Kementrian Lembaga: Bea Cukai

  • Paradoks Pemberantasan Narkoba

    Paradoks Pemberantasan Narkoba

    Paradoks Pemberantasan Narkoba
    Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor

    Pemberantasan narkoba omong kosong! Bagaimana polisi di Nunukan bisa memberantas narkoba kalau mereka sendiri terlibat penyelundupan?

    DEMIKIANLAH
    banyak komentar yang saya temukan dari berbagai pembicaraan hangat masyarakat Nunukan, Kalimantan Utara. Ironi melukai nurani dalam paradoks pemberatasan narkoba di perbatasan negeri.
    Di garis batas negeri, pemberantasan narkoba menjelma paradoks yang mencengkeram. Polisi, yang disumpah sebagai benteng hukum, justru terseret dalam pusaran kejahatan penyelundupan narkoba.
    Nunukan, jantung perbatasan Indonesia-Malaysia, sorot lampu perang melawan narkotika memantul pada bayang-bayang pengkhianatan: oknum penegak hukum menjadi pelaku.
    Bagaimana mungkin mereka yang memegang tameng keadilan justru menikamnya dari belakang?
    Ketika sabu merayap melalui jalur tikus dan dermaga gelap, pertanyaan dari rakyat yang selalu terzholimi menggema: apakah musuh sejati ada di luar sana, atau justru bersemayam dalam seragam yang seharusnya melindungi?
    Kisah tragis “polisi tangkap polisi” mengaburkan garis antara pemburu dan buruan, mengungkap luka sistemik yang melemahkan perjuangan melawan narkoba di perbatasan negeri.
    Pada Rabu, 9 Juli 2025, kabar mengejutkan terkait penangkapan polisi itu datang. Tim gabungan dari Direktorat Tindak Pidana
    Narkoba
    Bareskrim Polri dan Divisi Propam menangkap empat oknum polisi, termasuk Iptu Sony Dwi Hermawan, Kepala Satuan Reserse Narkoba (Kasat Reskoba) Polres Nunukan, terkait dugaan penyelundupan sabu di wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia.
    Peristiwa ini bukan sekadar kasus hukum biasa, melainkan cerminan krisis integritas yang mengguncang Institusi Kepolisian, terutama dalam misi pemberantasan narkoba di kawasan rentan seperti di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. 
    Penangkapan berlangsung di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, wilayah perbatasan yang dikenal sebagai jalur rawan penyelundupan narkotika.
    Operasi ini dilakukan secara senyap oleh Tim Mabes Polri, dengan pengawalan ketat yang bahkan melibatkan jenderal bintang dua, menunjukkan tingkat keseriusan kasus.
    Kapolda Kalimantan Utara, Irjen Pol Hary Sudwijanto, membenarkan penangkapan tersebut dan menegaskan bahwa keempat oknum polisi diduga terlibat penyalahgunaan narkoba.
    Ironi mengingat mereka bertugas di Satuan Reserse Narkoba yang seharusnya menjadi garda terdepan melawan peredaran gelap narkotika.
    Informasi awal menyebutkan tujuh polisi ditangkap. Namun, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Eko Hadi Santoso, meluruskan bahwa hanya empat polisi yang diciduk, semuanya dari Polres Nunukan, tanpa melibatkan warga sipil.
    Penggeledahan juga dilakukan di rumah Iptu Sony, meskipun belum ada keterangan resmi mengenai barang bukti yang ditemukan. Kasus ini masih dalam pengembangan, dengan keempat polisi dibawa ke Mabes Polri di Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.
    Kasus ini menyoroti krisis integritas di tubuh kepolisian, khususnya di unit yang bertugas menangani narkoba. Iptu sony, sebagai kasat reskoba, memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin operasi pemberantasan narkotika di wilayah perbatasan yang strategis.
    Namun, dugaan keterlibatannya dalam penyelundupan sabu-sabu justru memperlihatkan bagaimana oknum di posisi kunci dapat melemahkan upaya penegakan hukum.
    Data dari Badan Narkotika Nasional menunjukkan bahwa Kalimantan Utara, khususnya Nunukan, merupakan salah satu pintu masuk utama narkotika dari Malaysia, dengan sabu sebagai komoditas utama.
    Pada 2024, BNN mencatat lebih dari 50 kasus penyelundupan narkoba di wilayah perbatasan kalimantan, dengan nilai barang bukti mencapai puluhan miliar rupiah.
    Fakta bahwa oknum polisi, termasuk pimpinan satuan narkoba, diduga terlibat dalam jaringan penyelundupan menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan internal.
    Divisi Propam, yang turut terlibat dalam operasi ini, seharusnya menjadi benteng pencegahan pelanggaran etik dan pidana oleh polisi.
    Namun, kasus ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal masih sangat lemah. Laporan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2024 mencatat bahwa pelanggaran etik oleh polisi meningkat 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan sebagian besar kasus terkait penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
    Wilayah perbatasan seperti Pulau Sebatik, Nunukan memiliki tantangan unik dalam pemberantasan narkoba.
    Lokasi geografis yang berbatasan langsung dengan Malaysia, ditambah dengan banyaknya jalur tikus dan dermaga tradisional, mempermudah penyelundupan narkoba.
    Data dari Polda Kaltara menunjukkan bahwa pada 2023, lebih dari 60 persen kasus narkoba di wilayah ini melibatkan lintas batas, dengan sabu sebagai barang yang paling banyak diselundupkan.
    Faktor ini diperparah minimnya sumber daya, seperti personel dan teknologi pengawasan, di wilayah terpencil seperti Sebatik.
    Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada logistik, melainkan integritas aparat. Kasus penangkapan empat polisi ini menegaskan bahwa ancaman narkoba tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam institusi penegak hukum itu sendiri.
    Ketika oknum polisi yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi bagian dari masalah, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian semakin terkikis.
    Survei Indikator Politik Indonesia pada 2024 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap polri hanya 65 persen, turun dari 72 persen pada 2022, dengan salah satu penyebab utama adalah kasus-kasus pelanggaran oleh oknum polisi.
    Kasus “polisi tangkap polisi” di Kabupaten Nunukan bukanlah insiden terisolasi. Pada 2023, kasus serupa juga pernah terjadi di Polda Sumatera Utara, di mana seorang perwira polisi ditangkap karena melindungi jaringan narkoba.
    Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan memerlukan reformasi mendalam.
    Menurut penulis, dengan melihat fakta yang terjadi, ada beberapa hal urgen yang harus dibenahi terkait sistem yang ada di institusi Polri.
    Pertama, Polri perlu memperkuat mekanisme pengawasan internal. Divisi propam harus dilengkapi teknologi dan wewenang lebih besar untuk mendeteksi dini potensi pelanggaran, seperti melalui audit rutin terhadap anggota di unit-unit strategis seperti Satresnarkoba.
    Kedua, seleksi dan pelatihan personel untuk penempatan di wilayah perbatasan harus lebih ketat. Polisi yang bertugas di area rawan seperti
    nunukan
    harus memiliki integritas tinggi dan dilatih untuk menghadapi godaan finansial dari sindikat narkoba.
    Ketiga, kerja sama lintas instansi, seperti dengan BNN dan Bea Cukai, harus diperkuat untuk menutup celah penyelundupan di perbatasan.
    Data BNN menunjukkan bahwa kerja sama lintas instansi pada 2024 berhasil menggagalkan 30 persen lebih banyak kasus penyelundupan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal seperti ini harus lebih ditingkatkan.
    Keempat, hukuman tegas wajib diterapkan bagi polisi yang melanggar hukum, seperti kolusi dengan sindikat narkoba. Sanksi ringan, misalnya teguran atau shalat lima waktu, tidak efektif.
    Data Propam Polri 2023 menunjukkan hanya 10 persen pelaku pelanggaran berat dipecat, sisanya mendapat hukuman ringan. Pemecatan dan tuntutan pidana harus diterapkan konsisten untuk menegakkan integritas Polri.
    Kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi publik bahwa pemberantasan narkoba bukan hanya tugas polisi, tetapi juga tanggung jawab bersama.
    Masyarakat di wilayah perbatasan dapat berperan sebagai mata dan telinga dengan melaporkan aktivitas mencurigakan, seperti yang menjadi cikal bakal pengungkapan kasus ini.
    Selain itu, masyarakat juga perlu memahami bahwa krisis integritas dalam kepolisian tidak boleh digeneralisasi sebagai kegagalan seluruh institusi.
    Saya akui banyak polisi yang bekerja dengan dedikasi, tapi ulah oknum seperti yang terlibat di Nunukan mencoreng nama baik mereka.
    Lebih jauh lagi, kasus ini mengingatkan kita akan kompleksitas perang melawan narkoba. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang membangun sistem yang mampu menahan godaan dari “lahan basah” dan penyalahgunaan wewenang.
    Publik harus menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Polri, sambil mendukung reformasi yang memastikan aparat penegak hukum bebas dari keterlibatan dalam kejahatan yang mereka lawan.
    Penangkapan empat polisi di Nunukan adalah tamparan keras bagi Polri dan publik. Ini menunjukkan bahwa pemberantasan narkoba di perbatasan tidak hanya menghadapi tantangan eksternal, tetapi juga ancaman dari dalam.
    Dengan memperkuat pengawasan internal, meningkatkan seleksi personel, dan melibatkan masyarakat, Polri dapat memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa kasus seperti ini tidak terulang.
    Publik, di sisi lain, harus melihat kasus ini sebagai panggilan untuk bersama-sama menjaga integritas dalam perang melawan narkoba. Hanya dengan kerja sama dan komitmen kolektif, perbatasan Indonesia dapat menjadi benteng yang kokoh melawan ancaman narkotika.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Sabu dalam Shockbreaker dari Malaysia
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        10 Juli 2025

    Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Sabu dalam Shockbreaker dari Malaysia Megapolitan 10 Juli 2025

    Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Sabu dalam Shockbreaker dari Malaysia
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Bea dan Cukai Bandara
    Soekarno-Hatta menggagalkan penyelundupan narkotika jenis sabu yang merupakan bagian dari jaringan internasional Indonesia-Malaysia.
    Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo mengatakan sabu tersebut diselundupkan melalui komponen
    shockbreaker
    motor.
    “Pada 1 Mei 2025,
    shockbreaker
    tersebut dikirim melalui layanan DHL dari Malaysia menuju Jakarta Timur,” ujar Gatot dalam konferensi pers di Kantor Bea dan Cukai Soekarno-Hatta,
    Tangerang
    , Kamis (10/9/2025).
    Gatot menjelaskan, pengungkapan kasus ini bermula dari kecurigaan analis barang kiriman terhadap salah satu paket yang diduga berisi narkotika. Petugas kemudian memeriksa paket tersebut.
    “Sebanyak delapan paket
    shockbreaker
    dibongkar, ternyata dalamnya disembunyikan serbuk kristal bening dengan berat 856 gram,” ucap Gatot.
    Setelah dilakukan uji laboratorium, kristal bening itu dipastikan mengandung zat
    methamphetamine
    atau sabu.
    “Kemudian barang bukti tersebut diserahterimakan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) RI,” lanjut Gatot.
    Menindaklanjuti temuan tersebut, tim gabungan dari Bea Cukai, BNN, dan Polri dibentuk untuk melakukan
    control delivery
    atau pengiriman yang dikendalikan. Dari operasi tersebut, mereka menangkap satu orang tersangka.
    “Berhasil mengamankan satu orang tersangka inisial MA sebagai penerima barang,” ungkap Gatot.
    Saat ini, tersangka telah ditangkap oleh BNN RI bersama barang bukti dan tengah menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
    “Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup, serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” tutup dia.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prospek Bisnis Batu Bara Jika Pemerintah Kenakan Bea Keluar

    Prospek Bisnis Batu Bara Jika Pemerintah Kenakan Bea Keluar

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tengah menggodok wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, langkah ini mendapat keberatan dari para pelaku usaha batu bara di tengah kondisi permintaan yang lesu.

