Kementrian Lembaga: BI

  • Penjualan Rumah Merosot, Ini Sederet Biang Keroknya – Page 3

    Penjualan Rumah Merosot, Ini Sederet Biang Keroknya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kinerja sektor properti residensial di Indonesia menunjukkan tren perlambatan pada triwulan II 2025. Data dari Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mencatat penjualan rumah di pasar primer turun 3,80% (yoy).

    “Penjualan properti residensial terkontraksi sebesar 3,80% (yoy), setelah tumbuh sebesar 0,73% (yoy) pada triwulan I 2025. Perkembangan ini dipengaruhi oleh penjualan rumah tipe kecil yang tumbuh 6,70% (yoy), melambat dari 23,75% (yoy) pada triwulan sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, dalam laporan SUrvei Harga Properti Residensial Bank Indonesia, Jumat (8/8/2025).

    Bank Indonesia mencatat lima penghambat utama yang terus membayangi pertumbuhan sektor properti residensial. Masalah pertama adalah kenaikan harga bahan bangunan yang disebut oleh 19,97% responden survei. Harga material seperti semen, baja ringan, dan bahan baku lainnya kian memberatkan biaya konstruksi.

    Masalah kedua datang dari sisi perizinan dan birokrasi. Sebanyak 15,13% responden menyatakan bahwa proses administrasi pembangunan masih lambat dan menyulitkan, terutama di daerah. Ini berdampak langsung pada kecepatan realisasi proyek dan daya saing pengembang.

    Faktor ketiga dan keempat adalah suku bunga KPR yang masih relatif tinggi (15,00%) dan proporsi uang muka yang berat bagi konsumen (11,38%). Kondisi ini membuat banyak calon pembeli menunda keputusan untuk membeli rumah, terutama di kalangan milenial dan keluarga muda.

    Sementara itu, faktor kelima adalah perpajakan, yang masih dianggap membebani oleh 8,66% responden. Beban pajak yang tinggi baik untuk pembeli maupun pengembang menjadi salah satu alasan mengapa harga rumah sulit ditekan, dan pasar tidak tumbuh agresif.

    “Berdasarkan hasil survei, penghambat utama pengembangan dan penjualan properti residensial primer meliputi kenaikan harga bahan bangunan (19,97%), masalah perizinan/birokrasi (15,13%), suku bunga KPR (15,00%), proporsi uang muka yang tinggi dalam pengajuan KPR (11,38%), dan perpajakan (8,66%),” ujarnya.

     

  • KPR Masih jadi Andalan Beli Rumah, Tapi Pertumbuhannya Seret – Page 3

    KPR Masih jadi Andalan Beli Rumah, Tapi Pertumbuhannya Seret – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih menjadi cara utama masyarakat Indonesia dalam membeli rumah. Berdasarkan data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, sebesar 73,06% pembelian rumah primer pada triwulan II 2025 dilakukan melalui skema KPR.

    “Dari sisi konsumen, sebagian besar pembelian rumah primer dilakukan melalui KPR dengan pangsa sebesar 73,06%,” Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, dalam laporan SUrvei Harga Properti Residensial Bank Indonesia, Jumat (8/8/2025).

    Lebih lanjut, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan sementara sisanya menggunakan pembayaran tunai bertahap (17,75%) dan tunai langsung (9,19%).

    Meskipun KPR masih mendominasi, tren pertumbuhannya mulai melambat. Secara tahunan, nilai KPR hanya tumbuh 7,81% (yoy) pada triwulan II 2025, turun dari 9,13% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun permintaan masih ada, pertumbuhan tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya.

    “Pada triwulan II 2025, total nilai KPR secara tahunan tumbuh sebesar 7,81% (yoy), melambat dibandingkan 9,13% (yoy) pada triwulan sebelumnya,” ujarnya.

    Secara triwulanan, perlambatan lebih terasa. Pertumbuhan nilai KPR hanya mencapai 1,32% (qtq), jauh lebih rendah dibandingkan 2,54% (qtq) pada triwulan I 2025.

