak luas dan memiliki implikasi politik harus mendapatkan persetujuan Presiden. Namun hingga kini, belum terlihat sikap tegas dari Presiden terkait polemik tersebut.

  • Lagi-lagi, Houthi Tangkap 10 Staf PBB di Yaman

    Lagi-lagi, Houthi Tangkap 10 Staf PBB di Yaman

    Jakarta

    Kelompok Houthi di Yaman kembali menangkap 10 staf lokal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis (18/12) waktu setempat. Ini merupakan penangkapan terbaru kelompok militan yang didukung Iran tersebut terhadap para pegawai badan dunia itu.

    Kelompok Houthi telah mengganggu dan menahan puluhan staf PBB dan pekerja kemanusiaan di Yaman dalam beberapa tahun terakhir. Houthi menuduh mereka menjadi mata-mata untuk Amerika Serikat dan Israel — tuduhan yang dapat dihukum mati di Yaman, dan yang telah ditolak keras oleh PBB.

    Milisi tersebut telah meningkatkan penangkapan semacam itu sejak dimulainya perang Gaza lebih dari dua tahun lalu, dan baru-baru ini, setelah serangan Israel melenyapkan hampir setengah dari pemerintahan Houthi termasuk perdana menterinya pada bulan Agustus lalu.

    “Kami dapat mengkonfirmasi penahanan sewenang-wenang hari ini terhadap 10 anggota staf PBB oleh otoritas de facto Houthi di Sanaa, sehingga jumlah total tahanan PBB menjadi 69 orang,” kata Farhan Haq, Wakil Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dilansir Al Arabiya dan AFP, Jumat (19/12/2025).

    PBB mengkonfirmasi bahwa semua staf tersebut adalah warga Yaman.

    Penangkapan terbaru ini terjadi beberapa hari setelah Guterres membahas penahanan staf PBB dan pekerja kemanusiaan tersebut dengan Sultan Oman, Haitham bin Tariq, yang telah berperan sebagai mediator dalam konflik Yaman.

    Pekan lalu, Guterres mengatakan beberapa karyawan yang ditangkap telah dibawa ke pengadilan khusus Houthi, mendesak kelompok tersebut untuk membatalkan keputusannya dan membebaskan mereka.

    Houthi telah menggunakan sistem peradilan mereka untuk menargetkan LSM, jurnalis, dan lawan politik.

    Bulan lalu, pengadilan Houthi menjatuhkan hukuman mati kepada 17 orang atas tuduhan menjadi mata-mata untuk kekuatan asing, menurut media Houthi.

    Pada pertengahan September, koordinator kemanusiaan PBB di Yaman dipindahkan dari Sanaa, ibu kota Yaman ke kota Aden, pusat pemerintahan Yaman yang diakui secara internasional.

    PBB menyatakan bahwa sepuluh tahun perang saudara telah menjerumuskan Yaman ke dalam salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Kapolri Kena ‘Skakmat’, Polisi Dilarang Keras Isi Jabatan Sipil di K/L

    Kapolri Kena ‘Skakmat’, Polisi Dilarang Keras Isi Jabatan Sipil di K/L

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri memastikan kepolisian bakal patuh pada putusan Mahkamah Konstistusi soal larangan anggota aktif menduduki jabatan sipil di Kementerian dan Lembaga (K/L). 

    Pernyataan tersebut merespons terbitnya Peraturan Kapolri atau Perpol No.10/2025 yang berisi daftar 17 K/L yang jabatannya bisa diisi oleh anggota polisi. 

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie, didampingi beberapa anggota tim, langsung menggelar jumpa pers. Dia mengatakan kepastian itu disampaikan langsung oleh Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo saat bertemu Tim Reformasi. 

    “Jadi yang jelas, kami sudah bahas ya Polri tadi yang hadir Wakapolri, komitmennya sesudah keputusan MK tidak ada lagi penugasan baru, tidak ada lagi,” ujar Jimly di posko tim reformasi, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Dia menambahkan Perpol No.10/2025 justru mengatur lebih ketat soal anggota yang sudah menduduki jabatan sipil.

    Dengan demikian, lanjutnya, beleid yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu terbit setelah Polri melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian terkait.

    “Jadi sudah clear gitu ya cuma yang sudah keburu menduduki jabatan ini harus diatur dulu yang mana, yang mana dan sebagainya,” imbuhnya.

