Kementrian Lembaga: Bawaslu

  • Wamendagri minta pemda laporkan kesiapan anggaran PSU Jumat ini

    Wamendagri minta pemda laporkan kesiapan anggaran PSU Jumat ini

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk meminta pemerintah daerah (pemda) melaporkan kesiapan anggaran pemungutan suara ulang (PSU) ke Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) paling lambat Jumat (7/3) mendatang.

    Hal tersebut disampaikan Ribka saat memimpin Rapat Kesiapan Pendanaan Pilkada pada Daerah yang Melaksanakan PSU secara hybrid dari Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Jakarta, Rabu (5/3). Hasil laporan itu selanjutnya akan dibahas dalam rapat dengan Komisi II DPR RI pada Senin (10/3) mendatang.

    “Dapat kami sampaikan bahwa kami akan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada hari Senin, sehingga pada hari Senin tersebut, semua daerah harus sudah kami dapatkan kepastian tentang penyediaan APBD atau keuangan daerah untuk persiapan PSU. Yang pertama untuk KPU, kemudian yang kedua Bawaslu, ketiga untuk pihak keamanan dalam hal ini TNI-Polri,” kata Ribka dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Adapun daerah yang akan melaksanakan PSU meliputi provinsi, kabupaten, dan kota. Di tingkat provinsi, ada Provinsi Papua.

    Sementara di tingkat kabupaten, ada Kabupaten Siak, Barito Utara, Bengkulu Selatan, Pasaman, Serang, Tasikmalaya, Magetan, Empat Lawang, Kutai Kartanegara, Gorontalo Utara, Bangka Barat, Buru, Mahakam Ulu, Pesawaran, Banggai, Pulau Taliabu, Kepulauan Talaud, Parigi Moutong, Bungo, dan Boven Digoel. Sedangkan di tingkat kota, ada Kota Sabang, Banjarbaru, dan Palopo.

    Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memerintahkan PSU di 24 daerah setelah memutuskan sengketa hasil Pilkada 2024.

    Putusan tersebut diumumkan dalam sidang pleno yang berlangsung pada hari Senin (24/2), dengan seluruh sembilan hakim konstitusi telah menuntaskan pembacaan keputusan atas 40 perkara yang diperiksa secara lanjut.

    Berdasarkan laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, dari seluruh perkara tersebut, MK mengabulkan 26 permohonan, menolak 9 perkara, dan tidak menerima 5 perkara lainnya.

    Dengan berakhirnya sidang ini, MK dinyatakan telah menyelesaikan seluruh 310 permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024.

    Dari 26 permohonan yang dikabulkan, sebanyak 24 perkara menghasilkan keputusan untuk menggelar PSU. KPU di daerah terkait wajib menjalankan putusan ini sesuai dengan instruksi MK.

    Selain itu, MK juga mengeluarkan dua putusan tambahan. Pertama, pada Perkara Nomor 305/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang berkaitan dengan Kabupaten Puncak Jaya, MK memerintahkan KPU untuk melakukan rekapitulasi ulang hasil suara.

    Kedua, pada Perkara Nomor 274/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait Kabupaten Jayapura, MK menginstruksikan adanya perbaikan penulisan pada keputusan KPU mengenai penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2024.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Wamendagri: Pemda harus optimalkan anggaran PSU pilkada dari APBD

    Wamendagri: Pemda harus optimalkan anggaran PSU pilkada dari APBD

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menegaskan pemerintah daerah harus mengoptimalkan pendanaan pemungutan suara ulang pilkada melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sehingga tidak langsung membebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

    Hal tersebut disampaikan Ribka saat memimpin Rapat Kesiapan Pendanaan Pilkada pada Daerah yang Melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 secara hybrid dari Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu.

    Melalui pertemuan ini diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai ketersediaan alokasi APBD pada daerah yang akan melaksanakan PSU Pilkada 2024.

    “Kami harapkan koordinasi kerja terus terjalin di daerah dengan forkopimda dan juga terkhusus pemerintah daerahnya. Hari ini, minimal sebentar ini, kami akan mendapatkan laporan atau gambaran tentang ketersediaan pagu tersebut. Ada dasar hukumnya kalau kita lihat sesuai dengan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016,” kata Ribka dalam keterangannya di Jakarta.

    Dia menegaskan perubahan APBD perlu diprioritaskan untuk mendukung pelaksanaan PSU. Pemda dapat mengalokasikan anggaran melalui belanja tidak terduga (BTT).

    Untuk itu, sekretaris daerah diminta agar mengulas alokasi tersebut. Selain itu, pendanaan PSU juga dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) dan dana sisa dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya.

    “Pendanaannya dibebankan pada APBD provinsi atau kabupaten/kota. Saya pikir ini akan menjadi acuan dari bapak ibu sekalian di daerah untuk bisa melaksanakan rasionalisasi dan seterusnya,” tegasnya.

    Ribka menekankan pentingnya kerja sama antara pemda dan pemangku kepentingan terkait dalam memastikan kesiapan anggaran PSU.

