Kementrian Lembaga: Bappenas

  • Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Sri Mulyani Indrawati akhirnya menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Dia resmi digeser dari posisi yang dipegangnya secara berturut-turut sejak Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016.

    Sejatinya ekonom senior perempuan lulusan Indonesia hingga Amerika Serikat (AS) itu sudah mengemban tugas sebagai Menkeu pada tiga rezim presiden dan lima kabinet. Perempuan akrab disapa Ani itu pertama kali mengemban amanah sebagai Menkeu pada 2005 atau Kabinet Indonesia Bersatu pada pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

    Saat itu, dia menggantikan Jusuf Anwar. Sebelumnya, dia lebih dulu dilantik sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

    Sri Mulyani lalu melanjutkan kiprahnya sebagai Bendahara Negara pada 2009 ketika SBY kembali menjadi presiden untuk memimpin Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, jabatan itu tidak lama dipegangnya. Umur jabatan itu hanya sampai pertengahan 2010 ketika akhirnya dia memilih untuk mengambil pekerjaan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. 

    Jabatan Menkeu lalu diduduki oleh tiga orang ekonom pria, yaitu Agus Martowardojo dan Chatib Basri pada sisa periode pemerintahan SBY, kemudian Bambang Brodjonegoro. Bambang menjadi Menkeu pertama yang ditunjuk Presiden Jokowi pada 2014.

    Namun, hanya sampai sekitar 2016, jabatan Menkeu kembali ke pangkuan Sri Mulyani. Jokowi memanggilnya untuk kembali ke Indonesia dan menjadi Bendahara Negara pada sisa periode Kabinet Kerja yakni 2016-2019, kemudian lanjut ke Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. 

    Isu terkait dengan rencana mundurnya Sri Mulyani dari jabatan itu mulai berembus di akhir pemerintahan Jokowi. Isu penyaluran bantuan sosial (bansos) besar-besaran di era Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 turut menyeretnya. 

    Bahkan, pada April 2024, dia dan tiga orang lainnya termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dihadirkan pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), yang mana akhirnya pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming secara berkekuatan hukum tetap dinyatakan memenangkan kontestasi. 

    Akan tetapi, pada akhirnya dia tetap menuntaskan jabatannya sebagai Menkeu dalam satu periode penuh. Apabila ditarik mundur, baru pada Kabinet Indonesia Maju Sri Mulyani tuntas menjabat Menkeu dari awal sampai akhir periode. 

    “Hari ini adalah titik di mana saya mengakhiri tugas, dari kabinet di bawah pimpinan Pak Jokowi dan wakil Ma’ruf Amin,” lanjutnya dengan suara bergetar saat membacakan ucapan perpisahan di DPR ketika pengesahan APBN 2025, September 2024 lalu. 

    Saat hampir diyakini tak akan melanjutkan jabatannya, Sri Mulyani ternyata menjadi salah satu tokoh yang dipanggil Prabowo, saat itu masih Presiden Terpilih, ke Kertanegara IV untuk ditawarkan menjadi Menkeu yakni 14 Oktober 2024. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat melayat ke rumah duka Kwik Kian Gie, di RSPAD Jakarta, Selasa (29/7/2025)/BISNIS-Annisa Nurul Amara

    Enam hari setelahnya, Sri Mulyani diumumkan sebagai Menkeu Kabinet Merah Putih pada malam hari setelah Prabowo mengucapkan sumpah jabatan di DPR pada 20 Oktober 2024. Dia kemudian kembali dilantik memimpin Kemenkeu pada 21 Oktober 2024. 

    Seperti halnya periode jabatannya di Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi itu tak lama dipegang oleh Sri Mulyani. Dia akhirnya digeser oleh Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, rekannya di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

    Tantangan Ekonomi

    Selama di pemerintahan, Sri Mulyani pernah juga memegang jabatan sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas, Plt. Menko Perekonomian serta Ketua KSSK. 