    Di samping itu, Jimly mengatakan bahwa nantinya Perpol No.10/2025 tentang penugasan anggota Polri bakal diintegrasikan dengan PP sebelum akhirnya menjadi Undang-undang (UU).

    “Dan itulah perlunya ada PP terintegrasi tadi, sebelum undang-undang oh ini pas tadi, nah gitu ya biar clear ya biar masyarakat juga bisa lebih terang bahwa ini sudah ada solusinya,” pungkasnya.

    Perpol No. 10/2025 Melawan UU 

    Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Mahfud MD mengkritisi Peraturan Polisi (Perpol) No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri. Menurutnya, peraturan ini bertentangan dengan dua Undang-Undang.

    “Perpol Nomor 10 tahun 2025 itu bertentangan dengan dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, di mana di dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri,” katanya sebagaimana dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutip Minggu (14/12/2025).

    Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 tahun 2025. Lebih lanjut, dia menyampaikan peraturan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

    Menurutnya, Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam Undang-Undang Polri tiidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri

    “Dengan demikian, perkap [perpol] itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya.

    Dia menegaskan pernyataan soal polisi adalah jabatan sipil sehingga dapat menjabat ke jabatan sipil lainnya merupakan pernyataan yang salah. Dia mencontohkan seorang sipil saja tidak boleh masuk ke sipil jika di ruang lingkup tugas dan profesinya beririsan.

    “Misalnya, seorang dokter bertindak sebagai jaksa kan tidak bisa. Jaksa bertindak sebagai dokter kan tidak bisa. Dosen bertindak sebagai jotaris kan tidak boleh,” tandasnya.

    Pembelaan Kalpolri Listyo Sigit 

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Perpol No.10/2025 diterbitkan untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal larangan anggota Polri isi jabatan sipil.

    “Jadi perpol yang dibuat oleh polri tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK,” ujar Sigit di kompleks Istana Negara, Senin (15/12/2025).

    Dia menambahkan perpol No.10/2025 yang ditekennya itu telah melewati koordinasi atau konsultasi dengan kementerian maupun stakeholder terkait.

    Meski demikian, Sigit enggan bicara banyak terkait dengan pihak lain yang menilai Perpol No.10/2025 ini berkaitan dengan putusan MK. 

    “Biar saja yang bicara begitu. Yang jelas langkah yang dilakukan kepolisian sudah dikonsultasikan. Baik dengan kementerian terkait, stakeholder terkait, lembaga terkait. Sehingga baru disusun perpol,” imbuhnya.

    Dia menambahkal Perpol 10/2025 mengenai aturan penugasan anggota ini bakal ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah dan bakal dimasukkan ke dalam revisi undang-undang (RUU) Polri.

    “Yang jelas perpol ini tentunya akan ditingkatkan menjadi pp dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi UU,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    Sekadar informasi, berdasarkan Perpol No.10/2025, total ada 17 Kementerian atau Lembaga (K/L) yang bisa diduduki oleh anggota Polri.

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025 

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Ammar Zoni Ngaku Disetrum dan Dipukul agar Mengakui Edarkan Sabu di Rutan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        18 Desember 2025

    Ammar Zoni Ngaku Disetrum dan Dipukul agar Mengakui Edarkan Sabu di Rutan Megapolitan 18 Desember 2025

