Kementrian Lembaga: Bappenas

  • Anggaran Kementerian ATR Rp9,5 Triliun di RAPBN 2026, Buat Apa Saja?

    Anggaran Kementerian ATR Rp9,5 Triliun di RAPBN 2026, Buat Apa Saja?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) diketahui mendapat porsi anggaran sebesar Rp9,5 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2026.

    Mengacu pada Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, dijelaskan bahwa pos anggaran tersebut jauh lebih besar dari outlook pagu efektif sepanjang 2025 sebesar Rp6,5 triliun.

    “Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN outlook 2025 Rp6,5 triliun; RAPBN 2026 Rp9,5 triliun,” demikian bunyi Buku II Nota Keuangan, dikutip Rabu (20/8/2025).

    Namun demikian, bila dibandingkan dengan laporan kebutuhan anggaran yang sebelumnya disampaikan oleh Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, alokasi pagu Kementerian ATR/BPN pada RAPBN 2026 masih jauh lebih kecil.

    Sebelumnya, Nusron menjelaskan bahwa total kebutuhan anggaran Kementerian ATR/BPN untuk menjalankan program-program prioritas kementerian mencapai Rp11,33 triliun.

    Nusron menuturkan, pada pagu indikatif Kementerian ATR/BPN semulanya hanya mendapat pagu Rp7,7 triliun. Hal itu sebagaimana tertuang dalam surat keputusan bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas.

    Meski demikian, angka tersebut dinilai belum memenuhi pelaksanaan target Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) hingga untuk biaya dukungan manajemen. Untuk itu pihaknya mengusulkan tambahan anggaran Rp3,63 triliun untuk menutupi selisih kebutuhan anggaran.

    Dalam penjelasannya, pihaknya membutuhkan biaya tambahan senilai Rp1,75 triliun untuk mendukung alokasikan belanja pegawai.

    “Usulan paling banyak adalah untuk kepentingan tambahan anggaran belanja pegawai. Kenapa? Karena asumsinya ada CPNS 1.324 yang akan diangkat, kemudian ada tambahan P3K, yang itu hasil PPNPN atau tenaga honorer yang diputuskan oleh Menpan-RB harus diangkat menjadi P3K, itu jumlahnya di kita sampai 12.513,” jelas Nusron dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi II DPR RI, di Jakarta, Rabu (9/7/2025).

    Kemudian, usulan tambahan anggaran tersebut juga bakal dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan program PTSL senilai Rp1,83 triliun. Saat ini, masih terdapat 15 juta hektare tanah di Indonesia yang belum terdaftar. 

    Selanjutnya, usulan tambahan anggaran itu juga bakal digunakan untuk pelaksanaan program penyelenggaraan penataan ruang, pihaknya juga masih memerlukan anggaran mencapai Rp33,94 miliar.

    “Untuk apa? [kebutuhan anggaran Rp33,94 miliar] untuk tambahan RDTR [rencana detail tata ruang], untuk percepatan tambahan supaya cepat mencapai angka 2 juta RDTR,” pungkas Nusron. 

  • Wamendagri: DOB Papua ditargetkan operasional pada 2028

    Wamendagri: DOB Papua ditargetkan operasional pada 2028

    kepala daerah di DOB Papua yang saat ini sudah terpilih secara definitif dapat lebih percaya diri bahwa pembangunan DOB akan terealisasi. Kemendagri akan memberikan penjelasan teknis serta pengarahan, tidak hanya kepada pemerintah daerah tetapi juga

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk mengatakan pembangunan Daerah Otonom Baru (DOB) Papua ditargetkan untuk rampung dan bisa langsung beroperasi pada 2028.

    Hal tersebut disampaikan Ribka saat menghadiri Rapat Pembahasan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan DOB Papua di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Jakarta, Selasa.

    “Pertemuan kami hari ini tanggal 19 Agustus 2025, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PU dalam rangka menindaklanjuti hasil RDP dengan Komisi II DPR, yang mana hasil kesepakatannya bahwa pembangunan infrastruktur harus bisa operasional di tahun 2028,” kata Ribka.

    Ribka menegaskan, rapat tersebut merupakan bentuk sinergi antarkementerian/lembaga (K/L) untuk bersama-sama membangun DOB Papua.

    Pertemuan diharapkan dapat memberikan gambaran spesifik terkait pembangunan DOB, termasuk perencanaan ke depan, pembebasan lahan, pembangunan kantor pemerintahan, pendanaan, hingga penetapan regulasi.

    Dalam rapat tersebut, Ribka memaparkan, Kementerian PU melaporkan progres pembangunan DOB di Papua. Untuk Papua Selatan, progres pembangunan telah mencapai 67 persen, sementara Papua Barat Daya baru sekitar 20–30 persen.

    Adapun di Papua Tengah, proses lelang baru akan dilakukan dengan target selesai dan penandatanganan kontrak pada Oktober 2025.

    Sementara itu, pembangunan di Papua Pegunungan diharapkan dapat segera berjalan menyusul adanya pemindahan lokasi pusat pemerintahan, dengan target readiness criteria selesai akhir Agustus ini.

