Kementrian Lembaga: Bea Cukai

  • Propaganda Perang Dagang China Vs AS, Pasar Mangga Dua dan Tuduhan Barang Branded Buatan AS – Halaman all

    Propaganda Perang Dagang China Vs AS, Pasar Mangga Dua dan Tuduhan Barang Branded Buatan AS – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perang dagang China Vs Amerika Serikat (AS) memasuki babak baru.

    Setelah kenaikan tarif impor antara AS Vs China, perang dagang dilanjutkan dengan propaganda dagang.

    Pekan lalu sejumlah influencer China di media sosial terutama TikTok menegaskan bahwa barang-barang yang di-branded mewah oleh Amerika dan Eropa merupakan buatan China.

    Diantaranya, seperti dikutip dari CNN International, seorang pengguna TikTok bernama Wang Sen mengaku sebagai produsen asli untuk sebagian besar barang mewah dunia.

    Dalam videonya, ia tampak memegang tas mewah bermerek Birkin.

    Terlihat para pekerja pabrik tengah membuat tas-tas mewah yang nantinya akan diekspor ke luar negeri.

    Wang Sen mengatakan bahwa brand-brand mewah tersebut dibeli  China, lalu orang di Amerika menempelkan label merek mereka sendiri, seolah-olah tas-tas itu dirancang oleh desainer di Eropa.

    “Mengapa kalian tidak menghubungi kami dan membeli langsung dari kami? Kalian tidak akan percaya harga yang kami tawarkan,” katanya.

    Video tersebut kemudian dihapus dari aplikasi TikTok tapi di-repost sejumlah akun dan tersebar luas di X.

    Bukan hanya Wang Sen, sejumlah influencer dari China juga mengatakan hal senada dan viral di TikTok.

    Dibalas Amerika, Indonesia Jadi Sasaran

    Tidak tinggal diam, Amerika Serikat atau AS juga membalas propaganda China itu.

    Sejumlah negara kena dampaknya termasuk Indonesia.

    Dalam 3 hari ini, AS menuding Pasar Mangga Dua di Jakarta mendistribusikan dan menjual barang-barang bajakan.

    Bukan rahasia lagi isu mengenai Pasar Mangga Dua mendistribusikan barang bajakan asal China sudah lama terdengar.

    Kendati demikian,  pemerintah RI melalui Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan pihaknya akan terus mengawasi perdagangan barang-barang ilegal, termasuk di kawasan Mangga Dua, Jakarta, yang dikeluhkan  AS.

    Seperti diketahui, dalam dokumen laporan tahunan Special 301 Report 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar hitam pusat peredaran produk palsu di dunia.

    Mangga Dua disebut sebagai “notorious market” atau pasar terkenal yang secara konsisten menjadi ladang subur bagi penjualan barang palsu mulai dari pakaian, aksesori, perangkat lunak, hingga produk bermerek internasional.

    “Mangga Dua masih menjadi pasar yang populer untuk berbagai barang palsu, termasuk tas, dompet, mainan, barang berbahan kulit, dan pakaian jadi. Hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada tindakan penegakan hukum terhadap penjual barang palsu,” tulis dokumen tersebut.

    Sebenarnya bukan hanya Indonesia yang disorot AS soal barang bajakan.

    USTR juga menyoroti dua negara lain di Asia Tenggara yakni Malaysia dan Thailand yang juga dianggap menjadi penghambat perdagangan. 

    Dalam kasus Thailand dan Malaysia, pemerintah AS juga mengeluhkan peredaran barang bajakan terutama yang dijual di kawasan Pasar Petaling Street (Kuala Lumpur) dan MBK Center (Bangkok).

    China Ancam Negara-negara yang Negosiasi dengan Trump

    Kemarin, pemerintah China mengumumkan akan menjatuhkan sanksi balasan kepada negara-negara yang melakukan negosiasi mengenai kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS).

    Tak dijelaskan secara rinci sanksi apa yang akan diterapkan China  kepada negara-negara yang melakukan negosiasi terhadap kenaikan tarif yang dikenakan Presiden AS Donald Trump itu.

    Namun, Kementerian Perdagangan China menegaskan bahwa Tiongkok akan mengambil tindakan balasan dan timbal balik yang tegas.

    Ancaman ini dilontarkan China setelah munculnya laporan bahwa AS berencana menggunakan negosiasi tarif untuk menekan puluhan negara agar memberlakukan hambatan baru pada perdagangan dengan China.

    “China dengan tegas menentang pihak manapun yang mencapai kesepakatan dengan mengorbankan kepentingan China. Jika ini terjadi, China tidak akan pernah menerimanya dan akan dengan tegas mengambil tindakan balasan,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari BBC International.

    Tak hanya melontarkan ancaman, China juga memperingatkan negara-negara agar tidak lembek menghadapi perang tarif Trump.

    Presiden China  Xi Jinping pekan lalu telah mengunjungi tiga negara Asia Tenggara dalam upaya memperkuat hubungan regional, dan menyerukan mitra dagang untuk menentang intimidasi sepihak.

    China  mengatakan pihaknya sedang “meruntuhkan tembok” dan memperluas lingkaran mitra dagangnya di tengah pertikaian perdagangan.

    Taruhannya tinggi bagi negara-negara Asia Tenggara yang terjebak perang dagang AS-China,  terutama mengingat besarnya perdagangan dua arah blok ASEAN regional dengan China  dan Amerika Serikat.

    Menteri ekonomi dari Thailand dan Indonesia saat ini berada di Amerika Serikat.

    Malaysia akan bergabung akhir minggu ini, semuanya berupaya untuk melakukan negosiasi perdagangan dengan AS.

    Enam negara di Asia Tenggara dikenakan tarif berkisar antara 32 persen hingga 49%.

    ASEAN adalah mitra dagang terbesar China, dengan total nilai perdagangan mencapai $234 miliar pada kuartal pertama tahun 2025, kata badan bea cukai China minggu lalu.

