Jember (beritajatim.com) – Tujuan awal pemilihan umum sebagai sebagai fase regenerasi kepemimpinan secara nasional masih belum ideal. Pemilu justru menjadi kompetisi politik yang tak sehat.
Hal ini dikemukakan Muhammad Khozin, legislator DPR RI dari Daerah Pemilihan Jember dan Lumajang, Jawa Timur, usai sosialisasi dan pendidikan pemilu berkelanjutan tahun 2025 yang digelar Komisi Pemilihan Umum, di Hotel Aston, Jember, Minggu (11/5/2025).
“Pada praktiknya, pemilu menjadi medan tempur yang tidak rata, menjadi kompetisi yang tidak rata dan tidak sehat,” kata Khozin.
Ada banyak persoalan yang dihadapi dalam penyelanggaraan pemilu. “Di daerah pemilihan kami di Jember banyak temuan. Isu utama yang yang paling mencuat itu terkait netralitas penyelenggara, baik itu Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) atau KPU.(Komisi Pemilihan Umum),” kata Khozin.
Khozin mengatakan, senyampang penyelenggara tidak bisa berlaku netral dan profesional, maka pemilu yang jujur dan adil akan susah ditegakkan. “Jadi harus jelas: ada peserta, pengawas, penyelenggara. Ini harus memiliki ruang lingkup kerja dan limitasi yang jelas,” katanya.
Khozin tidak ingin pemilu dengan biaya tinggi tidak diikuti dengan penyelenggaraan yang jurdil. “Kita tidak mau high cost low impact ya. Cost-nya besar tapi impact pelaksanaan pemilu yang jurdil itu tidak terlaksana. Jadinya meaningless, tidak bermakna atau minim makna yang bisa didapatkan,” katanya.
Saat ini pemerintah dan DPR RI tengah melakukan kajian dan diskusi untuk merevisi undang-undang kepemiluan agar tak muncul lagi persoalan yang sama terus-menerus. “Tentunya menjadi komitmen kita bersama legislatif dan eksekutif yang ingin mengurai ini semua untuk dicarikan formulasi yang terbaik,” kata Khozin.
Khozin menyebut banyak opsi model dan sistem penyelenggaraan pemilu. Namun ia belum berani menyimpulkan, karena saat ini pemerimtah dan DPR RI tengah meminta pendapat dari praktisi dan pemerhati pemilu.
“Sistem adalah bagian dari solusi. Jadi sekarang belum berbicara sistemnya dulu. Kita berbicara fenomena empiris di lapangan. Kita urai dulu problem dan gejalanya,” kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Ada dua klaster isu masalah, yakni populis dan politis. “Isu politis terkait dengan isu seperti parliamnet thresholds, presidential threshold, sistem pemilu, pembagian daerah pemilihan. Sementara isu populis terkait money politics, partisipasi publik, dan netralitas penyelenggara,” kata Khozin.
Terkait isu poltik uang, Khozin sepakat, jika masyarakat tak bisa dikambinghitamkan. “Ini menjadi PR dan tanggung jawab kita bersama, eksekutif, legislatif, partai politik, maupun masyarakat. Jadi, kita tidak bisa kemudian egois. Ego sektoral itu harus kita buang jauh-jauh,” katanya.
“Masyarakat tidak mungkin menjadi permisif terkait money politics, jika kesempatan itu tidak disediakan. Namun sebaliknya, partai politik tidak mungkin menyiapkan kesempatan itu jika tidak dihadapkan pada tidak adanya pilihan lain,” kata Khozin.
Sistem merit di partai politik dalam menentukan caleg, menurut Khozinm seringkali berbenturan dengan opini masyarakat.
“Di satu sisi partai dihadapkan pada tuntutan bahwa kaderisasi harus berjalan, dan kader utama itu harus menjadi skala prioritas. Tapi di sisi yang lain, ada efek sosial, elektoral, termasuk finansial yang juga berpengaruh,” kata Khozin.
“Faktor sosial dan finansial itu tidak selalu beririsan dengan pola kaderisasi. Akhirnya banyak kader yang kutu loncat, yang ketika terpilih tidak memperhatikan besar dan tidaknya partai, tidak memperhatikan konstituen partai,” kata Khozin. [wir]








/data/photo/2024/11/11/673221d07f5fa.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