    “Sesuai dengan amanat undang-undang dari masing-masing daerah DOB bahwa waktu pelaksanaan dan pendampingan daerah DOB itu selesai tahun 2025. Namun karena ini daerah baru, pemerintahannya baru juga, dan beberapa agenda yang harus dilaksanakan oleh daerah DOB, sehingga ini tertunda. Dan memang sudah dipastikan Rapat Dengar Pendapat DPR bahwa itu akan harus operasional aktif daerah DOB itu sudah bisa berkantor di pusat pemerintahan di 2028,” terangnya.

    Ia menambahkan, kepala daerah di DOB Papua yang saat ini sudah terpilih secara definitif dapat lebih percaya diri bahwa pembangunan DOB akan terealisasi. Kemendagri, lanjutnya, akan memberikan penjelasan teknis serta pengarahan, tidak hanya kepada pemerintah daerah tetapi juga kepada masyarakat mengenai pembangunan fisik yang akan dijalankan.

    “Jadi Pak Gubernur benar-benar sudah membagi tempat pusat-pusat pemerintahan. Jadi inilah yang akan dibangun, kantor Gubernur, kantor MRP (Majelis Rakyat Papua), dan kantor DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua),” kata Ribka.

    Menurut Ribka, pembangunan pusat pemerintahan menggunakan dana gabungan antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

    Berdasarkan pengamatannya, progres pembangunan di DOB terus berjalan, meliputi kantor pemerintahan, rumah layak huni, akses jalan, hingga drainase kantor gubernur. Namun, ia mengingatkan, biaya pembangunan di wilayah Papua Pegunungan relatif lebih tinggi dibandingkan DOB Papua lainnya karena berbagai faktor, termasuk kondisi geografis.

    “Bahwa skema dan sumber pembiayaan itu untuk pusat pemerintahan itu ada yang dibiayai dari APBN, tetapi ada yang harus juga dibiayai oleh APBD. Tugas-tugasnya ini sudah jelas, sudah terbagi. Untuk itu mohon dukungan dari kementerian/lembaga, baik itu dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, juga dari Bappenas untuk sama-sama kita fokus,” tuturnya.

    Ia melanjutkan, koordinasi lintas K/L terus dilakukan. Kemendagri juga telah berkomunikasi dengan seluruh Pemda terkait pembangunan DOB. Salah satunya kunjungan ke Papua Pegunungan yang dihadiri secara langsung oleh Mendagri Muhammad Tito Karnavian dan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait. Dari kunjungan tersebut ditetapkan rencana pembangunan kantor-kantor kunci untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.

    “Kami akan terus meningkatkan volume rapat koordinasi kami. Setiap bulan kita akan mengevaluasi perkembangan daripada pelaksanaan seluruh proses action-nya, Kementerian PU maupun juga Kementerian Keuangan, dari Bappenas, kemudian dari Kementerian Dalam Negeri. Kita akan terus melakukan rapat evaluasi secara rutin tiap bulan,” kata Ribka.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Fraksi PDIP Wanti-wanti Alokasi Dana Kopdes hingga Transparansi Pendapatan RAPBN 2026

    Fraksi PDIP Wanti-wanti Alokasi Dana Kopdes hingga Transparansi Pendapatan RAPBN 2026

    Bisnis.com, JAKARTA – Fraksi Partai PDIP, Rio A.J Dondokambey mengingatkan agar Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dilaksanakansecara transparan dan terukur, salah satunya pada pelaksanaan program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes).

    Menurutnya pelaksanaan program Kopdes bersamaan dengan menurunnya alokasi dana ke desa.

    “Penurunan alokasi dana desa di tengah pelaksanaan koperasi merah putih desa berpotensi melemahkan peran desa dalam pembangunan dan pemilihan masyarakat,” katanya di Gedung Nusantara II, Selasa (19/8/2025).

    Terlebih, katanya, alokasi dana daerah juga menurun sehingga dia meminta agar pemerintah memastikan skema alokasi dan anggaran lainnya agar pembangunan daerah tetap terlaksana dengan maksimal.

    Tak hanya itu, dia meminta agar pemerintah menyediakan program berbasis desa dengan tata kelola yang baik dan peningkatan kompetensi usaha

    Rio menjelaskan bahwa saat ini pemerintah melakukan perubahan struktur APBN yang sangat signifikan. Dia menegaskan agar pemerintah transparan dalam melaporkan pendapatan dan alokasi dana pada 2026.

    “Belanja perpajakan pemerintah harus disertai dengan penjelasan, dampak yang terukur bagi perekonomian Indonesia dan penerimaan negara yang berkelanjutan,” paparnya.

    Rio menyebutkan pemerintah juga harus menjabarkan sumber-sumber penerimaan pajak pada 2026. Apalagi pemerintah memiliki target pertumbuhan ekonomi 5,4% dan inflasi 2,5%.

    “Pemerintah perlu menjelaskan sumber bernilai tambah dan dampaknya terhadap peningkatan masyarakat,”

    Sebagai informasi, DPR sedang menggelar Sidang Paripurnake-2 dengan agenda Pemandangan Umum Fraksi-fraksi atas RUU tentang APBN tahun Anggaran 2026 dan penetapan Keanggotaan Fraksi-fraksi pada Alat Kelengkapan DPR RI tahun Sidang 2025-2026

    Adapun dalam acara ini turut dihadiri, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy, dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas

  • RAPBN 2026: Anggaran Kementerian PU Rp118,5 Triliun, Melonjak 37,8%

    RAPBN 2026: Anggaran Kementerian PU Rp118,5 Triliun, Melonjak 37,8%

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto mengalokasikan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp118,5 Triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2026.