    Dia juga mengingatkan pemda untuk menyesuaikan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) terkait pendanaan PSU, baik dengan merevisi NPHD yang sudah ada maupun menyusun NPHD baru sesuai kebutuhan.

    “Memastikan NPHD-nya itu ya, nanti teknis penyampaian dari Pak Dirjen Otda, menyampaikan untuk apakah NPHD-nya dibuat baru atau yang sudah ada. Saya pikir ini ada beberapa teman-teman ini juga mantan gubernur sehingga mungkin dapat memberikan gambaran kepada teman-teman,” jelas Ribka.

    Rapat ini dihadiri pejabat dan pemangku kepentingan dari 24 daerah yang akan melaksanakan PSU, di antaranya sekda, pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan unsur TNI-Polri di masing-masing daerah.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pakar: Bawaslu perlu kerja ekstra antisipasi politik uang jelang PSU

    Pakar: Bawaslu perlu kerja ekstra antisipasi politik uang jelang PSU

    Penyelenggara pemilu, termasuk Bawaslu, harus bekerja ekstra untuk melakukan pengawasan di lapangan.

    Jakarta (ANTARA) – Pakar Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Ardli Johan Kusuma memandang perlu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja secara ekstra untuk mengantisipasi politik uang menjelang pemungutan suara ulang (PSU).

    “Penyelenggara pemilu, termasuk Bawaslu, harus bekerja ekstra untuk melakukan pengawasan di lapangan,” kata Ardli saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu.

    Dikatakan bahwa kerja ekstra dibutuhkan, terutama untuk penyelenggaraan PSU setelah Lebaran 2025 yang dinilai punya tantangan berat terkait dengan politik uang.

    Kegiatan politik uang yang dilakukan oleh para calon ini, menurut Ardli, bisa disamarkan dalam bentuk bingkisan Lebaran, ataupun disamarkan dalam bentuk kegiatan santunan selama bulan puasa.

    Kerja ekstra itu, lanjut dia, adalah dengan menanggapi secara serius setiap aduan dari masyarakat terkait dengan upaya kecurangan dari peserta PSU Pilkada 2024 menjelang hari pelaksanaannya.

    Ardli mengatakan bahwa pelibatan masyarakat tersebut dapat menjadi kunci dalam mengawasi pelaksanaan PSU.

    Adapun daerah yang menyelenggarakan PSU setelah Lebaran 2025 atau pada bulan April tahun ini sebagai berikut:

    Tenggat Waktu 45 Hari (10 April 2025)
    PSU semua wilayah:
    1. Kabupaten Bengkulu Selatan

    PSU sebagian wilayah:
    1. Kabupaten Buru
    2. Kota Sabang
    3. Kabupaten Kepulauan Talaud
    4. Kabupaten Banggai
    5. Kabupaten Bungo
    6. Kabupaten Pulau Taliabu

    Tenggat Waktu 60 Hari (25 April 2025)
    PSU semua wilayah:
    1. Kota Banjarbaru
    2. Kabupaten Pasaman
    3. Kabupaten Tasikmalaya
    4. Kabupaten Empat Lawang
    5. Kabupaten Serang
    6. Kabupaten Kutai Kartanegara
    7. Kabupaten Gorontalo Utara
    8. Kabupaten Parigi Moutong

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Utak-Atik Anggaran Demi Pemilihan Suara Ulang di 24 Wilayah

    Utak-Atik Anggaran Demi Pemilihan Suara Ulang di 24 Wilayah

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah pusat harus berupaya menyesuaikan anggaran untuk pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah daerah. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.

    Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat 24 kota dan kabupaten yang diwajibkan menggelar PSU. Beberapa di antaranya telah menyatakan kesiapan menganggarkan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sayangnya, masih banyak yang belum memberikan kejelasan terkait kemampuan pendanaan mereka.

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya mengungkapkan bahwa pemerintah tengah melakukan koordinasi terkait pendanaan untuk Pemilihan SuaraUlang (PSU) di 24 kota dan kabupaten.

    Menurutnya, sebagian daerah telah menyatakan kesiapan untuk menganggarkan danadari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi masih ada yang belum memberikan kepastian terkait kemampuan pendanaan.   

    “Iya, jadi saat ini Kemendagri berkoordinasi dengan 24 kota/kabupaten itu, ada yang menyatakan siap untuk menganggarkan dengan APBD-nya, tetapi masih cukup banyak yang belum memberikan kejelasan tentang kemampuan pendanaan,” ujar Bima Arya dalam keterangannya, Selasa (4/3/2025). 

    Untuk memastikan kesiapan daerah, Kemendagri melakukan pertemuan daring dengan seluruh daerah yang terdampak serta merencanakan kunjungan langsung ke masing-masing wilayah.

    Selain memastikan kesiapan APBD, Kemendagri akan memeriksa komposisi penganggaran agar lebih efisien. 

    “Jangan sampai ada anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan yang sebetulnya tidak perlu, seperti sosialisasi dan lain-lain,” tambahnya.  

    Menurutnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatia. Pertama, memastikan APBD mampu membiayai PSU. Kedua, memastikan penganggaran dilakukan dalam versi minimal. 

    Bima menekankan bahwa jika APBD daerah tidak cukup, maka pembiayaan dapat ditarik ke tingkat yang lebih tinggi. 

    “Kalau provinsi juga tidak mampu, baru nanti kita akan komunikasikan dengan Kementerian Keuangan,” katanya.  

    Bima Arya mengakui bahwa pemerintah berpacu dengan waktu karena ada bataswaktu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meski begitu, dia memastikan bahwa pemerintah pusat akan berkoordinasi dilakukan semaksimalmungkin agar PSU, baik yang seluruhnya maupun sebagian, bisa terselenggara dengan baik.   

    Terkait kemungkinan penggunaan dana dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN), Bima Arya menyatakan bahwa skema pendanaannya akan bersifat berbagi beban (cost-sharing).

     “Bisa. Kita lihat sharing-nya berapa persen, tapi saya kira tidak 100 persen. Pasti adakomponen yang dari APBD maupun dari provinsi, baru kemudian sisanya ditutup oleh APBN,” ungkapnya.  

    Ketika ditanya apakah anggaran dari APBN akan berasal dari pos kementeriantertentu, Bima Arya menyatakan bahwa hal tersebut masih akan dikoordinasikan lebihlanjut dengan Kementerian Keuangan. 

    “Kami akan komunikasikan dan Kementerian Keuangan post-nya dari mana nanti ya,” pungkas Bima.  

    Daftar 24 Wilayah yang Wajib Menggelar Pemungutan Suara Ulang

    No.

    Nama Wilayah

    Nomor Perkara

    1

    Kabupaten Pasaman

    Perkara No. 02/PHPU.BUP-XXIII/2025

    2

    Kabupaten Mahakam Ulu

    Perkara No. 224/PHPU.BUP-XXIII/2025

    3

    Kabupaten Boven Digoel

    Perkara No. 260/PHPU.BUP-XXIII/2025

    4

    Kabupaten Barito Utara

    Perkara No. 28/PHPU.BUP-XXIII/2025

    5

    Kabupaten Tasikmalaya

    Perkara No. 132/PHPU.BUP-XXIII/2025

    6

    Kabupaten Magetan

    Perkara No. 30/PHPU.BUP-XXIII/2025

    7

    Kabupaten Buru

    Perkara No. 174/PHPU.BUP-XXIII/2025

    8

    Provinsi Papua

    Perkara No. 304/PHPU.GUB-XXIII/2025

    9

    Kota Banjarbaru

    Perkara No. 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025

    10

    Kabupaten Empat Lawang

    Perkara No. 24/PHPU.BUP-XXIII/2025

    11

    Kabupaten Bangka Barat

    Perkara No. 99/PHPU.BUP-XXIII/2025

    12

    Kabupaten Serang

    Perkara No. 70/PHPU.BUP-XXIII/2025

    13

    Kabupaten Pesawaran

    Perkara No. 20/PHPU.BUP-XXIII/2025

    14

    Kabupaten Kutai Kartanegara

    Perkara No. 195/PHPU.BUP-XXIII/2025

    15

    Kota Sabang

    Perkara No. 47/PHPU.WAKO-XXIII/2025

    16

    Kabupaten Kepulauan Talaud

    Perkara No. 51/PHPU.BUP-XXIII/2025

    17

    Kabupaten Banggai

    Perkara No. 171/PHPU.BUP-XXIII/2025

    18

    Kabupaten Gorontalo Utara

    Perkara No. 55/PHPU.BUP-XXIII/2025

    19

    Kabupaten Bungo

    Perkara No. 173/PHPU.BUP-XXIII/2025

    20

    Kabupaten Bengkulu Selatan

    Perkara No. 68/PHPU.BUP-XXIII/2025

    21

    Kota Palopo

    Perkara No. 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025

    22

    Kabupaten Parigi Moutong

    Perkara No. 75/PHPU.BUP-XXIII/2025

    23

    Kabupaten Siak

    Perkara No. 73/PHPU.BUP-XXIII/2025

    24

    Kabupaten Pulau Taliabu

    Perkara No. 267/PHPU.BUP-XXIII/2025

    Sumber: Putusan Mahkamah Konstitusi (diolah)

    Beban Berat Pemilihan Suara Ulang

    Komisi II DPR RI pun sempat memperkirakan biaya yang digelontorkan untukmenggelar pemungutan suara ulang di sejumlah daerah bakal membebani APBN dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi atas Perselisihan Hasil Pemilihan UmumKepala Daerah 2024 lantaran bisa mencapai hampir Rp1 triliun.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menjabarkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengulang pemungutan suara di 24 titik bisa mencapai Rp900 miliar sampai Rp1 triliun. 

    Bagaimana tidak, jumlah biaya tersebut berasal dari kebutuhan anggaran yang disampaikan lembaga penyelenggara pemilu untuk menggelar pemungutan suaraulang (PSU) hingga anggaran aparat keamanan untuk menjalankan fungsipengamanan.