     

  • Babak Baru Kasus Dugaan Korupsi Dana CSR BI & OJK yang Seret 2 Anggota DPR

    Babak Baru Kasus Dugaan Korupsi Dana CSR BI & OJK yang Seret 2 Anggota DPR

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka lembaran baru dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang terkait program corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Terbaru, dua anggota DPR RI periode 2019–2024, Heri Gunawan (HG) dari Partai Gerindra dan Satori (ST) dari Partai Nasdem, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. 

    Penetapan ini menjadi babak krusial setelah hampir setahun KPK memeriksa berbagai pihak hingga menggeledah kantor lembaga tinggi negara. KPK juga menelusuri jejak aliran dana yang seharusnya untuk kegiatan sosial, tetapi diduga berubah haluan menjadi pembelian tanah, kendaraan, deposito, hingga pembangunan usaha pribadi.

    Awal Mula Dana CSR BI & OJK dari Panja Komisi XI 

    Dugaan rasuah ini bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK.

    Dalam rapat-rapat tertutup sejak 2020, disepakati penyaluran dana CSR dari kedua lembaga tersebut untuk kegiatan sosial masyarakat. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan CSR. 

    Namun, menurut KPK, alokasi tersebut justru menjadi celah. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.

    “Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

    Dari hasil penyidikan, HG menerima total Rp15,86 miliar, yang terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lainnya.

    Uang ini digunakan HG untuk membangun rumah makan, membeli mobil, tanah, bangunan, hingga mengelola outlet minuman.

    ST, di sisi lain, mengantongi Rp12,52 miliar: Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Modusnya lebih rumit sebab dia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tak terdeteksi di rekening koran.

    “Dana itu kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor,” ujar Asep. 

    KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi.

    Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024. Meski begitu, Perry hingga kini belum dipanggil untuk dimintai keterangan. BI sendiri menyatakan menghormati proses hukum dan berkomitmen mendukung penyidikan.

    “Kami akan mendalami peran gubernur BI, deputi gubernur, juga pihak OJK. Tidak menutup kemungkinan ada temuan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Asep.

    Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif.

    Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.

    Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum.

    “Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi,” ujar seorang akademisi.

    Menanti Babak Lanjutan TPPU

    Dengan dua alat bukti yang telah dikantongi, KPK menjerat HG dan ST dengan pasal korupsi dan pencucian uang. Namun, publik menunggu lebih dari sekadar vonis.

    Babak baru ini diharapkan mengungkap jaringan yang lebih luas—apakah hanya dua anggota DPR ini yang bermain, atau ada sistem yang lebih dalam yang memuluskan aliran dana CSR untuk kepentingan pribadi.

    Di tengah penantian itu, satu pesan menjadi jelas: amanat sosial dana CSR harus kembali ke rakyat. Sebab, setiap rupiah yang dialihkan, berarti mengurangi harapan warga terhadap bantuan yang seharusnya mereka terima.

    Sementara itu, KPK juga merasa janggal terkait persetujuan penyaluran dana CSR BI dan OJK ke yayasan milik tersangka kasus ini, Heri Gunawan (HG) dan Satori (ST).

    Asep Guntur Rahayu mempertanyakan mengapa yayasan tersebut harus dipilih untuk mengelola dana CSR BI dan OJK. Sebab bisa saja yayasan di luar Komisi XI atau struktural terkait dipilih untuk menjalankan program itu.

    “Mengapa itu tidak diberikan misalnya kepada yayasan-yayasan yang bukan dimiliki oleh anggota Komisi XI atau di luar yang ditunjuk oleh anggota Komisi XI. Misalkan rekan-rekan punya yayasan boleh dong mengajukan juga mendapatkan bantuan sosial baik dari BI, OJK, maupun mitra dari Komisi XI tersebut,” jelas Asep dalam jumpa pers, Kamis (7/8/2025).

    Dia mengatakan dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ini memiliki modus mengkambinghitamkan bantuan sosial padahal uang akan digunakan untuk kepentingan pribadi.

