Kementrian Lembaga: Bappenas

  • Sederet Tantangan Wujudkan Transisi Energi Listrik di Perdesaan

    Sederet Tantangan Wujudkan Transisi Energi Listrik di Perdesaan

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber penyediaan listrik dapat menjadi salah satu strategi mencapai swasembada energi Indonesia, termasuk di perdesaan.

    Melalui arahan Presiden Prabowo pada Pidato Pelantikan (20/10/2024), Indonesia akan berfokus pada pengelolaan energi terbarukan untuk mencapai swasembada energi sesuai dengan Asta Cita.

    Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas, Ervan Maksum mengatakan bahwa untuk mencapai target transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saja.

    Menurutnya, transisi energi di Indonesia memerlukan pembiayaan alternatif dari sumber-sumber nonpemerintah, dan pelibatan modal swasta untuk mencapai target-target di sektor ketenagalistrikan.

    Untuk itu pemerintah menyiapkan kerangka regulasi dan kebijakan untuk memobilisasi pendanaan dan investasi swasta tersebut.

    “Kolaborasi dengan berbagai perusahaan swasta dan lembaga pemilik modal sangat diperlukan. Salah satu inisiatif yang dapat ditawarkan kepada perusahaan adalah penggunaan dana environment, sustainability and governance [ESG] yang diarahkan untuk mendukung proyek energi terbarukan di desa, sebagai kewajiban perusahaan untuk menurunkan emisi karbon dari aktivitas bisnis yang dilakukan,” tegas Ervan dalam siaran pers, Senin (25/11/2024).

    Sementara itu, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Taufiq Hidayat Putra menyatakan bahwa perencanaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia mencakup akses listrik yang berkualitas, tidak hanya ke industri, tapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama di desa.

    “Pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan harus bahu-membahu untuk mencapai transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita harus mendukung saudara-saudari kita yang berada di desa khususnya untuk menikmati listrik yang bersih, aman dan terjangkau dengan potensi energi terbarukan di daerah masing-masing,” ujarnya.

    Dengan listrik yang berkualitas, sambungnya, masyarakat desa bisa menerima berbagai manfaat di berbagai bidang, salah satunya modernisasi dalam aktivitas pertanian atau yang sering disebut dengan electrifying agriculture.

    “Sedangkan di desa nelayan, akses listrik berkualitas memungkinkan penyediaan cold storage untuk menyimpan hasil tangkapan ikan segar lebih lama,” imbuhnya.

    Taufiq menjelaskan bahwa untuk menghasilkan listrik yang andal di desa, tantangan terkait spatial mismatch antara lokasi energi terbarukan listrik dengan lokasi pusat industri dan kegiatan ekonomi, serta masyarakat, perlu dijawab melalui perencanaan yang holistik, integratif, dan komprehensif.

    Caranya adalah dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik yang terintegrasi dengan rencana pembangunan pembangkit listrik terbarukan.

    Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menegaskan Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan peta jalan transisi energi dengan pilihan biaya yang paling murah, menjamin kehandalan pasokan yang optimal, dan berkeadilan.

    Menurut Fabby, lewat transisi energi terbarukan Indonesia dapat meningkatkan ambisi penurunan emisi GRK yang selaras dengan target 1,5 derajat celcius yang disasar oleh Persetujuan Paris.

    “Penurunan emisi menjadi hal sangat penting bagi Indonesia, karena sebagai negara kepulauan, masyarakat di daerah 3T [terdepan, terluar dan tertinggal] sangat rentan terhadap -dampak yang disebabkan oleh peningkatan suhu bumi,” ujarnya.

    Dia menilai, menyediakan listrik, andal, terjangkau, dan bersih di daerah perdesaan dan 3T sangat dimungkinkan dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat untuk mengganti 3 GW PLT Diesel yang tersebar.

    Di lain sisi, untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, Deni Gumilang, Project Lead Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE for SEA) di Indonesia, GIZ Energy Program for Indonesia/Asean menggarisbawahi pentingnya pengembangan instrumen policy derisking yang bertujuan untuk memitigasi risiko transaksi, mengingat tantangan dalam kebijakan dan regulasi masih dianggap sebagai hambatan utama dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

    Selain itu, instrumen mitigasi risiko keuangan juga perlu dikembangkan secara paralel untuk menciptakan momentum yang memungkinkan optimalisasi penyaluran pendanaan dari para investor, guna mendorong pertumbuhan pasar energi terbarukan.