    Anggaran Kementerian PU dalam RAPBN 2026 ini meningkat 37,8% dibandingkan dengan anggaran Kementerian PU TA 2025 sebesar Rp86 triliun.

    Meski alokasi anggarannya naik cukup signifikan, tetapi anggaran Kementerian PU yang tercantum dalam RAPBN 2026 masih jauh dari usulan yang disampaikan oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkap pihaknya telah mengajukan tambahan anggaran 2026 sebesar Rp68,8 triliun untuk membangun sejumlah proyek infrastruktur.

    Dody menjelaskan, usulan tersebut disampaikan usai pihaknya diketahui hanya mendapat pagu indikatif untuk TA 2026 sebesar Rp70,8 triliun sebagaimana tertuang dalam surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Bappenas.

    “Dari hasil exercise kami, secara mandiri sebetulnya untuk tahun anggaran 2026 kami masih memerlukan tambahan anggaran sekitar Rp68 Triliun,” kata Dody dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi V DPR RI, Rabu (9/7/2025). 

    Dengan demikian, total anggaran yang diperlukan Kementerian PU untuk melaksanakan pengerjaan proyek infrastruktur pada 2026 mencapai Rp139,66 triliun.

    Dalam penjelasannya, usulan tambahan anggaran senilai Rp68,8 triliun secara garis besar diperuntukkan guna mendukung program dukungan manajemen senilai Rp3,60 triliun dan program teknis Rp65,28 triliun.

    Khusus untuk program teknis, anggaran Rp65,28 triliun itu diperuntukkan guna mendukung pelaksanaan setidaknya 12 program kerja. Di antaranya pelaksanaan pembangunan dukungan infrastruktur mendukung swasembada pangan (Rp4,92 triliun).

    Kemudian, juga digunakan untuk menyelesaikan proyek yang terkontrak dalam anggaran tahun jamak atau multiyears contract (Rp12,01 triliun) terdiri dari Rp11,25 triliun proyek MYC lanjutan dan senilai Rp760 miliar MYC baru. Selanjutnya, anggaran untuk pelaksanaan kegiatan baru (Rp17,62 triliun), mendukung pembayaran PDN dan PLN (Rp2,26 triliun), dan pelaksanaan vokasi politeknik PU (Rp10 miliar).

    Dukungan teknis pusat atau balai (Rp3,51 triliun), pengadaan lahan untuk proyek non-proyek strategis nasional (Rp2,49 triliun), dan anggaran untuk darurat bencana (Rp550 miliar).

    Kemudian, anggaran untuk program padat karya (Rp3,98 triliun), pelaksanaan preservasi jalan dan jembatan (Rp6,03 triliun), proyek sekolah rakyat (Rp10 triliun) dan dukungan pelaksanaan DOB Papua (Rp1,77 triliun).

  • Gempa Bumi Magnitudo 6 di Poso: Satu Orang Meninggal Dunia, 12 Unit Rumah Rusak Berat – Page 3

    Gempa Bumi Magnitudo 6 di Poso: Satu Orang Meninggal Dunia, 12 Unit Rumah Rusak Berat – Page 3

    Menurut Safrizal, ada enam hal yang harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk mendukung Gerakan Kencana yaitu pemetaan wilayah rawan bencana, dan percepatan pelaksanaan standar pelayanan minimal.

    Lalu penguatan kolaborasi antar-pemangku kepentingan, optimalisasi peran Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam), pembentukan tim koordinasi Kencana dan penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Kencana.

    “Bencana merupakan urusan bersama yang membutuhkan kolaborasi multi-pihak baik pemerintah, mitra pembangunan, elemen masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media,” terang Safrizal.

    “Semua pihak memiliki peran dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan pemulihan pasca bencana. Dengan begitu, potensi risiko bencana dapat diminimalisir dan masyarakat dapat lebih siap serta terlindungi ketika bencana terjadi,” sambung dia.

    Safrizal menjabarkan, seperti halnya dukungan Pemerintah Australia melalui SIAP SIAGA, program bilateral untuk pengurangan risiko bencana, yang mendukung upaya Kementerian Dalam Negeri, Badan Penanggulangan Bencana Nasional, Bappenas, dan pemerintah daerah untuk percepatan penerapan Standar Pelayanan Minimal Bencana melalui Gerakan Kecamatan Tangguh Bencana tersebut.

  • Target 3 Tahun IKN Rampung di Tengah Anggaran yang ‘Terpasung’

    Target 3 Tahun IKN Rampung di Tengah Anggaran yang ‘Terpasung’

    Bisnis.com, JAKARTA – Nasib megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara untuk 3 tahun ke depan telah ditentukan. Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono untuk menyelesaikan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dalam 3 tahun ke depan.

    Dia menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo akan meneruskan megaproyek ibu kota baru RI yang dimulai di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) itu.

    “IKN lanjut, sebagaimana sudah diputuskan oleh Bapak Presiden bahwa pembangunan IKN akan dilanjutkan dan diminta kepada Kepala Otorita IKN, dalam ini Bapak Basuki, diberi target dalam 3 tahun ke depan harus menyelesaikan seluruh perangkat yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat kita berpindah,” ujar Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi kepada wartawan di DPR RI, Jumat (15/8/2025).