    Doktor lulusan AS itu turut menghadapi berbagai tantangan perekonomian, utamanya krisis akibat bencana alam. Saat menjadi menteri, dia ikut menangani bencana alam yakni tsunami di Aceh 2004 (sebagai Menteri PPN/Bappenas), gempa Yogyakarta 2006 hingga likuifaksi di Palu pada 2018. 

    Bencana terbesar yang pernah dihadapinya sebagai Menkeu adalah pandemi Covid-19. Tingkat penyebaran dan kematian akibat virus tersebut utamanya tinggi pada 2020, dan lanjut saat merebaknya virus Corona varian Delta pada 2021. 

    Hal itu turut berdampak pada pengelolaan fiskal. Dampak terdalam adalah pada tahun pertama pagebluk yakni 2020. Dengan melonjaknya kebutuhan belanja pemerintah untuk penanggulangan pandemi, pemerintah memutuskan untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif dan menetapkan defisit APBN 2020 melampaui batas UU yakni 3% terhadap PDB. 

    Realisasinya, pada 2020 APBN mengalami defisit sampai 6,09% terhadap PDB. Belanja diutamakan untuk penanganan Covid-19, bansos hingga pemulihan ekonomi nasional. 

    Pada saat itu juga Sri Mulyani atas restu Presiden Jokowi menggaet Bank Indonesia (BI) untuk bersama-sama menanggung beban biaya fiskal atau burden sharing. Bank sentral saat itu berperan untuk membeli SBN pemerintah pada pasar primer. Kebijakan itu pun dilanjutkan setidaknya melalui pasar sekunder sampai dengan pemerintahan Prabowo saat ini. 

    Defisit pun menyusut menjadi 4,65% terhadap PDB pada 2021. Setelahnya, sampai dengan outlook 2025 sebesar 2,78%, defisit kini terjaga pada level di bawah 3% PDB.  

    Perempuan yang pernah menjabat di Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) itu juga pernah menghadapi krisis keuangan global pada 2008, yang dipicu oleh subprime mortgage crisis di AS. 

    Kenaikan Pajak

    Kendati kerap menorehkan prestasi dan pengakuan di level internasional, kebijakan-kebijakan Sri Mulyani tak selalu disambut positif. Beberapa yang disambut positif yakni saat program pengampunan pajak atau tax amnesty pada periode pertama dan kedua pemerintahan Jokowi. 

    Tax amnesty ditujukan untuk mengincar pajak konglomerat yang memiliki tunggakan besar. Kebijakan itu lalu dilanjutkan kedua kalinya usai pandemi melandai yakni 2022, dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Hal itu berbarengan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Spanduk iklan program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016. / dok. Kominfo

    Namun demikian, dalam catatan Bisnis, realisasinya masih jauh panggang dari api. Dari tingkat partisipasi, wajib pajak (WP) yang ikut tax amnesty jilid pertama hanya kurang dari 1 juta WP. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta. 

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Kenaikan pajak pun turut membayangi kiprah Sri Mulyani sebagai pemegang kuasa otoritas fiskal. Pada 2023, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi dikerek dari 10% menjadi 11%. Kenaikan itu awalnya ingin dilanjutkan menjadi 12% pada awal 2025, tetapi batal usai masyarakat ramai-ramai menolaknya. 

    Pemerintah kemudian mengakalinya dengan menerapkan tarif PPN 12% hanya pada barang terkategorikan mewah atau dalam daftar kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 

    Tidak hanya pajak yang dipungut oleh pusat, kenaikan pajak di daerah juga terjadi utamanya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PPB-P2) oleh pemda.

    Dalam catatan Kemendagri, penaikan tarif PBB-P2 adalah cara pemda untuk mengerek pendapatan asli daerah (PAD), yang wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU itu juga menjadi warisan Sri Mulyani yang disahkan pada 2022 lalu 

    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut ada lima daerah yang menerapkan kebijakan kenaikan PBB-P2 pada 2025, di antaranya Pati dan Jepara yang kini sudah dibatalkan. Namun, dia juga mengungkap ada 15 pemda lain yang mengerek tarif PBB-P2 di atas 100% kendati pada periode 2022-2024, atau sebelum kebijakan efisiensi. 