    “Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan yang menarik minat banyak investor. Namun, tingginya risiko dalam proyek-proyek energi terbarukan menjadi hambatan bagi masuknya investasi. Penerapan instrumen-instrumen policy and finance derisking diharapkan dapat membuka peluang implementasi pembiayaan yang real bagi Indonesia,” jelas Deni.

    Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Indonesia sebesar mencapai 3.686 GW.

    Bahkan kajian IESR (2022) mengindikasikan adanya potensi energi terbarukan yang lebih besar, mencapai lebih dari 7.800 GW, dengan lebih dari 75 persen merupakan sumber energi surya.

    Namun, besarnya potensi energi terbarukan yang ada belum termanfaatkan secara optimal, khususnya di daerah perdesaan.

  • Pilkada 2024, Ekonom Wanti-Wanti Dampak Negatif ke Pembangunan

    Pilkada 2024, Ekonom Wanti-Wanti Dampak Negatif ke Pembangunan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet mewanti-wanti dampak negatif Pilkada 2024 ke perekonomian Indonesia, terutama terkait rencana pembangunan nasional.

    Yusuf menjelaskan kebijakan di level pemerintah pusat kerap kali tidak terimplementasi dengan baik di level daerah. Perubahan lanskap politik daerah diyakini menjadi salah satu alasan utamanya karena buat koordinasi antara pusat dan daerah menjadi tidak berkelanjutan.

    “Padahal kita tahu bahwa pemerintah baik di level pusat maupun daerah punya rancangan pembangunan jangka menengah hingga panjang, yang sebenarnya telah disepakati,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Senin (25/11/2024).

    Rencana pembangunan tersebut, sambung Yusuf, seharusnya menjadi menjadi acuan teknokratik bagi para pemerintah daerah. Masalahnya, dia melihat kepala daerah kerap melakukan perubahan kebijakan yang sifatnya populis.

    Apalagi, kebijakan populis tersebut hanya kerap dikeluarkan hanya sekadar untuk capaian jangka pendek seperti untuk menaikkan elektabilitas jelang kontestasi pemilihan kepala daerah. Akibatnya, dokumen teknokratik rencana pembangunan kerap diabaikan.

    “Padahal target-target inilah [rencana pembangunan daerah] yang akan ikut menentukan tahapan pencapaian pembangunan nasional terutama dalam jangka menengah hingga panjang,” jelas Yusuf.

    Sebagai informasi, sebelum turun jabatan, Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Undang-Undang No. 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045 (UU RPJPN). Dalam beleid tersebut, diatur fokus pembangunan di masing-masing 5 pulau besar di Indonesia—beserta pulau-pulau kecil di dekatnya.

    Sementara itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029 bersama DPR.

    Sedangkan hari pencoblosan Pilkada 2024 akan dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024. Pemilihan ini akan berlangsung di seluruh Indonesia untuk memilih kepala daerah, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota.

    Total, ada 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang akan menggelar pilkada. Rencananya, kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2024 akan dilantik pada awal 2025.

  • Kolaborasi Global di UKSW: 1st International Conference DSAI Himpun Akademisi dari Berbagai Negara

    Kolaborasi Global di UKSW: 1st International Conference DSAI Himpun Akademisi dari Berbagai Negara

    TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA- Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan bangga menggelar 1st International Conference Development Studies Association Indonesia (DSAI), sebuah momen bersejarah yang mengumpulkan para akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai penjuru dunia untuk menjawab tantangan dan peluang dalam pembangunan berkelanjutan.

    Konferensi ini dimulai Selasa (19/11/2024) hingga Rabu (21/11/2204). 

    DSAI yang diselenggarakan oleh Fakultas Interdisiplin (FId), Program Pascasarjana Studi Pembangunan, dan Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan (CSDS) ini menyoroti tema besar “Global and Local Innovation for Sustainable Development: Embracing Uncertainty and Disruptive Future”.

    Dalam sambutannya, Ketua Panitia Penyelenggara Yesaya Sandang, S.H., M.Hum., Ph.D., menegaskan bahwa konferensi ini adalah wujud nyata dari upaya kolaboratif untuk mempertemukan ide-ide segar dan hasil penelitian terkini. 

    “Acara ini adalah platform dinamis untuk berbagi pengetahuan, menghasilkan rekomendasi kebijakan, dan mempererat jaringan antara akademisi, praktisi, serta pembuat kebijakan, baik di tingkat nasional, maupun internasional,” ungkapnya. 