    “Kita sedang mendalami adanya sejumlah uang yang bergeser walaupun ini dalam bentuk ‘dibungkus’ dengan kegiatan sosial, dana sosial. Tapi tentu selalu ada alasan,” kata Asep.

    Meski begitu, Asep mengatakan penyidik sedang mengusut kasus ini agar mengetahui secara pasti aliran dana CSR. Dia tidak menutup kemungkinan dalam pengembangan perkara ada pihak-pihak atau temuan baru sehingga kasus terungkap secara terang benderang.

    Salah satunya ingin mengetahui apakah kedua tersangka menyalurkan atau diperintahkan oleh partai politiknya untuk melancarkan dugaan TPPU.

    “Apakah pemberian sejumlah uang ini merupakan juga connecting atau ada hubungan dengan partai politiknya? Apakah diperintahkan partai politiknya? Apakah disetor dan lain-lain itu yang sampai saat ini kita akan memperdalam?” tegasnya.

    Tindak lanjut kasus dana CSR BI-OJK berkaitan dengan pasal yang ditetapkan oleh KPK kepada tersangka, yakni pasal terkait TPPU.

    Asep menyebutkan HG dan ST mengantongi total uang yang berbeda. HG menerima Rp15,86 miliar, sedangkan ST Rp12,52 miliar. Uang tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadi, bukan penyaluran kegiatan sosial sebagaimana ketentuan yang berlaku. 

    Adapun, KPK menjerat tersangka dengan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Penjualan Rumah Anjlok Parah, Pelemahan Daya Beli Masyarakat Makin Nyata – Page 3

    Penjualan Rumah Anjlok Parah, Pelemahan Daya Beli Masyarakat Makin Nyata – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pasar properti residensial di Indonesia menghadapi tekanan serius pada triwulan II 2025. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, penjualan rumah di pasar primer secara tahunan terkontraksi sebesar 3,80% (yoy), berbalik arah dari pertumbuhan 0,73% (yoy) pada triwulan sebelumnya.

    “Penjualan properti residensial terkontraksi sebesar 3,80% (yoy), setelah tumbuh sebesar 0,73% (yoy) pada triwulan I 2025,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, dalam laporan SUrvei Harga Properti Residensial Bank Indonesia, Jumat (8/8/2025).

    Koreksi penjualan ini menandakan melemahnya daya beli konsumen maupun hambatan dari sisi suplai. Menariknya, meskipun secara keseluruhan sektor menurun, rumah tipe kecil justru menjadi penopang utama pasar.

    Penjualan rumah tipe ini masih tumbuh sebesar 6,70% (yoy), meskipun melambat cukup tajam dibandingkan triwulan I 2025 yang tumbuh hingga 23,75% (yoy).

    “Perkembangan ini dipengaruhi oleh penjualan rumah tipe kecil yang tumbuh 6,70% (yoy), melambat dari 23,75% (yoy) pada triwulan sebelumnya,” ujarnya.

    Data ini mengindikasikan bahwa segmen menengah ke bawah masih menunjukkan permintaan yang relatif stabil. Sebaliknya, penjualan rumah tipe menengah dan besar justru mengalami kontraksi yang cukup dalam.

    Rumah tipe besar terkontraksi sebesar 14,95% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi 11,69% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Sementara itu, rumah tipe menengah terkontraksi 17,69% (yoy), sedikit membaik dari triwulan sebelumnya yang mencapai minus 35,76% (yoy).

     

     

  • KPK Akan Gali Korupsi Dana CSR Saat Periksa Gubernur BI dan OJK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Agustus 2025

    KPK Akan Gali Korupsi Dana CSR Saat Periksa Gubernur BI dan OJK Nasional 8 Agustus 2025