    Usulan pengenaan bea keluar untuk emas dan batu bara muncul dalam pembahasan antara Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR RI di Panja Penerimaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

    Untuk emas, pada dasarnya memang sudah dikenai bea keluar seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/2024. Hanya saja, yang dikenai bea keluar hanya emas mentah/konsentrat/dore bullion, tidak dengan emas batangan/perhiasan.

    Sementara untuk batu bara, sudah tidak termasuk komoditas yang dikenai bea keluar sejak 2006. Komoditas batu bara hanya dikenai tarif royalti, yang tergolong sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

    Atas usulan DPR tersebut, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menyebut bahwa pihaknya segera berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mendiskusikan wacana pengenaan bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara.

    “Kami berterima kasih untuk masukkan itu dari DPR. Tentunya kami akan konsolidasi dengan kementerian/lembaga terkait khususnya Kementerian ESDM,” ujar Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).

    Sementara itu, Kementerian ESDM menilai wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas perlu dikaji secara mendalam.

    Menurut Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, pengenaan bea keluar, khususnya untuk batu bara, perlu memperhatikan kondisi pasar. Sebab, bila kebijakan ini diterapkan saat permintaan pasar lemah, industri batu bara dalam negeri bisa tertekan.

    “Kalau permintaannya lemah, [lalu] kenakan bea keluar, justru ini akan berdampak. Jadi ini enggak ada yang beli juga. Jadi kita melihat kompetitif dari komoditas yang kita miliki,” jelas Yuliot.

    Namun demikian, Yuliot mengatakan, pihaknya akan duduk bersama dengan Kemenkeu untuk membahas wacana tersebut.

    Dampak ke Bisnis Batu Bara

    Pelaku usaha batu bara merasa keberatan dengan wacana pengenaan bea keluar terhadap komoditas emas hitam.

    Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menilai langkah pemerintah itu kian menambah beban pengusaha. Sebab, selama ini pelaku usaha telah dikenai kewajiban membayar royalti batu bara. Di samping itu, saat ini harga batu bara juga tengah lesu. 

    “Rencana pemberlakuan bea masuk ini tentunya akan menambah lagi beban bagi perusahaan batu bara. Selama ini sudah ada royalti juga. Belum lagi pengenaan ini makin tidak tepat dengan kondisi harga batu bara saat ini,” kata Gita kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025) malam.

    Selain itu, Gita menyebut, perusahaan batu bara juga tengah dihadapkan pada beban operasional yang meningkat lantaran harga bahan bakar B40 naik signifikan.

    Dia menuturkan, APBI sejatinya mendukung kebijakan pemerintah yang mampu mendorong keberlangsungan usaha serta upaya peningkatan penerimaan negara.

    Namun, terkait rencana pemerintah akan menerapkan bea keluar atas batu bara, dia mengingatkan pemerintah untuk melakukan kajian mendalam terkait hal tersebut lebih dulu.

    “Sehingga baik keberlangsungan usaha, ketahanan energi nasional serta peningkatan penerimaan negara menjadi tolak ukur yang berkesinambungan antara pelaku usaha pertambangan serta industri pendukungnya dan juga pemerintah,” jelas Gita.

    Senada, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mendukung semangat pemerintah untuk menambah nilai tambah sektor tambang nasional, termasuk lewat kebijakan fiskal seperti bea keluar.

    Namun, dalam konteks batu bara, kebijakan ini perlu dikaji ulang secara lebih komprehensif, agar tidak menggerus daya saing dan kelangsungan industri.

    “Perlu kajian dampak ekonomi menyeluruh, termasuk simulasi sensitivitas terhadap harga batu bara global,” katanya.

    Menurut Anggawira, pengenaan bea keluar itu berpotensi memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha. Dampak itu seperti menurunkan daya saing ekspor.

    Lalu, bea keluar bisa mengurangi margin pengusaha batu bara, terutama bagi produsen dengan kualitas batu bara rendah (low-CV), yang pasar ekspornya sensitif terhadap harga. Apalagi, negara pesaing seperti Australia, Rusia, atau Afrika Selatan tidak mengenakan bea serupa.

    Selain itu, dampak dari kebijakan itu juga bisa membuat banyak pelaku batu bara, khususnya kelas menengah dan kecil, kesulitan memenuhi kewajiban keuangan baru di tengah volatilitas harga global.

    Di samping itu, kebijakan tersebut juga berpotensi membuat investor menahan ekspansi. Industri hilir, logistik, hingga pelabuhan bisa ikut terdampak.

    Tak hanya itu, kebijakan itu pun berpotensi membuat ekspor menurun dan mengganggu target produksi serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

    “Bila ekspor melemah, maka target lifting dan PNBP dari sektor ini justru bisa turun,” imbuh Anggawira.