    Sebagai puncak dari proses persiapan panjang yang melibatkan berbagai institusi, konferensi ini menampilkan 45 presentasi pemakalah yang telah terseleksi dan 19 full paper yang akan dipublikasikan dalam prosiding ber-ISBN serta jurnal terindeks. Selain itu, konferensi ini memberikan dampak lebih luas dengan rencana penyusunan policy brief yang akan disampaikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

    Acara ini turut menghadirkan pembicara-pembicara terkemuka, termasuk Coordinator Bachelor International Studies Director Engagement and Advancement The University of Queensland dan Dosen Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir. Sonny Yuliar, Ph.D.

    Selain itu, partisipasi para akademisi dari berbagai negara seperti Australia, Timor Leste, Malaysia, India, Taiwan, dan Belanda dalam pengumpulan abstrak mencerminkan skala internasional dari konferensi ini.

    Para narasumber dan peserta foto bersama di sela kegiatan 1st International Conference Development Studies Association Indonesia (DSAI) yang digelar di UKSW Salatiga.

    Melampaui tembok-tembok konferensi

    Ketua Asosiasi Studi Pembangunan Indonesia Dr. Arfan Fahmi, S.S., M.Pd., menekankan pentingnya inovasi dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan ketimpangan sosial. “Kita berkumpul di sini untuk membayangkan ulang pendekatan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, menghubungkan praktik lokal dengan dinamika global,” ujarnya. 

    Konferensi Internasional Pertama Asosiasi Studi Pembangunan Indonesia yang diselenggarakan FId UKSW ini turut disambut hangat oleh Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Kealumnian (WR KK) UKSW Prof. Yafet Yosafet Wilben Rissy.

    “Dengan senang hati dan bangga, saya menyambut Anda semua. Konferensi ini lebih dari sekadar pertemuan, ini adalah sebuah peristiwa penting, sebuah pertemuan dinamis dari ide-ide, keahlian, dan aspirasi,” ujarnya. 

    Dinyatakannya, kolaborasi ini menunjukkan komitmen UKSW dan Asosiasi Studi pembangunan Indonesia untuk memajukan diskusi akademik dan praktik pembangunan yang relevan dengan kebutuhan dunia yang terus berubah.

    “Bersama-sama, kita memiliki kesempatan untuk merancang wawasan yang dapat ditindaklanjuti yang akan memberikan dampak jauh melampaui tembok-tembok konferensi ini,” pungkasnya. 

    Konferensi ini mengusung sembilan subtema, mulai dari partisipasi komunitas, inovasi digital, hingga kolaborasi internasional. Dengan pendekatan lintas disiplin, peserta diajak untuk mengeksplorasi solusi kreatif dalam menghadapi disrupsi di berbagai aspek, termasuk teknologi, ekonomi, dan lingkungan.

    Konferensi ini dihadiri tidak kurang dari 70 peserta dari berbagai negara dan juga peserta berbagai institusi di Indonesia seperti Universitas Andalas, Universitas Lambung Mangkurat, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Gadjah Mada, ITB, serta Papua Victoryo Land Foundation. 

    Turut hadir dalam acara yaitu Team Leader Program Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) Petrarca Karetji, M.Si, dan Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Bappenas Dr. Yanuar Nugroho. 

    Sebagai tuan rumah, UKSW memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisinya sebagai universitas yang berorientasi pada inovasi dan kolaborasi global. Konferensi ini tidak hanya menjadi ajang pertukaran gagasan, tetapi juga menjadi wujud komitmen UKSW dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 4 Pendidikan Berkualitas, SDGs 9 Industri, Inovasi, dan infrastruktur, SDGs 13 Aksi Iklim, dan SDGs 17 Kemitraan untuk Tujuan. Salam Satu Hati UKSW!

  • Sebulan Kabinet Prabowo, Begini Progres Penataan Kementerian Baru

    Sebulan Kabinet Prabowo, Begini Progres Penataan Kementerian Baru

    Jakarta, CNBC Indonesia-Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah berjalan sekitar sebulan. Proses penyusunan dan penataan Kementerian baru, baik terkait dengan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggaran hingga target kinerja masih berlangsung.

    Akhir pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengumpulkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy; Wakil Menteri PPN Febrian Alphyanto Ruddyard; serta Wakil Menteri Keuangan 2 Suahasil Nazara.

