Kementrian Lembaga: Bawaslu

  • Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan putusan progresif dalam sidang uji materi beberapa undang-undang.
    Putusan terbaru itu diucapkan pada 13 November 2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) terhadap Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ).
    Putusan itu menegaskan, anggota Polri tak bisa lagi merangkap jabatan, sebagai penegak hukum sekaligus menduduki jabatan sipil seperti yang sering dilakukan belakangan ini.
    Putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak jika anggota Polri mau cawe-cawe duduk pada jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang
    expressis verbis
    yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurut hakim konstitusi Ridwan mansyur, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” jelas Ridwan.

    Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan, putusan
    progresif
    ini menjadi hal yang menggembirakan masyarakat secara luas.
    Dia melihat putusan-putusan ini semakin terlihat progresivitasnya dan tak terlepas dari titik nadir MK saat mengeluarkan putusan 90/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
    “Akibat putusan 90 MK itu berada di titik nadir, dan dengan putusan-putusan progresif ini mereka berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik,” kata Susi saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Saat ini yang perlu dilakukan MK adalah bagaimana progresivitas ini bisa tetap dipertahankan.
    Salah satu caranya adalah tenaga ahli di MK yang sangat bagus dan memberikan perspektif terkait jalan lurus yang pernah dicetak MK.
    Hakim memang memiliki independensi, tetapi hakim juga bisa berdiskusi terkait dengan diskursus yang sedang digugat di MK.
    “Jadi di MK sendiri harus dibangun sebuah lingkungan yang memastikan progresivitas itu tetap terpelihara,” katanya.
    “Dan jangan lupa bahwa mereka itu dinilai loh oleh masyarakat. Progresifitas itu tetap diharapkan gitu. Nanti kalau Anda nggak progresif lagi, di ini lagi sama masyarakat,” tuturnya.
    Masyarakat juga berperan penting agar para hakim bisa tetap mempertahankan putusan yang progresif.
    Catatan
    Kompas.com
    ,
    putusan MK
    yang melarang anggota Polri aktif duduk di jabatan sipil bukan satu-satunya putusan progresif yang diputus sepanjang tahun 2025.
    Berikut beberapa putusan progresif yang diputus MK:
    Putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Juni 2025 itu menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    Putusan MK ini juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Putusan tersebut disambut gembira oleh para penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merasakan lelahnya pemilu serentak lokal dan nasional.
    Tetapi berbeda sikap dengan elit partai politik yang merasa keberatan atas putusan tersebut, karena biaya logistik yang bisa lebih besar setelah pemisahan pemilu tersebut.
    Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut putusan MK berpotensi melanggar konstitusi.
    Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali. Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    Putusan lainnya adalah putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
    MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya yang dibacakan pada 29 September 2025.
    Pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat itu menyebut, Tapera menimbulkan persoalan khususnya untuk para pekerja.
    Pasalnya, beleid itu diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera, sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas.
    Padahal Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa layaknya pajak dan pungutan resmi lainnya.
    “Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon,” kata Saldi.
    Putusan ini juga memberikan kesempatan kepada BP Tapera untuk mengatur uang nasabah yang sudah terlanjur menyetor, seperti para aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.
    Putusan lainnya yakni perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang berkaitan dengan rangkap jabatan wakil menteri khususnya sebagai komisioner di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan, dalil pemohon yang meminta agar para wakil menteri fokus mengurus kementerian dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
    Atas hal tersebut, MK menilai perlu agar para wakil menteri dilarang merangkap jabatan agar fokus mengurus kementerian.
    “Dalam batas penalaran yang wajar, peraturan perundang-undangan dimaksud salah satunya adalah UU 39/2008. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan
    a quo
    mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” kata Enny.
    Putusan yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 itu menyebut wakil menteri juga memerlukan konsentrasi waktu untuk menjalankan jabatannya sebagai komisaris.
    “Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Enny.
    Atas dasar hal tersebut, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dan melarang wamen rangkap jabatan.
    Putusan yang tak kalah progresif adalah perhatian MK terhadap komposisi perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Putusan nomor 169/PUU-XXII/2024 ini dibacakan pada Kamis, 30 Oktober 2025 dengan penggugat adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini
    Dalam putusan ini, MK menyatakan agar setiap (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan alat kelengkapan dewan harus memiliki keterwakilan perempuan.
    Dalam putusan tersebut, MK menilai kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan menjadi kesepakatan nasional untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih komperhensif.
    Karena faktanya, meskipun perbandingan jumlah penduduk antara perempuan dan laki-laki relatif berimbang, namun perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki pada hampir semua penyelenggara negara.
    Fakta tersebut membuat negara harus memberikan perlakuan khusus untuk kelompok perempuan. Dasar tersebut menjadi alasan, jumlah perempuan yang berimbang pada sistem politik juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, termasuk AKD.
    Dua putusan lainnya adalah putusan terkait dengan hak atas tanah dalam gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) nomor perkara 181/PUU-XXII/2024, dan Hak Atas Tanah (HAT) di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui putusan perkara 185/PUU-XXII/2024.
    Pada perkara 181, MK mengabulkan agar masyarakat tak perlu izin pemerintah untuk menggarap lahan hutan untuk berkebun.
    Dalam pertimbangan hukumnya, putusan yang dibacakan pada 17 Oktober 2025 itu menyebut larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
    Terakhir terkait dengan hak atas tanah di IKN lewat putusan 185. Ketentuan soal Hak Atas Tanah (HAT) di IKN diatur dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
    Putusan ini mengatur, agar HAT tak lagi bisa diperpanjang menjadi 190 tahun.
    Artinya, batasan waktu HGB paling lama kini mencapai 80 tahun, yang dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politik kemarin, kunjungan Raja Yordania hingga misi perdamaian Gaza