    Lebih lanjut, dia pun mengingatkan pemerintah untuk membedakan antara pemain besar dan kecil. Menurutnya, pemerintah jangan menyamakan beban fiskal bagi semua level pelaku usaha. UMKM tambang butuh perlakuan khusus.

    Dia juga menekankan bahwa penggunaan bea keluar harus jelas arahnya.

    “Apakah untuk mendukung hilirisasi, pendanaan transisi energi, atau perlindungan lingkungan? Transparansi penting,” katanya.

    Dia juga menyarankan, jika pengenaan bea keluar diberlakukan, sebaiknya dibuat dengan skema insentif-diskriminatif atau reward and punishment. Anggawira mencontohkan, perusahaan yang menyuplai ke dalam negeri (DMO) dan melakukan hilirisasi bisa mendapatkan pengurangan atau penghapusan bea keluar.

    Anggawira menambahkan bahwa Aspebindo siap berdialog dan memberikan masukan konstruktif demi menciptakan kebijakan yang berkeadilan, berkepastian, dan mendukung daya saing nasional.

    “Prinsipnya, jangan sampai niat menambah penerimaan negara justru mengganggu kelangsungan sektor yang menopang energi nasional dan ekonomi daerah,” ucapnya.

    Permintaan dari China Melemah

    Permintaan batu bara dari China, pasar ekspor utama Indonesia, melemah sepanjang awal tahun ini. Impor batu bara Indonesia oleh China turun secara tahunan (yoy) dalam 3 bulan berturut-turut. Bea Cukai China mencatat impor batu bara dari Indonesia mencapai 14,28 juta ton pada April 2025. Volume impor itu merosot 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Merosotnya permintaan dari China lantaran stok dari negara tersebut masih melimpah. Terlebih, produksi batu bara China cukup tinggi.

    Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli menyebut, lesunya permintaan batu bara dari China itu membuat harga batu bara terus turun. Menurutnya, dengan kondisi lesunya harga dan permintaan batu bara, wacana pengenaan bea keluar akan menekan industri batu bara.

    “Dampaknya akan sangat signifikan bagi industri pertambangan batu bara mengingat saat ini komoditas tersebut sedang tertekan harganya. Tentu akan berdampak kepada keuntungan bisnis tersebut,” ujar Rizal kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).

    Ucapan Rizal tentu bukan isapan jempol. Harga batu bara acuan (HBA) sepanjang tahun ini relatif turun. Tercatat HBA untuk batu bara kalori tinggi dalam kesetaraan nilai kalori 6.322 kcal/kg GAR pada periode pertama Juli 2025 ditetapkan sebesar US$107,35 per ton. Angka itu turun dibanding Januari 2025 yang senilai US$124,01 per ton.

    Rizal menuturkan, pemerintah memang sedang menggenjot pendapatan negara di tengah gejolak geopolitik global yang saat ini terjadi. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana pengenaan bea kelauar untuk emas dan batu bara itu.

    “Mengingat saat ini juga terjadi kelesuan impor batu bara oleh China yang menjadi penentu harga batu bara global,” imbuhnya.

    Selain itu, dia mengatakan, para pelaku usaha juga ternah menanggung beban pengenaan royalti. Saat ini, kata Rizal, pemerintah juga sudah melakukan perubahan untuk prosentase royalti terhadap komoditas batu bara dan bahkan ada yang mencapai 28% terutama untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) atau kelanjutan perpanjangannya.

    “Apabila harga terus menurun dan pengeluaran tambahan meningkat tentu saja akan dilakukan rasionalisasi stripping ratio sehingga terganggunya konservasi batu bara ke depan,” ucap Rizal.

  • DKI diminta tingkatkan pengawasan produsen rokok ilegal

    DKI diminta tingkatkan pengawasan produsen rokok ilegal

    Arsip foto – Petugas menutup ribuan rokok dan minuman keras tanpa label cukai yang akan dimusnahkan di halaman kantor pusat DJBC, Jakarta, Kamis (22/12/2016). Direktorat Bea dan Cukai melakukan pemusnahan pada Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan rokok yang menggunakan cukai palsu atau tidak menggunakan cukai pada Jumat (23/12/2016). (ANTARA/Rosa Panggabean)

    DKI diminta tingkatkan pengawasan produsen rokok ilegal
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Rabu, 09 Juli 2025 – 17:29 WIB

    Elshinta.com – Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) meminta pemerintah daerah termasuk DKI Jakarta meningkatkan pengawasan, penindakan terhadap produsen ilegal serta penerapan sistem pelacakan yang menyeluruh untuk menutup celah distribusi rokok ilegal.

    “Kami juga mendorong agar kebijakan standardisasi kemasan tetap dilanjutkan dan dijalankan dengan serius,” kata Program Manager IYCTC, Ni Made Shellasih dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

    Karena, menurut dia, dampaknya bukan hanya soal kesehatan masyarakat, tapi juga menyangkut keberlanjutan sistem jaminan sosial negara. Pemerintah daerah juga harus memaksimalkan Dana Bagi Hasil Cukai (DBH-CHT) untuk pengawasan dan edukasi agar kebijakan standarisasi kemasan tidak berhenti di atas kertas.

    IYCTC berpendapat peningkatan peredaran rokok ilegal dipengaruhi oleh persoalan struktural yang kompleks. Selain lemahnya penindakan dan pengawasan hukum terhadap rokok ilegal, temuan CISDI menunjukkan rokok ilegal paling tinggi ditemukan di kota-kota seperti Surabaya (20,6 persen) dan Makassar (21,4 persen). Yaitu wilayah yang dekat dengan pelabuhan besar dan pusat produksi tembakau.