    Dalam hal ini, dia menerangkan bahwa seluruh lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif akan pindah setelah IKN rampung dalam 3 tahun ke depan.

    “Jadi tidak ada masalah dengan IKN. Lanjut terus,” tuturnya.

    Meskipun telah memberikan IKN rampung dalam 3 tahun, anggaran yang disiapkan oleh Pemerintah dinilai tidak mencukupi.

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkap pagu anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 ditetapkan sebesar Rp6,3 triliun.

    Adapun, anggaran tersebut dikucurkan untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.

    “Anggarannya Rp6,3 triliun untuk IKN,” jelasnya dalam Konferensi Pers RAPBN di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Apabila dibandingkan dengan Pagu TA 2025, posisinya tidak berbeda. Semulanya Pagu OIKN TA 2025 ditetapkan sebesar Rp6,3 triliun. Namun, baru-baru ini OIKN mendapat alokasi anggaran tambahan sebesar Rp8,1 triliun.

    Meski demikian, pagu anggaran OIKN yang ditetapkan dalam RAPBN 2026 masih jauh lebih besar dari pagu indikatif TA 2026 yang dianggarkan sebelumnya sebesar Rp5,05 triliun.

    Sebelumnya, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Basuki Hadimuljono menjelaskan bahwa pagu indikatif Rp5,05 triliun itu sebagaimana tertuang dalam surat Bersama Pagu Indikatif (SBPI) Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Bappenas Nomor S-356/MK.02/2025 dan Nomor B-383/D.9/PP.04.03/05/2025 yang dikeluarkan tanggal 15 Mei 2025.

    “Pagu indikatif Otorita IKN Tahun 2026 sebesar Rp5,05 triliun,” kata Basuki dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi II DPR RI, Selasa (8/7/2025).

    Basuki menambahkan anggaran tersebut dialokasikan untuk belanja pegawai senilai Rp423 miliar, belanja operasional senilai Rp138 miliar dan belanja non-operasional sebesar Rp4,48 triliun yang sebagian besar digunakan untuk pembangunan konstruksi fisik lanjutan.

    Kendati demikian, pagu indikatif tersebut dinilai masih jauh untuk mencukupi pembangunan pada 2026. Pasalnya, OIKN membutuhkan tambahan anggaran mencapai Rp16,13 triliun untuk melanjutkan proyek baru di IKN. 

    Kepala OIKN menyebut pihaknya telah menyampaikan usulan tambahan anggaran tersebut kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 4 Juli 2025 melalui Surat Kepala OIKN Nomor B.132/Kepala/Otorita IKN/VII/2025.

    IKN Tetap Jadi Prioritas?

    Diberitakan sebelumnya, Pembangunan IKN Nusantara pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dipastikan bakal terus berlanjut. Di mana, konstruksi pembangunan bakal ibu kota baru Indonesia itu masih akan didukung oleh injeksi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

    Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Basuki Hadimuljono juga telah memastikan bahwa tidak akan ada moratorium pembangunan IKN semasa kepemimpinan Presiden ke-8 Prabowo Subianto.

    “Dari Istana disampaikan bahwa tidak akan ada moratorium, dan pembangunan IKN justru dipercepat,” jelas Basuki dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (11/8/2025).

    Adapun saat ini, pembangunan IKN difokuskan pada pengembangan Kawasan Legislatif dan Yudikatif. Hal itu dilakukan guna melengkapi area Kawasan Eksekutif yang telah dibangun pada masa kepemimpinan Presiden ke-7 Indonesia yakni Joko Widodo (Jokowi).

    Berdasarkan catatan Bisnis, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana OIKN, Danis H. Sumadilaga menjelaskan bahwa lelang pengadaan proyek Kawasan Legislatif dan Yudikatif di IKN itu direncanakan akan dilaksanakan pada tahun depan.

    Hal itu dilakukan sembari menunggu proses politik anggaran tahun kedua Prabowo rampung dirumuskan.  

    “Ruang lingkupnya ya [yang akan ditender tahun depan], satu pembangunan gedung yudikatif dan legislatif, itu 7 paket pekerjaan, kemudian pekerjaan jalan untuk yudikatif, legislatif dan sekitarnya,” jelasnya saat ditemui di Kompleks DPR RI, Selasa (8/7/2025).

  • Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik Nasional 15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    SETELAH
    kasus Bupati Pati Sudewo mencuat, akhirnya diketahui bahwa tidak hanya Kabupten Pati yang menaikkan PBB P2.
    Bahkan ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB lebih dari 10 kali atau 1000 persenan, seperti Kabupaten Jombang dan Cirebon.
    Kedua daerah ini kini sedang dihantui penolakan masif dari warganya. Boleh jadi aspirasi “lengser” juga muncul kemudian, layaknya kepada Bupati Pati.
    Sementara daerah seperti Bone Selatan dan Semarang, juga terpantau menaikkan PBB P2 sekitar 300 dan 400-an persen.
    Malang memang bagi Bupati Pati, kenaikan PBB di Pati jauh lebih cepat ditanggapi warga dan mendadak mencuat menjadi masalah nasional.
    Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Banyak faktor tentunya. Tak semua faktor ada di daerah, beberapa faktor juga ada di pusat.
    Pertama, dalam hemat saya, berdasarkan perkembangan belakangan, faktor kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang digaungkan sejak awal tahun, juga turut menjadi penyebab utama.
    Kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat nyatanya tidak saja menyisir belanja kementerian dan lembaga nondepartemental di tingkat nasional, tapi juga menyasar berbagai macam mata anggaran di daerah, yang berujung pada pengecilan nominal total APBD.
    Kondisi ini, mau tak mau, membuat daerah harus memutar “otak” untuk mendapatkan tambahan pendapatan baru, terutama yang masuk ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk bisa membiayai berbagai rencana kebijakan dan program yang telah terlanjur dijanjikan kepada rakyat di daerah selama masa kampanye Pilkada.
    Boleh jadi dalam hal ini termasuk juga janji-janji “ilegal” kepala daerah terpilih kepada “klien-klien” politiknya atau bohir kaya yang telah ikut membantu pembiayaan politik pada Pilkada sebelumnya.
    Nah, terkait dengan kasus Pati, sebagaimana diatur di dalam UU yang terkait dengan relasi fiskal pusat dan daerah, yakni UU No. 1 tahun 2022, juga UU No. 28 2009 tentang pajak daerah, dan UU No. 33 tahun 2009 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memang sudah menjadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh daerah.
    Sehingga, secara legal konstitusional, naik atau turunnya PBB di daerah akan berada di bawah wewenang pemerintah daerah, termasuk oleh kepala daerah baru tentunya.
    Namun, pertanyaan pentingnya tentu bukan masalah legalitas konstitusional dari kasus Pati dan beberapa daerah lainnya.
    Pertanyaan pentingnya adalah mengapa daerah ramai-ramai menaikkan tarif PBB? Nah, dalam konteks ini kita bisa kembali kepada masalah kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tadi.
    Daerah-daerah pada akhirnya harus menaikkan tarif pajak untuk objek-objek pajak yang masuk ke dalam ranah “hak” pemerintah daerah, salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bagunan (PBB).
    Penyebab kedua adalah konstelasi hubungan keuangan pusat dan daerah yang selama ini sama sekali tidak menggambarkan status daerah sebagai daerah otonom.
    Kebijakan otonomi daerah selama ini hanya berlangsung di ranah politik dan administratif, tidak pada ranah fiskal.
    Jadi meskipun dipilih secara demokratis di daerah, setelah terpilih kepala daerah tetap tidak memiliki keleluasaan atas keberlangsungan pemerintahan di daerah dan keberlanjutan pembangunan di daerahnya, jika kepastian pembiayaan dari pusat tidak ada.
    Sehingga risikonya, setelah kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah resmi, untuk urusan pendapatan dan belanja daerah, mereka harus lebih sering berurusan dengan para pihak yang ada di Jakarta ketimbang di daerah.
    Tak pelak, relasi tak sehat pun terbentuk antara kepala daerah dengan wakil-wakil daerah yang ada di Senayan di satu sisi dan Kementerian Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri di sisi lain, untuk memastikan bahwa R-APBD yang telah disepakti di daerah diberi lampu hijau oleh Jakarta.
    Relasi keuangan pusat dan daerah semacam ini sangat tidak sehat dan kurang produktif. Dikatakan tidak sehat karena daerah-daerah menjadi sangat bergantung kepada pusat, terutama untuk mendapatkan proyek-proyek infrastruktur nasional di daerah.
    Relasi ini, diakui atau tidak, memberikan diskresi kepada pusat untuk menghukum daerah secara fiskal, jika daerah tidak sejalan dengan pemerintahan pusat di ranah politik.
    Di era Jokowi, misalnya, bahkan beberapa daerah yang tidak masuk kategori sebagai “daerah pemilih Jokowi”, mengalami pemangkasan anggaran yang cukup signifikan atau menjadi korban politik fiskal pemerintah pusat.
    Dan dikatakan tidak produktif karena daerah-daerah merasa tidak memiliki insentif untuk membangun daerahnya akibat perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil.
    Di China, misalnya, sekalipun dikenal secara politik sebagai negara komunis, tapi dalam praktik relasi fiskal pusat dan daerah, China masuk ke dalam negara yang paling desentralistis di dunia.