    “Penetapan Kertas Kerja Bersama antara Kementerian PANRB, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PPN/Bappenas yang terdiri dari indikator kinerja komposit lintas sektor, penentuan indikator kinerja masing-masing instansi pemerintah, serta keterpaduan dan fleksibilitas perencanaan, program, kinerja, penganggaran, dan tata kelola sesuai prioritas pembangunan,” jelas Rini.

    Kemudian penyelarasan Renstra lintas kementerian, lembaga, dan pemda melalui SAKIP dan SAKP. Sementara tindak lanjut ketiga, adalah pemetaan layanan pemerintah pasca penetapan Kabinet Merah Putih. “Tindak lanjut berikutnya adalah memastikan tersusunnya proses bisnis layanan yang kolaboratif sehingga tidak mengurangi dan menghambat kualitas layanan,” ungkapnya.

    Rini memaparkan progres penataan kelembagaan Kabinet Merah Putih atau KMP hingga Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP). SAKP merupakan inisiasi untuk penguatan penyelarasan kinerja seluruh instansi pemerintah yang awalnya bersifat cenderung instansional menjadi kinerja bersama dalam pencapaian target pembangunan nasional.

    “Penerapan SAKP berimplikasi pada setiap kementerian dan lembaga akan bergerak mencapai outcome bersama, tidak lagi sibuk dengan target sendiri-sendiri,” kata Rini.

    Saat ini Kementerian PANRB sedang melakukan percepatan penataan kelembagaan kabinet. Penataan organisasi itu dipercepat agar anggaran, program pembangunan, serta kelembagaannya berjalan beriringan.

    Dari 54 lembaga kementerian, sudah sebagian besar lembaga yang telah selesai dilakukan penataan organisasi dan tata kerja. Beberapa dalam proses pengusulan hingga finalisasi atau harmonisasi.

    (mij/mij)

  • Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Alhasil, muncul berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat: siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut? Untuk siapa program tax amnesty jilid III itu? Demi kepentingan negara atau malah segelintir pihak?

    Usulan RUU Tax Amnesty sendiri pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Dalam perkembangan, Komisi XI DPR—yang menangani perihal keuangan negara—bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty.

    Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengaku tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Dia menekankan, Komisi XI hanya mengambil alih usulan RUU Tax Amnesty dari Baleg.

    “Cek ke Baleg,” ujar Misbakhun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengaku bahwa RUU Tax Amnesty sudah ada dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebelum DPR periode 2024—2029.

    Oleh sebab itu, RUU Tax Amnesty hanya operan dari DPR periode sebelumnya yang belum sempat dibahas secara serius. Bob pun tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut.

    “Mau tanya dari mana, dari apa, segala macam, kami ini [Baleg periode 2024—2029] orang baru, sudah masuk dalam list waktu itu. Ya dulu-dulu kan [DPR periode sebelumnya] ada pembahasan mungkin, kan gitu,” ujar Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra itu merasa tidak terlalu penting siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Entah pengusulnya pengusaha, pemerintah, maupun DPR, Bob meyakini yang terpenting adalah kebermanfaatan beleid tersebut untuk negara.

    Dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

    Tax Amnesty Jilid III, Untuk Apa?

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty yaitu jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan jilid II (1 Januari—30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini bahwa semua wacana tax amnesty jilid III tersebut tidak pernah hadir dari ruang hampa.

    Prianto mencontohkan sebelumnya pemerintah mengungkap fenomena penghindaran pajak di sektor perkebunan. Tidak hanya itu, pemerintah juga menyatakan akan berupaya mengejar pajak shadow economy seperti aktivitas ekonomi ilegal.

    Dia menilai bahwa ada dua cara penegakan hukum untuk mengejar pengemplang pajak (tax evader) dan pelaku penghindaran pajak (tax avoider) tersebut. Pertama, penegakan hukum administrasi hingga penegakan hukum pidana pajak. 

    Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa cara pertama cenderung mendapatkan perlawanan dari terduga tax evader maupun tax avoider seperti lewat proses sengketa pajak hingga ke Pengadilan Pajak hingga Mahkamah Agung.

    “Cara pertama di atas tidak gampang dan belum tentu mendapatkan pajak sesuai ekspketasi pemerintah. Alih-alih banyak menang sengketa pajak, pemerintah justru hampir 60% mengalami kekalahan ketika ada sengketa [banding dan gugatan] di pengadilan pajak,” ujar Prianto kepada Bisnis, pekan lalu.

    Kedua, melalui tax amnesty. Dia berpendapat bahwa tax amnesty merupakan cara yang lebih sederhana dan cenderung tanpa ada proses perlawanan.