    Ammar Zoni Ngaku Disetrum dan Dipukul agar Mengakui Edarkan Sabu di Rutan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika di dalam rumah tahanan (rutan), Ammar Zoni, mengaku sempat disetrum dan dipukul agar mengakui perbuatannya mengedarkan sabu seberat 100 gram di Rutan Salemba.
    Pengakuan tersebut disampaikan
    Ammar Zoni
    dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).
    Awalnya, Ammar yang diberi kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi dari kepolisian, Arif Rahman, menyinggung dugaan adanya kekerasan saat proses interogasi pada 3 Januari 2025.
    “Yang mau saya tanyakan, apakah saya berbicara itu waktu itu bagaimana perlakuannya? Yakin tidak melakukan intimidasi? Yakin tidak ada kekerasan?” tanya Ammar Zoni dalam sidang.
    “Yakin enggak ada kekerasan,” jawab Arif Rahman.
    Ammar lantas mengingatkan bahwa Arif telah disumpah untuk memberikan kesaksian yang benar.
    Ia lalu bertanya kepada Arif apakah benar saat itu tidak ada penyetruman.
    “Bapak disumpah lho ya. Ini kami berlima bisa jadi saksi. Apa tidak ada penyetruman?” tanya Ammar.
    “Saya pastikan tidak ada penyetruman,” tegas Arif.
    Mendengar hal itu, Ammar Zoni kemudian meminta agar rekaman CCTV saat interogasi diungkap dalam persidangan.
    “Tidak ada penekanan? Tidak ada pemukulan? Ini semua berlima (terdakwa) kita bisa lihat. Tolong Yang Mulia dihadirkan CCTV, Yang Mulia. Karena di situ ada CCTV, kita di bawah tekanan, dipukuli, disetrum, dipaksa untuk mengaku,” ungkap Ammar.
    “Makanya kami minta dihadirkan CCTV dari pihak rutan. Tadi kan bilangnya tanggal 3 Januari, di situ ada CCTV. Pengakuan saya itu berdasarkan dari tekanan,” jelasnya.
    Sebelumnya, saksi lain dari kepolisian, Randi Iswahyudi, menyatakan bahwa Ammar Zoni menerima upah sebesar Rp 10 juta dari mengedarkan sabu sebanyak 100 gram di dalam Rutan Salemba
    Randi bilang, berdasarkan interogasi yang dilakukan polisi terhadap Ammar Zoni pada 3 Januari 2025, terdakwa mengakui mendapat sabu dari seseorang bernama Andre yang saat ini berstatus buronan.
    “Dari saudara Andre, 100 gram. (Barang) Sudah diedarkan di dalam rutan,” kata Randi.
    “Diedarkan di dalam rutan? Sebanyak 100 gram itu?,” tanya Ketua Majelis Hakim memastikan.
    “Siap,” tutur Randi.
    Hakim lalu menanyakan apakah Ammar Zoni mendapatkan upah dari aktivitas peredaran sabu dalam Rutan Salemba.
    Randi menjawab ada upah sebesar Rp 10 juta untuk Ammar Zoni saja.
    “Dari 100 gram menjadi Rp 10 juta,” kata Randi.
    “100 gram menjadi Rp 10 juta? Untuk si terdakwa Amar saja?” tegas Ketua Majelis Hakim.
    “Siap,” jawab Randi.
    Dalam sidang pada hari ini, terdakwa Ammar Zoni akhirnya hadir mengikuti sidang secara langsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
    Empat orang terdakwa lain untuk kasus yang sama, yakni Asep bin Sarikin, Ardian Prasetyo bin Arie Ardih, Andi Muallim, dan Muhammad Rivaldi juga hadir langsung.
    Sidang hari ini menghadirkan lima orang saksi yang terdiri dari tiga orang petugas kepolisian dan dua orang pegawai rutan.
    Sebelumya, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat telah menjadwalkan sidang secara langsung untuk terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika di dalam rutan, Ammar Zoni, pada Kamis (18/12/2025).
    Penjadwalan ini dilakukan setelah Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Mashudi memberikan izin pemindahan Ammar Zoni dari Lapas Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta agar dapat mengikuti sidang secara langsung.
    “Menentukan sidang pada hari Kamis tanggal 18 Desember 2025 pukul 10.00 WIB dan persidangan selanjutnya dilakukan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Ketua Majelis Hakim Dwi Elyarahma Sulistyowati dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (11/12/2025).
    Namun, Elyarahma menegaskan bahwa sidang
    offline
    hanya berlaku bagi Ammar Zoni dan empat terdakwa lain.
    Sementara itu, untuk kehadiran terdakwa Ade Candra Maulana akan dilakukan secara
    online
    karena alasan kesehatan.
    Ade saat ini sedang menderita penyakit tuberkulosis (TBC) sehingga dikhawatirkan akan menularkan virus apabila menjalani mobilitas dari Lapas Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ammar Zoni Disebut Terima Rp 10 Juta dari Edarkan Sabu di Rutan Salemba
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        18 Desember 2025

    Ammar Zoni Disebut Terima Rp 10 Juta dari Edarkan Sabu di Rutan Salemba Megapolitan 18 Desember 2025