    “KPU menyampaikan [butuh anggaran] kurang lebih Rp486 miliar sekian, Bawaslukurang lebih sekitar Rp215 miliar, tambah kalau ada pilkada ulangnya kurang lebihRp250 miliar. Belum TNI dan Polri jika harus melakukan fungsi pengamanan,” tandasnya.

    Menurut penelusuran Bisnis, beban sejumlah wilayah jika harus mengulang pemungutan suara memang cukup besar.

    Misalnya, untuk Provinsi Papua, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengajukan anggaran sebesar Rp367 miliar untuk pelaksanaan PSU PemilihanGubernur dan Wakil Gubernur. Lalu, Pilkada Serentak 2024 di Serang, Jawa Barat yang menelananggaran Rp28 miliar lebih.

    Anggaran Pilkada dari Masa ke Masa 

    Tahun

     Jumlah Daerah 

     Anggaran 

    Rincian Penggunaan Anggaran

    2015

    269

    Rp 7,1 Triliun

    Pembiayaan pemungutan suara, logistik, honorarium petugas, dan pengamanan.

    2017

    101

    Rp 7,9 Triliun

    Peningkatan pengawasan, distribusi logistik, dan pengamanan Pilkada.

    2018

    171

    Rp 9,1 Triliun

    Pembiayaan logistik, honorarium petugas, serta pengawasan yang lebih ketat.

    2020

    270

    Rp 15,4 Triliun

    Pembiayaan Pilkada serentak (Juli–Desember), penanganan pandemi Covid-19, dan vaksinasi.

    2024

    514

    Rp 37,43 Triliun

    Penggunaan anggaran termasuk logistik, honorarium, dan fasilitas untuk pilkada lebih besar.

    Sumber: KPU, Kemendagri, dan berbagai sumber diolah

     

  • Anggota DPR: Putusan MK pilkada ulang di 24 daerah tepat

    Anggota DPR: Putusan MK pilkada ulang di 24 daerah tepat

    Respons bijak atas putusan MK seharusnya tidak dilihat kepada siapa sanksi itu dijatuhkan, tetapi ….

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024 untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah merupakan putusan yang berani dan tepat.

    “Saya percaya dengan model persidangan yang terbuka untuk publik, putusan akhir MK terkait dengan PHPU tidak sembarangan, terlebih sorotan publik akhir-akhir ini sangat kuat,” kata Toha dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Toha menyebutkan total 15 daerah yang wajib melaksanakan PSU, 9 daerah PSU di sejumlah TPS, dan 2 daerah pilkada ulang karena kemenangan kotak kosong.

    Menurut dia, biaya untuk menggelar kembali PSU di 24 daerah mencapai Rp1 triliun.

    Berdasarkan RDPU di DPR RI pada hari Kamis (27/2), KPU mengajukan anggaran sebesar Rp486 miliar dan Bawaslu Rp206 miliar untuk kembali melaksanakan PSU di 24 daerah imbas dari putusan akhir MK pada hari Senin (24/2).

    “Dana tersebut belum termasuk dua pilkada ulang akibat kemenangan kotak kosong di Kota Padang Sidempuan dan Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditaksir semua menjadi kurang lebih Rp1 triliun,” ujarnya.

    Meski begitu, Toha yang membidangi urusan dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur mengakui MK telah menjadi lembaga tinggi negara yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu, termasuk PHPU dengan mempraktikkan prinsip audi et alteram partem.

    Dalam pergelaran sidang PHPU, mulai saat pendaftaran sampai sidang akhir putusan, semua pihak bebas mengadu (fair), persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, live TV, dan dapat diakses berbagai kanal (transparan), serta terbukti putusannya tidak pandang bulu (equality before the law).

    “Respons bijak atas putusan MK seharusnya tidak dilihat kepada siapa sanksi itu dijatuhkan, tetapi perkara aduan, bukti-bukti persidangan, dan kesaksian saksi atau saksi ahli,” jelas Toha

    Wakil rakyat yang berada di komisi yang membidangi pemerintah dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur ini juga mengingatkan bahwa putusan MK itu final dan mengikat (final and binding).

    Toha menghargai segelintir pendapat yang menyoal dasar putusan MK, misalnya pada perkara keabsahan persyaratan pencalonan yang pasti putusan itu sudah dijatuhkan dan semua pihak harus menghargai.

    “Putusan ini harus menjadi pelajaran terbaik untuk kinerja penyelenggara pemilu agar lebih profesional,” ucapnya.

    Di sisi lain, Toha menyayangkan putusan MK terkait dengan PHPU bukan hanya karena kesalahan penghitungan suara, pencurian suara, penghilangan suara, dan perubahan status suara sah menjadi tidak sah atau yang tidak sah menjadi sah.

    Ia merasa terjadi kesalahan administrasi di awal tahapan, bahkan ada yang terjadi karena pelanggaran netralitas pejabat negara.