    Politik kemarin, kunjungan Raja Yordania hingga misi perdamaian Gaza

    Jakarta (ANTARA) – Berbagai peristiwa politik kemarin (14/11) menjadi sorotan, mulai dari Presiden Prabowo terima kunjungan Raja Yordania di Istana Merdeka hingga Pemerintah siapkan 20.000 personel untuk misi perdamaian di Gaza.

    Berikut rangkuman ANTARA untuk berita politik kemarin yang menarik untuk kembali dibaca:

    1. Presiden Prabowo terima kunjungan Raja Yordania di Istana Merdeka

    Presiden RI Prabowo Subianto menerima kunjungan kenegaraan Raja Kerajaan Yordania Hasyimiah Raja Abdullah II ibn Al Hussein di Istana Merdeka Jakarta, Jumat sore.

    Berdasarkan pantauan ANTARA, iring-iringan kendaraan yang membawa Raja Abdullah II dan Presiden Prabowo, yang juga meliputi pasukan pengawal bermotor dan pasukan berkuda, tiba di Istana Merdeka pukul 16.49 WIB.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo menyambut langsung kedatangan Raja Abdullah II di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jumat sore, pukul 16.05 WIB. Keduanya lalu bersama-sama menuju Istana Merdeka dalam satu kendaraan.

    Baca selengkapnya di sini

    2. Bawaslu tingkatkan kemampuan pengawas pemilu awasi penggunaan AI

    Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Lolly Suhenty mengatakan lembaganya kini sedang fokus meningkatkan kemampuan para pengawas pemilu untuk mengawasi penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) pada pelaksanaan pemilu mendatang.

    “Dalam konteks penggunaan AI, kami menyiapkan berbagai upaya peningkatan kapasitas di jajaran pengawas pemilu supaya mereka tidak gagap,” kata Lolly di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Jumat.

    Lolly mengatakan Bawaslu akan menggandeng banyak pakar teknologi informasi dan siber untuk merumuskan formula terbaik dalam penguatan pengawasan ruang digital terkait pemilu.

    Baca selengkapnya di sini

    3. Golkar: Hormati putusan Presiden beri gelar Pahlawan ke Soeharto

    Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Idrus Marham mengajak seluruh pihak menghormati keputusan Presiden Prabowo Subianto yang telah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.

    Menurut dia, keputusan negara tidak seharusnya ditanggapi dengan emosi “dendam politik” yang dapat memecah belah masyarakat.

    “Keputusan Presiden sudah keluar dan menetapkan Pak Soeharto. Mari kita hormati kebijakan ini dan fokus pada bagaimana program-program pembangunan kita laksanakan bersama,” ujar Idrus dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    4. DPR akan bentuk Panja Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan

    Komisi III DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Reformasi untuk tiga institusi penegak hukum, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, dan Pengadilan.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa pembentukan Panja itu dilakukan berdasarkan banyaknya masukan dari masyarakat atas tiga lembaga penegak hukum itu.