    Daerah-daerah mendapatkan bagian dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), yang dibagi secara proporsional antara pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kota, dan perfektur.
    Dengan konstelasi hubungan fiskal seperti di China, daerah-daerah menjadi sangat termotivasi untuk membangun daerahnya dengan cara mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan mendorong seluas-luasnya pembukaan lapangan pekerjaan baru.
    Pasalnya, setiap kenaikan produktifitas di daerah (karena produksi dari investasi baru), akan ada pendapatan tambahan dari pembagian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk daerah.
    Di sisi lain, kenaikan produktifitas tersebut akan berjalan simetris dengan pertambahan lapangan pekerjaan baru, di mana daerah pun kembali akan mendapatkan bagian pajak dari pajak pendapatan atas lapangan pekerjaan baru yang terbentuk.
    Dalam banyak kajian tentang ekonomi di China, relasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah yang demikian ternyata terbukti menjadi salah satu sebab mengapa para kepala daerah sangat bersemangat untuk memajukan daerahnya dengan mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan membuka selebar-lebarnya lapangan kerja baru di daerah, selain karena faktor prospek karier politik di dalam Partai Komunis China bagi kepala daerah yang berhasil membangun daerahnya.
    Dan secara nasional, praktik semacam ini ikut berkontribusi secara signifikan kepada kemajuan yang sangat dinamis di China di dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir.
    Sementara di Indonesia, konstelasi fiskal semacam itu masih menjadi mimpi “di siang bolong” hingga hari ini. Daerah-daerah sangat tergantung kepada pusat secara fiskal, sekalipun secara politik daerah-daerah dibiarkan berpesta pora atas nama demokrasi semu.
    Pola ini kemudian secara politik memunculkan kesan bahwa pemimpin daerah yang berhasil adalah pemimpin yang bisa membawa sebanyak-banyaknya anggaran dari pusat ke daerah dalam berbagai bentuk, mulai dari pembesaran anggaran untuk APBD, penetapan daerah sebagai lokasi proyek strategis nasional, sampai pada penggiringan investasi BUMN ke daerah di berbagai sektor.
    Semuanya, lagi-lagi, sayangnya terkait dengan “kuasa” yang ada di Jakarta, bukan di daerah.
    Dan terakhir, masalah ketiga, adalah rendahnya moralitas politik dan sensitifitas sosial kepemimpinan baru di daerah.
    Akibat sumbatan keuangan dari pusat, baik karena konstelasi fiskal antara pusat dan daerah maupun karena kebijakan efisiensi nasional, kepala-kepala daerah justru mengembalikan bebannya kepada rakyat di daerah dengan menaikkan berbagai jenis pajak yang menjadi hak daerah.
    Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa keadaan ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja sejak dua tahun terakhir.
    Sikap beberapa kepala daerah ini mirip dengan sikap “para kapitalis” nasional di saat pajak barang dan jasa naik. Seketika harga barang dan jasa dinaikkan oleh produsennya alias dibebankan kembali kepada konsumen.
    Pemerintah pusat boleh saja berharap, atau tepatnya bermimpi, bahwa pemerintahan daerah akan berkreasi secara fiskal saat kebijakan efisiensi diberlakukan di awal tahun.
    Namun untuk Indonesia, harapan dan mimpi itu terlalu muluk. Bagi daerah yang takut kepada rakyatnya atau khawatir ditegur oleh pusat, kebijakan efisiensi ditanggapi dengan “aksi kembali ke rutinitas” di mana anggaran untuk pembangunan dipangkas sedemikian rupa, sementara anggaran rutin semakin membesar.
    Walhasil, pemerintah daerah hanya berjalan berdasarkan rutinitas yang sudah berlangsung selama ini. Tak ada pembangunan berarti, pun tak ada investasi baru yang diperjuangkan karena tidak ada anggaran untuk memperjuangkannya. Ujung-ujungnya juga “nol” alias “nihil”.
    Sementara bagi kepala daerah yang merasa terlalu banyak “utang” yang harus dibayar dengan berbagai macam proyek daerah yang dibiayai dari APBD, mau tak mau sumber pendapatan baru harus diraih, agar beberapa “proyek” atau “rencana” yang telah disepakati dengan “pihak ketiga” semasa Pilkada tetap bisa dibiayai di tahun depan.
    Jika PAD meningkat, plus realisasi belanja di tahun ini bisa maksimum, maka di tahun depan ajuan APBD yang akan disepakati oleh pusat dipastikan juga akan membesar. Bagi kepala daerah semacam ini, rakyat tak berada pada barisan prioritas.
    Jika rakyat masih bisa dibebani dengan kenaikan pajak-pajak daerah demi ambisi fiskal kepala daerah terpilih, maka tanpa malu dan ragu, rakyat di daerah akan terus dibebani.
    Namun, yang lupa dimasukkan ke dalam ekuasi politik fiskal kepala daerah jenis ini adalah bahwa potensi resistensi dan perlawanan dari rakyat daerah bisa meledak secara tak terduga.
    Dan itulah yang terjadi di Pati, mungkin juga nanti di Cirebon atau Jombang, jika kepala daerahnya tak segera merevisi aturan kenaikan PBB di daerahnya.
    Boleh jadi kali ini kepala-kepala daerah ini akan selamat secara politik, setidaknya sampai 2029. Namun sejatinya, dukungan sebenarnya sudah hilang.