    “Kesalahan administrasi kategori malaadministrasi dan dapat dipidana. Pun dengan pelanggaran netralitas oleh pejabat negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri dalam pilkada juga dapat diberi sanksi pidana,” pungkas dia.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komisi II DPR Setujui Efisiensi PSU Tanpa Kurangi Aspek Substansial

    Komisi II DPR Setujui Efisiensi PSU Tanpa Kurangi Aspek Substansial

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi II DPR sepakat dengan pernyataan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya yang meminta pemerintah daerah untuk tidak boros dalam melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 kota dan kabupaten. 

    Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda sependapat dengan hal tersebut. Dia memandang agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan untuk PSU dapat dihemat seefisien mungkin.

    “Tentu dengan catatan bahwa hal-hal substansial terkait penyelenggaraan PSU tidak boleh mengurangi bobot kualitas dari PSU itu sendiri,” tuturnya dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu (5/3/2025).

    Menurut Legislator dari fraksi Nasdem tersebut, ada beberapa unit beban yang bisa dikurangi. Misalnya biaya hibah keamanan TNI dan Polri. Kemudian, mengimbau kepada KPU dan Bawaslu untuk merasionalisasikan honorarium petugas ad hoc, baik yang berada di bawah KPU, PPK, Bawaslu, pengawas desa, pengawas TPS.

    Sementara itu, lanjut dia, hal-hal substansial seperti pencetakan suara, pengadaan tempat pemungutan suara (TPS) dan rekapitulasi suara harus diberikan support anggaran.

    “Hal itu semata agar penyelenggaraan PSU tidak cacat prosedur, sehingga ada kemungkinan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali,” tegasnya.

    Sebelumnya, Wamendagri Bima Arya menegaskan bahwa selain memastikan kesiapan APBD untuk PSU, Kemendagri akan memeriksa komposisi penganggaran agar lebih efisien. 

    “Jangan sampai ada anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan yang sebetulnya tidak perlu, seperti sosialisasi dan lain-lain,” tambahnya.   

    Menurutnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian. Pertama, memastikan apakah APBD mampu membiayai PSU. Kedua, memastikan penganggaran dilakukan dalam versi minimal.

  • Tantangan pelaksanaan pilkada setelah Putusan MK

    Tantangan pelaksanaan pilkada setelah Putusan MK

    Ilustrasi. Sidang pengucapan putusan akhir sengketa Pilkada 2024 di Gedung I Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)

    Tantangan pelaksanaan pilkada setelah Putusan MK
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Selasa, 04 Maret 2025 – 13:28 WIB

    Elshinta.com – Indonesia kembali membuktikan komitmennya dalam mengawal proses demokrasi agar berjalan dengan baik setelah berakhirnya rangkaian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 hingga putusan akhir Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasilnya.

    Apresiasi patut diberikan kepada MK, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Komisi II DPR RI atas peran serta tanggung jawab dalam menjaga demokrasi agar tetap transparan, akuntabel, dan berintegritas.

    Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah dalam sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada 2024. Mayoritas putusan terkait PSU di 24 daerah tersebut berkaitan dengan syarat pencalonan, menunjukkan bahwa MK masih memegang peran penting sebagai penjaga konstitusi dan keadilan pemilu.

    Fokus MK terhadap aspek syarat pencalonan menandakan bahwa prosedur administrasi dalam pilkada harus ditegakkan dengan pengawasan ketat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang memenuhi syarat yang dapat bertarung dalam pilkada, demi menjaga prinsip demokrasi yang jujur dan adil.

    Selanjutnya, DKPP juga memiliki peran penting dalam menegakkan kode etik bagi penyelenggara pemilu, termasuk KPU dan Bawaslu. Jika terbukti ada kelalaian atau pelanggaran dalam meloloskan calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat, maka DKPP harus bertindak tegas dengan memberikan sanksi yang sesuai.

    Putusan MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang di 24 daerah terkait syarat pencalonan menunjukkan adanya kelemahan dalam proses verifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Karena itu, DKPP sebagai penegak etik penyelenggara pemilu, perlu memberikan sanksi kepada anggota KPU dan Bawaslu di daerah agar kejadian serupa tidak terulang.

    Kesalahan atau maladministrasi seperti itu seharusnya sudah bisa dicegah sejak awal, yaitu sebelum tahapan penetapan calon. Jika KPU provinsi dan kabupaten/kota ataupun KPU RI kesulitan menentukan apakah seorang calon telah menjabat dua periode atau belum, misalnya, mereka seharusnya dapat berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam menafsirkan peraturan atau perundang-undangan.

    Hal ini juga berlaku untuk pilkada yang salah satu pasangan calonnya didiskualifikasi karena kasus hukum, seperti yang terjadi di Kota Banjarbaru (Kalsel), Palopo (Sulsel), dan Mahakam Ulu (Kaltim).

    Tujuan dari pemungutan suara ulang tentu untuk menjaga prinsip keadilan pemilu. Namun, PSU juga membawa banyak konsekuensi. Pertama, tujuan pilkada serentak agar tiap kepala daerah memiliki masa jabatan yang sama menjadi tidak tercapai. Kedua, target efisiensi anggaran dengan menyatukan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada juga  jadi meleset.