    “Sementara kota lain yang dekat wilayah produksi, tapi tidak jadi jalur distribusi utama, angkanya jauh lebih rendah. Jadi ini bukan soal harga atau bungkus, tapi soal distribusi dan kontrol suplai,” ujar Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra.

    Kemudian, lemahnya pengawasan terhadap produsen mikro dan kecil, tidak adanya pembatasan kepemilikan mesin pelinting serta tidak berjalannya sistem pelacakan distribusi juga berkontribusi pada kondisi tersebut.

    Survei CISDI menemukan banyak produk ilegal yang sudah mencetak peringatan kesehatan menyerupai produk legal. Hal ini menunjukkan sudah ada skala produksi yang besar dan permasalahan pada rantai pasok ini harus segera diatasi dengan tegas. Adapun standarisasi kemasan merupakan kebijakan yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok, khususnya untuk menurunkan daya tarik produk tembakau terhadap anak dan remaja.

    Dengan menghapus elemen desain seperti warna, logo dan citra merek, kemasan rokok dibuat polos dan seragam dengan peringatan kesehatan bergambar yang lebih mencolok. Studi di Inggris menunjukkan, setelah kebijakan ini diterapkan, jumlah orang yang mengaku pernah ditawari rokok ilegal justru menurun. Di Australia, peredaran rokok ilegal tetap terkendali bahkan menurun beberapa pekan pasca kebijakan diimplementasikan.

    “Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan sangat ditentukan oleh sistem pelaksanaannya, bukan bentuk kemasannya,” kata Manik.

    Sementara itu, tahun lalu, Satpol PP DKI Jakarta dan Kanwil Bea Cukai mengamankan sebanyak satu juta rokok ilegal dalam operasi pengawasan Barang Kena Cukai Hasil Tembakau (BKC HT) di wilayah Jakarta Selatan. Dalam operasi, rokok ilegal ditemukan di warung sebanyak 200.000 batang dan di rumah kontrakan sebanyak 800.000 batang.

    Sumber : Antara

  • Darurat Rokok Ilegal, Bea Cukai Bentuk Satgas Nasional

    Darurat Rokok Ilegal, Bea Cukai Bentuk Satgas Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan Barang Kena Cukai Ilegal sebagai upaya memperkuat pemberantasan rokok ilegal di Indonesia.

    Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Djaka Budhi Utama menjelaskan satuan tugas (satgas) itu merupakan langkah menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan melindungi penerimaan negara dari kebocoran akibat peredaran rokok ilegal.

    “Satgas ini adalah bukti nyata komitmen pemerintah untuk memberantas peredaran rokok ilegal secara berkelanjutan,” ujar Djaka dalam konferensi pers di Malang, dikutip dari rilis media Bea Cukai, Rabu (9/7/2025).

    Dia menjelaskan satgas akan bergerak secara nasional, dengan mengedepankan operasi terpadu yang masif dan berdampak langsung terhadap potensi penerimaan negara. Bea Cukai, sambungnya, juga akan memperkuat koordinasi dengan TNI, Polri, aparat penegak hukum lainnya, hingga pemerintah daerah.

    Pembentukan satgas ini merupakan kelanjutan dari Operasi Gurita, operasi nasional Bea Cukai untuk memberantas rokok ilegal.

    Hingga 6 Juli 2025, Operasi Gurita telah mencatat: 4.214 kali penindakan, 195,4 juta batang rokok ilegal diamankan, 22 kasus naik ke tahap penyidikan, 11 surat tagihan cukai (STCK) senilai Rp1,2 miliar diterbitkan, 363 kasus penindakan ultimum remedium dengan potensi penerimaan negara Rp24,4 miliar.

    “Data ini membuktikan bahwa penindakan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Diperlukan sinergi lintas instansi untuk memutus rantai peredaran rokok ilegal dari hulu ke hilir,” kata Djaka.

    Djaka menegaskan, keberhasilan pemberantasan rokok ilegal tidak hanya bergantung pada aparat, tetapi juga pada kesadaran pelaku usaha dan masyarakat. 

    Cukai Tinggi Penyebab Rokok Ilegal?

    Adapun Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho meyakini maraknya rokok ilegal merupakan imbas dari cukai tinggi yang memicu harga rokok legal mahal.

    “Peningkatan rokok ilegal itu menjadi salah satu hal yang menurut saya justru meningkatkan risiko terhadap turunnya penerimaan dari cukai,” kata Andry kepada Bisnis, Rabu (18/6/2025).

    Untuk itu, dia mendukung moratorium atau penangguhan sementara kenaikan tarif cukai selama 2—3 tahun sebagai solusi untuk memperbaiki penerimaan negara yang dinilai tidak optimal dalam beberapa tahun terakhir.

    Usulan ini muncul seiring dengan kekhawatiran terhadap terus menurunnya efektivitas kebijakan cukai akibat meningkatnya peredaran rokok ilegal.

    “Pertama yang saya ingin tekankan adalah tentunya kita apresiasi kepada pemerintah yang sudah menerapkan cukai secara multi-year. Artinya perusahaan atau para pelaku industri dari tembakau ini bisa menghitung terkait dengan setoran cukai yang akan datang,” ujarnya. 

    Hanya saja, dia menyoroti bahwa kenaikan tarif cukai yang tinggi tidak serta merta mendongkrak penerimaan negara. Sebaliknya, tingginya tarif justru memperlebar selisih harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga konsumen cenderung beralih ke produk tanpa cukai.

    Di sisi lain, kebijakan moratorium juga disebut dapat memberikan ruang bagi industri untuk beradaptasi dan kembali memperkuat fondasi usahanya. 

    Sementara itu, pemerintah bisa menggunakan waktu tersebut untuk mengevaluasi kebijakan cukai secara menyeluruh agar lebih seimbang antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri.

