Kementrian Lembaga: Bawaslu

  • Bawaslu dorong pengawasan kampanye pemilu dengan meme dan AI

    Bawaslu dorong pengawasan kampanye pemilu dengan meme dan AI

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI mendorong dilakukannya pengawasan kampanye pemilihan umum mendatang yang menggunakan format meme dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

    “AI-nya sudah mulai ada, ini beberapa. Kami berharap nanti kami akan memulai proses-proses pengawasan artificial inteligence di kampanye ke depan,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja di Jakarta, Rabu.

    Bagja mengungkapkan pada Pemilu 2024, ada beberapa peserta pemilu yang menggunakan meme dan AI dalam berkampanye.

    Menurutnya, penggunaan format tersebut harus segera diatur secara hukum demi memberikan landasan legal untuk penegakan hukum apabila terjadi permasalahan hukum.

    “Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) kita ke depan setelah tahun 2024 ada beberapa pasangan calon yang menggunakan AI dan meme dalam kampanye. Menjadi permasalahan untuk Bawaslu melakukan penegakan hukum, atau melakukan solusi terhadap permasalahan hukum tersebut,” ujarnya.

    Sebelumnya, Bagja mendorong agar regulasi terkait kecerdasan buatan dan perkembangannya turut diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sedang bergulir di parlemen.

    Dalam hal ini, Bagja mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 166/PUU-XXI/2023 secara jelas melarang penggunaan AI yang berlebihan dalam kampanye pemilu.

    MK memutuskan foto atau gambar dalam kampanye pemilihan umum tidak boleh direkayasa atau dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi AI.

    Ketentuan tersebut merupakan tafsir baru MK terhadap frasa “citra diri” yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Pemilu.

    Pada mulanya, Pasal 1 angka 35 hanya berbunyi “Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.”

    MK menilai, frasa “citra diri” dalam pasal dimaksud belum memberikan batasan tegas. Padahal, sebagai ketentuan umum, pasal tersebut seharusnya memberi pengertian yang jelas karena akan digunakan sebagai rujukan dari ketentuan yang terdapat pada norma lainnya di UU Pemilu.

    Kondisi tersebut, menurut Mahkamah, berpotensi menimbulkan multitafsir atau ketidakjelasan dan berpeluang memunculkan praktik-praktik peserta pemilu menampilkan jati dirinya yang mengandung rekayasa atau manipulasi.

    Oleh sebab itu, MK mengubah pemaknaan frasa “citra diri” dengan mewajibkan peserta pemilu menampilkan foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan AI.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bawaslu RI siapkan program pendidikan politik untuk pemilih pemula

    Bawaslu RI siapkan program pendidikan politik untuk pemilih pemula

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI telah menyiapkan program pendidikan politik yang difokuskan untuk para pemilih pemula yang akan menggunakan hak suaranya pada pemilu mendatang.

    “Kami punya program namanya pendidikan politik, yang salah satunya adalah ‘Bawaslu goes to school’. Jadi, Bawaslu akan menyasar pemilih pemula yang ada di sekolah-sekolah,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja di Jakarta, Rabu.

    Bagja menegaskan pendidikan politik bagi pemilih pemula sangat penting karena pemilu mendatang akan didominasi pemilih pemula yang akan menggunakan hak suaranya untuk pertama kali.

    “Pemilih pemula kita faktor yang sangat esensial 60 persen ke atas yang akan melakukan pemilihan. Gen Z ini akan melakukan pemilihan pada tahun 2029,” ujarnya.

    Pada kesempatan itu, Bagja juga mengajak insan pers untuk aktif melakukan peliputan program “Bawaslu goes to school” dan berbagai program pendidikan politik yang diselenggarakan oleh pihaknya.

    Ia menegaskan pers adalah pilar keempat demokrasi sehingga kerja-kerja Bawaslu sangat erat kaitannya dengan kerja pers.

    Menurut ia, peran pers selain melakukan pengawasan terhadap berbagai proses Pemilu, media juga memegang peran krusial dalam menyebarluaskan pendidikan politik dan informasi yang akurat.