    Kebijakan tax amnesty, lanjutnya, cenderung digulirkan ketika pemerintah belum mampu mengatasi permasalah tax evasion dan tax avoidance. Oleh sebab itu, Prianto menilai tidak ada yang salah dengan wacana tax amnesty jilid III ketika negara butuh dana instan dari masyarakat.

    “Kebijakan tax amnesty di banyak negara pada kenyataannya juga berulang meskipun teorinya menyatakan bahwa seharusnya tax amnesty itu cukup sekali untuk satu generasi wajib pajak,” tutupnya.

    Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam acara sosialisasi Tax Amnesty di Medan, Sumatra Utara pada Kamis (21/7/2016). / dok. KemensetnegPerbesar

    Pendapat berbeda disampaikan oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurutnya, tidak ada urgensinya penerapan Tax Amnesty Jilid III.

    Kebijakan tersebut, sambung Fajry, hanya akan mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah patuh. Sejalan dengan itu, dia khawatir akan banyak Wajib Pajak yang semakin melakukan penghindaran pajak.

    “Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?” kata Fajry kepada Bisnis, pekan lalu.

    Dia menilai Tax Amnesty Jilid III akan menjadi langkah mundur pemerintah. Apalagi, wacana pengampunan pajak untuk orang tajir itu bergulir ketima pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan.

    Oleh sebab itu, Fajry tidak heran apabila nantinya banyak penolakan dari berbagi kalangan masyarakat ihwal wacana Tax Amnesty Jilid III.

    “Terlebih, tax amnesty ini untuk siapa? Sebagian besar konglomerat sebenarnya sudah masuk ke Tax Amnesty Jilid I dan sebagian lagi melengkapinya kemarin,” jelasnya.

    Tanggapan Pengusaha soal Tax Amnesty Jilid III

    Kalangan pengusaha mengakui program pengampunan pajak atau tax amnesty tidak terlalu ideal, tetapi dibutuhkan untuk menambah penerimaan negara.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai tax amnesty mempunyai sisi negatif yakni memberikan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah patuh.

    Apalagi, tax amnesty sudah pernah pernah dilakukan selama dua kali yaitu pada 2016—2017 dan 2022. Akibatnya, masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty.

    “Inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal,” jelas Ajib dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).

    Di samping itu, lanjutnya, secara umum literasi perpajakan masih rendah. Akibatnya, budaya taat pajaknya juga rendah.

    Dia mengingatkan, pemerintah berencana memberlakukan kebijakan core tax system atau sistem inti administrasi perpajakan pada tahun depan. Ajib berpendapat, sistem tersebut membutuhkan prasyarat penting yaitu wajib pajak harus mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.

    “Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, secara praktis tax amnesty juga akan menambah pemasukan buat APBN. Dengan pengampunan pajak, harta yang dilaporkan oleh wajib pajak yang sebelumnya tidak dilaporkan akan muncul masuk ke Sistem Keuangan Indonesia sehingga ke depan menjadi aset yang lebih produktif untuk perekonomian nasional.

    Bahkan, menurut Ajib, tax amnesty bisa memberikan daya ungkit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% karena penerima manfaatnya tidak akan ragu lagi membelanjakan uang yang telah dilaporkan.

    “Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau budgeteir dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat,” tutupnya.

  • IESR nilai RI bisa sediakan listrik bersih di pedesaan dan wilayah 3T

    IESR nilai RI bisa sediakan listrik bersih di pedesaan dan wilayah 3T

    Jakarta (ANTARA) – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Pemerintah Indonesia sangat memungkinkan untuk menyediakan listrik bersih dan terjangkau di wilayah pedesaan dan daerah tertinggal, terdepan, serta terluar (3T), mengingat potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki cukup besar.

    “Menyediakan listrik dan handal, terjangkau dan bersih di daerah perdesaan dan 3T sangat dimungkinkan dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat untuk mengganti 3 gigawatt pembangkit listrik tenaga diesel yang tersebar. Dengan ini selain akses listrik jadi lebih merata, penurunan emisi dan biaya penyediaan tenaga listrik dapat terjadi,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam pernyataan di Jakarta, Minggu.

    Disampaikannya, menurut Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.686 gigawatt. Bahkan kajian pihaknya pada 2022 mengindikasikan ada potensi energi terbarukan yang lebih besar, mencapai lebih dari 7.800 gigawatt, dengan lebih dari 75 persen merupakan sumber energi surya.