    Ammar Zoni Disebut Terima Rp 10 Juta dari Edarkan Sabu di Rutan Salemba
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Terdakwa kasus dugaan peredaran narkotika di dalam rumah tahanan (rutan), Muhammad Ammar Akbar alias Ammar Zoni, disebut menerima upah sebesar Rp 10 juta dari aktivitas pengedaran sabu di Rutan Salemba.
    Informasi tersebut terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis (18/12/2025).
    Keterangan itu disampaikan saksi dari kepolisian, Randi Iswahyudi, yang menjelaskan hasil interogasi terhadap
    Ammar Zoni
    pada 3 Januari 2025.
    Dalam pemeriksaan tersebut, Ammar Zoni mengakui menerima sabu dari seseorang bernama Andre yang hingga kini berstatus buronan.
    “Dari saudara Andre, 100 gram. (Barang) Sudah diedarkan di dalam rutan,” kta Randi.
    Majelis hakim kemudian memastikan kembali keterangan tersebut dalam persidangan.
    “Diedarkan di dalam rutan? Sebanyak 100 gram itu?,” tanya Ketua Majelis Hakim memastikan.
    “Siap,” tutur Randi.
    Hakim selanjutnya menanyakan apakah Ammar Zoni memperoleh imbalan dari aktivitas peredaran sabu tersebut. Randi menyatakan ada upah khusus yang diterima terdakwa.
    “Dari 100 gram menjadi Rp 10 juta,” kata Randi.
    Ketua Majelis Hakim kembali menegaskan keterangan itu.
    “100 gram menjadi Rp 10 juta? Untuk si terdakwa Amar saja?,” tegas Ketua Majelis Hakim.
    “Siap,” jawab Randi.
    Dalam sidang yang digelar Kamis, Ammar Zoni hadir secara langsung di PN Jakarta Pusat. Empat terdakwa lain dalam perkara yang sama, yakni Asep bin Sarikin, Ardian Prasetyo bin Arie Ardih, Andi Muallim, dan Muhammad Rivaldi, juga mengikuti persidangan secara langsung.
    Sidang tersebut menghadirkan lima orang saksi yang terdiri dari tiga petugas kepolisian dan dua pegawai rutan.
    Sebelumnya, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat telah menjadwalkan sidang tatap muka untuk perkara dugaan peredaran narkotika di dalam rutan yang menjerat Ammar Zoni pada Kamis, 18 Desember 2025.
    Penjadwalan itu dilakukan setelah Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Mashudi memberikan izin pemindahan Ammar Zoni dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta agar dapat mengikuti persidangan secara langsung.
    “Menentukan sidang pada hari Kamis tanggal 18 Desember 2025 pukul 10.00 WIB dan persidangan selanjutnya dilakukan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Ketua Majelis Hakim Dwi Elyarahma Sulistyowati dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (11/12/2025).
    Namun, Elyarahma menegaskan bahwa pelaksanaan sidang secara offline hanya berlaku bagi Ammar Zoni dan empat terdakwa lainnya.
    Sementara itu, kehadiran terdakwa Ade Candra Maulana dilakukan secara daring karena alasan kesehatan.
    Ade Candra Maulana diketahui tengah menderita penyakit tuberkulosis (TBC) sehingga dikhawatirkan berpotensi menularkan penyakit apabila harus menjalani mobilitas dari Lapas Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta.
    Oleh karena itu, pada Kamis, Ade mengikuti persidangan melalui sambungan zoom meeting.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Patuhi Putusan MK, Tim Reformasi Pastikan Polri Tak Lagi Beri Tugas Anggota di Jabatan Sipil

    Patuhi Putusan MK, Tim Reformasi Pastikan Polri Tak Lagi Beri Tugas Anggota di Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri memastikan Polri bakal patuh pada putusan MK soal larangan anggota duduki jabatan sipil.

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie mengatakan kepastian itu disampaikan langsung oleh Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo saat bertemu tim reformasi.

    “Jadi yang jelas, kami sudah bahas ya polri tadi yang hadir Wakapolri, komitmennya sesudah keputusan MK tidak ada lagi penugasan baru, tidak ada lagi,” ujar Jimly di posko tim reformasi, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Dia menambahkan, Perpol No.10/2025 justru mengatur lebih ketat soal anggota yang sudah menduduki jabatan sipil.

    Dengan demikian, beleid yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu terbit setelah Polri melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian terkait.

    “Jadi sudah clear gitu ya cuma yang sudah keburu menduduki jabatan ini harus diatur dulu yang mana, yang mana dan sebagainya,” imbuhnya.

    Di samping itu, Jimly mengemukakan bahwa nantinya Perpol No.10/2025 tentang penugasan anggota Polri bakal diintegrasikan dengan PP sebelum akhirnya menjadi Undang-undang (UU).

    “Dan itulah perlunya ada PP terintegrasi tadi, sebelum undang-undang oh ini pas tadi, nah gitu ya biar clear ya biar masyarakat juga bisa lebih terang bahwa ini sudah ada solusinya,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, berdasarkan Perpol No.10/2025, total ada 17 Kementerian atau Lembaga (K/L) yang bisa diduduki oleh anggota Polri.