    Terlebih saat ini Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang gencar melakukan efisiensi anggaran. Dari sisi pemerintah daerah, ini juga menjadi beban tambahan karena harus ikut menanggung pembiayaan pilkada yang bersumber dari APBD.

    Ketiga, KPU provinsi dan kabupaten/kota maupun pasangan calon nantinya harus bekerja ekstra keras untuk mengajak masyarakat agar mau datang memilih. Hal ini merujuk pada indikasi kelelahan atau kejenuhan pemilih (voter fatigue) akibat pelaksanaan Pilkada 2024 yang berlangsung di tahun yang sama dengan pemilu nasional.

    Di banyak daerah, tingkat partisipasi cenderung turun dibandingkan edisi pilkada sebelumnya. Adanya PSU dikhawatirkan akan semakin menggerus angka partisipasi pemilih, sehingga siapapun yang menang akan mengalami penurunan legitimasi.

    Sayangnya, penyelenggara pemilu di beberapa daerah yang harus mengadakan PSU akibat inkompetensi mereka saat ini tidak dapat dikenai hukuman pidana, kecuali jika terbukti menerima suap dari calon atau partai politik untuk melanggar peraturan.

    Padahal, meskipun tidak terbukti menerima suap, pemungutan suara ulang jelas merugikan keuangan negara. Dana yang digunakan untuk PSU seharusnya dapat dialokasikan untuk memaksimalkan pelayanan dasar bagi warga negara, yang selama ini masih banyak keterbatasan di berbagai daerah.

    Karena itu, tindakan tegas dari DKPP ke depan bukan hanya untuk memastikan bahwa pemilu berjalan sesuai dengan prinsip kejujuran dan keadilan, tetapi juga untuk memberikan efek jera sehingga menjadi contoh bagi penyelenggara lainnya agar tidak main-main dengan persoalan kedaulatan rakyat.

    Langkah tegas DKPP itu diharapkan bisa terwujud agar kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dapat tetap terjaga. Ke depan, sinergi antara MK, Komisi II DPR RI, DKPP, KPU, dan Bawaslu diharapkan semakin kuat demi mewujudkan pemilu dan pilkada yang lebih berkualitas.

    Sebagai langkah konkret dalam mencegah kecurangan pemilu, ke depan perlu dibentuk satuan tugas khusus untuk melakukan operasi tangkap tangan terhadap praktik politik uang atau money politics. Kepolisian bekerja sama dengan KPU dan para pemangku kepentingan lainnya, harus memastikan bahwa fenomena money politics tidak lagi menjadi hal yang biasa dalam setiap kontestasi politik.

    Keberanian MK patut diapresiasi dalam mengungkap adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif  serta keputusannya yang memerintahkan PSU sebagai bentuk penegakan keadilan pemilu.

    Lebih jauh, upaya pencegahan harus ditingkatkan dengan memperkuat transparansi dalam setiap tahapan pemilu. Sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya money politics juga perlu diperluas agar pemilih lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh praktik transaksional dalam politik.

    Selain itu, pengawasan dari masyarakat sipil dan media perlu dioptimalkan guna memastikan setiap pelanggaran dapat diidentifikasi sejak dini dan ditindak sesuai hukum yang berlaku.

    Sumber : Antara

  • Bawaslu Minta KPU Percepat Tahapan PSU: Rawan Politik Uang!

    Bawaslu Minta KPU Percepat Tahapan PSU: Rawan Politik Uang!

    loading…

    Ketua Bawaslu Rahmat Bagja meminta KPU segera merampungkan proses tahapan Pemungutan Suara Ulang (PSU) karena rawan politik uang. Foto/Danandaya Aria Putra

    JAKARTA – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera merampungkan proses tahapan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Sebab sebagai lembaga pengawasan, Bawaslu butuh persiapan sebelum pelaksanaan PSU.

    “Tahapannya dimulai kapan dan bagaimana? Proses-proses yang dilakukan oleh teman-teman KPU sampai sejauh mana? Karena Kami, Bawaslu akan mengikuti pola tahapan yang digariskan oleh teman-teman KPU. Kami tidak bisa membuat tahapan,” kata ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Senin (3/3/2025).

    Apalagi, kata Bagja, pelaksanaannya sangat rawan akan terjadinya politik uang.

    “Kemudian kami menyampaikan juga kepada KPU harus dipercepat, untuk apa? Pertama adalah ini bulan Ramadan, tentu hal-hal yang berkaitan dengan politik uang dan kawan-kawan, kemungkinan itu ada berpotensi dilakukan, yang kami harap itu tidak terjadi,” ujarnya.

    Di sisi lain, Bagja juga menyampaikan terkait anggaran pelaksanaan PSU ini. Dia menyebut jika anggaran sudah jelas, untuk memitigasi pelanggaran politik uang saat pencalonan pihaknya akan mengaktifkan petugas pengawasan badan ad-hoc.

    “Jadi, kami berharap proses tahapannya jelas dan cepat dan juga anggaran adhoc ada sehingga kemudian Panwas adhoc bisa bergerak lagi,” tuturnya.