    Perdagangan antara ASEAN dan AS berjumlah sekitar $476,8 miliar pada tahun 2024, menurut angka AS, menjadikan AS mitra dagang terbesar keempat blok regional tersebut.

    “Tidak ada pemenang dalam perang dagang dan perang tarif,” kata Xi dalam sebuah artikel yang diterbitkan di media Vietnam, tanpa menyebut Amerika Serikat.

     

  • BI Respons Sikap AS Tegur Pembayaran QRIS di Indonesia, Akan Ada Kerja Sama?

    BI Respons Sikap AS Tegur Pembayaran QRIS di Indonesia, Akan Ada Kerja Sama?

    PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengkritik kebijakan sistem pembayaran digital di Indonesia, khususnya penggunaan Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Bank Indonesia (BI) akhirnya buka suara.

    Kritik ini mulanya muncul saat kedua negara sedang melakukan negosiasi soal tarif dagang timbal balik.

    AS menilai kebijakan tersebut membatasi gerak perusahaan asing di Indonesia, terutama di sektor keuangan dan sistem pembayaran.

    Menanggapi hal ini, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, mengatakan bahwa negosiasi dengan pihak AS masih berlangsung.

    “Itu lagi proses ya,” kata Destry di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Senin, 21 April 2025.

    Kendati tak menjelaskan proses yang dimaksud, Destry menegaskan bahwa Bank Indonesia saat ini juga memiliki tugas untuk meningkatkan sistem pembayaran nasional.

    Salah satunya dilakukan lewat pengembangan QRIS, yang juga memberi manfaat bagi para pekerja migran Indonesia (PMI).

    Ia menjelaskan bahwa QRIS kini sudah bisa digunakan di beberapa negara tujuan PMI seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Saat ini, Indonesia juga tengah menjajaki kerja sama QRIS dengan Korea Selatan, India, dan Arab Saudi.

    “Intinya, QRIS ataupun fast payment lainnya, kerja sama kita dengan negara lain, itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi kita tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa nggak? Dan sekarang pun, sampai sekarang, kartu kredit, Visa, Mastercard masih juga yang dominan. Jadi itu nggak ada masalah,” tutur Destry.

    AS Tegur QRIS dan Aturan GPN

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan sebelumnya, pemerintah telah berdiskusi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai masukan dari AS soal QRIS dan GPN.

    “Juga termasuk di dalamnya sektor keuangan. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang disiarkan lewat kanal YouTube Perekonomian RI, Sabtu, 19 April 2025.

    Namun, Airlangga belum menjelaskan secara rinci langkah-langkah apa yang akan diambil pemerintah bersama BI dan OJK untuk menanggapi kritik tersebut.

    Selain soal sistem pembayaran, AS juga menyoroti kebijakan lain seperti perizinan impor yang menggunakan sistem OSS (Online Single Submission), insentif pajak dan bea cukai, serta pengaturan kuota impor.

    “Pembahasan ini guna mendiskusikan opsi-opsi yang ada terkait kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang kita berharap bahwa situasi daripada perdagangan yang kita kembangkan bersifat adil dan berimbang,” tutup Airlangga. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • China Ingatkan Negara Lain Waspada dengan Negosiasi AS soal Tarif Impor – Halaman all

    China Ingatkan Negara Lain Waspada dengan Negosiasi AS soal Tarif Impor – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – China menuduh Amerika Serikat (AS) menyalahgunakan tarif impor.

    China juga memperingatkan negara-negara lain agar tidak mencapai kesepakatan ekonomi yang lebih luas dengan AS terkait tarif baru yang dikenakan Presiden AS Donald Trump.

    Pasalnya ada maksud tersembungi di balik negosiasi AS dengan negara lain.

    Peringatan China ini muncul pada hari ini, Senin (21/4/2025) di tengah perang dagang yang meningkat antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.

    China  akan dengan tegas menentang pihak mana pun yang membuat kesepakatan dengan AS dan merugikan China.

    “Kami akan mengambil tindakan balasan dengan cara yang tegas dan timbal balik,” kata Kementerian Perdagangan China dikutip dari Reuters.

    Kementerian tersebut menanggapi laporan Bloomberg, mengutip sumber yang mengetahui masalah tersebut, bahwa pemerintahan Trump sedang bersiap untuk menekan negara-negara yang mencari pengurangan tarif atau pengecualian dari AS untuk mengekang perdagangan dengan China, termasuk mengenakan sanksi moneter.

    Presiden Donald Trump menghentikan sementara tarif besar-besaran yang diumumkannya terhadap puluhan negara pada tanggal 2 April kecuali terhadap China.

    Dan menunjuk ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut sebagai negara yang dikenai pungutan terbesar .

    Dalam serangkaian langkah, Washington telah menaikkan tarif impor China hingga 145 persen, yang mendorong Beijing untuk mengenakan bea balasan sebesar 125% atas barang-barang AS.

    “Amerika Serikat telah menyalahgunakan tarif pada semua mitra dagang dengan mengatasnamakan apa yang disebut ‘kesetaraan’, sementara juga memaksa semua pihak untuk memulai apa yang disebut negosiasi ‘tarif timbal balik’ dengan mereka,” kata juru bicara kementerian tersebut.

    China bertekad dan mampu menjaga hak dan kepentingannya sendiri, dan bersedia memperkuat solidaritas dengan semua pihak, kata kementerian tersebut.

    “Faktanya, tidak ada seorang pun yang ingin memihak,” kata Bo Zhengyuan, mitra di konsultan kebijakan Plenum yang berpusat di China.

    “Jika negara-negara sangat bergantung pada China  dalam hal investasi, infrastruktur industri, pengetahuan teknologi, dan konsumsi, saya rasa mereka tidak akan menuruti permintaan AS. Banyak negara Asia Tenggara termasuk dalam kategori ini.”