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025 :

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Menkum Sebut Ketentuan Polisi Menjabat di Instansi Lain Perlu Diatur

    Menkum Sebut Ketentuan Polisi Menjabat di Instansi Lain Perlu Diatur

    Menkum Sebut Ketentuan Polisi Menjabat di Instansi Lain Perlu Diatur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan, ketentuan soal polisi yang menjabat di luar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) perlu diatur, bisa lewat undang-undang atau aturan di bawahnya.
    Hal ini disampaikan Supratman merespons adanya Peraturan Polisi Nomor 10 Tahun 2025 yang membuka jalan polisi dapat menjabat di 17 kementerian dan lembaga.
    “Intinya ini harus diatur, tidak boleh tidak diatur. Baik di undang-undang maupun di peraturan di bawahnya,” ujar Supratman dalam konferensi pers penutupan rapat koordinasi Kemenkum, Jakarta, Kamis (18/12/2025).
    Supratman mengaku belum mengetahui sikap terbaru Presiden Prabowo Subianto terhadap
    Perpol 10/2025
    .
    Namun, ia menyinggung pernyataan
    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
    yang menyebutkan Perpol 10/2025 akan ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
    “Kemarin sudah disampaikan sama Pak Kapolri kan? Apakah nanti dimasukkan di dalam Undang-Undang Polri, hasil rekomendasi dari Tim Reformasi Polri juga masih akan kita bahas, belum ya,” kata Supratman.
    Diberitakan sebelumnya, keputusan Kapolri meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
    Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken Perpol 10/2025 yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
    Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Kapolri mengaku tidak ambil pusing soal pihak-pihak yang menilai Perpol 10/2025 bertentangan dengan putusan MK.
    Sigit mengeklaim, Perpol 10/2025 dibuat justru untuk menghormati putusan MK yang melarang polisi menjabat di instansi luar Polri.
    “Yang jelas, langkah yang dilakukan oleh kepolisian sudah dikonsultasikan baik dengan kementerian terkait, baik dengan stakeholder terkait, maupun dengan lembaga terkait. Sehingga baru di sinilah Perpol tersebut,” kata Sigit di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025).
    Ia melanjutkan, materi Perpol 10/2025 juga akan dimuat dalam revisi Undang-Undang Polri dan peraturan pemerintah (PP).
    “Perpol ini tentunya nanti akan ditingkatkan menjadi PP dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi undang-undang,” kata Kapolri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Inkonsistensi yang Dilegalkan

    Inkonsistensi yang Dilegalkan

    OLEH: AHMADIE THAHA

       

    ADA masa ketika hukum di negeri ini berdiri tegak seperti tiang bendera setiap Senin pagi: lurus, kaku, dan sedikit menegangkan. Tetapi belakangan, hukum kita tampaknya lebih mirip karet gelang — bisa ditarik ke mana saja, dipelintir secukupnya, lalu diklaim tetap utuh.

    Tidak putus meski ditarik ke mana saja, kata mereka. Hanya lentur. Dan dalam kelenturan itulah, kita menyaksikan satu demi satu putusan konstitusi diuji bukan oleh pengadilan, melainkan oleh kreativitas birokrasi.

    Yusril Ihza Mahendra, dengan ketenangan seorang profesor yang sudah kenyang debat konstitusi, belum lama ini menyimpulkan sesuatu yang pahit tapi jujur yakni hukum Indonesia sering inkonsisten.

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurut Undang-Undang bersifat final dan mengikat, dalam praktiknya kerap diperlakukan seperti rekomendasi seminar — boleh diikuti, boleh juga tidak, tergantung suasana batin dan kepentingan.

    Pernyataan itu belum sempat menjadi kutipan tetap di slide kuliah hukum tata negara, tiba-tiba pihak Kepolisian RI (Polri) datang membawa contoh empirisnya dengan terbitnya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025.

    Jika ini film, kita akan menyebutnya plot twist. Jika ini sinetron, penonton akan berteriak, “Lho, kok bisa?” Tetapi karena ini negara hukum, para pakar ramai-ramai mendiskusikannya, sementara publik hanya bisa menghela napas panjang.

    Yang membuat cerita ini semakin ironis adalah konteks waktunya. Presiden Prabowo Subianto belum lama ini membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri, dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie — nama yang bagi mahasiswa hukum lebih sakral daripada daftar pustaka skripsi.