    If you once forfeit the confidence of your fellow citizen, you can never regain their respect and esteem
    ,” kata Abraham Lincoln di tahun 1854.
    Sekali rakyat merasa benar-benar telah tersakiti, jangan harap kepercayaan itu akan kembali seperti semula.
    Dan dalam hemat saya, pernyataan Lincoln ini harus menjadi catatan untuk semua pemimpin di Indonesia, tidak hanya kepala daerah, tapi juga Presiden Prabowo Subianto, bahkan Jokowi sekalipun, yang bayang-bayangnya masih menghantui ruang publik kita sampai hari ini. Semoga!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penyaluran Bansos Mengacu pada DTSEN, Gus Ipul: Ada Penerima Baru Setiap 3 Bulan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Penyaluran Bansos Mengacu pada DTSEN, Gus Ipul: Ada Penerima Baru Setiap 3 Bulan Nasional 14 Agustus 2025

    Penyaluran Bansos Mengacu pada DTSEN, Gus Ipul: Ada Penerima Baru Setiap 3 Bulan
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa saat ini penyaluran bantuan sosial (bansos) mengacu pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola Badan Pusat Statistik (BPS) agar lebih tepat sasaran.
    Hasilnya, banyak penerima bansos yang tidak lagi lolos verifikasi karena tidak memenuhi syarat. Data mereka langsung digantikan dengan penerima baru yang lebih layak dan berhak.
    “Jadi, akan ada penerima-penerima baru setiap tiga bulan. Ada yang
    check-out
    dan
    check-in
    ,” kata Gus Ipul dalam keterangan resminya, Kamis (4/8/2025).
    Pernyataan tersebut disampaikan Gus Ipul dalam acara Dialog Pilar-Pilar Sosial di Pendopo Bupati Cirebon, Rabu (13/8/2025).
    Data akan dimutakhirkan setiap tiga bulan agar tetap akurat, salah satunya melalui mekanisme
    groundchecking
    oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dan pemerintah daerah (pemda), kemudian divalidasi oleh BPS.
    Gus Ipul menekankan, semua upaya tersebut dilakukan untuk memastikan bantuan tepat sasaran sesuai arahan Presiden RI Prabowo Subianto.
    “Strategi Bapak Presiden adalah menjadikan data-data yang ada di setiap kementerian itu diverifikasi ulang oleh BPS,” katanya.
    Ia menjelaskan bahwa sebelumnya, Kemensos memiliki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mempunyai Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
    Hal tersebut membuat banyak data tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga.
    Gus Ipul menegaskan, sesuai Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang DTSEN, semua kementerian dilarang mengelola data sendiri. Data dikonsolidasikan di BPS, lalu divalidasi menjadi data tunggal.
    Kebijakan ini, lanjutnya, mengakhiri praktik lama Kemensos yang mengolah sekaligus menyalurkan bansos berdasarkan data internal. 
    “Kalau dulu, orang kadang-kadang tidak percaya sama datanya Kemensos, diurus-urus sendiri, setelah itu diintervensi sendiri, habis itu tepuk tangan sendiri,” ucap Gus Ipul.
    Kini, Kemensos hanya terlibat dalam pemutakhiran data bersama pemda, sementara proses verifikasi, validasi, dan penetapan desil penerima bansos dilakukan oleh BPS. 
    “Boleh kami memasukkan data, tetapi yang memverifikasi dan menetapkan desil 1, 2, 3 dan 4 itu adalah BPS. Kami tugasnya hanya menyalurkan, sambil nanti pendamping dan instrumen lain ikut pemutakhiran bersama Bupati, Dinas Sosial (Dinsos), beserta BPS setempat,” jelasnya. 
    Gus Ipul menyampaikan bahwa jalur partisipasi publik juga dibuka melalui aplikasi Cek Bansos.
    Lewat aplikasi tersebut, masyarakat dan pendamping sosial dapat mengajukan atau menolak calon penerima serta melakukan usul sanggah dengan bukti yang memadai. 
    “Boleh (mengajukan usul-sanggah bansos). Bukan tidak boleh. Nanti tetap akan diverifikasi oleh BPS. Nah, BPS akan mengeluarkan hasil validasi itu setiap tiga bulan sekali menjelang penyaluran bansos,” kata Gus Ipul.
    Sebagai informasi, penyaluran bansos dilakukan setiap tiga bulan pada periode Januari–Maret, April–Juni, dan Juli–September, dengan daftar penerima bansos yang terus diperbarui setiap periode.
    Menurut Gus Ipul, selama penyaluran bansos triwulan II, Kemensos telah mencoret banyak penerima bantuan karena tidak lolos verifikasi atau terlibat penyalahgunaan bantuan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DKI diminta ambil langkah berani dan bijak tertibkan truk ODOL

    DKI diminta ambil langkah berani dan bijak tertibkan truk ODOL

    Jakarta (ANTARA) – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) meminta pemerintah pusat dan daerah, termasuk DKI Jakarta ikut mengambil langkah berani dan bijak untuk menertibkan kendaraan truk dengan dimensi dan muatan melebihi ketentuan (Over Dimension and Over Load/ODOL).

    “Harus ada langkah berani dan bijak dari pemerintah untuk menertibkan truk berdimensi dan bermuatan lebih. Tentunya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan masalah kemanusiaan, sosial dan ekonomi,” kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

    Dia mengatakan keberadaan ODOL ini tidak hanya memberikan kerugian materi yang tinggi akibat fatalitas yang tinggi, akan tetapi keberadaan ODOL juga memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi infrastruktur jalan Indonesia

    Merujuk data Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2025, dia mengatakan indikasi pemborosan keuangan negara akibat kerusakan pada jalan nasional, provinsi dan kabupaten/kota sebesar Rp 47,43 triliun setiap tahun.

    Selain itu, data dari Polri yang diolah Bappenas (2025), menunjukkan, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang sebesar 10,5 persen merupakan kedua tertinggi secara nasional.

    “Peringkat pertama sepeda motor 77,4 persen. Selanjutnya, angkutan orang 8 persen, mobil penumpang 2,4 persen, kendaraan tidak bermotor 1,5 persen dan kendaraan listrik 0,2 persen,” kata Djoko.

    Dari sisi ekonomi, ODOL selain tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN, juga membuat lemahnya daya saing nasional, termasuk salah satu penyebab menurunnya daya saing infrastruktur.