    “Kami berharap ke depan bisa juga melibatkan teman-teman (pers) dalam melakukan liputan pendidikan politik ke pemilih pemula,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bawaslu Jabar hadirkan sistem digital untuk pengawasan Pemilu

    Bawaslu Jabar hadirkan sistem digital untuk pengawasan Pemilu

    ANTARA – Bawaslu Jawa Barat terus berinovasi dengan meluncurkan Siwasdatif, sistem pengawasan digital berbasis partisipasi masyarakat. Aplikasi ini mempermudah masyarakat melaporkan perubahan data pemilih, sekaligus memperkuat transparansi pemilu. Inovasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas dan partisipasi aktif warga dalam proses demokrasi.
    (Dian Hardiana/Andi Bagasela/I Gusti Agung Ayu N)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DKPP lantik 228 anggota Tim Pemeriksa Daerah periode 2025-2026

    DKPP lantik 228 anggota Tim Pemeriksa Daerah periode 2025-2026

    Hari ini kita lantik 38×6 orang, jumlahnya itu. Dari unsur Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dua orang, dari unsur KPU (Komisi Pemilihan Umum) dua orang, dari unsur masyarakat dua orang,”

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melantik 228 anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) periode 2025-2026 yang akan segera bertugas memperkuat penegakan kode etik penyelenggara Pemilu di seluruh wilayah Indonesia.

    Ketua DKPP Heddy Lugito menjelaskan 228 anggota TPD tersebut tersebar di 38 provinsi dengan masing-masing provinsi dikawal oleh enam anggota TPD.

    “Hari ini kita lantik 38×6 orang, jumlahnya itu. Dari unsur Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dua orang, dari unsur KPU (Komisi Pemilihan Umum) dua orang, dari unsur masyarakat dua orang,” kata Heddy usai pelantikan TPD DKPP di Jakarta, Kamis.

    Heddy menjelaskan tugas para anggota TPD tersebut adalah membantu persidangan di DKPP ketika memeriksa perkara-perkara di daerah.

    Nanti hasil pemeriksaan perkara di daerah itu mereka akan bikin rekomendasi putusan. Rekomendasi itulah nantinya yang akan dibahas dalam pleno putusan di DKPP RI. Jadi tim pemeriksa daerah itu sifatnya membantu,” ujarnya.

    Ia menjelaskan rekomendasi yang diberikan oleh TPD tidak mesti tegak lurus dengan putusan sidang DKPP. Heddy menegaskan putusan sidang DKPP bisa saja berbeda dengan rekomendasi dari DKPP.

    Rekomendasi mereka itu bisa berbeda dengan putusan, rekomendasi mereka juga bisa sejalan dengan putusan. Rekomendasi mereka bisa lebih ringan dari putusan dan rekomendasi mereka bisa lebih berat dari putusan kita. Tergantung penilaian kami,” tuturnya.

    Namun Heddy mengatakan tugas TPD tersebut sangat penting mengingat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu hanya beranggotakan lima orang ditambah satu orang ex officio dari KPU dan satu ex officio dari Bawaslu.

    Heddy juga mengatakan saat ini DKPP sedang mempertimbangkan pembangunan sekretariat di Pronvinsi untuk mengoptimalkan pelayanan pengaduan terkait penyelenggara Pemilu di daerah.

    “(Pembangunan sekretariat) Tujuannya bukan untuk gagah-gagahan tapi untuk melakukan pelayanan pengaduan. Kasihan itu saudara-saudara kita dari Papua sana datang ke Jakarta hanya untuk membawa selembar pengaduan. Memang pengaduan bisa dikirim email, bisa dikirim lewat pos, tapi teman-teman pengadu ini merasa lebih nyaman kalau datang sendiri ke kantor DKPP. Minimal menyerahkan dokumen sambil foto di depan kantor DKPP,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bawaslu RI tegaskan hasil pengawasan harus tersampaikan ke publik

    Bawaslu RI tegaskan hasil pengawasan harus tersampaikan ke publik

    “Kerja-kerja pengawasan penyelenggaraan pemilu, terutama di wilayah pengawas, ini harus diketahui publik,”

    Banda Aceh (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan bahwa setiap hasil pengawasan penyelenggaraan pemilu harus diketahui oleh masyarakat sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik.

    “Kerja-kerja pengawasan penyelenggaraan pemilu, terutama di wilayah pengawas, ini harus diketahui publik,” kata Komisioner Bawaslu RI, Puadi, di Banda Aceh, Senin.

    Pernyataan itu disampaikan Puadi saat membuka “Forum Literasi Keterbukaan Informasi Publik Pengawasan Pemilu dan Pemilihan”, bersama unsur masyarakat sipil hingga penyandang disabilitas, di Kota Banda Aceh.

    Dirinya menyampaikan, keterbukaan informasi publik merupakan hak masyarakat yang memang harus diketahui secara transparan, karena ini juga berkaitan dengan pengawasan partisipatif.