    KPK Akan Gali Korupsi Dana CSR Saat Periksa Gubernur BI dan OJK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami kasus dana
    corporate social responsibility
    (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui pemeriksaan Gubernur BI Perry Warjiyo dan pejabat di OJK.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, keterangan Gubernur BI dan pejabat OJK dibutuhkan agar konstruksi perkara menjadi lebih terang.
    “Apakah ada permintaan sesuatu terkait dengan anggaran atau apanya ini yang akan didalami dari orang-orang ini termasuk dari Pak PW (Gubernur BI Perry Warjiyo) kemudian juga dari Ibu F (Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta) dan tentunya juga dari OJK dan mitra kerja dari Komisi XI lainnya,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (7/8/2025).
    Dalam perkara ini, KPK menetapkan dua anggota DPR, Heru Gunawan dan Satori, sebagai tersangka. Heru Gunawan diduga menerima uang Rp15,86 miliar.
    Rinciannya, sebanyak Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI; senilai Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta senilai Rp1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    Heru Gunawan juga diduga melakukan dugaan pencucian uang dengan memindahkan seluruh penerimaan melalui yayasan yang dikelolanya ke rekening pribadi melalui metode transfer.
    “Di mana HG kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai,” ujarnya.
    Di sisi lain, Satori diduga menerima uang senilai Rp12,52 miliar.
    Dengan rincian, sejumlah Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI; senilai Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta sejumlah Rp1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    KPK mengatakan, dari seluruh uang yang diterima, Satori diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
    “Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tuturnya.
    KPK menduga Satori melakukan rekayasa transaksi perbankan dengan meminta salah satu bank daerah untuk menyamarkan penempatan deposito serta pencairannya agar tidak teridentifikasi di rekening koran.
    “Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
    Atas perbuatannya, Heru Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
    Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rupiah Hari Ini: Dolar AS Makin Perkasa di Level Segini – Page 3

    Rupiah Hari Ini: Dolar AS Makin Perkasa di Level Segini – Page 3

    Penguatan rupiah terjadi di tengah rilis Bank Indonesia (BI) soal cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2025. BI melaporkan cadangan devisa Indonesia terjaga tetap tinggi sebesar USD 152 miliar. Namun, posisi itu sedikit turun dari posisi akhir Juni 2025 sebesar USD 152,6 miliar.

    “Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso dalam laman BI.

    Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2025 setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

    “Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” ujar dia.

    Ke depan, Bank Indonesia memandang posisi cadangan devisa memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan prospek ekspor yang tetap terjaga, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus, serta persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik dan imbal hasil investasi yang menarik.

    Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

     

  • KPK Cari Pihak Lain Terlibat Kasus Korupsi Dana CSR BI dan OJK

    KPK Cari Pihak Lain Terlibat Kasus Korupsi Dana CSR BI dan OJK

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka kasus dugaan pencucian uang dalam program corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keduanya merupakan HG dan ST, anggota Komsii XI DPR RI periode 2019-2024.

    KPK mengendus dugaan penyelewengan dana kegiatan sosial yang diajukan oleh Komisi XI kepada mitra kerja, yaitu BI dan OJK.

    Dari pemeriksaan awal, KPK menduga HG menerima uang Rp15,86 miliar sedangkan HT Rp12,52 miliar. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi seperti membeli kendaraan hingga tanah dan bangunan.

    Pada perkara ini, KPK masih mendalami peran-peran terduga pelaku yang terindikasi terlibat pencucian uang.

    “Kita juga akan mendalami peran-peran bagaimana perannya dari gubernur BI, kemudian juga deputi gubernur, peran dari OJK , dan lain lain. Karena itu sedang kita dalami, sambil juga kita menangani perkara ini, maju dulu dua tersangka,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Kamis (7/8/2025). 

    Selain peran tersangka, Asep mengatakan KPK juga mendalami pihak-pihak yang mendapatkan aliran dana dari kasus ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan adanya temuan baru meliputi pelaku hingga besaran uang.

    “Tapi tidak menutup kemungkinan dalam penanganannya kami akan menemukan bahwa ada tindak pidana korupsi lainnya,” tegasnya 

    Penemuan perkara ini, lanjutnya, masih belum mengungkapkan banyak hal. Asep menjelaskan penetapan dua tersangka menjadi pemantik bagi penyidik untuk menemukan bukti-bukti baru.