    “Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024,” terang Tito di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Kenaikan pajak ini pun menjadi salah satu hal yang disoroti publik terhadap Sri Mulyani belakangan ini. Ditambah lagi dengan kejadian penjarahan di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, 31 Agustus dini hari lalu, hal itu semakin memicu berembusnya kabar Sri Mulyani ingin mengundurkan diri dari jabatannya. 

    Tanggapan Ahli

    Para ekonom maupun analis memberikan respons beragam. Center of Law and Economic Studies (Celios) blak-blakan menyebut berita penggantian kursi Menkeu dari Sri Mulyani adalah berita positif bagi ekonomi. 

    “Tuntutan untuk mengganti Sri Mulyani sudah lama diserukan oleh berbagai organisasi think tank dan masyarakat sipil sebagai bentuk kritik atas ketidakmampuan Menteri Keuangan dalam mendorong kebijakan pajak yang berkeadilan, pengelolaan belanja yang hati-hati, dan naiknya beban utang yang kian mempersempit ruang fiskal,” terang Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Senin (9/9/2025). 

    Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan memandang bahwa figur Sri Mulyani selama ini diakui dan dipercaya terutama oleh dunia usaha dan lembaga internasional sebagai pejabat yang berhasil menjaga kebijakan fiskal secara stabil, prudent, dan sustainable. 

    Dengan demikian, terangnya, Indonesia masih merupakan salah satu dari negara yang dipercaya mengelola ekonominya dengan baik dan masih menarik untuk investasi. 

    “Walau dalam beberapa tahun terakhir terutama di masa kedua Jokowi banyak melakukan akomodasi terhadap keinginan Presiden sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya utang publik dan menurunnya kredibilitas kebijakan fiskal sendiri,” paparnya. 

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Proyek Giant Sea Wall Butuh Rp658 Triliun, Pakar Usul Pendanaan Campuran

    Proyek Giant Sea Wall Butuh Rp658 Triliun, Pakar Usul Pendanaan Campuran

    Bisnis.com, JAKARTA – Pembangunan infrastruktur Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa di utara Jakarta diperkirakan membutuhkan dana sebesar US$40-US$42 miliar atau setara Rp658-Rp691 triliun. Butuh skema pendanaan inovatif untuk merealisasikannya. 

    Peneliti Universitas Sebelas Maret Anto Prabowo mengatakan dengan kebutuhan dana ratusan triliun itu mustahil untuk ditanggung APBN sepenuhnya, mengingat prioritas lain pada pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur nasional.

    “Solusinya adalah pembiayaan campuran [blended finance], memadukan dana publik, swasta, dan investor global melalui instrumen keuangan inovatif,” kata Anto dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (7/9/2025). 

    Berdasarkan penelitiannya bersama peneliti dari UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School-University of Glasgow, Anto mengungkap sejumlah skema pembiayaan Jakarta Great Sea Wall yang dapat diterapkan. 

    Pertama, instrumen keuangan berupa green sukuk yang diterapkan sebagai obligasi syariah hijau untuk proyek ramah lingkungan. Pendanaan dari green sukuk ini berpotensi memiliki nilai mobilisasi hingga US$1-2 miliar per tahun. 

    Obligas hijau juga dinilai patuh terhadap prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) yang akan menarik investor asal Timur Tengah dan global. 

    Kedua, pendanaan dari Asset Value Protection (AVP) yang dapat menjamin nilai aset tidak merosot akibat banjir dan subsidensi dengan potensi dana institusional (pensiun, sovereign fund). Instrumen ini sejenis asuransi nilai aset jangka panjang. 