    Ia menyebutkan, hasil-hasil pengawasan yang dilakukan para pengawas, termasuk mengenai pelanggaran hingga penyelesaian sengketa harus diketahui masyarakat.

    “Penanganan pelanggaran, juga termasuk penyelesaian sengketa, dan juga pelanggaran administrasi itu, publik harus tahu,” ujarnya.

    Kemudian, kata Puadi, informasi hasil pengawasan tersebut perlu disampaikan kepada publik agar nantinya bisa didiskusikan guna mendapatkan masukan dari masyarakat demi berjalan baiknya demokrasi.

    Termasuk untuk kebutuhan-kebutuhan berkaitan tentang skripsi, riset, disertasi dan tesisnya. Ini juga berkaitan tentang untuk kebutuhan aksesibilitas akademik.

    “Untuk masyarakat juga, bagaimana masyarakat itu mengetahui tentang peran-peran, fungsi-fungsi pendidikan. Keterbukaan informasi harus berjalan terus agar demokrasi di Indonesia berjalan ke arah yang lebih baik lagi,” kata Puadi.

    Dalam kesempatan ini, Ketua Panwaslih Provinsi Aceh, Agus Saputra, tujuan dari kegiatan ini sebagai upaya memperkuat literasi keterbukaan informasi publik pengawasan pemilu di Aceh.

    Dirinya menuturkan, mereka juga memiliki tugas menyampaikan informasi tentang pengawasan pemilu di Aceh secara lugas, mudah dipahami, dan yang paling penting adalah menarik tanpa menghilangkan substansinya.

    “Jadi makanya pada hari ini kita melaksanakan kegiatan ini untuk memperkaya literasi mengenai keterbukaan informasi publik terkait pengawasan pemilu di Aceh ini,” katanya.

    Dalam kesempatan ini, dirinya juga mengajak masyarakat untuk dapat mengakses informasi tentang pengawasan pemilu sebanyak mungkin, karena itu dapat menambah informasi atau pengetahuan lebih lengkap. Kecuali yang dikecualikan.

    “Misalnya, informasi mengenai proses penanganan pelanggaran, dan sebagainya, termasuk informasi yang dikecualikan. Tapi selain itu semuanya, termasuk laporan keuangan, hasil pengawasan ada di PPID, semuanya bisa diakses,” ujar Agus Saputra.

    Pewarta: Rahmat Fajri
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Melalui diskusi, Bawaslu DKI serap masukan dari penggiat pemilu

    Melalui diskusi, Bawaslu DKI serap masukan dari penggiat pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Bawaslu DKI Jakarta melakukan diskusi yang menghadirkan narasumber berkompeten dan diikuti para penggiat pemilu guna menyerap berbagai masukan untuk pelaksanaan pemilu agar semakin baik di Jakarta.

    “Kami tentu terbuka dengan masukan yang disampaikan untuk memastikan pemilu selanjutnya semakin berkualitas,” kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta Munandar Nugraha di Jakarta, Kamis.

    Diskusi dilakukan dalam kegiatan Fasilitasi Pembinaan dan Penguatan Kelembagaan yang mengusung tema “Restropeksi Pengawasan Pilkada 2024 dan Peran Bawaslu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Menuju Penyelanggaraan Pemilu Tahun 2029”.

    Nugraha menjelaskan, diskusi tersebut menghadirkan narasumber Direktur Pascasarjana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Dr Supardji Ahmad dengan materi “Penguatan Kewenangan Bawaslu dalam Penanganan Pelanggaran Pemilu”.

    Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan tenaga ahli Komisi II DPR RI, Abrar Amir yang menyampaikan materi “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Dinamika Pembahasan Revisi Undang Undang Kepemiluan”

    Sementara itu, Ketua Lembaga Pemantau Masyarakat (LPM) Demokrasi dan Keadilan, Tobaristani mengungkapkan, diskusi yang diinisiasi Bawaslu DKI Jakarta tersebut sangat menarik.

    Menurut dia, terdapat sejumlah poin penting terkait tema yang dibahas. Pertama, forum ini menjadi sarana informasi bahwa sebaiknya Komisi II DPR RI perlu segera mempersiapkan diri dan membuat daftar isian masalah yang harus dievaluasi kaitannya dengan penyelenggara pemilu.

    Kedua, masukan tentu perlu diperluas bukan dalam forum ini, tetapi juga seluruh elemen masyarakat bangsa, rektor, forum-forum dosen yang terkait dengan masalah pemilu.

    “Ini mesti diajak untuk membahas secara detail yang menjadi krusial isu-isu tentang pemilu yang akan datang,” katanya.