    Komisi ini dibentuk untuk membenahi Polri: dari regulasi, kelembagaan, hingga kultur. Singkatnya, Polri sedang masuk bengkel besar nasional. Namun, sebelum mesin Polri dibongkar dan onderdilnya diperiksa, dari dalam bengkel justru keluar suara mesin yang dipaksa ngebut.

    Kapolri menandatangani Perpol 10/2025, sebuah peraturan yang oleh Harian Kompas disebut secara lugas dan tanpa basa-basi sebagai “pembangkangan konstitusional.” Ini bukan istilah sembarangan. Ini tudingan serius: bahwa sebuah peraturan internal lembaga negara bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

    Masalahnya bukan sepele. Mahkamah Konstitusi, lewat Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, telah menyatakan bahwa frasa di Pasal 28 ayat (3) UU Polri — yang bunyinya: “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” — bertentangan dengan UUD 1945.

    Frasa itu dipangkas oleh MK dalam putusannya terbaru, dicoret, dan secara hukum dinyatakan mati. Artinya, pasal itu sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam istilah medis, death certificate-nya sudah keluar.

    Tetapi di republik yang penuh kejutan ini, kematian hukum sering kali bersifat administratif, bukan eksistensial. Frasa yang sudah mati itu justru dijadikan fondasi hidup Perpol 10/2025. Seolah-olah MK hanya memberikan cuti sakit, bukan vonis akhir.

    Maka, berbekal SK tersebut, anggota Polri aktif tetap atau kembali diberi jalan untuk menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, di 17 kementerian dan lembaga negara, baik jabatan manajerial maupun non manajerial.

    Tujuh belas! Angka yang mengesankan. Hampir seperti daftar fakultas di universitas besar. Dari urusan politik-keamanan, energi, hukum, kehutanan, kelautan, perhubungan, hingga lembaga-lembaga super strategis seperti OJK, PPATK, BIN, BSSN, bahkan KPK.

    Negara mendadak terasa seperti papan catur raksasa, dan perwira Polri bisa melangkah ke banyak petak. Sementara bidak lain — ASN karier —  hanya bisa menonton dari garis start. Tak ayal, dari Jimly hingga Mahfud MD gerah dengan Perpol itu.

    Bahkan, Zennis Helen, dosen hukum tata negara tak setenar Yusril, masuk membawa pisau analisis yang tajam tapi dingin. Ia mengingatkan sesuatu yang seharusnya menjadi pelajaran dasar: asas penjenjangan norma.

    Ia mengutip Hans Kelsen yang sudah mengajarkannya hampir seabad lalu melalui Stufenbau Theorie. Bahwa norma hukum itu bertingkat. Yang rendah tidak boleh melawan yang tinggi. Jika melawan, ia gugur dengan sendirinya.

    Dalam bahasa Latin yang sering membuat mahasiswa mengangguk sambil pura-pura paham, lex superior derogat legi inferiori. Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Ini bukan sekadar etika hukum. Ini struktur logika negara hukum.

    Memang benar, Perpol yang diterbitkan Kapolri tidak masuk dalam hierarki utama Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tetapi ia tetap peraturan. Ia tetap regeling. Ia tetap tunduk pada asas penjenjangan norma.

    Perpol tersebut tidak hidup di alam bebas, apalagi di luar konstitusi. Maka ketika Perpol 10/2025 bertentangan dengan putusan MK, yang terjadi bukan perbedaan tafsir biasa, melainkan anomali hukum.

    Anomali ini terasa semakin ganjil karena, pasca putusan MK, pihak Polri sempat menarik satu perwira tingginya dari jabatan sipil. Publik melihat ini sebuah isyarat kepatuhan yang tampak manis di awal.

    Tetapi nyatanya, itu pemanis saja. Dengan Perpol tadi, anggota Polri aktif justeru merasa punya hak untuk bercokol dengan nyaman di berbagai kementerian dan lembaga. Bahkan posisi mereka kini dilegitimasi ulang lewat Perpol baru.

    Maka, penarikan itu pun terlihat seperti formalitas: cukup untuk disebut patuh, tapi tidak cukup untuk benar-benar taat.

    Dampaknya tidak berhenti pada soal legalitas. Ia merembet ke jantung tata kelola negara. Sistem meritokrasi ASN — yang selama ini didorong habis-habisan agar birokrasi diisi oleh kompetensi, bukan koneksi — terancam menjadi jargon kosong.