    Ketiga, skema pembiayaan Viability Gap Funding (VGF) untuk menutup kesenjanagan pembiayaan untuk komponen sosial dan ekologis dengan potensi nilai mobilisasi US$500 juta-US$1 miliar yang dapat bersumber dari hibah APBN untuk relokasi dan rehabilitasi mangrove. 

    Keempat, instrumen Asset-Backed Securities (ABS) sebagai sekuritisasi dari arus kas reklamasi, pelabuhan, pajak properti dengan potensi nilai US$5-10 miliar yang dapat memberikan upfront capital dari revenue masa depan. 

    Kelima, Public-Private Partnership (PPP) berupa konsorsium swasta untuk konstruksi dan pengelolaan dengan nilai US$15 miliar, namun terdapat risiko terdistribusi antara publik dan swasta. 

    Para peneliti menegaskan bahwa GSW adalah proyek multidimensi yang hanya bisa berhasil dengan tata kelola kolaboratif. 

    “GSW tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Inovasi keuangan seperti Green Sukuk, Asset Value Protection, dan ABS menjadikan proyek ini bankable sekaligus inklusif. Namun, tanpa kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan regulator, investor tidak akan masuk,” ujarnya.

    Tak hanya itu, transparansi, tata kelola ESG, dan safeguards sosial-lingkungan adalah syarat mutlak agar proyek ini tidak hanya besar, tetapi juga adil. 

    Di samping itu, dia menilai proyek sebesar ini juga menuntut tata kelola polisentris yang melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, OJK, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF), serta Pemprov DKI Jakarta.

    Namun, Anto juga mengingatkan bahwa proyek sebesar ini tidak lepas dari risiko fiskal yang dapat membengkakan biaya, beban VGF yang berlebihan. Bagi investor, terdapat ketidakpastian regulasi, potensi elite capture, lemahnya governance.

    Dari sisi lingkungan, terdapat potensi kerusakan ekosistem laut, hilangnya biodiversitas dan secara sosial yang akan memicu relokasi komunitas pesisir tanpa kompensasi memadai dapat memicu konflik.

    “Karena itu, safeguards sosial dan lingkungan harus menjadi bagian integral, bukan pelengkap. Relokasi berbasis hak, kompensasi yang adil, serta rehabilitasi mangrove wajib dijalankan secara transparan dan akuntabel,” pungkasnya. 

    Tak dipungkiri, proyek GSW menjadi kebutuhan jika melihat Jakarta saat ini yang menghadapi kondisi unik yang disebut double exposure. Dari bawah, tanah Jakarta turun 10–25 cm per tahun akibat ekstraksi air tanah. Dari atas, kenaikan permukaan laut global memperburuk risiko banjir.

    Jika dibiarkan, sebagian besar Jakarta Utara dapat tenggelam pada 2050. Kerugian ekonomi dari banjir rob saat ini sudah menembus USD 300 juta per tahun dan berpotensi meningkat dua kali lipat dalam dua dekade. 

    Terlebih, Jakarta menyumbang 17% PDB nasional, stabilitas ekonomi Indonesia sangat terikat pada keberhasilan melindungi kota ini.

    Sebagai informasi, GSW dirancang sebagai sistem adaptasi pesisir terpadu, mencakup tanggul laut lepas pantai dan daratan untuk menahan banjir rob dan intrusi air laut, reservoir air tawar demi ketahanan pasokan air bersih.

    Tak hanya itu, proyek raksasa ini juga disebut akan meningkatkan drainase kota untuk mengurangi banjir dalam, ruang biru publik dan rehabilitasi mangrove sebagai solusi ekologi, dan zona ekonomi baru, perumahan, dan kawasan bisnis melalui reklamasi yang terkendali.

    “Dengan desain ini, GSW tidak hanya benteng pertahanan, tetapi juga motor transformasi perkotaan—mengubah kawasan pesisir yang rentan menjadi ruang hidup yang produktif, modern, dan berkelanjutan,” tuturnya. 