    Ia menegaskan, pemerintah harus menguatkan kelembagaan Bawaslu agar seluruh sumber daya di dalamnya bisa bekerja dengan baik, maksimal dan leluasa.

    “Kita tentu ingin ke depan tidak ada lagi isu-isu yang mempengaruhi penyelenggara pemilu. Biarkan mereka bekerja optimal tanpa intervensi kepentingan, terutama dari peserta pemilu,” katanya.

    Tobaristani juga memandang perlunya peningkatan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemilu untuk mencegah adanya “money politics” hingga keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN).

    Bawaslu bisa membuat sayembara untuk mengungkap praktik kecurangan pemilu. “Siapa saja yang mengetahui dan memiliki bukti bisa melaporkan dibarengi dengan pemberian hadiah jika hal itu valid,” katanya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perkuat Pengawasan Berbasis Data, Bawaslu RI Gandeng Unitomo dalam ‘Literasi Data Pengawasan Pemilu’

    Perkuat Pengawasan Berbasis Data, Bawaslu RI Gandeng Unitomo dalam ‘Literasi Data Pengawasan Pemilu’

    ​Surabaya (beritajatim.com) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI bersama Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya menggelar kegiatan ‘Literasi Data Pengawasan Pemilu’ yang interaktif dan informatif, Kamis (30/10/2025).

    ​Kegiatan ini dihadiri oleh Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu RI, Dr. Puadi, yang menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga pengawas pemilu dan institusi pendidikan dalam memperkuat pengawasan berbasis data.

    ​Puncak acara ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Bawaslu dan Unitomo.

    ​”Kerja sama ini tidak hanya memperluas akses data, tetapi juga mendorong penguatan kapasitas akademik dalam memahami dinamika pengawasan pemilu secara ilmiah dan objektif,” ujar Dr. Puadi.

    ​Melalui kerja sama ini, kedua institusi berkomitmen mengembangkan kegiatan penelitian, pelatihan, dan penyediaan akses data untuk memperkuat kualitas analisis dan evaluasi pengawasan pemilu.

    ​Dr. Puadi menilai, kolaborasi ini berfungsi sebagai jembatan bagi mahasiswa, dosen, dan praktisi untuk memahami proses pengawasan secara mendalam.

    “Kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerapkan prinsip integritas dan objektivitas dalam praktik pengawasan,” katanya.

    ​Dalam kesempatan tersebut, Dr. Puadi juga membedah bukunya, ‘Dinamika Pengawasan Pemilu: Peran Bawaslu dan Interaksi Kepentingan’. Ia berharap buku ini menjadi referensi penting bagi masyarakat luas.

    ​Ia menekankan bahwa literasi data pengawasan pemilu bukan hanya tentang angka, tetapi tentang membangun budaya pengawasan yang cerdas, transparan, dan berbasis bukti. Kegiatan ini menjadi bukti nyata sinergi lembaga pengawas dan dunia akademik dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas. (tok/ian)

  • Ketua Bawaslu Tak Persoalkan Dilaporkan ke KPK: Monggo Saja

    Ketua Bawaslu Tak Persoalkan Dilaporkan ke KPK: Monggo Saja

    JAKARTA – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja tidak mempersoalkan laporan Gerakan Arus Bawah Demokrasi (Gabdem) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi yang diduga melibatkan dirinya.

    “Ya monggo (silakan) saja, tapi yang jelas, semua proses telah dilakukan dan juga kali ini kok agak-agak aneh, tapi sudahlah, kita tidak mempersoalkan keanehannya dan lain-lain,” ujar Bagja dilansir ANTARA, Selasa, 28 Oktober.

    Menurut dia, renovasi gedung, yang dituduhkan kepada pihaknya, telah dilakukan dengan baik. Ia merasa tidak ada hal yang melanggar peraturan perundang-undangan selama renovasi berlangsung.

    Terlebih, imbuh Bagja, laporan keuangan Bawaslu mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Maka dari itu, dia mempertanyakan maksud di balik pelaporan dugaan korupsi renovasi gedung tersebut.

    “Karena kalau dari segi laporan, laporannya pakai data BPK, ya, katanya? Kan ini WTP, gimana pakai data BPK, terus [padahal Bawaslu mendapat predikat] WTP? Itu kan pertanyaannya, aneh-aneh juga jadinya,” kata dia.

    Meski begitu, Bagja menyebut laporan Gabdem merupakan bagian dari pengawasan publik.

    Ia juga mengajak masyarakat untuk melihat perkembangan laporan tersebut secara objektif.