    “Kalau hanya dari sisi law enforcement pastinya akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Maka yang perlu digali adalah bagaimana dari sisi regulasi kebijakan cukainya itu sendiri, mencari titik tengah,” ujarnya.

    Apabila kebijakan saat ini terus berlanjut tanpa penyesuaian, dia memperingatkan bahwa bukan hanya penerimaan negara yang terancam hilang, tetapi juga penyerapan tenaga kerja dan dampak ekonomi di wilayah sentra industri tembakau.

  • Pakar Ungkap Dampak Pengenaan Bea Keluar Batu Bara saat Ekspor Lesu

    Pakar Ungkap Dampak Pengenaan Bea Keluar Batu Bara saat Ekspor Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai Pengamat menilai wacana pemerintah untuk menambah penerimaan negara melalui pungutan bea keluar emas dan batu bara berpotensi menekan pelaku industri.

    Wacana pungutan bea keluar itu sebelumnya muncul dari Ketua Komisi XI DPR sekaligus pimpinan Panja Penerimaan Mukhamad Misbakhun yang melaporkan hasil rapat panja, yang salah satunya menyepakati kebijakan teknis kepabeanan dan cukai sebagai implementasi kebijakan umum perpajakan.   

    DPR dan pemerintah menyepakati perluasan basis penerimaan bea keluar terhadap produk emas dan batu bara di mana pengaturan teknisnya mengacu pada pengaturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

    Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli menilai kebijakan itu bakal berdampak signifikan bagi pelaku usaha, khususnya batu bara. Apalagi, harga emas hitam itu kini tengah anjlok.

    “Dampaknya akan sangat signifikan bagi industri pertambangan batu bara mengingat saat ini komoditas tersebut sedang tertekan harganya. Tentu akan berdampak kepada keuntungan bisnis tersebut,” ujar Rizal kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).

    Ucapan Rizal tentu bukan isapan jempol. Harga batu bara acuan (HBA) sepanjang tahun ini relatif turun. Tercatat HBA untuk batu bara kalori tinggi dalam kesetaraan nilai kalori 6.322 kcal/kg GAR pada periode pertama Juli 2025 ditetapkan sebesar US$107,35 per ton. Angka itu turun dibanding Januari 2025 yang senilai US$124,01 per ton.

    Rizal menuturkan, pemerintah memang sedang menggenjot pendapatan negara di tengah gejolak geopolitik global yang saat ini terjadi. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana pengenaan bea kelauar untuk emas dan batu bara itu.

    “Mengingat saat ini juga terjadi kelesuan impor batu bara oleh China yang menjadi penentu harga batu bara global,” imbuhnya.

    Dia mengatakan, lesunya permintaan batu bara dari China itu membuat harga terus turun. Selain itu, dia mengatakan, para pelaku usaha juga ternah menanggung beban pengenaan royalti.

    Saat ini, kata Rizal, pemerintah juga sudah melakukan perubahan untuk prosentase royalti terhadap komoditas batu bara dan bahkan ada yang mencapai 28% terutama untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) atau kelanjutan perpanjangannya.

    “Apabila harga terus menurun dan pengeluaran tambahan meningkat tentu saja akan dilakukan rasionalisasi stripping ratio sehingga terganggunya konservasi batu bara ke depan,” ucap Rizal.

    Sebelumnya, Kementerian ESDM pun buka suara terkait wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas tersebut. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, pihaknya belum mendapat informasi detil dari wacana tersebut. Pihaknya pun belum berbicara dengan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

    Oleh karena itu, ke depan pihaknya bakal melakukan pembahasan dengan Kemenkeu.

    “Kami akan duduk bersama Kemenkeu,” kata Yuliot di Le Meridien Hotel Jakarta, Selasa (8/7/2025).

    Dia menjelaskan, penetapan bea keluar untuk emas dan batu bara harus dilihat secara adil. Menurutnya, kebijakan itu pun harus mengacu pada harga di pasar internasional.

    Dengan kata lain, jika harga internasional sedang anjlok, sementara pungutan bea keluar diberlakukan, maka pelaku usaha bisa tertekan.

    “Kalau permintaanya lemah, [lalu] kenakan kenakan bea keluar, justru ini akan berdampak. Jadi ini gak ada yang beli juga. Jadi kita melihat kompetitif dari komoditas yang kita miliki,” jelas Yuliot.

  • Pakar Desak Usulan Moratorium Cukai Rokok Libatkan Semua Sektor

    Pakar Desak Usulan Moratorium Cukai Rokok Libatkan Semua Sektor

    Bisnis.com, JAKARTA — Usulan penghentian atau moratorium cukai hasil tembakau (CHT) dalam tiga tahun ke depan dinilai harus dipertimbangkan dengan pendekatan multisektoral. Sebab, kebijakan industri ini memengaruhi berbagai sektor, tak hanya industri pengolahan. 

    Akademisi sekaligus sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta mengatakan dominasi satu perspektif dalam kebijakan CHT berisiko mengabaikan realitas ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor ini. 

    “Ada perkebunan, ada pertanian, ada perindustrian, ada perdagangan. Libatkan mereka untuk mengkalkulasi secara legal, tentang apa-apa yang termasuk dalam kenaikan cukai itu, sekaligus juga menakar dimensi-dimensi berbagai sektor tadi secara berimbang,” kata Widyanta dalam keterangan tertulis, Rabu (9/7/2025).

    Menurut dia, sektor yang menyerap lebih dari 6 juta pekerja ini harus memiliki proteksi di tengah pelemahan daya beli, khususnya bagi petani dan buruh di pabrik rokok. 