  • Kemenhub Dapat Tambahan Anggaran Tahun 2025 Sebesar Rp2,74 Triliun

    Kemenhub Dapat Tambahan Anggaran Tahun 2025 Sebesar Rp2,74 Triliun

    JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendapat tambahan pagu anggaran senilai Rp2,74 triliun untuk tahun anggaran 2025.

    Dengan penambahan ini, pagu efektif Kemenhub menjadi Rp29,50 triliun.

    Penambahan anggaran tersebut diputuskan dalam rapat kerja bersama Kementerian Perhubungan dengan Komisi V DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 4 September.

    Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi bilang penambahan anggaran tersebut berasal dari relaksasi blokir efisiensi senilai Rp1,62 triliun, ambang batas kinerja badan layanan umum (BLU) Rp62,90 miliar dan penambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp1,06 triliun.

    “Sehingga pagu efektif yang telah disetujui DPR RI pada tanggal 7 Juli 2025 sebesar Rp26,76 triliun terdapat penambahan anggaran sebesar Rp2,74 triliun. Sehingga postur anggaran Kementerian Perhubungan tahun anggaran 2025 yang saat ini sedang dalam proses persetujuan DPR RI akan menjadi sebesar Rp29,51 triliun,” ujarnya.

    Dudy juga menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kemenhub tahun 2026. Dia mengatakan untuk anggaran tahun 2026, jumlah pagu indikatif Kemenhub sebesar Rp24,40 triliun.

    “Selanjutnya, berdasarkan surat bersama Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Bappenas tanggal 24 Juli 2025, pagu anggaran Kemenhub 2026 sebesar Rp28.489.404.712.000,” ujarnya.

    Dari total pagu anggaran Kemenhub 2026, kata dia, sebesar Rp4,84 triliun akan digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang operasional Rp3,05 triliun dan berupa belanja nonoperasional Rp20,59 triliun.

    Adapun rincian sumber pendanaan berasal dari rupiah murni sebesar Rp19,7 triliun, PNBP Rp3,8 triliun, BLU Rp2,22 triliun dan pinjaman luar negeri (PLN) senilai Rp2,76 triliun.

    Lalu berdasarkan rincian program, sebesar Rp9,77 triliun berupa dukungan manajemen, Rp1,83 triliun untuk pendidikan dan vokasi, serta Rp16,88 triliun untuk infrastruktur konektivitas.

    Sementara itu, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menyampaikan dukungan pada setiap percepatan program kerja Kementerian/Lembaga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

    “Akhir tahun biasanya cuaca kurang baik, tantangan di lapangan pasti besar. Sementara di sisi lain kita berharap APBN memberikan daya dorong untuk pertumbuhan ekonomi di masyarakat,” ujarnya.

  • Minuman Berpemanis Hasil Pabrikan akan Kena Cukai: Chatime, Sirop hingga Bubuk Saset Aman?

    Minuman Berpemanis Hasil Pabrikan akan Kena Cukai: Chatime, Sirop hingga Bubuk Saset Aman?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menargetkan pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2026. 

    Produk MBDK yang berpeluang dikenakan pita cukai adalah minuman yang diproduksi dalam pabrik (pabrikasi), kendati saat ini kepastian tarifnya masih belum jelas.

    Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC) Kemenkeu menyatakan bahwa produk MBDK yang akan diatur dalam RAPBN 2026 itu adalah yang merupakan hasil pabrikasi. 

    Sementara itu, minuman dalam kemasan yang dijual melalui gerai-gerai terpisah dan dipesan terlebih dahulu oleh konsumen tidak terkena cukai. 

    “Kalau yang kayak, apa itu Chatime segala macam itu [enggak],” terang Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto kepada awak media di kantor Bea Cukai Pusat, Jakarta, Kamis (4/9/2025). 

    Kemudian, minuman-minuman berpemanis pabrikasi dalam bentuk sirop kental maupun bubuk saset disebut bakal dikenakan cukai apabila nantinya diputuskan masuk dalam UU APBN 2026 dan disahkan di DPR.