    Walaupun belum ada kejelasan soal anggaran tersebut, Bagja mengaku dia telah memerintahkan jajaran di daerah untuk melakukan proses patroli menjelang pelaksanaan PSU ini.

    “Kemudian, kami menyampaikan kepada teman provinsi dan Kabupaten/kota untuk berkoordinasi kembali dengan unsur-unsur sentra Gakkumdu, karena polisi dan jaksa jika berkaitan dengan pidana politik uang itu berkaitan dengan sentra Gakkumdu yang melibatkan polisi dan jaksa,” pungkasnya.

    (shf)

  • Pidato perdana, Bupati Langkat ajak seluruh elemen bersatu membangun daerah

    Pidato perdana, Bupati Langkat ajak seluruh elemen bersatu membangun daerah

    Foto: M Salim/Radio Elshinta

    Pidato perdana, Bupati Langkat ajak seluruh elemen bersatu membangun daerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 03 Maret 2025 – 21:11 WIB

    Elshinta.com – Bupati Langkat, Sumatera Utara, Syah Afandin, dan Wakil Bupati Langkat Tiorita Br Surbakti menyampaikan pidato perdana dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Langkat yang berlangsung di ruang rapat DPRD Kabupaten Langkat. 

    Rapat ini digelar sebagai bagian dari rangkaian resmi pasca pelantikan pada 20 Februari 2025 dan serah terima jabatan pada hari ini Senin (3/3).

    Rapat dipimpin oleh Ketua DPRD Langkat, Sribana Peranginangin yang menegaskan bahwa pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Langkat telah sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 100.2.1.3-221 Tahun 2025 tentang pengesahan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada serentak 2024.

    Acara ini berlangsung khidmat dan dihadiri oleh unsur Forkopimda Langkat, Sekretaris Daerah Kabupaten Langkat, pimpinan perangkat daerah, camat se-Kabupaten Langkat, serta organisasi mitra seperti TP PKK, Bhayangkari, Persit KCK, dan Dharma Wanita Persatuan (DWP).

    Dalam pidatonya, Bupati Langkat Syah Afandin menyampaikan rasa terima kasih kepada DPRD Langkat atas terselenggaranya rapat paripurna ini. 

    Ia juga memberikan apresiasi kepada KPU Langkat, Bawaslu, serta jajaran forkopimda, khususnya Kapolres Langkat dan Dandim 0203/LKT, atas kerja keras dalam menjaga ketertiban selama dan setelah Pilkada 2024.

    Tak lupa, ia menyampaikan penghargaan kepada masyarakat Langkat atas kepercayaan dan dukungan yang diberikan sejak tahap pemilihan, penetapan calon, pelantikan oleh Presiden RI di Jakarta, hingga serah terima jabatan yang berlangsung hari ini. 

    “Hari ini adalah momentum untuk menumbuhkan semangat baru dalam membangun Kabupaten Langkat. Tidak ada lagi perbedaan antara pendukung 01 atau 02. Mulai sekarang, kita semua adalah pendukung Langkat yang maju,” tegasnya, seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, M Salim.

    Bupati Syah Afandin juga menegaskan komitmennya untuk membawa Langkat ke arah yang lebih baik melalui visi ‘Menuju Langkat yang maju, sehat, sejahtera, religius, dan berkelanjutan’.

    Ia mengajak seluruh elemen pemerintahan, mulai dari sekretaris daerah hingga kepala desa, pimpinan instansi vertikal, hingga seluruh masyarakat untuk bersinergi dan berinovasi demi kemajuan daerah. 

    “Dengan segala kerendahan hati, kami mengajak seluruh elemen pemerintah dan masyarakat untuk bersatu. Mari kita berkolaborasi dengan semangat kebersamaan dan komitmen yang kuat untuk mewujudkan pembangunan Langkat yang lebih baik,” ujarnya.

    Menutup pidatonya, Bupati Langkat berharap doa dan dukungan dari semua pihak agar ia bersama Wakil Bupati Tiorita Br Surbakti dapat menjalankan amanah dengan baik dan membawa Langkat ke arah kemajuan yang berkelanjutan.

    Sumber : Radio Elshinta

  • 6 Penyebab Umum Terjadinya Pemungutan Suara Ulang di Indonesia

    6 Penyebab Umum Terjadinya Pemungutan Suara Ulang di Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemungutan suara ulang (PSU) adalah mekanisme dalam pemilu yang diterapkan ketika terjadi pelanggaran atau permasalahan yang berpotensi memengaruhi hasil pemilihan.

    Di Indonesia, pemungutan suara ulang dapat terjadi dalam berbagai tingkatan pemilu, termasuk pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah. Langkah ini dilakukan untuk memastikan proses pemilu berlangsung secara transparan dan sesuai dengan prinsip demokrasi.  

    Tujuan utama pemungutan suara ulang adalah menjaga kejujuran dan keadilan dalam pemilihan dengan memastikan setiap suara sah dihitung dengan benar. Pelaksanaan PSU biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kesalahan administratif, pelanggaran prosedur, praktik politik uang, serta gangguan keamanan.