    ASN yang puluhan tahun meniti karier, mengikuti pelatihan, menunggu promosi, bisa tersalip oleh jalur penugasan berseragam cokelat. Meritokrasi pun berubah menjadi dekorasi, indah di dokumen, rapuh di praktik.

    Dalam perspektif sosiologi birokrasi, ini berbahaya. Ia merusak kultur kerja, mematahkan motivasi, dan menciptakan kasta implisit di tubuh birokrasi.

    Negara-negara demokrasi mapan sangat hati-hati dalam urusan ini. Inggris memisahkan polisi dari jabatan birokrasi sipil strategis. Amerika Serikat, dengan segala kekuatannya, tetap menjaga jarak institusional agar aparat penegak hukum tidak menjadi perpanjangan tangan kekuasaan administratif.

    Pihak Kepolisian Indonesia tampaknya memilih jalur berbeda yaitu memperluas ruang, lalu berharap konflik kepentingan bisa dikelola dengan surat mutasi.

    Padahal, jalan keluar konstitusional tersedia. Zennis Helen menyebut dua jalur. Pertama, dialog administratif melalui Komisi Percepatan Reformasi Polri. Komisi ini justru punya legitimasi moral dan politik untuk mengingatkan pimpinan Polri bahwa reformasi bukan sekadar slogan.

    Kedua, uji legalitas Perpol ke Mahkamah Agung. Karena Perpol adalah peraturan, maka MA menjadi rumah pengujiannya.

    Dua jalan ini memang tidak instan. Ia butuh waktu, energi, dan kesabaran. Tetapi negara hukum memang tidak dibangun dengan jalan pintas. Ia dibangun dengan kepatuhan pada prosedur, bahkan ketika prosedur itu tidak nyaman.

    Di titik inilah, pernyataan Yusril Ihza Mahendra menemukan wajahnya yang paling terang. Inkonsistensi hukum bukan lagi diskursus akademik, melainkan pengalaman sehari-hari warga negara.

    Ketika putusan MK bisa “diakali” lewat peraturan internal, maka istilah “final dan mengikat” berubah dari norma menjadi retorika. Dan ketika itu terjadi berulang-ulang, kepercayaan publik pelan-pelan terkikis — bukan oleh satu skandal besar, melainkan oleh kebiasaan kecil yang dianggap wajar.

    Negara tidak selalu runtuh oleh kudeta berdarah. Kadang ia melemah karena terlalu sering menoleransi penyimpangan kecil. Putusan yang dibelokkan. Norma yang dinegosiasikan. Konstitusi yang diperlakukan seperti saran, bukan perintah.

    Mungkin inilah paradoks terbesar kita hari ini. Reformasi Polri ingin memperbaiki institusi, tetapi justru diuji oleh regulasi dari dalam. Seperti seseorang yang ingin diet serius, tetapi lemari esnya penuh kue tart ulang tahun.

    Dan publik, yang menyaksikan semua ini, hanya bisa bertanya dengan logika paling sederhana — logika yang bahkan tidak butuh gelar profesor: jika putusan Mahkamah Konstitusi saja bisa diperlakukan seperti ini, lalu apa sebenarnya yang benar-benar final di negeri ini?

  • Kabar Duka, Kakak Anggota DPR RI Atalia Praratya Meninggal Dunia
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        17 Desember 2025

    Kabar Duka, Kakak Anggota DPR RI Atalia Praratya Meninggal Dunia Bandung 17 Desember 2025

    Kabar Duka, Kakak Anggota DPR RI Atalia Praratya Meninggal Dunia
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Anggota DPR RI Atalia Praratya tengah berduka. Atalia kehilangan kakak kandungnya, Adhya Pradjana bin Syarif Puradimadja, yang meninggal dunia.
    Kabar duka
    tersebut disampaikan Atalia melalui unggahan di akun Instagram pribadinya pada Rabu (17/12/2025).
    “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Telah berpulang kakak tercinta dari
    Atalia Praratya
    : Alm. Adhya Pradjana bin Syarif Puradimadja. Kami sekeluarga mohon doa agar almarhum diterima seluruh ibadahnya, diampuni segala dosanya, dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT,” tulis Atalia dalam unggahan tersebut, Rabu.
    Kabar tersebut dibenarkan oleh kuasa hukum Atalia, Debi Agusfriansa, saat dikonfirmasi Kompas.com melalui pesan singkat WhatsApp, Rabu malam.
    Debi mengatakan, Atalia langsung berangkat ke rumah duka setelah menerima kabar tersebut.
    “Langsung bergegas ke rumah duka,” katanya.
    Adapun Atalia kini tengah dalam proses
    gugatan cerai
    terhadap
    Ridwan Kamil