    Kebijakan tarif Trump telah mengguncang pasar keuangan karena investor khawatir gangguan parah dalam perdagangan dunia dapat menjerumuskan ekonomi global ke dalam resesi.

    Presiden China  Xi Jinping mengunjungi tiga negara Asia Tenggara minggu lalu dalam upaya memperkuat hubungan regional, dan menyerukan mitra dagang untuk menentang intimidasi sepihak.

    China  mengatakan pihaknya sedang “meruntuhkan tembok” dan memperluas lingkaran mitra dagangnya di tengah pertikaian perdagangan.

    Taruhannya tinggi bagi negara-negara Asia Tenggara yang terjebak perang dagang AS-China,  terutama mengingat besarnya perdagangan dua arah blok ASEAN regional dengan China  dan Amerika Serikat.

    Menteri ekonomi dari Thailand dan Indonesia saat ini berada di Amerika Serikat.

    Malaysia akan bergabung akhir minggu ini, semuanya berupaya untuk melakukan negosiasi perdagangan dengan AS.

    Enam negara di Asia Tenggara dikenakan tarif berkisar antara 32% hingga 49%.

    ASEAN adalah mitra dagang terbesar China, dengan total nilai perdagangan mencapai $234 miliar pada kuartal pertama tahun 2025, kata badan bea cukai China minggu lalu.

    Perdagangan antara ASEAN dan AS berjumlah sekitar $476,8 miliar pada tahun 2024, menurut angka AS, menjadikan AS mitra dagang terbesar keempat blok regional tersebut.

    “Tidak ada pemenang dalam perang dagang dan perang tarif,” kata Xi dalam sebuah artikel yang diterbitkan di media Vietnam, tanpa menyebut Amerika Serikat.

     

  • Daftar Kebijakan yang Bikin Indonesia Tersandera AS Usai Kenaikan Pajak 47 Persen

    Daftar Kebijakan yang Bikin Indonesia Tersandera AS Usai Kenaikan Pajak 47 Persen

    PIKIRAN RAKYAT – Amerika Serikat menaikkan tarif bea masuk terhadap produk tekstil dan garmen dari Indonesia hingga 47 persen, sebagai respons atas berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia yang dinilai menghambat kepentingan bisnis AS. Kenaikan tarif ini menjadi bentuk tekanan dagang serius yang bisa berdampak pada ekspor nasional.

    Dalam laporan resmi bertajuk “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers”, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) secara gamblang mencantumkan Indonesia sebagai negara dengan banyak hambatan perdagangan. Berikut penjabaran lengkap atas daftar kebijakan Indonesia yang dikeluhkan AS, lengkap dengan kutipan dari laporan USTR:

    1. Kebijakan Impor: Tarif dan Non-Tarif

    AS mempersoalkan tarif dan prosedur impor Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan komitmen di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Misalnya, tarif impor untuk produk teknologi informasi, seperti peralatan switching dan routing, semestinya nol persen berdasarkan perjanjian ITA (Information Technology Agreement). Namun Indonesia diduga mengenakan bea masuk hingga 10 persen.

    “Meskipun memiliki tarif WTO sebesar nol persen untuk subpos HS 8517, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk 10 persen,” ujar USTR.

    Tak hanya itu, Indonesia juga dikenai kritik atas cukai tinggi terhadap minuman beralkohol impor, kebijakan audit pajak yang tidak transparan, serta proses restitusi pajak penghasilan yang sangat lambat. USTR mencatat bahwa proses tersebut bisa memakan waktu bertahun-tahun, menciptakan ketidakpastian dan beban bagi perusahaan asing.

    2. Hambatan Teknis Perdagangan (TBT)

    AS menuding Indonesia menggunakan hambatan teknis secara berlebihan yang tidak selalu berdasar pada prinsip ilmiah atau risiko kesehatan. Contohnya:

    Mainan anak wajib melalui uji laboratorium berulang meskipun telah lolos sertifikasi internasional. Produk susu dari AS harus diaudit langsung oleh pejabat Indonesia, termasuk biaya perjalanan, akomodasi, dan audit dokumen yang bisa mencapai lebih dari 10.000 dolar AS (Rp168 juta).

    “Biaya audit fasilitas produksi susu AS dapat melebihi US$10.000 dan memberatkan, terutama bagi usaha kecil,” ucap USTR.

    3. Sertifikasi Halal dan Labelisasi Produk

    Sertifikasi halal diwajibkan untuk produk makanan, kosmetik, hingga barang rumah tangga, termasuk dari perusahaan asing. AS menilai implementasinya belum transparan dan bisa menjadi hambatan non-tarif.

    “Indonesia memperluas cakupan kewajiban sertifikasi halal hingga ke produk rumah tangga dan kimia, meski proses sertifikasinya belum jelas dan tidak selalu berbasis risiko,” tutur laporan itu.

    4. Kebijakan Lokal Konten dan Pengadaan Pemerintah

    USTR juga mengecam kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan penggunaan komponen lokal dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam proyek pemerintah dan BUMN. Hal ini dinilai diskriminatif terhadap produk impor dari AS.

    “Indonesia menginstruksikan lembaga pemerintah dan BUMN untuk memaksimalkan penggunaan barang dan jasa lokal, membatasi partisipasi perusahaan asing,” ucap USTR.

    5. Penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

    AS menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran merek dagang dan hak cipta di Indonesia. Beberapa pasar tradisional dan e-commerce Indonesia dicap sebagai “pasar terkenal pelanggaran HKI”, termasuk Pasar Mangga Dua di Jakarta.

    “Pasar Mangga Dua di Jakarta tercantum dalam Daftar Pasar Terkenal karena pelanggaran kekayaan intelektual, bersama sejumlah platform daring di Indonesia,” kata laporan itu.

    AS juga meminta Indonesia meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dalam menangani kasus pelanggaran HKI.