    Cara mengukur kadar pemanisnya tetap merujuk pada kandungan gula dalam mililiter ketika sirup kental atau bubuk itu dilarutkan dalam air. 

    “Kadarnya ya nanti kalau dia diencerkan sesuai dengan takaran, berapa? Itu loh. Ya itu itu kalau jadi [disahkan dalam UU APBN], bisa dikenakan,” paparnya. 

    Meski demikian, Nirwala menyebut regulasi terkait dengan pengenaan cukai MBDK belum siap. Dia mengatakan, pemerintah ingin nantinya pengenaan cukai MBDK yang sejatinya sudah diusulkan sekitar delapan tahun lalu itu bisa diaplikasikan di lapangan. 

    Pengaturan terkait dengan ambang batas [threshold] kadar gula tambahannya objek cukainya harus dibahas dengan matang. Bahkan, kendati nantinya sudah disahkan dalam bentuk UU APBN, pengenaan cukai MBDK itu harus dituangkan lagi ke dalam aturan turunan berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri Keuangan (PMK). 

    “Jadi kan definisi cukainya itu apa harus jelas, objeknya, terus ada yang dibebaskan [dari pita cukai], ada yang tidak dipungut,” jelasnya.

    Sebelumnya, pemerintah dan Komisi XI DPR telah menyepakati asumsi dasar makro dan postur RAPBN 2026, Jumat (22/8/2025). Pada rancangan yang disetujui pihak eksekutif dan legislatif itu, penerimaan negara ditargetkan juga berasal dari cukai MBDK. 

    Dalam kesimpulan rapat pengambilan keputusan itu, Ketua Komisi XI Misbakhun menyebut pemberlakuan cukai MBDK harus diterapkan pada APBN 2026 sejalan dengan kenaikan target penerimaan kepabeanan dan cukai. 

    “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujarnya di Gedung DPR. 

    Untuk diketahui, target penerimaan kepabeanan dan cukai naik menjadi Rp334,3 triliun pada RAPBN 2026. Itu akan menopang target pendapatan negara sebesar Rp3.786,5 triliun. 

    Selain bea cukai, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, PNBP Rp455 triliun dan Hibah Rp0,7 triliun. 

    Rapat itu dihadiri oleh Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rohmat Pambudy, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar. 

    Kemudian, Misbakhun selalu Ketua Komisi XI DPR membacakan kesimpulan rapat panja yang meliputi asumsi dasar makro hingga postur APBN. Dia lalu bertanya ke Komisi XI DPR apabila menyetujui kesimpulan rapat sore itu, di mana anggota parlemen menyetujuinya. 

    Kemudian, pemerintah lalu juga menyetujui kesimpulan tersebut.

    “Setuju pak,” terang Sri Mulyani. 

    “Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui,” terang Misbakhun.

  • Titiek Soeharto Minta Stok Beras Bulog Segera Disalurkan, Ini Alasannya

    Titiek Soeharto Minta Stok Beras Bulog Segera Disalurkan, Ini Alasannya

    Jakarta

    Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto meminta agar Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi untuk mempercepat penyaluran stok beras di Bulog. Hal itu perlu dilakukan supaya stok beras di Bulog tidak rusak sehingga memicu kerugian.

    Titiek mengingatkan Arief agar stok beras di Bulog jangan sampai disimpan lebih dari satu tahun. Menurutnya, hal itu dapat berpotensi mengalami kerugian. Sebagai informasi, Bapanas berwenang memberikan penugasan untuk menyalurkan beras yang disimpan di gudang Bulog.