    “Rencananya, pekan depan hari Selasa, ya, kita akan memanggil pimpinan tiga institusi tersebut. Selanjutnya akan dilakukan pengesahan Panja,” kata Habiburokhman saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    5. Pemerintah siapkan 20.000 personel untuk misi perdamaian di Gaza

    Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan TNI telah menyiapkan 20.000 prajurit untuk diturunkan dalam misi perdamaian di Gaza.

    “Kita maksimalkan 20.000 prajurit kita siapkan, tetapi spesifikasinya kepada kesehatan dan juga konstruksi,” kata Sjafrie di kantor Kementerian Pertahanan, Jumat.

    Sjafrie menjelaskan, penyiapan pasukan dalam jumlah besar itu dilakukan berdasarkan perintah Presiden Prabowo Subianto.

    Baca selengkapnya di sini

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bawaslu dorong pengawasan kampanye pemilu dengan meme dan AI

    Bawaslu dorong pengawasan kampanye pemilu dengan meme dan AI

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI mendorong dilakukannya pengawasan kampanye pemilihan umum mendatang yang menggunakan format meme dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

    “AI-nya sudah mulai ada, ini beberapa. Kami berharap nanti kami akan memulai proses-proses pengawasan artificial inteligence di kampanye ke depan,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja di Jakarta, Rabu.

    Bagja mengungkapkan pada Pemilu 2024, ada beberapa peserta pemilu yang menggunakan meme dan AI dalam berkampanye.

    Menurutnya, penggunaan format tersebut harus segera diatur secara hukum demi memberikan landasan legal untuk penegakan hukum apabila terjadi permasalahan hukum.

    “Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) kita ke depan setelah tahun 2024 ada beberapa pasangan calon yang menggunakan AI dan meme dalam kampanye. Menjadi permasalahan untuk Bawaslu melakukan penegakan hukum, atau melakukan solusi terhadap permasalahan hukum tersebut,” ujarnya.

    Sebelumnya, Bagja mendorong agar regulasi terkait kecerdasan buatan dan perkembangannya turut diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sedang bergulir di parlemen.

    Dalam hal ini, Bagja mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 166/PUU-XXI/2023 secara jelas melarang penggunaan AI yang berlebihan dalam kampanye pemilu.

    MK memutuskan foto atau gambar dalam kampanye pemilihan umum tidak boleh direkayasa atau dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi AI.

    Ketentuan tersebut merupakan tafsir baru MK terhadap frasa “citra diri” yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Pemilu.

    Pada mulanya, Pasal 1 angka 35 hanya berbunyi “Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.”

    MK menilai, frasa “citra diri” dalam pasal dimaksud belum memberikan batasan tegas. Padahal, sebagai ketentuan umum, pasal tersebut seharusnya memberi pengertian yang jelas karena akan digunakan sebagai rujukan dari ketentuan yang terdapat pada norma lainnya di UU Pemilu.

    Kondisi tersebut, menurut Mahkamah, berpotensi menimbulkan multitafsir atau ketidakjelasan dan berpeluang memunculkan praktik-praktik peserta pemilu menampilkan jati dirinya yang mengandung rekayasa atau manipulasi.

    Oleh sebab itu, MK mengubah pemaknaan frasa “citra diri” dengan mewajibkan peserta pemilu menampilkan foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan AI.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bawaslu RI siapkan program pendidikan politik untuk pemilih pemula

    Bawaslu RI siapkan program pendidikan politik untuk pemilih pemula

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI telah menyiapkan program pendidikan politik yang difokuskan untuk para pemilih pemula yang akan menggunakan hak suaranya pada pemilu mendatang.

    “Kami punya program namanya pendidikan politik, yang salah satunya adalah ‘Bawaslu goes to school’. Jadi, Bawaslu akan menyasar pemilih pemula yang ada di sekolah-sekolah,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja di Jakarta, Rabu.

    Bagja menegaskan pendidikan politik bagi pemilih pemula sangat penting karena pemilu mendatang akan didominasi pemilih pemula yang akan menggunakan hak suaranya untuk pertama kali.

    “Pemilih pemula kita faktor yang sangat esensial 60 persen ke atas yang akan melakukan pemilihan. Gen Z ini akan melakukan pemilihan pada tahun 2029,” ujarnya.