    6. Pembatasan di Sektor Jasa

    Indonesia disebut membatasi masuknya layanan asing di berbagai sektor jasa. Beberapa pembatasan tersebut antara lain:

    Kuota film domestik minimal 60 persen di bioskop. Kepemilikan asing dibatasi di media, penyiaran, dan transportasi. Hambatan regulasi terhadap jasa keuangan, pengiriman ekspres, telekomunikasi, dan ritel asing.

    “Indonesia membatasi distribusi perangkat genggam dan smartphone melalui lisensi teknis dan regulasi TKDN, yang dianggap sebagai penghalang akses pasar,” tutur USTR.

    7. Regulasi Perdagangan Digital

    AS juga menyuarakan keberatan atas kebijakan Indonesia terkait pelaporan produk digital. Produk tak berwujud seperti perangkat lunak wajib dilaporkan ke bea cukai, meskipun tidak dikenakan tarif.

    “Kewajiban pelaporan untuk barang digital tak berwujud tetap membebani secara administratif dan menciptakan ketidakpastian,” ucap USTR.

    Selain itu, UU ITE dan aturan soal konten internet yang bisa diblokir dinilai terlalu luas dan tidak jelas, menciptakan iklim tidak aman bagi platform digital asing.

    8. Hambatan Investasi Asing

    AS mengeluhkan bahwa Indonesia masih mempertahankan beberapa larangan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), meski pemerintah mengklaim sudah menghapusnya. Beberapa sektor strategis tetap membatasi kepemilikan asing.

    “Sektor media, penyiaran, dan transportasi udara masih tunduk pada batas kepemilikan asing antara 20% hingga 49%,” kata USTR.

    9. Subsidi Ekspor dan Insentif Fiskal

    Indonesia dinilai memberikan subsidi fiskal dan insentif pajak yang sangat kuat kepada sektor-sektor tertentu, khususnya di kawasan ekonomi khusus (KEK). AS mendesak Indonesia untuk mengungkap secara terbuka seluruh program subsidi ke WTO.

    “Amerika Serikat terus mendorong Indonesia menyerahkan pemberitahuan atas semua program subsidi kepada WTO,” ujar laporan itu.

    10. Masalah Struktural dan Ketidakpastian Regulasi

    AS menilai iklim bisnis di Indonesia terganggu oleh masalah struktural seperti:

    Korupsi Proses perizinan tanah yang lambat Penegakan kontrak yang lemah Ketidakpastian hukum dan kebijakan Ketiadaan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi

    “Banyak pemangku kepentingan AS memandang korupsi dan ketidakpastian regulasi sebagai hambatan besar untuk berbisnis di Indonesia,” kata USTR.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • AS Kritik Bea Cukai RI, Sistem Dinilai Tidak Transparan dan Rawan Korupsi

    AS Kritik Bea Cukai RI, Sistem Dinilai Tidak Transparan dan Rawan Korupsi

    GELORA.CO – Amerika Serikat (AS) kembali mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia, kali ini berkaitan dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

    Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), AS menilai kebijakan dan praktik kepabeanan Indonesia menyulitkan pelaku usaha asing, serta tidak sejalan dengan komitmen dalam Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

    Salah satu yang disorot adalah metode penilaian bea masuk oleh petugas Bea Cukai Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan Perjanjian Penilaian Kepabeanan (Customs Valuation Agreement/CVA) WTO. Eksportir AS juga melaporkan adanya perbedaan penilaian atas produk yang sama di berbagai wilayah di Indonesia.

    Kebijakan verifikasi pra-pengapalan juga masuk dalam daftar keberatan. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 16/2021, Indonesia mewajibkan verifikasi sebelum pengiriman untuk berbagai jenis produk oleh perusahaan surveyor, termasuk untuk elektronik, tekstil, makanan-minuman, hingga kosmetik.

    “Hingga 31 Desember 2024, Indonesia belum menyampaikan pemberitahuan atas ketentuan ini kepada WTO sebagaimana diatur dalam Perjanjian Pemeriksaan Pra-pengapalan WTO,” tulis USTR, Minggu (20/4).

    Kemudian, AS juga menyoroti aturan yang mengatur operasional kepabeanan atas barang tidak berwujud, seperti transmisi atau unduhan elektronik, dengan penetapan prosedur serta klasifikasi dalam Bab 99 pada buku tarif Indonesia. Para pemangku kepentingan AS menyatakan bahwa regulasi ini menimbulkan beban administratif signifikan bagi industri AS, terutama karena adanya kewajiban penyimpanan dokumen yang belum terdefinisi secara jelas.

    Selain itu, skema pemberian insentif kepada petugas bea cukai Indonesia juga menjadi sorotan. Berdasarkan sistem yang berlaku, petugas dapat memperoleh imbalan hingga 50 persen dari nilai barang sitaan atau bea terutang dalam kasus pelanggaran kepabeanan.

    Padahal, menurut Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, negara anggota diwajibkan menghindari sistem yang memberikan insentif tidak proporsional, agar tidak mendorong praktik penegakan hukum yang berlebihan. Dalam laporannya, AS menyebut Indonesia sebagai salah satu dari sedikit mitra dagang utama yang masih menerapkan sistem semacam ini.

    Sistem tersebut dinilai berisiko menimbulkan praktik korupsi dan menciptakan ketidakpastian hukum serta minimnya transparansi dalam proses penetapan sanksi.