    Berikut ini beberapa penyebab umum yang sering menjadi alasan dilakukannya pemungutan suara ulang di Indonesia.

    Penyebab Umum Pemungutan Suara Ulang di Indonesia

    1. Kesalahan administrasi dalam pemungutan suara

    Salah satu penyebab utama pemungutan suara ulang adalah kesalahan dalam administrasi pemilu. Kesalahan ini bisa meliputi penggunaan daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak valid, pencoblosan dengan surat suara yang tidak sah, atau distribusi surat suara yang tidak sesuai aturan.

    Misalnya, ada kasus pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT tetap diberikan hak memilih atau surat suara yang seharusnya digunakan di satu daerah justru dikirim ke daerah lain.  

    Selain itu, masalah dalam pengelolaan logistik pemilu, seperti kekurangan atau kelebihan surat suara, juga dapat menjadi alasan dilaksanakannya pemungutan suara ulang. Jika kesalahan administratif ini terbukti berdampak signifikan terhadap hasil pemilu, maka PSU harus dilakukan untuk memastikan jalannya pemilu yang benar dan transparan.  

    2. Pelanggaran prosedur dalam pemungutan dan penghitungan suara

    Proses pemungutan dan penghitungan suara harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, dalam praktiknya, ada kasus prosedur tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Misalnya, kotak suara yang seharusnya tersegel ditemukan dalam kondisi terbuka sebelum penghitungan suara dimulai, atau ada pihak yang tidak berwenang ikut serta dalam proses penghitungan suara.  

    Ketika terjadi pelanggaran yang dapat mengancam transparansi dan keabsahan hasil pemilu, pemungutan suara ulang dapat menjadi solusi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan.  

    3. Praktik politik uang dan intimidasi terhadap pemilih

    Praktik politik uang dan intimidasi kerap menjadi alasan pemungutan suara ulang dilaksanakan. Politik uang terjadi ketika calon atau tim sukses memberikan imbalan kepada pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Selain itu, ada juga kasus saat pemilih diintimidasi atau dipaksa agar memilih atau tidak memilih kandidat tertentu.  

    Jika terbukti adanya politik uang atau intimidasi yang memengaruhi hasil pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat merekomendasikan PSU sebagai langkah koreksi. Hal ini bertujuan untuk menjaga hak pemilih agar tetap independen dan bebas dari tekanan atau pengaruh pihak lain.  

    4. Pemilih ganda dan penyalahgunaan hak pilih

    Penggunaan hak pilih secara tidak sah juga menjadi salah satu penyebab pemungutan suara ulang. Dalam beberapa kasus, ditemukan pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali dengan menggunakan identitas yang berbeda, atau ada pihak yang menggunakan identitas orang lain untuk memberikan suara.  

    Pelanggaran ini dapat merusak keabsahan pemilu karena hasil yang diperoleh tidak mencerminkan suara rakyat yang sebenarnya. Jika terbukti adanya kasus pemilih ganda atau penyalahgunaan hak pilih, PSU dapat dilakukan untuk memperbaiki proses pemilu agar lebih adil dan akurat.  

    5. Gangguan keamanan dan kerusuhan saat pemilu

    Faktor keamanan juga menjadi penyebab PSU di Indonesia. Gangguan keamanan dapat berupa kerusuhan di TPS, sabotase terhadap jalannya pemilu, atau bahkan ancaman fisik terhadap penyelenggara pemilu dan pemilih.

    Jika proses pemungutan suara terganggu akibat kondisi keamanan yang tidak kondusif, PSU dapat dilakukan untuk memastikan semua pemilih bisa menggunakan hak suaranya dengan aman.  

    6. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa pemilu

    Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Jika ada peserta pemilu yang merasa dirugikan dan mengajukan gugatan ke MK, maka lembaga tersebut akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan. Jika terbukti ada pelanggaran yang signifikan dan berpengaruh terhadap hasil pemilu, MK dapat memerintahkan pemungutan suara ulang di wilayah tertentu.  

    Keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dilaksanakan oleh KPU dan pihak terkait. PSU dalam konteks ini biasanya terjadi dalam pemilu legislatif atau pilkada, terutama ketika selisih suara yang sangat tipis menjadi sumber sengketa.  

    Pemungutan suara ulang merupakan bagian dari mekanisme demokrasi yang bertujuan untuk menjaga transparansi dan integritas pemilu. Faktor utama yang menyebabkan PSU di Indonesia meliputi kesalahan administratif, pelanggaran prosedur, politik uang, intimidasi, pemilih ganda, gangguan keamanan, serta keputusan MK dalam menyelesaikan sengketa pemilu.

    Untuk meminimalkan terjadinya pemungutan suara ulang, diperlukan peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu, pengawasan yang lebih ketat, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga proses demokrasi yang jujur dan adil. Dengan langkah-langkah tersebut, pemilu di Indonesia dapat berlangsung lebih transparan dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilih oleh rakyat.