    Pada kesempatan itu, Bagja juga mengajak insan pers untuk aktif melakukan peliputan program “Bawaslu goes to school” dan berbagai program pendidikan politik yang diselenggarakan oleh pihaknya.

    Ia menegaskan pers adalah pilar keempat demokrasi sehingga kerja-kerja Bawaslu sangat erat kaitannya dengan kerja pers.

    Menurut ia, peran pers selain melakukan pengawasan terhadap berbagai proses Pemilu, media juga memegang peran krusial dalam menyebarluaskan pendidikan politik dan informasi yang akurat.

    “Kami berharap ke depan bisa juga melibatkan teman-teman (pers) dalam melakukan liputan pendidikan politik ke pemilih pemula,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bawaslu Jabar hadirkan sistem digital untuk pengawasan Pemilu

    Bawaslu Jabar hadirkan sistem digital untuk pengawasan Pemilu

    ANTARA – Bawaslu Jawa Barat terus berinovasi dengan meluncurkan Siwasdatif, sistem pengawasan digital berbasis partisipasi masyarakat. Aplikasi ini mempermudah masyarakat melaporkan perubahan data pemilih, sekaligus memperkuat transparansi pemilu. Inovasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas dan partisipasi aktif warga dalam proses demokrasi.
    (Dian Hardiana/Andi Bagasela/I Gusti Agung Ayu N)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DKPP lantik 228 anggota Tim Pemeriksa Daerah periode 2025-2026

    DKPP lantik 228 anggota Tim Pemeriksa Daerah periode 2025-2026

    Hari ini kita lantik 38×6 orang, jumlahnya itu. Dari unsur Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dua orang, dari unsur KPU (Komisi Pemilihan Umum) dua orang, dari unsur masyarakat dua orang,”

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melantik 228 anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) periode 2025-2026 yang akan segera bertugas memperkuat penegakan kode etik penyelenggara Pemilu di seluruh wilayah Indonesia.

    Ketua DKPP Heddy Lugito menjelaskan 228 anggota TPD tersebut tersebar di 38 provinsi dengan masing-masing provinsi dikawal oleh enam anggota TPD.

    “Hari ini kita lantik 38×6 orang, jumlahnya itu. Dari unsur Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dua orang, dari unsur KPU (Komisi Pemilihan Umum) dua orang, dari unsur masyarakat dua orang,” kata Heddy usai pelantikan TPD DKPP di Jakarta, Kamis.

    Heddy menjelaskan tugas para anggota TPD tersebut adalah membantu persidangan di DKPP ketika memeriksa perkara-perkara di daerah.

    Nanti hasil pemeriksaan perkara di daerah itu mereka akan bikin rekomendasi putusan. Rekomendasi itulah nantinya yang akan dibahas dalam pleno putusan di DKPP RI. Jadi tim pemeriksa daerah itu sifatnya membantu,” ujarnya.

    Ia menjelaskan rekomendasi yang diberikan oleh TPD tidak mesti tegak lurus dengan putusan sidang DKPP. Heddy menegaskan putusan sidang DKPP bisa saja berbeda dengan rekomendasi dari DKPP.

    Rekomendasi mereka itu bisa berbeda dengan putusan, rekomendasi mereka juga bisa sejalan dengan putusan. Rekomendasi mereka bisa lebih ringan dari putusan dan rekomendasi mereka bisa lebih berat dari putusan kita. Tergantung penilaian kami,” tuturnya.

    Namun Heddy mengatakan tugas TPD tersebut sangat penting mengingat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu hanya beranggotakan lima orang ditambah satu orang ex officio dari KPU dan satu ex officio dari Bawaslu.

    Heddy juga mengatakan saat ini DKPP sedang mempertimbangkan pembangunan sekretariat di Pronvinsi untuk mengoptimalkan pelayanan pengaduan terkait penyelenggara Pemilu di daerah.

    “(Pembangunan sekretariat) Tujuannya bukan untuk gagah-gagahan tapi untuk melakukan pelayanan pengaduan. Kasihan itu saudara-saudara kita dari Papua sana datang ke Jakarta hanya untuk membawa selembar pengaduan. Memang pengaduan bisa dikirim email, bisa dikirim lewat pos, tapi teman-teman pengadu ini merasa lebih nyaman kalau datang sendiri ke kantor DKPP. Minimal menyerahkan dokumen sambil foto di depan kantor DKPP,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bawaslu RI tegaskan hasil pengawasan harus tersampaikan ke publik

    Bawaslu RI tegaskan hasil pengawasan harus tersampaikan ke publik

    “Kerja-kerja pengawasan penyelenggaraan pemilu, terutama di wilayah pengawas, ini harus diketahui publik,”

    Banda Aceh (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan bahwa setiap hasil pengawasan penyelenggaraan pemilu harus diketahui oleh masyarakat sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik.