    Bagja menyampaikan pihaknya belum mendapat surat panggilan dari KPK sebagai kelanjutan dari laporan dimaksud.

    “Enggak ada. Kok mengharapkan surat panggilan, gitu loh? Ha-ha-ha,” ujarnya berseloroh. “Nanti KPK bisa cek di BPK, bisa saja kan sesama penyelenggara negara,” imbuhnya.

    Sebelumnya, pada 21 Oktober 2025, Gerakan Arus Bawah Demokrasi atau Gabdem melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.

    Dugaan korupsi tersebut terkait proyek command center atau pusat komando serta renovasi gedung A dan B Bawaslu RI.

    Dalam laporannya, Gabdem menyoroti hasil investigasi BPK RI yang, menurut mereka, mengatakan kedua proyek tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp12,14 miliar.

    Sementara itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan KPK akan menindaklanjuti laporan Gabdem.

    “Dari informasi awal tersebut, tentu KPK melakukan telaah. Apakah informasi itu valid? Kemudian apakah informasi itu betul ada unsur-unsur dugaan tindak pidana korupsinya atau tidak,” ujar dia.

    Setelah itu, sambung Budi, KPK akan mempelajari maupun menganalisis apakah dugaan tindak pidana korupsi tersebut menjadi kewenangan lembaga antirasuah atau tidak.

  • Bahaya “deepfake”, Bawaslu tekankan urgensi pengaturan AI dalam pemilu

    Bahaya “deepfake”, Bawaslu tekankan urgensi pengaturan AI dalam pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengingatkan bahaya konten deepfake terhadap kualitas pesta demokrasi sehingga dia menekankan urgensi pengaturan penggunaan akal imitasi (AI) dalam proses pemilu.

    “Misalnya, beredar video hasil deepfake menampilkan tokoh politik mengeluarkan pernyataan tertentu, padahal ditemukan rekayasa digital,” kata Bagja dalam diskusi publik di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa.

    Deepfake merupakan rekayasa digital menggunakan AI yang dapat mengubah wajah, bibir, maupun suara tokoh publik agar tampak mengucapkan atau melakukan sesuatu.

    Menurut Ketua Bawaslu, deepfake dapat membahayakan peserta pemilu karena konten rekayasa itu akan membentuk opini publik terhadap seseorang, termasuk tokoh politik yang sedang berkontestasi.

    “Kasusnya masuk di pidana, kemudian terbukti tidak bersalah, tapi image (citra) yang sudah ada itu yang sulit dihilangkan. Ini yang paling berbahaya,” tutur Bagja.

    “Namanya kampanye kan pertarungan image. Kalau image Anda sudah rusak, ya, susah untuk mengembalikannya. Itu yang harus dijaga supaya tidak terjadi hal seperti demikian. Terhadap si penyerangnya, siapa kemudian yang membayarnya, harus dicek itu semua karena akan berbahaya,” imbuh dia.

    Dia menilai, perlu peraturan pemerintah yang mengatur tentang deepfake maupun AI pada umumnya. Selain itu, khusus aturan kepemiluan, Bagja mendorong KPU mengeluarkan PKPU guna mencegah dampak negatif kecerdasan buatan.

    Ia pun mendorong agar regulasi terkait kecerdasan buatan dan perkembangannya turut diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sedang bergulir di parlemen.

    Dalam hal ini, Bagja mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 166/PUU-XXI/2023 secara jelas melarang penggunaan AI yang berlebihan dalam kampanye pemilu.

    Diketahui, MK memutuskan foto atau gambar dalam kampanye pemilihan umum tidak boleh direkayasa atau dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi AI.

    Ketentuan tersebut merupakan tafsir baru MK terhadap frasa “citra diri” yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Pemilu.

    Pada mulanya, Pasal 1 angka 35 hanya berbunyi “Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.”

    MK menilai, frasa “citra diri” dalam pasal dimaksud belum memberikan batasan tegas. Padahal, sebagai ketentuan umum, pasal tersebut seharusnya memberi pengertian yang jelas karena akan digunakan sebagai rujukan dari ketentuan yang terdapat pada norma lainnya di UU Pemilu.

    Kondisi tersebut, menurut Mahkamah, berpotensi menimbulkan multitafsir atau ketidakjelasan dan berpeluang memunculkan praktik-praktik peserta pemilu menampilkan jati dirinya yang mengandung rekayasa atau manipulasi.

    Oleh sebab itu, MK mengubah pemaknaan frasa “citra diri” dengan mewajibkan peserta pemilu menampilkan foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan AI.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.