    Debi menambahkan, pihaknya belum dapat memastikan kehadiran Atalia pada sidang lanjutan gugatan cerai terhadap Ridwan Kamil karena kliennya masih dalam suasana berkabung.
    “Untuk persidangan selanjutnya kami belum bisa konfirmasi karena kondisi beliau saat ini sedang berkabung,” ujarnya.
    Sebelumnya diberitakan, sidang perdana gugatan cerai Atalia terhadap Ridwan Kamil digelar di Pengadilan Agama Kota Bandung, Rabu (17/12/2025).
    Dalam sidang tersebut, kedua pihak tidak hadir dan hanya diwakili kuasa hukum masing-masing.
    Atalia diwakili tim kuasa hukum yang dipimpin Debi Agusfriansa, sementara Ridwan Kamil diwakili Wenda Aluwi.
    Debi menjelaskan, ketidakhadiran Atalia pada sidang perdana disebabkan agenda kedinasan yang tidak dapat ditinggalkan.
    “Beliau (Atalia) sangat menghormati proses persidangan ini, tetapi karena acara kedinasan, beliau berhalangan hadir sehingga mewakili kepada kami selaku kuasa hukum,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jaga Marwah Profesi, PWI Bojonegoro Resmi Laporkan Oknum Wartawan Pemeras Kades ke Polisi

    Jaga Marwah Profesi, PWI Bojonegoro Resmi Laporkan Oknum Wartawan Pemeras Kades ke Polisi

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Bojonegoro mengambil langkah tegas dengan melaporkan oknum yang mengaku sebagai wartawan ke Satreskrim Polres Bojonegoro, Rabu (17/12/2025). Laporan ini dilayangkan atas dugaan pencemaran nama baik dan penyalahgunaan identitas organisasi untuk melakukan pemerasan terhadap sejumlah kepala desa.

    Ketua PWI Bojonegoro, Sasmito Anggoro, hadir langsung memimpin pelaporan yang diterima oleh Kaur Bin Opsnal (KBO) Satreskrim Polres Bojonegoro, Iptu Dasmono. Sasmito menegaskan bahwa langkah hukum ini diambil sebagai bentuk perlindungan terhadap integritas organisasi dan profesi jurnalis.

    “Kami melaporkan secara resmi ke Satreskrim Polres Bojonegoro. Ini bukan sekadar gertakan, tetapi upaya hukum agar persoalan ini jelas dan tidak berulang,” ujar Sasmito Anggoro.

    Dalam laporan tersebut, PWI menyertakan sederet alat bukti kuat, mulai dari tangkapan layar percakapan WhatsApp bernada intimidasi, foto kartu identitas pers (ID Card), hingga bukti kuitansi yang digunakan pelaku untuk menarik uang dari para korban.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejumlah desa di wilayah Bojonegoro telah menjadi sasaran aksi oknum tersebut, di antaranya Desa Tondomulo, Desa Panjang, dan Desa Kedungadem. Modusnya, pelaku meminta uang dengan nominal antara Rp1,5 juta hingga Rp1,6 juta dengan dalih dana kegiatan akhir tahun.

    Tidak hanya mencatut nama PWI Bojonegoro, pelaku juga kedapatan menggunakan foto-foto kegiatan resmi PWI Jawa Timur dan PWI Tuban untuk memperdaya para kepala desa melalui pesan digital.

    “Ini bukan hanya soal nama PWI, tetapi juga soal menjaga marwah profesi wartawan. Kami ingin masyarakat tahu bahwa PWI tidak pernah melakukan praktik-praktik seperti itu,” tegas Sasmito.

    Sasmito menyatakan tidak menutup kemungkinan jumlah terlapor akan bertambah seiring berjalannya penyidikan. Ia mengimbau kepada para kepala desa maupun pihak lain yang merasa dirugikan atau diintimidasi oleh oknum serupa untuk segera melapor ke pihak kepolisian.

    PWI Bojonegoro juga menekankan pentingnya verifikasi bagi pejabat publik jika menerima pesan atau permintaan dana yang mencurigakan.

    “Jika ragu, silakan klarifikasi. Kami terbuka dan siap menjelaskan. Jangan sampai ada lagi yang dirugikan oleh ulah oknum,” pungkasnya. [lus/beq]