    Oleh karena itu, ia mengatakan Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan peta jalan transisi energi dengan pilihan biaya yang paling murah, menjamin kehandalan pasokan yang optimal, dan berkeadilan.

    Menurut Fabby, lewat transisi energi terbarukan, Indonesia dapat meningkatkan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan target 1,5 derajat celcius yang disasar oleh Persetujuan Paris (Paris Agreement).

    Lebih lanjut, Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas Ervan Maksum mengatakan bahwa untuk mencapai target transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saja.

    Transisi energi di Indonesia memerlukan pembiayaan alternatif dari sumber-sumber non-pemerintah, dan pelibatan modal swasta untuk mencapai target-target di sektor ketenagalistrikan.

    Di sisi lain, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Taufiq Hidayat Putra menyatakan bahwa perencanaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia mencakup akses listrik yang berkualitas, tidak hanya ke industri, tapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama di desa.

    Sementara itu, untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, Project Lead Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE for SEA) di Indonesia, GIZ Energy Program for Indonesia/ASEAN Deni Gumilang menggarisbawahi pentingnya pengembangan instrumen kebijakan yang bertujuan untuk memitigasi risiko transaksi, mengingat tantangan dalam kebijakan dan regulasi masih dianggap sebagai hambatan utama dalam pengembangan energi terbarukan di tanah air.

    Adapun data dari Kementerian ESDM hingga November 2024, menunjukkan masih ada sekitar 86 desa yang belum memiliki akses listrik.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2024

  • PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!

    PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai alias PPN menjadi 12% mulai 2025 sejatinya dalam rangka menambah penerimaan negara. Alih-alih menggemukkan kas negara, ekonom menilai kebijakan tersebut justru akan mendatangkan kerugian. 

    Direktur Riset Bidang Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter Center Of Reform on Economics (Core) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menyampaikan kenaikan tarif PPN tersebut tidak akan efektif mengangkat penerimaan negara pada 2025 maupun tax ratio. 

    Justru konsekuensi yang harus pemerintah hadapi adalah potensi anjloknya konsumsi maupun transaksi masyarakat pascakenaikan tarif pajak. 

    “Kalau PPN naik, maka ada konsekuensi yang terkait dengan perkembangan ekonomi. Sebetulnya, justru lebih banyak ruginya daripada untungnya,” ujarnya dalam Core Economic Outlook 2025, Sabtu (23/11/2024). 

    Akbar menjelaskan dalam paparannya, bahwa imbas kenaikan tarif PPN tersebut akan berdampak pada penerimaan pajak dalam negeri yang melambat karena perlambatan konsumsi domestik.

    Bahkan, dirinya memprediksikan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditargetkan senilai Rp2.189,3 triliun akan tumbuh rendah meski pemerintah menerapkan PPN 12%. 

    Menurutnya, strategi peningkatan penerimaan maupun tax ratio harus menerapkan pajak yang adil, salah satunnya dengan tarif progresif. 

    Di Indonesia, pemerintah masih menggunakan tarif tunggal atau single tariff sehingga hal ini dianggap tidak adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli dan kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda. 

    Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono sebelumnya membuktikan bahwa PPN 12% otomatis akan menggerus daya beli masyarakat hingga 11,11%. 

    Lebih parahnya, hal tersebut berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi yang diharapkan naik ke level 6%-7% tahun depan (menurut Bappenas). 

    Prianto menjelaskan sebagai contoh, Badu memiliki dana Rp1 juta dan akan membeli barang dengan harga Rp 100.000/unit.  

    Jika sebelumnya dengan tarif PPN 11% Badu dapat membeli sembilan unit barang (harga per barang Rp111.000 x 9 = Rp999.000), kini dengan tarif PPN 12% hanya mampu membeli delapan unit barang karena total yang dibayarkan Rp896.000 (harga per barang Rp112.000 x 8 = Rp896.000). 

    Berdasarkan ilustrasi tersebut, Prianto menyampaikan penambahan PPN 1% dari 11% ke 12% membuat Badu hanya mampu membeli barang sebanyak 8 unit dari sebelumnya 9 unit.

    “Kondisi demikian dapat digunakan sebagai ilustrasi bahwa penurunan daya beli Badu setara dengan 1/9 atau 11,11%,” ujarnya. 

    Menghitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp5.638,9 triliun pada kuartal III/2024, konsumsi rumah tangga menjelaskan 53,08% atau mencakup Rp2.993,13 triliun. 

    Jika terjadi penurunan daya beli sebesar 11,11%, artinya PDB akan turun hingga Rp332,54 triliun. 