    Dia mengendus masih ada dugaan penambahan dana CSR BI dan OJK yang diajukan oleh tersangka kepada mitra-mitranya.

    Setelah KPK mendapatkan informasi bahwa penyelewengan memang benar terjadi, penyidik KPK bakal lakukan pengecekan soal penggunaan dana CSR BI dan OJK sudah sesuai peruntukannya.

    “Karena mulai terjadinya perbuatan melawan hukum ketika uang ini atau dana CSR ini yang seharusnya digunakan kegiatan kegiatan sosial, tidak digunakan untuk kegiatan sosial, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi,” paparnya.

    Diketahui, HG menugaskan Tenaga Ahli dan ST menginstruksikan orang kepercayaannya untuk membuat sekaligus mengajukan proposal kepada BI dan OJK agar penyaluran dana melalui 4 yayasan yang dikelola HG dan 8 yayasan yang dikelola ST.

    Sebab, dana kegiatan CSR BI dan OJK disalurkan melalui yayasan sesuai kesepakatan Panitia Kerja dengan para mitra. Dalam aksinya, HG meminta anak buahnya membuka rekening baru untuk menampung dana pencairan, yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi. 

    Sementara itu, ST diduga mengakali penyaluran dana dengan meminta salah satu bank menyamarkan transaksi penempatan deposito dan pencairannya, sehingga tidak teridentifikasi di rekening koran.

  • 7
                    
                        Mayoritas Anggota Komisi XI DPR Disebut Terima Dana CSR BI-OJK
                        Nasional

    7 Mayoritas Anggota Komisi XI DPR Disebut Terima Dana CSR BI-OJK Nasional

    Mayoritas Anggota Komisi XI DPR Disebut Terima Dana CSR BI-OJK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan bahwa mayoritas Anggota Komisi XI DPR menerima dana
    corporate social responsibility
    (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk periode 2020-2023.
    Materi tersebut didalami KPK bermula dari pengakuan Anggota DPR Satori yang ditetapkan sebagai tersangka dalam penyelewengan dana CSR BI-OJK pada Kamis (7/8/2025).
    “Bahwa menurut pengakuan ST (Satori), sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (7/8/2025).
    Dalam kasus ini, KPK menduga Satori menerima uang senilai Rp12,52 miliar.
    Rinciannya, sejumlah Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan program sosial BI, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta Rp1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    Dari seluruh uang yang diterima, Satori diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
    “Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” ujar Asep.
    KPK menduga Satori melakukan rekayasa transaksi perbankan dengan meminta salah satu bank daerah untuk menyamarkan penempatan deposito serta pencairannya agar tidak teridentifikasi di rekening koran.
    Atas perbuatannya, Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
    Politikus Partai Nasdem ini juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Selain Satori, KPK juga menetapkan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan dalam perkara ini.
    Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan, pihaknya menghormati langkah KPK menetapkan Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka.
    “Kita hormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK terkait penetapan tersangka dua anggota DPR RI yang berkaitan dengan Program Sosial Bank Indonesia,” kata Misbakhun, Kamis malam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Bisnis.com, JAKARTA — Cadangan devisa Indonesia dibayangi oleh pembayaran utang luar negeri dan kemungkinan efek penerapan tarif 19% terhadap barang asal Indonesia oleh pemerintahan Donald Trump. 

    Tarif Trump belum berdampak terhadap kinerja ekspor yang merupakan salah satu sumber devisa negara. Namun demikian, pemberlakuan tarif 19% yang efektif pada 7 Agustus 2025, diproyeksikan akan menekan kinerja ekspor barang Indonesia ke AS. Apalagi AS adalah salah pangsa pasar ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China.

    Adapun rilis terbaru Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pada Juli 2025 posisi cadangan devisa berada di angka US$152,0 miliar pada Juli 2025 atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$152,6 miliar.

    Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada Maret 2025, yakni senilai US$157,1 miliar. Namun, setelahnya turun.

    Cadangan devisa relatif stabil posisinya sejak April 2025, yakni sebesar US$152,5 miliar. Posisinya kemudian turun pada Juli 2025, salah satunya untuk keperluan pembayaran utang luar negeri.