    “Kerja-kerja pengawasan penyelenggaraan pemilu, terutama di wilayah pengawas, ini harus diketahui publik,” kata Komisioner Bawaslu RI, Puadi, di Banda Aceh, Senin.

    Pernyataan itu disampaikan Puadi saat membuka “Forum Literasi Keterbukaan Informasi Publik Pengawasan Pemilu dan Pemilihan”, bersama unsur masyarakat sipil hingga penyandang disabilitas, di Kota Banda Aceh.

    Dirinya menyampaikan, keterbukaan informasi publik merupakan hak masyarakat yang memang harus diketahui secara transparan, karena ini juga berkaitan dengan pengawasan partisipatif.

    Ia menyebutkan, hasil-hasil pengawasan yang dilakukan para pengawas, termasuk mengenai pelanggaran hingga penyelesaian sengketa harus diketahui masyarakat.

    “Penanganan pelanggaran, juga termasuk penyelesaian sengketa, dan juga pelanggaran administrasi itu, publik harus tahu,” ujarnya.

    Kemudian, kata Puadi, informasi hasil pengawasan tersebut perlu disampaikan kepada publik agar nantinya bisa didiskusikan guna mendapatkan masukan dari masyarakat demi berjalan baiknya demokrasi.

    Termasuk untuk kebutuhan-kebutuhan berkaitan tentang skripsi, riset, disertasi dan tesisnya. Ini juga berkaitan tentang untuk kebutuhan aksesibilitas akademik.

    “Untuk masyarakat juga, bagaimana masyarakat itu mengetahui tentang peran-peran, fungsi-fungsi pendidikan. Keterbukaan informasi harus berjalan terus agar demokrasi di Indonesia berjalan ke arah yang lebih baik lagi,” kata Puadi.

    Dalam kesempatan ini, Ketua Panwaslih Provinsi Aceh, Agus Saputra, tujuan dari kegiatan ini sebagai upaya memperkuat literasi keterbukaan informasi publik pengawasan pemilu di Aceh.

    Dirinya menuturkan, mereka juga memiliki tugas menyampaikan informasi tentang pengawasan pemilu di Aceh secara lugas, mudah dipahami, dan yang paling penting adalah menarik tanpa menghilangkan substansinya.

    “Jadi makanya pada hari ini kita melaksanakan kegiatan ini untuk memperkaya literasi mengenai keterbukaan informasi publik terkait pengawasan pemilu di Aceh ini,” katanya.

    Dalam kesempatan ini, dirinya juga mengajak masyarakat untuk dapat mengakses informasi tentang pengawasan pemilu sebanyak mungkin, karena itu dapat menambah informasi atau pengetahuan lebih lengkap. Kecuali yang dikecualikan.

    “Misalnya, informasi mengenai proses penanganan pelanggaran, dan sebagainya, termasuk informasi yang dikecualikan. Tapi selain itu semuanya, termasuk laporan keuangan, hasil pengawasan ada di PPID, semuanya bisa diakses,” ujar Agus Saputra.

    Pewarta: Rahmat Fajri
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Melalui diskusi, Bawaslu DKI serap masukan dari penggiat pemilu

    Melalui diskusi, Bawaslu DKI serap masukan dari penggiat pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Bawaslu DKI Jakarta melakukan diskusi yang menghadirkan narasumber berkompeten dan diikuti para penggiat pemilu guna menyerap berbagai masukan untuk pelaksanaan pemilu agar semakin baik di Jakarta.

    “Kami tentu terbuka dengan masukan yang disampaikan untuk memastikan pemilu selanjutnya semakin berkualitas,” kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta Munandar Nugraha di Jakarta, Kamis.

    Diskusi dilakukan dalam kegiatan Fasilitasi Pembinaan dan Penguatan Kelembagaan yang mengusung tema “Restropeksi Pengawasan Pilkada 2024 dan Peran Bawaslu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Menuju Penyelanggaraan Pemilu Tahun 2029”.