    Angka tersebut jauh lebih tinggi dari potensi pendapatan yang akan diterima Kementerian Keuangan bila menerapkan PPN 12%. 

    Di mana sebelumnya Pengamat pajak dan Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp100 triliun (basis penghitungan kenaikan PPN seperti 2022 ketika PPN naik dari 10% ke 11%). 

    Melalui perhitungan tersebut, artinya pendapatan negara dari pajak yang sebelumnya Rp2.189,3 triliun tersebut akan mencapai Rp2.289,3 triliun, bahkan lebih.

    Meski demikian, negara juga harus bersiap untuk menghadapi penurunan PDB Rp332,54 triliun setiap kuartalnya. 

  • Menteri PPN Sebut Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi Jadi Kunci Transformasi Ekonomi

    Menteri PPN Sebut Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi Jadi Kunci Transformasi Ekonomi

    Jakarta, Beritasatu.com – Stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut menjadi kunci transformasi ekonomi. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara Core Economic Outlook 2025 dengan tema “Tahun Penentu Terwujudnya Lompatan Ekonomi”.

    “Stabilitas pertumbuhan ekonomi menjadi fondasi kunci untuk kita melakukan transformasi ekonomi ke depan. Ini bisa menjadi dasar kita untuk lompat sekaligus kita bisa menjaga supaya lompatan ekonomi kita itu juga terjaga,” katanya di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (23/11/2024).

    Rachmat menyebut topik lompatan ekonomi merefleksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebanyak 5% dalam 20 tahun terakhir.

    Meski demikian, dia menyatakan Indonesia perlu bersyukur karena perekonomian stabil di tengah gejolak ekonomi global periode 2015-2019. Bahkan, saat dihadapkan pada kondisi pandemi Covid-19, Indonesia bisa pulih lebih cepat dibandingkan negara lain karena stabilitas pertumbuhan ekonomi.

    Rachmat menambahkan, pada tahun ini perekonomian Indonesia tumbuh 5,03%. Dia kembali menegaskan kunci utama dalam melakukan transformasi ke depan adalah stabilitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

    Ditambah lagi, kata dia, inflasi yang terkendali, suku bunga acuan atau BI Rate yang masih terjaga pada level 6% untuk mempertahankan stabilitas pertumbuhan ekonomi.

  • Bappenas: Indonesia harus lakukan proteksi, bukan jadi proteksionis

    Bappenas: Indonesia harus lakukan proteksi, bukan jadi proteksionis

    Kita menjaga supaya kita terproteksi, tetapi kita tidak menjadi proteksionis

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy mengatakan pemerintah ingin negara tak menjadi proteksionis, tetapi harus melakukan proteksi.

    Saat ini, disebut semakin proteksionis dan kondisi ini dinilai tidak mudah. Di sisi lain, proteksi Indonesia justru semakin berkurang.

    “Kita menjaga supaya kita terproteksi, tetapi kita tidak menjadi proteksionis,” katanya dalam acara CORE Economic Outlook 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu.

    Dalam kesempatan tersebut, Rachmat menerangkan proteksionis merupakan kebijakan ekonomi yang menghambat perdagangan internasional, sedangkan proteksi bertujuan untuk melindungi kedaulatan nasional.

    Menurut dia, definisi antara proteksionis dengan proteksi harus dibedakan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

    “Yang kita inginkan berkali-kali seperti yang disampaikan Presiden (Prabowo Subianto) bahwa kita mengakui adanya free trade (perdagangan bebas), tetapi kita juga lebih menekankan adanya fair trade (perdagangan adil). Jadi, jangan free trade tetapi unfair (tidak adil). Kita ingin free trade, tetapi juga fair trade,” ungkap Kepala Bappenas.

    Sebelumnya, dalam acara Qatar Economic Forum, Prabowo yang saat itu masih menjadi Presiden terpilih menyebutkan Indonesia berupaya melindungi kepentingan nasional, di antaranya mengolah kekayaan alam secara mandiri dan mengurangi ketergantungan dari produk-produk impor. Di sisi lain, dia menegaskan bahwa Indonesia bukan negara proteksionis.

    Karena itu, hilirisasi menjadi salah satu kebijakan utama yang diterapkan untuk memperoleh manfaat penuh dari sumber daya alam agar tak terus-menerus impor bahan-bahan mentah.

    “Kami tak bisa terus-menerus impor, tidak adil bagi rakyat kami, kami tak akan bisa menjadi negara industri yang maju jika kami terus mengimpor bahan-bahan mentah,” ujarnya pada Rabu (15/5).