    Sebab, untuk menjaga daya beli masyarakat saat ini, pendapatan para pekerja pun harus stabil. Kenaikan cukai rokok dinilai tak serta merta menurunkan pravelensi konsumsi masyarakat terhadap rokok, sebab maraknya peredaran rokok ilegal murah. 

    “Itu yang mesti dipertimbangkan, diperhitungkan dengan matang dan dikelola dengan multi-sektoralitas,” tegasnya.

    Dia pun mendorong pemerintah untuk dapat mengelola isu ini secara menyeluruh dan berimbang. Perhitungan kebijakan secara menyeluruh holistik seperti itu dapat mendorong tata kelola potensi sumber daya yang Indonesia punya.

    Terlebih, pengenaan cukai mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Merujuk pada data Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) kontribusi cukai rokok masih menjadi yang terbesar. Pada 2022, realisasi cukai rokok mencapai Rp218,6 triliun, kemudian turun menjadi Rp213,48 triliun pada 2023, dan mencapai Rp216,9 triliun pada 2024. 

    Pada 2024, CHT menyumbang Rp216,9 triliun dari total penerimaan cukai Rp226,4 triliun. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga Mei 2025, penerimaan cukai mencapai Rp17,1 triliun. 

    Total penerimaan dari kepabeanan dan cukai tercatat sebesar Rp122,9 triliun atau 40,7% dari target APBN. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan CHT sebesar Rp230,09 triliun dari total target penerimaan cukai sebesar Rp301,6 triliun.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru, Djaka Budi Utama, mengatakan penentuan tarif cukai akan mempertimbangkan berbagai aspek lintas sektor.

    “Terkait usulan [moratorium cukai] tersebut akan dilihat dari pengendalian konsumsi hasil tembakau, industri dan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan capaian negara, dan peredaran rokok ilegal yang setiap saat dilakukan pencegahan,” ujar Djaka.

    Pernyataan ini merupakan respons atas desakan dari pelaku industri dan berbagai kalangan yang meminta pemerintah tidak menaikkan tarif CHT hingga tiga tahun ke depan. 

    Kekhawatiran utama adalah bahwa kenaikan tarif yang terlalu agresif dapat menekan industri, meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), serta meningkatkan pergeseran konsumsi ke produk ilegal yang semakin masif akhir-akhir ini. 

    Djaka menambahkan bahwa keputusan terkait tarif CHT tidak hanya menjadi kewenangan Bea Cukai, melainkan merupakan hasil koordinasi lintas direktorat. 

    “Dalam rumusan kebijakan cukai, Bea Cukai tidak berdiri sendiri tapi berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal,” jelasnya.

  • Harta Karun Dunia Terancam, China Ultimatum Pemberontak Tetangga

    Harta Karun Dunia Terancam, China Ultimatum Pemberontak Tetangga

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Konflik bersenjata di Myanmar utara kini menjadi ancaman nyata bagi pasokan global tanah jarang berat, yang krusial untuk produksi kendaraan listrik hingga turbin angin.

    Melansir Reuters pada Selasa (8/7/2025), China mengeluarkan ultimatum kepada kelompok pemberontak Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), menambah tekanan terhadap rantai pasok global yang sudah rapuh sejak pandemi dan konflik geopolitik.

    Sejak Desember 2024, KIA menggempur kota strategis Bhamo di negara bagian Kachin, hanya 100 km dari perbatasan China. Wilayah ini menyumbang hampir 50% pasokan global tanah jarang berat seperti disprosium dan terbium. Mineral tersebut diekspor ke China untuk diproses menjadi magnet berteknologi tinggi.

    Namun, Beijing kini mengancam akan memblokir pembelian tanah jarang dari wilayah yang dikuasai KIA, jika kelompok itu tak menghentikan ofensif ke Bhamo. Informasi ini diungkap tiga sumber Reuters yang mengetahui pembicaraan tertutup antara pejabat China dan komandan KIA.

    “Dan jika kami tidak menerimanya, mereka akan memblokir ekspor dari Negara Bagian Kachin, termasuk mineral tanah jarang,” kata seorang pejabat KIA kepada Reuters.

    China Bermain Keras

    Ultimatum ini menunjukkan bagaimana China memanfaatkan dominasinya atas industri tanah jarang untuk menekan kelompok bersenjata demi mendukung junta Myanmar, sekutu utamanya di kawasan.

    Seorang komandan KIA menyebut pembicaraan dilakukan dengan perwakilan Kementerian Luar Negeri China. Namun, belum jelas apakah ancaman ini telah direalisasikan.

    Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan: “Gencatan senjata dini dan pembicaraan damai antara militer Myanmar dan Tentara Kemerdekaan Kachin merupakan kepentingan bersama Tiongkok dan Myanmar serta rakyat mereka.”

    Beijing juga menawarkan insentif, seperti peningkatan perdagangan lintas batas jika KIA menghentikan serangan ke Bhamo. Namun, para pemimpin KIA tetap percaya diri bisa merebut kota itu dan menilai China pada akhirnya tetap akan membeli tanah jarang karena kebutuhan industrinya.

    Pasokan Global Tertekan

    Tekanan geopolitik ini berdampak langsung ke pasokan. Impor tanah jarang China dari Myanmar anjlok 50% dalam lima bulan pertama 2025 dibanding tahun lalu, menurut data bea cukai Tiongkok.

    Menurut Neha Mukherjee dari Benchmark Mineral Intelligence, jika konflik berlanjut, dunia bisa menghadapi defisit tanah jarang berat pada akhir tahun.

    “Dalam jangka pendek, gangguan pasokan ini bisa mendorong harga di luar China melonjak tajam,” ujarnya.