    “Indonesia telah menyampaikan pemberitahuan mengenai peraturan penilaian kepabeanannya kepada WTO sejak September 2001, namun hingga kini belum memberikan jawaban atas Daftar Pertanyaan WTO yang menggambarkan implementasi Perjanjian Penilaian Kepabeanan tersebut,” tulis USTR. (*)

  • Nasib Bea Cukai: Disorot Prabowo, Dikeluhkan Donald Trump

    Nasib Bea Cukai: Disorot Prabowo, Dikeluhkan Donald Trump

    Nasib Bea Cukai: Disorot Prabowo, Dikeluhkan Pemerintah AS

    26 menit yang lalu

  • Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

    Indonesia sejatinya dianggap AS sebagai pasar potensial, namun di sisi lain, negeri Paman Sam itu mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan AS. AS kemudian menjatuhkan tarif sebesar 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

    Dalam catatan Bisnis, AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Banyak produk Indonesia, terutama produk manufaktur, diserap oleh pasar Amerika. Pada tahun 2024 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat surplus sebesar US$17,9 miliar. 

    Surplus neraca perdagangan itu dipicu oleh nilai impor AS yang terlalu besar dibandingkan kinerja ekspornya. AS  tercatat mengimpor barang asal Indonesia sebesar US$28,1 miliar. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia hanya senilai US$10,2 miliar.

    Adapun pengenaan tarif 32%, yang kemudian diketahui bertambah menjadi 47% khusus untuk tekstil dan garmen, selain untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, juga ditujukan memperluas penyerapan produk AS ke pasar Indonesia. 

    Menariknya, di tengah proses negosiasi tarif yang telah berlangsung, AS melalui United States Trade Representative atau USTR menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program.

    Laporan ini secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

    Berikut daftar sorotan AS  terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat perdagangan. 

    1. Kebijakan impor atau import policies. 

    Tarif & Pajak 

    Kebijakan impor ini mencakup pengenaan tarif bea masuk dan pajak impor. Namun demikian, yang paling membuat stakeholder AS khawatir antara lain, penerapan tarif Indonesia yang melebihi nilai yang ditetapkan WTO untuk kategori produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu. 

    “Misalnya, meskipun memiliki tarif yang ditetapkan WTO sebesar nol persen untuk subpos di bawah kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517, yang mencakup peralatan switching dan routing, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk sebesar 10 persen untuk produk-produk ini.”

    Dari sisi pajak, laporan itu menyoroti kekhawatiran perusahaan AS tentang proses audit pajak yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak. 

    Selain itu, AS juga menyebut rezim cukai saat ini mengenakan tarif pajak cukai yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol impor. Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% dan 20%, tarif pajak cukai adalah 24% lebih tinggi untuk produk impor dibandingkan dengan produk domestik. 

    AS juga khawatir bahwa proses klaim pengembalian kelebihan atau restitusi pajak  penghasilan yang dibayar di muka pada saat impor dapat memakan waktu bertahun-tahun dan upaya yang cukup besar.

    Non Tarif

    Laporan USTR itu juga mengungkap bahwa sistem perizinan impor Indonesia terus menjadi hambatan non-tarif yang signifikan bagi bisnis AS karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih sehingga menghambat akses pasar.

    Selain itu, AS juga menyebut Indonesia memiliki rezim perizinan yang rumit dan memberatkan untuk impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewani.

    Tak hanya dari kebijakan, menurut laporan itu, perusahaan-perusahaan AS melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya dengan penilaian bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, seperti yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO. 

    2. Hambatan Teknis Perdagangan

    Dalam poin ini, pemerintah AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat proses masuknya barang dari negeri paman Sam. Mereka menyoroti misalnya tentang syarat cek laboratorium untuk impor mainan, sertifikasi halal hingga kebijakan mengenai pengetesan produk yang berulang-ulang.

    Sementara itu, dari sisi aturan tentang kebersihan komoditas impor, AS menyoroti tentang aturan mengenai fasilitas registrasi untuk produk yang berasal dari hewan. AS bahkan menganggap bahwa di antara semua syarat pendaftaran mitra dagang, eksportir AS mengidentifikasi persyaratan Indonesia yang paling memberatkan. 

    Fasilitas produksi susu, misalnya, diharuskan untuk lulus audit yang panjang, tetapi tidak wajib audit untuk produk hewani lainnya. Fasilitas lain (misalnya, daging dan pengolahan) diharuskan untuk menjalani inspeksi fasilitas di tempat dan tinjauan meja pasca-audit. 

    Tak hanya itu, laporan itu menyebut, Indonesia mengenakan biaya untuk biaya transportasi dan penginapan bagi pejabat Kementerian Pertanian yang melakukan inspeksi di Amerika Serikat.

    Secara total, perusahaan yang ingin mengekspor ke Indonesia dapat membayar lebih dari US$10.000 untuk setiap inspeksi di tempat dan tinjauan meja pasca-audit fasilitas. Banyak perusahaan AS yang terpengaruh adalah usaha kecil yang melaporkan bahwa biaya tersebut merupakan hambatan yang signifikan.

    3. Proyek Pemerintah 

    Laporan USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan preferensi khusus untuk mendorong pengadaan dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan pemerintah. 

    Indonesia juga menginstruksikan departemen, lembaga, dan perusahaan pemerintah untuk memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri semaksimal mungkin.

    4. Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual 

    AS juga menyoroti tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi kekayaan intelektual. Secara spesifik, laporan itu bahkan menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar  tempat pemalsuan dan pembajakan (Daftar Pasar Terkenal) tahun 2024, bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. 

    Menurut laporan itu, kurangnya penegakan hukum masih menjadi masalah, dan Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas penegakan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum di antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.

    5. Hambatan di sektor Jasa 

    Ada banyak yang disorot dalam bagian ini mulai dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan 60% kuota diberikan kepada film domestik, kebijakan terkait dengan layanan pengiriman kilat atau ekspres, industri jasa keuangan terutama tentang kepemilikan asing, jasa kesehatan, waralaba dan distribusi di sektor ritel, hingga terkait jasa telekomunikasi.

    Khusus sektor telekomunikasi, laporan itu menyebut bahwa sejumlah perusahaan AS telah melaporkan bahwa, dalam beberapa kasus, Kementerian Perindustrian yang jumlah impor berdasarkan lisensi untuk melindungi ponsel, komputer genggam, dan tablet yang diproduksi secara lokal.

    Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia memberlakukan hambatan yang signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya.

    6. Hambatan Perdagangan Digital 

    Banyak yang disorot dalam bagian ini, salah satunya tentang kekhawatiran AS terhadap pengenaan tarif terhadap barang tak berwujud berupaya produk digital seperti software dan sejenisnya. Kendati tidak dikenakan tarif, kewajiban untuk melaporkan ke otoritas kepabeanan, dianggap akan membebani secara administrasi. Terkait kategori konten terlarang dalam layanan internet juga menjadi sorotan AS. 

    7. Hambatan Investasi

    Secara spesifik pemerintah AS menyoroti konsistensi pemerintah untuk menghapus daftar negatif investasi. Pemerintah, tulis laporan itu, memang telah daftar negatif investasi tahun 2016, namun masih menyisakan sektor-sektor tertentu yang masih tunduk terhadap pembatasan kepemilikan asing atau swasta. 

    Sektor media hingga transportasi udaraz misalnya, kepemilikan asing hanya dibatasi di angka 49%. Sementara itu di sektor penyedia layanan penyiaran hanya dibatasi di angka 20%. 

    8. Subsidi 

    Pemerintah AS menuding Indonesia telah terus memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk manufaktur dan ekspor terkait dengan program zona pemrosesan ekspor dan zona ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan pemberitahuan WTO untuk semua program subsidinya.

    9. Hambatan Lainnya 

    Di luar 8 poin di atas, Hambatan-hambatan lain yang memicu langkah tegas pemerintah AS terhadap Indonesia mencakup banyak aspek.

    Dalam penjelasannya USTR mengemukakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi besar, banyak pemangku kepentingan terus memandang korupsi sebagai hambatan signifikan untuk berbisnis di Indonesia. 

    Hambatan itu antara lain, koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia; lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur; penegakan kontrak yang buruk; kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti; penilaian pajak yang tidak konsisten; dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. 

    Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak. 

    Selain itu, sejumlah kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AS sebagai penghambat dalam perdagangan mencakup kebijakan domestic market obligation atau DMO batu bara, kontrak bagi hasil tambang minyak, hingga terkait ketentuan local content atau TKDN.

  • Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Deretan Kebijakan RI yang Masuk Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

    Indonesia sejatinya dianggap AS sebagai pasar potensial, namun di sisi lain, negeri Paman Sam itu mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan AS. AS kemudian menjatuhkan tarif sebesar 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

    Dalam catatan Bisnis, AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Banyak produk Indonesia, terutama produk manufaktur, diserap oleh pasar Amerika. Pada tahun 2024 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat surplus sebesar US$17,9 miliar. 

    Surplus neraca perdagangan itu dipicu oleh nilai impor AS yang terlalu besar dibandingkan kinerja ekspornya. AS  tercatat mengimpor barang asal Indonesia sebesar US$28,1 miliar. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia hanya senilai US$10,2 miliar.

    Adapun pengenaan tarif 32%, yang kemudian diketahui bertambah menjadi 47% khusus untuk tekstil dan garmen, selain untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, juga ditujukan memperluas penyerapan produk AS ke pasar Indonesia. 

    Menariknya, di tengah proses negosiasi tarif yang telah berlangsung, AS melalui United States Trade Representative atau USTR menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program.

    Laporan ini secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

    Berikut daftar sorotan AS  terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat perdagangan. 

    1. Kebijakan impor atau import policies. 

    Tarif & Pajak 

    Kebijakan impor ini mencakup pengenaan tarif bea masuk dan pajak impor. Namun demikian, yang paling membuat stakeholder AS khawatir antara lain, penerapan tarif Indonesia yang melebihi nilai yang ditetapkan WTO untuk kategori produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu. 

    “Misalnya, meskipun memiliki tarif yang ditetapkan WTO sebesar nol persen untuk subpos di bawah kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517, yang mencakup peralatan switching dan routing, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk sebesar 10 persen untuk produk-produk ini.”

    Dari sisi pajak, laporan itu menyoroti kekhawatiran perusahaan AS tentang proses audit pajak yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak. 

    Selain itu, AS juga menyebut rezim cukai saat ini mengenakan tarif pajak cukai yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol impor. Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% dan 20%, tarif pajak cukai adalah 24% lebih tinggi untuk produk impor dibandingkan dengan produk domestik. 

    AS juga khawatir bahwa proses klaim pengembalian kelebihan atau restitusi pajak  penghasilan yang dibayar di muka pada saat impor dapat memakan waktu bertahun-tahun dan upaya yang cukup besar.

    Non Tarif

    Laporan USTR itu juga mengungkap bahwa sistem perizinan impor Indonesia terus menjadi hambatan non-tarif yang signifikan bagi bisnis AS karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih sehingga menghambat akses pasar.

    Selain itu, AS juga menyebut Indonesia memiliki rezim perizinan yang rumit dan memberatkan untuk impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewani.

    Tak hanya dari kebijakan, menurut laporan itu, perusahaan-perusahaan AS melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya dengan penilaian bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, seperti yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO. 

    2. Hambatan Teknis Perdagangan

    Dalam poin ini, pemerintah AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat proses masuknya barang dari negeri paman Sam. Mereka menyoroti misalnya tentang syarat cek laboratorium untuk impor mainan, sertifikasi halal hingga kebijakan mengenai pengetesan produk yang berulang-ulang.

    Sementara itu, dari sisi aturan tentang kebersihan komoditas impor, AS menyoroti tentang aturan mengenai fasilitas registrasi untuk produk yang berasal dari hewan. AS bahkan menganggap bahwa di antara semua syarat pendaftaran mitra dagang, eksportir AS mengidentifikasi persyaratan Indonesia yang paling memberatkan. 