    “Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, Kamis (7/8/2025).

    Grafik Cadangan Devisa Januari – Juli 2025

    Sumber: Bank Indonesia, miliar US$

    BI melaporkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia per Mei 2025 adalah senilai US$435,6 miliar, setara Rp7.100,28 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp16.300 per dolar AS pada akhir Mei 2025). Jumlah utang itu naik US$4,05 miliar atau sekitar Rp66 triliun dari bulan sebelumnya.

    Jumlah utang luar negeri per Mei 2025 naik dalam nominal dolar, tetapi menjadi turun saat dikonversi ke dalam rupiah karena terjadi penguatan kurs pada Mei 2025 dari bulan sebelumnya.

    Utang luar negeri Indonesia Mei 2025 mengalami kenaikan 6,8% secara tahunan (year on year/YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2025 sebesar 8,2% (YoY).

    “Perkembangan tersebut disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN [utang luar negeri] di sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN swasta,” ujar Denny.

    Dibayangi Tarif Donald Trump

    Ramdan menyampaikan bahwa BI juga melakukan intervensi di pasar keuangan demi menjaga stabilitas rupiah, terutama di tengah dinamika ekonomi global setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif resiprokal ke banyak negara menjelang pemberlakuan.

    “Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2025 setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” ujar Denny.

    BI, sambungnya, menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

    Oleh sebab itu, cadangan devisa sebesar US$152 miliar itu diyakini memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus.

    Sejalan dengan itu, BI berharap cadangan devisa tersebut meningkat persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.

    “Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tutup Ramdan.

    Neraca Dagang RI-AS 

    Adapun tarif Trump 19% mulai berlaku pada 7 Agustus 2025. Alasan Trump mengenakan tarif impor barang sebesar 19% ke Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Seperti diketahui, neraca perdagangan AS dengan Indonesia selalu defisit. Hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. 

    Bisnis telah merangkum data neraca perdagangan Indonesia-AS selama tahun 2020 – Semester 1/2025 versi otoritas statistik AS, yang menunjukkan nilai sebesar US$101,7 miliar. Angka defisit bagi AS merupakan surplus bagi neraca perdagangan Indonesia.

    Adapun kebijakan tarif Trump telah memicu kekhawatiran baik pemerintah maupun kalangan pengusaha mengenai turunnya permintaan dari AS akibat tarif yang mencapai 19%. Lonjakan ekspor ke AS dan masih terjaganya surplus perdagangan ke negeri Paman Sam itu dinilai tidak akan bertahan lama dan ada potensi kemungkinan tergerus pasca penerapan tarif Trump. 

    BPS mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan AS masih tercatat surplus di angka US$9,9 miliar pada semester 1/2025. Angka versi BPS itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan versi AS yang mencatatkan bahwa surplus perdagangan Indonesia ke AS mencapai US$11,7 miliar. 

    Apa Kata Ekonom?

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual mengamini data BI tersebut. Dia menyebut utang luar negeri (ULN) pemerintah serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang jatuh tempo pada bulan lalu memang memakan porsi yang besar dari cadangan devisa Tanah Air. 

    Meski demikian, David masih menilai bahwa eksternal Indonesia masih terkendali karena kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sejauh ini masih positif. 

    “Tapi sejauh ini asing masih positif ytd [year-to-date] di SBN mengimbangi net flow asing di saham yang negatif,” terang David kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025). 

    Ke depan, David memperkirakan cadangan devisa Indonesia sampai akhir 2025 berada di kisaran US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Perkiraan itu dengan asumsi SBN pemerintah dengan denominasi dolar Australia dan yuan China, Kangaroo dan Dimsum Bond, jadi terbit. 

    “Proyeksi antara US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Ada rencana  penerbitan Kangaroo dan Dimsum Bonds. Kalau jadi bisa tambah devisa,” terangnya. 

    Tidak hanya itu, David turut memperkirakan nilai tukar rupiah juga bakal berada di rentang antara Rp16.300 sampai dengan Rp16.600 per dolar Amerika Serikat (AS). 