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Ahmad Wijaya
    Copyright © ANTARA 2024

  • Bappenas: Pertumbuhan ekonomi sasar kelompok bawah

    Bappenas: Pertumbuhan ekonomi sasar kelompok bawah

    Dalam kondisi seperti itu, maka kita harus menjaga bagaimana kelompok terbawah itu harus tumbuh, bagaimana kelompok yang paling bawah itu terjaga supaya dia tidak jatuh lebih bawah lagi…,

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menargetkan pertumbuhan ekonomi menyasar kepada kelompok bawah.

    “Mari kita diskusikan bagaimana seharusnya pertumbuhan ekonomi kita jaga, inflasi kita jaga, dan yang paling penting pertumbuhan (ekonomi) ini menyasar kepada kelompok yang ada di bawah,” ujarnya dalam acara CORE Economic Outlook 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu.

    Dalam kesempatan tersebut, dia menerangkan bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat tumbuh stabil di tengah situasi ketidakpastian global.

    Selama periode 2015-2019, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 5,03 persen, lalu sempat terpuruk saat era pandemi COVID-19, dan kemudian pulih dengan cepat hingga kembali bertumbuh ke posisi 5,03 persen per kuartal III-2024.

    Begitu pula dengan capaian neraca pembayaran Indonesia pada triwulan III-2024 yang mencatatkan surplus 5,9 miliar dolar Amerika Serikat (AS), inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) 1,71 persen year on year (yoy) dan cadangan devisa 151,2 miliar dolar AS per Oktober 2024, serta BI-Rata 6 persen per November 2024.

    Menurut Rachmat, stabilitas pertumbuhan ekonomi menjadi fondasi kunci untuk melakukan transformasi ekonomi ke depan. Karena itu, tahun 2025 harus bisa dijadikan dasar sebagai era lompatan ekonomi.

    “(Lompatan ekonomi di tahun 2025) ini bisa menjadi dasar kita untuk lompat, sekaligus kita bisa menjaga supaya lompatan ekonomi kita itu juga terjaga dan lompatan ekonomi kita itu bukan hanya lompatan sekali saja, melompat kemudian turun lagi, tetapi lompatan ini cukup bisa kita tahan demikian lama,” kata Menteri PPN.

    Di sisi lain, kondisi ekonomi Tanah Air juga menghadapi tantangan yang tidak mudah karena keberadaan kelompok kelas menengah masih sedikit dan kelompok menengah bawah masih banyak, seiring pertumbuhan kelompok tak miskin relatif besar dan kelompok sangat kaya juga tak kecil.

    “Dalam kondisi seperti itu, maka kita harus menjaga bagaimana kelompok terbawah itu harus tumbuh, bagaimana kelompok yang paling bawah itu terjaga supaya dia tidak jatuh lebih bawah lagi, bagaimana kelompok yang di tengah yang menjadi tumpuan kita sebagai middle class itu tidak turun dan bagaimana middle class itu juga bisa bertahan, sampai nanti pada akhirnya dia lepas dari kelompok middle class,” ungkap Kepala Bappenas.

    Saat ini, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terus menurun menjadi 4,82 persen per Februari 2024 atau turun 0,63 persen poin dibanding Februari 2023. Adapun jumlah penduduk bekerja sebanyak 142 juta orang.

    Kendati demikian, serapan tenaga kerja masih didominasi dari sektor pertanian dengan total 28,64 persen dari total penduduk bekerja, disusul sektor perdagangan 19,05 persen, dan industri pengolahan 13,28 persen.

    Kondisi ini dinilai tak terlalu menggembirakan karena penduduk bekerja di sektor pertanian itu tak bisa memiliki pendapatan yang tinggi.

    Secara khusus, petani on-farm dianggap selalu memperoleh pendapatan yang tidak begitu baik dan menjadi bantalan untuk menopang kelompok lainnya.

    “Kita tahu bahwa selama ini harga-harga komoditas pertanian itu dijaga rendah, harga komoditas pertanian on-farm itu tidak bisa terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ada. Beras harus rendah, harga jagung harus rendah, pakan ternak harus rendah, telur harus rendah, dan seterusnya. (Keadaan) pertanian kita (seperti) itu. Jadi, kalau sektor tenaga kerja juga di situ, maka kesulitan kita untuk meningkatkan pendapatan mereka juga tidak mudah,” ucap dia.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2024