    Fasilitas produksi susu, misalnya, diharuskan untuk lulus audit yang panjang, tetapi tidak wajib audit untuk produk hewani lainnya. Fasilitas lain (misalnya, daging dan pengolahan) diharuskan untuk menjalani inspeksi fasilitas di tempat dan tinjauan meja pasca-audit. 

    Tak hanya itu, laporan itu menyebut, Indonesia mengenakan biaya untuk biaya transportasi dan penginapan bagi pejabat Kementerian Pertanian yang melakukan inspeksi di Amerika Serikat.

    Secara total, perusahaan yang ingin mengekspor ke Indonesia dapat membayar lebih dari US$10.000 untuk setiap inspeksi di tempat dan tinjauan meja pasca-audit fasilitas. Banyak perusahaan AS yang terpengaruh adalah usaha kecil yang melaporkan bahwa biaya tersebut merupakan hambatan yang signifikan.

    3. Proyek Pemerintah 

    Laporan USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan preferensi khusus untuk mendorong pengadaan dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan pemerintah. 

    Indonesia juga menginstruksikan departemen, lembaga, dan perusahaan pemerintah untuk memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri semaksimal mungkin.

    4. Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual 

    AS juga menyoroti tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi kekayaan intelektual. Secara spesifik, laporan itu bahkan menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar  tempat pemalsuan dan pembajakan (Daftar Pasar Terkenal) tahun 2024, bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. 

    Menurut laporan itu, kurangnya penegakan hukum masih menjadi masalah, dan Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas penegakan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum di antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.

    5. Hambatan di sektor Jasa 

    Ada banyak yang disorot dalam bagian ini mulai dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan 60% kuota diberikan kepada film domestik, kebijakan terkait dengan layanan pengiriman kilat atau ekspres, industri jasa keuangan terutama tentang kepemilikan asing, jasa kesehatan, waralaba dan distribusi di sektor ritel, hingga terkait jasa telekomunikasi.

    Khusus sektor telekomunikasi, laporan itu menyebut bahwa sejumlah perusahaan AS telah melaporkan bahwa, dalam beberapa kasus, Kementerian Perindustrian yang jumlah impor berdasarkan lisensi untuk melindungi ponsel, komputer genggam, dan tablet yang diproduksi secara lokal.

    Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia memberlakukan hambatan yang signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya.

    6. Hambatan Perdagangan Digital 

    Banyak yang disorot dalam bagian ini, salah satunya tentang kekhawatiran AS terhadap pengenaan tarif terhadap barang tak berwujud berupaya produk digital seperti software dan sejenisnya. Kendati tidak dikenakan tarif, kewajiban untuk melaporkan ke otoritas kepabeanan, dianggap akan membebani secara administrasi. Terkait kategori konten terlarang dalam layanan internet juga menjadi sorotan AS. 

    7. Hambatan Investasi

    Secara spesifik pemerintah AS menyoroti konsistensi pemerintah untuk menghapus daftar negatif investasi. Pemerintah, tulis laporan itu, memang telah daftar negatif investasi tahun 2016, namun masih menyisakan sektor-sektor tertentu yang masih tunduk terhadap pembatasan kepemilikan asing atau swasta. 

    Sektor media hingga transportasi udaraz misalnya, kepemilikan asing hanya dibatasi di angka 49%. Sementara itu di sektor penyedia layanan penyiaran hanya dibatasi di angka 20%. 

    8. Subsidi 

    Pemerintah AS menuding Indonesia telah terus memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk manufaktur dan ekspor terkait dengan program zona pemrosesan ekspor dan zona ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan pemberitahuan WTO untuk semua program subsidinya.

    9. Hambatan Lainnya 

    Di luar 8 poin di atas, Hambatan-hambatan lain yang memicu langkah tegas pemerintah AS terhadap Indonesia mencakup banyak aspek.

    Dalam penjelasannya USTR mengemukakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi besar, banyak pemangku kepentingan terus memandang korupsi sebagai hambatan signifikan untuk berbisnis di Indonesia. 

    Hambatan itu antara lain, koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia; lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur; penegakan kontrak yang buruk; kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti; penilaian pajak yang tidak konsisten; dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. 

    Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak. 

    Selain itu, sejumlah kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AS sebagai penghambat dalam perdagangan mencakup kebijakan domestic market obligation atau DMO batu bara, kontrak bagi hasil tambang minyak, hingga terkait ketentuan local content atau TKDN.

  • AS Kritik Kebijakan QRIS di Indonesia, Pembayaran Digital Bakal Dilarang?

    AS Kritik Kebijakan QRIS di Indonesia, Pembayaran Digital Bakal Dilarang?

    PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menilai beberapa aturan yang diterapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) bisa menghambat aktivitas perdagangan, khususnya bagi perusahaan asal Negeri Paman Sam. Salah satunya kebijakan Quick Response Indonesian Standard (QRIS).

    Penilaian ini disampaikan dalam laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) yang dirilis akhir Maret 2025 oleh Kantor Perwakilan Dagang AS atau United States Trade Representative (USTR).

    Laporan membahas hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Salah satu perhatian utama AS adalah soal sistem pembayaran di Indonesia, seperti penerapan QRIS.

    USTR menyebut perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, khawatir karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan QRIS.

    Mereka merasa tidak diberi kesempatan menyampaikan pendapat, terutama terkait bagaimana QRIS bisa terintegrasi dengan sistem pembayaran internasional yang sudah ada.

    Pembayaran QRIS Bakal Dilarang?

    AS, lewat laporan USTR, menyampaikan dua hal Utama soal kritik terhadap QRIS di Indonesia:

    Kurangnya keterlibatan perusahaan asing (termasuk dari AS) dalam proses pembuatan kebijakan QRIS oleh Bank Indonesia: Mereka merasa tidak diajak berdiskusi atau memberikan masukan, padahal kebijakan ini bisa berdampak besar pada bisnis mereka.