  • KPK Akan Gali Korupsi Dana CSR Saat Periksa Gubernur BI dan OJK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Agustus 2025

    Perjalanan Panjang Kasus Korupsi CSR BI-OJK, 2 Anggota DPR Jadi Tersangka Nasional 8 Agustus 2025

    Perjalanan Panjang Kasus Korupsi CSR BI-OJK, 2 Anggota DPR Jadi Tersangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengumumkan dua anggota DPR RI, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka korupsi.
    Heri merupakan anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, sementara Satori dari Fraksi Nasdem.
    Keduanya disangka menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penyaluran dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) dan Penyuluh Jasa Keuangan (PJK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2020-2023.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan pihaknya telah mengantongi bukti yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.
    “Menetapkan dua orang sebagai tersangka, yaitu HG (Heri Gunawan) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 dan ST (Satori) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (7/8/2025).
    Praktik culas anggota dewan menerima aliran dana CSR BI sudah terendus KPK jauh sebelum nama Heri dan Satori diumumkan secara resmi.
    Sejak pertengahan 2024, sudah beredar isu bahwa lembaga antirasuah tengah mengusut dugaan korupsi dana CSR BI dan OJK yang menyeret dua nama anggota dewan.
    Kabar dugaan korupsi penggunaan Dana CSR BI dan OJK saat itu sudah dikonfirmasi Asep.
    “Bahwa KPK sedang menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait penggunaan dana CSR dari BI dan OJK tahun 2023,” kata Asep di Bogor, 13 September 2024.
    Kasus itu kemudian menjadi sorotan publik setelah KPK mulai menggelar upaya paksa penggeledahan pada Desember 2024.
    Saat itu, KPK telah meningkatkan status hukum Heri dan Satori sebagai tersangka.
    Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK saat itu, Rudi Setiawan, mengatakan tim penyidik menggeledah beberapa ruang kerja di Kantor BI, termasuk ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo.
    Ketika itu, penyidik menemukan bukti elektronik dan beberapa dokumen.
    Setelah operasi penggeledahan, KPK memanggil Heri dan Satori untuk menjalani pemeriksaan pada akhir Desember 2024.
    Pada 18 Februari 2024, penyidik memeriksa Satori.
    Pada kurun waktu tersebut, tenaga ahli Heri juga diperiksa.
    Satori kemudian kembali menjalani pemeriksaan penyidik pada 21 April 2024.
    Selang dua bulan kemudian, penyidik kembali memeriksa Heri dan Satori pada 18 Juni.
    Dalam perkara ini, Heri dan Satori diduga merekomendasikan yayasan yang akan menerima dana CSR BI-OJK.
    Yayasan itu dikelola oleh mereka sendiri yang duduk di Komisi DPR RI dengan bidang tugas terkait perbankan.
    Namun, yayasan yang mereka kelola itu tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana menjadi syarat dalam proposal bantuan dana CSR.
    KPK kemudian menduga, Heri menerima uang Rp 15,86 miliar dengan rincian Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    Dana yang diterima yayasan itu kemudian dipindahkan ke rekening pribadi melalui transfer.
    Ia juga disebut meminta anak buahnya membuka rekening baru yang akan digunakan sebagai penampungan pencairan dana melalui metode setor tunai.
    “HG (Heri Gunawan) menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar Asep.
    Sementara itu, Satori diduga menerima dana CSR Rp 12,52 miliar dengan rincian Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lain.
    Uang yang diterima itu kemudian digunakan Satori untuk deposito dan pembelian aset.
    “Ia juga melakukan pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur Asep.
    Kepada penyidik, Satori mengungkapkan sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI menerima dana CSR tersebut.
     
    “Bahwa menurut pengakuan ST (Satori), sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
    Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan, pihaknya menghormati langkah KPK menetapkan Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka.
    “Kita hormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK terkait penetapan tersangka dua anggota DPR RI yang berkaitan dengan Program Sosial Bank Indonesia,” kata Misbakhun, Kamis malam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.