    “Saya sudah berulang kali dari bulan Februari stok beras di Bulog harus berputar, jangan disimpan apalagi lebih dari 1 tahun. Kalau nanti harus discrap kan kita rugi, 100 ribu ton beras aja (yang rusak) kita rugi Rp 1,2 triliun,” kata Titiek dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Bapanas, Kamis (4/9/2025)

    Lalu, Titiek meminta agar Bapanas segera berkoordinasi dengan Bulog. Ia mengingatkan penyimpanan stok beras ini jangan hanya demi cadangan beras yang melimpah. “Tolong ini dikoordinasikan jangan lah kita simpan hanya untuk supaya kita bisa cadangan beras yang tahun ini, tapi kita harus buang beras. Bapak jangan bilang mengusulkan-mengusulkan, bapak punya wewenang,” jelas Titiek.

    Titiek juga menyoroti agar Bapanas mempunyai target waktu swasembada pangan segera terwujud. Tidak hanya untuk komoditas beras saja, tapi juga komoditas lain yang masih mengimpor, seperti daging, bawang putih, dan kedelai.

    “Presiden ini kan keinginannya ada swasembada tidak hanya beras, Bapanas punya perencanaan kapan mau swasembada pangan, nggak bisa never, kalau never gimana? cita-cita Presiden tidak terpenuhi, Bapanas bappenas dibicarakan kapan kita bisa swasembada daging, bawang putih, kedelai. Kita ini bangsa pemakan tempe masa kedelai aja impor terus sampai seumur hidup kan nggak bisa ya tolong dipikirkan lagi,” terang Titiek.

    Anggota Komisi IV DPR RI fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Riyono juga menyoroti Bapanas yang menyebut akan mempercepat penyaluran beras Bulog. Menurutnya, pernyataan ini telah didengarnya berulang kali.

    “Cadangan beras Bulog akan dipercepat, ini sudah kedua sampai ketiga kali. Dan tadi disampaikan sampai ditahan dan umurnya lebih setahun 100 ribu ton beras di Bulog potensi kerugian Rp 1,2 triliun. Kalimat dipercepat kapan? Siapa yang menahan keputusan dan bapak? Saya kepala bapanas saya perintahkan untuk dikeluarkan, siapa yang menahan itu? Saya harap Kepala Bapanas menghindari kerugian Rp 1,2 triliun,” ujarnya.

    Menanggapi itu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menjelaskan selama dua bulan terakhir stok beras Bulog telah dikeluarkan untuk bantuan pangan dan SPHP. Bantuan pangan digelontorkan sebesar 361 ribu ton dan penyaluran SPHP telah mencapai 120 ribu ton.

    “Artinya ada percepatan karena anggaran kita baru keluar bulan Juli. Makanya saya sampaikan mudah-mudahan 2026 tidak seperti ini, karena setiap mau melakukan action harus mengajukan lagi, menunggu lagi,” kata Arief.

    (acd/acd)

  • Anggaran Bappenas 2026 Rp 2,59 T, Paling Besar buat Belanja Pegawai

    Anggaran Bappenas 2026 Rp 2,59 T, Paling Besar buat Belanja Pegawai

    Jakarta

    Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mendapat pagu anggaran Rp 2,59 triliun di tahun 2026. Jumlah ini mendekati usulan semula Rp 2,78 triliun.

    Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menyebut anggaran tersebut akan terbagi ke dua program utama, yakni program dukungan manajemen sekitar Rp 1,53 triliun dan program perencanaan pembangunan nasional Rp 1,07 triliun.

    “Pagu anggaran 2026 sebesar Rp 2,59 triliun. Anggaran ini terbagi menjadi dua program utama yaitu program perencanaan pembangunan nasional sebesar Rp 1,07 triliun dan program dukungan manajemen sebesar Rp 1,53 triliun,” kata Rachmat dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (3/9/2025).

    Berdasarkan bahan paparan, program dukungan manajemen mencakup pembayaran gaji dan tunjangan kinerja Rp 619,4 miliar, sewa gedung Rp 330 miliar, operasi pegawai Rp 36 miliar, serta dukungan pelayanan Rp 542,3 miliar.