    Risiko keterbatasan akses untuk bersaing di pasar Indonesia: Misalnya, karena QRIS dan GPN mewajibkan semua transaksi domestik diproses oleh lembaga lokal, perusahaan pembayaran asing jadi kesulitan ikut serta atau harus tunduk pada syarat kepemilikan saham yang ketat.

    Dengan begitu, yang dipermasalahkan bukan QRIS-nya secara konsep, melainkan mekanisme penerapannya dan aturan pembatasan asing yang menyertainya. Mereka ingin kebijakan ini lebih inklusif dan tetap membuka peluang bagi perusahaan internasional.

    Pembatasan Kepemilikan Asing dan Aturan GPN di Sektor Keuangan

    USTR juga menyoroti aturan pembatasan kepemilikan asing dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Misalnya:

    Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020 yang isinya membatasi kepemilikan asing di sektor pembayaran: maksimal 85 persen untuk perusahaan layanan (front-end), tapi hanya 49 persen yang bisa punya hak suara, dan 20 persen untuk infrastruktur pembayaran (back-end).

    Kebijakan ini dinilai kurang transparan karena minim konsultasi dengan pihak internasional.

    Kemudian AS mengkritisi aturan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mewajibkan seluruh transaksi kartu debit dan kredit ritel di Indonesia diproses oleh lembaga lokal berizin BI. Kepemilikan asing dibatasi hanya 20%, dan perusahaan asing harus bermitra dengan penyedia lokal serta mendukung industri dalam negeri.

    AS juga menyoroti aturan OJK yang membatasi kepemilikan saham bank maksimal 40 persen, serta pembatasan kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit (maksimal 49 persen) dan perusahaan pemrosesan pembayaran (maksimal 20%).

    Menurut AS, berbagai pembatasan ini dianggap menghambat masuknya perusahaan asing di sektor keuangan dan sistem pembayaran digital Indonesia. Mereka berharap kebijakan lebih terbuka dan melibatkan pelaku usaha internasional.

    Dibahas Saat Negosiasi Tarif

    Isu sistem pembayaran seperti QRIS dan GPN turut dibahas dalam negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan AS. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah sudah berkoordinasi dengan BI dan OJK menanggapi masukan dari AS.

    “Juga termasuk di dalamnya sektor keuangan. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga, dalam konferensi, dikutip dari YouTube Perekonomian RI, Minggu, 20 April 2025.

    Airlangga belum merinci langkah pemerintah bersama BI dan OJK terkait tarif Trump. Selain sistem pembayaran, isu lain yang disorot AS mencakup perizinan impor lewat OSS, insentif pajak dan bea cukai, serta kuota impor.

    “Pembahasan ini guna mendiskusikan opsi-opsi yang ada terkait kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang kita berharap bahwa situasi daripada perdagangan yang kita kembangkan bersifat adil dan berimbang,” ujarnya. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • AS Kritik Bea Cukai Indonesia, Besar Potensi Korupsi hingga Beban Administrasi

    AS Kritik Bea Cukai Indonesia, Besar Potensi Korupsi hingga Beban Administrasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan praktik pemeriksaan barang oleh Bea Cukai Indonesia berpotensi besar ciptakan praktik korupsi hingga beban administrasinya tinggi.

    Merujuk laporan bertajuk 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Amerika Serikat (AS) merilis daftar hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagangnya termasuk Indonesia.

    Di Indonesia, salah satu yang menjadi sorotan yaitu hambatan di Bea Cukai. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) itu, disampaikan banyak perusahaan AS yang kerap mengeluhkan praktik bea cukai di Indonesia.

    “Khususnya asesmen bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan daftar harga acuan daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penentuan nilai bea masuk utama,” tulis laporan tersebut, dikutip Sabtu (19/4/2025).

    Padahal, menurut USTR, nilai transaksi seharusnya menjadi metode penilaian utama seperti yang diatur dalam Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO.

    Tak hanya itu, eksportir AS melaporkan penentuan nilai bea masuk kerap berbeda-beda di berbagai wilayah untuk produk yang sama.

    Lebih lanjut, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 16/2021 juga menjadi sorotan. Dalam beleid tersebut, diatur kewajiban verifikasi pra-pengiriman oleh perusahaan yang ditunjuk (surveyor) untuk berbagai macam produk termasuk elektronik, tekstil dan alas kaki, mainan, makanan dan minuman, dan kosmetik.

    Masalahnya, USTR mengungkapkan hingga 31 Desember 2024 Indonesia belum memberitahukan aturan tersebut kepada WTO sesuai dengan Perjanjian WTO tentang Pemeriksaan Pra-Pengiriman. 

    Begitu juga PMK No. 190/2022, yang menetapkan operasi kepabeanan untuk barang tidak berwujud seperti transmisi atau unduhan elektronik, termasuk persyaratan prosedural dan klasifikasi berdasarkan Bab 99 daftar tarif kepabeanan Indonesia.

    “Para pemangku kepentingan melaporkan bahwa peraturan tersebut menciptakan beban administratif yang signifikan ke industri AS, dengan memberlakukan persyaratan penyimpanan dokumen baru yang tidak terdefinisi dan tak pasti,” tulis laporan USTR.

    Bahkan, AS telah menyampaikan kekhawatirannya tentang aturan tersebut ke Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.

    Selanjutnya, USTR menyoroti ketentuan ‘bonus’ kepada petugas Bea Cukai hingga 50% dari nilai barang sitaan atau jumlah bea yang terutang apabila temukan pelanggaran.

    Padahal, berdasarkan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia harus menghindari pemberian insentif seperti itu.

    “Indonesia merupakan salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih memiliki sistem insentif tersebut. Sistem ini menjadi perhatian karena menimbulkan potensi korupsi dan tambahan biaya, ketidakpastian, serta kurangnya transparansi,” jelas USTR.