    Adapun hasil diskusi sejumlah kementerian/lembaga dan kelompok komunitas masyarakat peduli keselamatan termasuk MTI, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah mengemukakan tiga agenda yang akan dilakukan.

    Tiga agenda itu yakni pemberantasan praktik pungutan liar (pungli) pada ekosistem angkutan barang, pengaturan peningkatan kesejahteraan pengemudi kendaraan angkutan barang, dan deregulasi dan sinkronisasi peraturan terkait angkutan barang.

    Lalu, terdapat sembilan Rencana Aksi Nasional terkait implementasi zero (nol) ODOL dalam Rencana Peraturan Presiden Penguatan Logistik Nasional, yaitu integrasi penguatan angkutan barang menggunakan sistem elektronik, pengawasan, pencatatan, dan penindakan kendaraan angkutan barang.

    Selanjutnya, penetapan dan pengaturan kelas jalan provinsi dan kabupaten/kota, serta penguatan penyelenggaraan jalan khusus logistik, peningkatan daya saing distribusi logistik melalui multimoda angkutan barang.

    Kemudian, pemberian insentif dan disentif untuk badan usaha angkutan barang dan pengelola kawasan industri yang masing-masing menerapkan atau melanggar zero ODOL; kajian pengukuran dampak penerapan kebijakan zero ODOL terhadap perekonomian, biaya logistik, dan inflasi.

    Penguatan aspek ketenagakerjaan dengan standar kerja yang layak bagi pengemudi, terutama mengenai upah, jaminan sosial, dan perlindungan hukum; deregulasi dan harmonisasi peraturan untuk meningkatkan efektivitas penegakan zero ODOL.

    Serta, kelembagaan pembentukan komite kerja untuk mendorong percepatan pengembangan konektivitas nasional untuk percepatan pengembangan konektivitas dan logistik di seluruh moda transportasi.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mau Diberantas Tahun 2027, Jumlah Truk ODOL di Indonesia Mengagetkan

    Mau Diberantas Tahun 2027, Jumlah Truk ODOL di Indonesia Mengagetkan

    Jakarta

    Pemerintah dan DPR RI sepakat menghapus keberadaan truk ODOL (Over Dimension Over Loading) pada 2027 demi transportasi logistik yang lebih efisien dan aman. Jumlah truk yang kelebihan muatan dan kelebihan dimensi di Indonesia cukup bikin kaget.

    “ODOL menjadi salah satu gambaran buram tentang wajah kondisi angkutan logistik nasional dewasa ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan truk menjadi salah satu penyebab fatalitas tertinggi kedua setelah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor,” ungkap pengamat transportasi Djoko Setijowarno.

    Kata Djoko, keberadaan ODOL tidak hanya memberikan kerugian materi yang tinggi akibat fatalitas yang tinggi, akan tetapi keberadaan ODOL juga memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi infrastruktur jalan Indonesia.

    “Kondisi ini turut mendorong pemborosan anggaran negara. Data perhitungan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2025, indikasi pemborosan keuangan negara akibat kerusakan jalan pada jalan nasional, provinsi dan kab/kota sebesar Rp 47,43 triliun setiap tahun,” sambung Djoko.

    Lalu dari sisi ekonomi, ODOL selain tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN, juga membuat lemahnya daya saing nasional, termasuk salah satu penyebab menurunnya daya saing infrastruktur.

    Jumlah Truk ODOL di Indonesia

    Korlantas Polri sedang mendata kendaraan truk. Hingga 24 Juli 2025, jenis kepemilikan truk oleh pribadi sebanyak 63.786 kendaraan (63%) yang kelebihan dimensi 13.261 kendaraan (21%) dan kelebihan muatan 50.525 kendaraan (79%). Sementara kepemilikan kendaraan truk oleh perusahaan sebanyak 37.822 kendaraan (37%) yang terbagi 12.259 kendaraan (32%) kelebihan dimensi dan 25.563 kendaraan (68%) kelebihan muatan.

    Sumber dari PT Jasa Marga (2022), panjang jalan nasional di seluruh Indonesia yang dimanfaatkan oleh perusahaan tambang, kebun, dan industri sepanjang 16.839 km (35% dari total jalan nasional 47.604 km). Sebanyak 63% angkutan barang yang tergolong ODOL (perusahaan tambang/kebun dan industri).

    Mendasarkan data BPS Tahun 2023, persebaran kendaraan angkutan barang di Indonesia, jumlah truk di Indonesia tahun 2023 sebanyak 6.091.822 truk meningkat dari tahun sebelumnya dan sebanyak 49,3% berada di Pulau Jawa (576.948 truk berada di Jawa Barat, 782.173 truk di Jawa Timur, 667.136 truk di Jawa Tengah). Sementara di daerah lain sebanyak 316.652 truk di Sumatera Utara, 234.825 truk di Riau, 341.150 truk di Sumatera Selatan, 232.077 truk di Sulawesi Selatan.

    Bersumber data Polri yang diolah oleh Bappenas (2025), kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang sebesar 10,5% merupakan kedua tertinggi secara nasional. Peringkat pertama sepeda motor 77,4%. Selanjutnya, angkutan orang 8%, mobil penumpang 2,4%, kendaraan tidak bermotor 1,5% dan kendaraan listrik 0,2%. Angka kecelakaan dan jumlah korban terus bertambah setiap tahunnya dan akan berdampak pada kerugian ekonomi.

    (lua/riar)