    Harga disprosium dan terbium memang sudah melonjak sejak KIA membatasi produksi dan menaikkan pajak penambangan setelah merebut sabuk tanah jarang di Kachin tahun lalu.

    Pertempuran Memanas di Bhamo

    Bhamo saat ini menjadi medan tempur krusial. Sekitar 5.000 pasukan KIA dan sekutunya mengepung kota yang merupakan jalur logistik penting bagi junta.

    Namun militer Myanmar masih menguasai langit. Serangan udara tanpa henti telah menghancurkan sebagian besar kota, termasuk sekolah dan rumah ibadah. Serangan ini menewaskan warga sipil, termasuk anak-anak.

    “Saya tidak tahu berapa lama kelompok revolusioner akan mampu melawan tekanan Tiongkok,” kata aktivis Kachin, Khon Ja. Ia menyebut pembatasan perbatasan telah menyebabkan kekurangan bensin dan obat-obatan.

    Sementara itu, pengamat menilai Beijing tak tertarik menyelesaikan konflik secara menyeluruh, melainkan hanya ingin meredakan pertempuran di wilayah vital ekonominya.

    “Tekanan Tiongkok merupakan pendekatan yang lebih umum untuk meredakan konflik,” ujar analis independen David Mathieson.

    Sementara itu, jika KIA berhasil menguasai Bhamo, junta akan kehilangan akses darat dan sungai ke wilayah utara Myanmar. Hal ini akan memperlemah cengkeraman militer atas rute perdagangan dan membuat posisi mereka semakin rapuh.

    “China, yang membutuhkan tanah jarang, hanya dapat menoleransi ini untuk waktu yang terbatas,” kata seorang komandan KIA.

    Kemenangan pemberontak di Bhamo bisa menjadi titik balik, yang memaksa Beijing untuk bernegosiasi langsung dengan pasukan etnis dan perlahan meninggalkan dukungannya terhadap junta.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Video: Cukai Makanan Berpemanis Masih Tunggu Situasi Ekonomi

    Video: Cukai Makanan Berpemanis Masih Tunggu Situasi Ekonomi

    Jakarta, CNBC Indonesia –Direktur Jenderal Bea Cukai, Djaka Budi Utama, mengungkapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) tidak akan ditetapkan pada tahun ini

    Selengkapnya dalam program Manfuacture Check CNBC Indonesia, Senin ( 07/07/2025).

  • DPR dan Pemerintah Sepakati Cukai Minuman Berpemanis Kembali Masuk Rencana 2026

    DPR dan Pemerintah Sepakati Cukai Minuman Berpemanis Kembali Masuk Rencana 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Implementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan alias MBDK yang batal pada tahun ini, kembali direncanakan untuk meningkatkan penerimaan negara pada tahun depan. 

    Direktur Jenderal Bea Cukai Djaka Budi Utama mengungkapkan memang rencana tersebut diagendakan untuk tahun depan, namun tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi di masa mendatang. 

    “Ya tergantung situasinya tahun depan seperti apa. DPR kan sudah setuju, tinggal aturannya kami buat,” ujarnya usai menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (7/7/2025). 

    Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu pun memilih tidak berkomentar terkait cukai MBDK. 

    Sementara Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi Amro menyampaikan terus mundurnya kebijakan ini karena butuh sosialisasi yang komprehensif dari mulai hulu hingga hilir ekosistem MBDK. 

    Dirinya tidak ingin kebijakan ini jadi multitafsir oleh khalayak ramai, tetapi dirinya tetap berharap cukai MBDK dapat diwujudkan pada tahun depan. 

    Apabila mana objek cukai tersebut tidak diperluas, maka pemerintah perlu menghadapi kenyataan penurunan penerimaan negara. Sebagaimana penerimaan pajak tahun ini yang proyeksikan hanya akan mencapai 94,9% dari target. 

    “Kalau pemerintah tidak melakukan sesuatu dengan objek pajaknya [termasuk cukai], maka penerimaan negara kita.. turun. Tetapi kalau menteri keuangannya melakukan kreativitas menambah objek baru, dengan dirjen yang baru, otomatis pendapatan negara kita dapat bertambah,” ungkapnya. 

    Pada rapat kerja tersebut, DPR dan pemerintah menyepakati kebijakan penerimaan negara untuk tahun depan. 

    Salah satunya, ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) melalui penambahan objek cukai baru berupa MBDK untuk mendukung penerimaan negara. 

    Untuk tahun depan, kedua pihak menyepakati penerimaan bea cukai sebear 1,18% hingga 1,30% dari produk domestik bruto (PDB). Kesepakatan tersebut lebih tinggi dari usulan awal pemerintah yang sebesar 1,18%—1,21%. 

    Bercermin pada tahun ini, meski telah menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan penerimaan negara senilai Rp4,39 triliun, tetapi batal dilakukan. 

    Dirjen Djaka pun tidak menjelaskan secara perinci terkait alasan tertundanya cukai minuman manis tersebut pada tahun ini. Bos baru di bea cukai tersebut pun sebelumnya meminta awak media dan masyarakat mendoakan Ditjen Bea Cukai untuk bisa mencapai target penerimaan kepabeanan dan cukai tahun ini senilai Rp301,6 triliun, meskipun tidak akan ada sumber pendapatan baru dari cukai minuman manis. 

    “Bagaimana cara menutupi [potensi penerimaan cukai minuman manis yang hilang]? Tentunya dengan komponen-komponen penerimaan yang dibebankan kepada Bea Cukai, saya mohon doanya dari para awak media bahwa Bea Cukai bisa memenuhi target,” ujar Djaka bulan lalu.