    Nugraha menjelaskan, diskusi tersebut menghadirkan narasumber Direktur Pascasarjana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Dr Supardji Ahmad dengan materi “Penguatan Kewenangan Bawaslu dalam Penanganan Pelanggaran Pemilu”.

    Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan tenaga ahli Komisi II DPR RI, Abrar Amir yang menyampaikan materi “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Dinamika Pembahasan Revisi Undang Undang Kepemiluan”

    Sementara itu, Ketua Lembaga Pemantau Masyarakat (LPM) Demokrasi dan Keadilan, Tobaristani mengungkapkan, diskusi yang diinisiasi Bawaslu DKI Jakarta tersebut sangat menarik.

    Menurut dia, terdapat sejumlah poin penting terkait tema yang dibahas. Pertama, forum ini menjadi sarana informasi bahwa sebaiknya Komisi II DPR RI perlu segera mempersiapkan diri dan membuat daftar isian masalah yang harus dievaluasi kaitannya dengan penyelenggara pemilu.

    Kedua, masukan tentu perlu diperluas bukan dalam forum ini, tetapi juga seluruh elemen masyarakat bangsa, rektor, forum-forum dosen yang terkait dengan masalah pemilu.

    “Ini mesti diajak untuk membahas secara detail yang menjadi krusial isu-isu tentang pemilu yang akan datang,” katanya.

    Ia menegaskan, pemerintah harus menguatkan kelembagaan Bawaslu agar seluruh sumber daya di dalamnya bisa bekerja dengan baik, maksimal dan leluasa.

    “Kita tentu ingin ke depan tidak ada lagi isu-isu yang mempengaruhi penyelenggara pemilu. Biarkan mereka bekerja optimal tanpa intervensi kepentingan, terutama dari peserta pemilu,” katanya.

    Tobaristani juga memandang perlunya peningkatan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemilu untuk mencegah adanya “money politics” hingga keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN).

    Bawaslu bisa membuat sayembara untuk mengungkap praktik kecurangan pemilu. “Siapa saja yang mengetahui dan memiliki bukti bisa melaporkan dibarengi dengan pemberian hadiah jika hal itu valid,” katanya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perkuat Pengawasan Berbasis Data, Bawaslu RI Gandeng Unitomo dalam ‘Literasi Data Pengawasan Pemilu’

    Perkuat Pengawasan Berbasis Data, Bawaslu RI Gandeng Unitomo dalam ‘Literasi Data Pengawasan Pemilu’

    ​Surabaya (beritajatim.com) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI bersama Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya menggelar kegiatan ‘Literasi Data Pengawasan Pemilu’ yang interaktif dan informatif, Kamis (30/10/2025).

    ​Kegiatan ini dihadiri oleh Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu RI, Dr. Puadi, yang menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga pengawas pemilu dan institusi pendidikan dalam memperkuat pengawasan berbasis data.

    ​Puncak acara ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Bawaslu dan Unitomo.

    ​”Kerja sama ini tidak hanya memperluas akses data, tetapi juga mendorong penguatan kapasitas akademik dalam memahami dinamika pengawasan pemilu secara ilmiah dan objektif,” ujar Dr. Puadi.

    ​Melalui kerja sama ini, kedua institusi berkomitmen mengembangkan kegiatan penelitian, pelatihan, dan penyediaan akses data untuk memperkuat kualitas analisis dan evaluasi pengawasan pemilu.

    ​Dr. Puadi menilai, kolaborasi ini berfungsi sebagai jembatan bagi mahasiswa, dosen, dan praktisi untuk memahami proses pengawasan secara mendalam.

    “Kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerapkan prinsip integritas dan objektivitas dalam praktik pengawasan,” katanya.

    ​Dalam kesempatan tersebut, Dr. Puadi juga membedah bukunya, ‘Dinamika Pengawasan Pemilu: Peran Bawaslu dan Interaksi Kepentingan’. Ia berharap buku ini menjadi referensi penting bagi masyarakat luas.

    ​Ia menekankan bahwa literasi data pengawasan pemilu bukan hanya tentang angka, tetapi tentang membangun budaya pengawasan yang cerdas, transparan, dan berbasis bukti. Kegiatan ini menjadi bukti nyata sinergi lembaga pengawas dan dunia akademik dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas. (tok/ian)