    Sementara itu, anggaran program perencanaan pembangunan nasional akan digunakan untuk berbagai tugas Bappenas, mulai dari pengawalan percepatan pertumbuhan ekonomi, koordinasi pencapaian SDGs, hingga program hasil terbaik cepat (PHTC) Presiden Prabowo Subianto seperti makan bergizi, pemeriksaan kesehatan, dan pembangunan sekolah unggul.

    “Anggaran ini juga untuk membiayai fungsi satu data SDGs serta pengawalan program hasil terbaik cepat, termasuk kartu sejahtera,” jelas Rachmat.

    Ia menambahkan, Bappenas bakal terus mendukung trisula pembangunan Presiden Prabowo, yakni penurunan kemiskinan, pengembangan SDM berkualitas, dan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan.

    “Penurunan jumlah orang miskin adalah salah satu tugas penting. Mulai dari penyusunan tata kelola data, peta jalan menuju Indonesia sejahtera, hingga grand design graduasi kemiskinan menuju kesejahteraan. Juga termasuk digitalisasi pendidikan,” tegasnya.
    Untuk pengembangan SDM, Rachmat menyebut Bappenas menyiapkan peta jalan pendidikan, kerangka kebijakan riset nasional, hingga peta pendanaan dan pemenuhan gizi nasional.

    (aid/rrd)

  • Pemerintah Tegaskan Komitmen APBN untuk Daerah Tak Hanya lewat TKD

    Pemerintah Tegaskan Komitmen APBN untuk Daerah Tak Hanya lewat TKD

    JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menepis tudingan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tidak mementingkan pembangunan daerah.

    Dia menekankan APBN tetap berkomitmen dalam pembangunan daerah dan tidak semata-mata tercermin dari nilai transfer ke daerah (TKD).

    Sri Mulyani menjelaskan berbagai belanja pemerintah pusat juga langsung memberikan manfaat kepada masyarakat di berbagai wilayah.

    “Belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.376,9 triliun itu yang menikmati daerah. Masyarakatnya, termasuk pemerintah daerahnya, karena ini adalah program-program penting di daerah untuk bisa melayani dan memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah,” tuturnya dalam Rapat Kerja Komite IV Bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Gubernur BI, Selasa, 2 September.

    Dia menjelaskan, sejumlah program besar yang langsung menyasar masyarakat daerah seperti, Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp28,7 triliun yang menjangkau 10 juta keluarga miskin.

    Berikutnya bantuan pendidikan juga tak kalah besar, seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan KIP Kuliah dengan anggaran Rp63,6 triliun, serta bantuan sembako senilai Rp43,8 triliun untuk 18 juta keluarga penerima manfaat.

    Selanjutnya di bidang kesehatan, anggaran APBN sebesar Rp69 triliun digunakan untuk mendukung jaminan kesehatan masyarakat miskin dan pekerja penerima upah, termasuk pemeriksaan kesehatan gratis senilai Rp7,3 triliun.

    Pemerintah juga mengalokasikan Rp22,5 triliun untuk revitalisasi sekolah dan madrasah, serta Rp27,9 triliun bagi program sekolah rakyat dan sekolah unggulan.

    Selain bantuan sosial dan pendidikan, pembangunan infrastruktur di daerah juga menjadi prioritas.

    Dana sebesar Rp24,3 triliun dialokasikan untuk pemeliharaan jalan dan jembatan, Rp48,7 triliun untuk pembangunan perumahan, Rp12 triliun untuk bendungan dan irigasi, serta Rp6,6 triliun bagi pengembangan kampung nelayan dan industri pergaraman nasional.

    Selanjutnya, program kesehatan ibu dan anak melalui MBG mendapatkan alokasi Rp335 triliun.

    Di sisi lain, tunjangan profesi untuk guru dan dosen non-PNS diberikan sebesar Rp63,5 triliun, serta dukungan ketahanan pangan melalui Bulog mencapai Rp28,5 triliun.

    Sementara untuk subsidi, pemerintah menyiapkan Rp381,3 triliun untuk energi dan kompensasi, serta tetap memberikan subsidi non-energi seperti pupuk dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi petani dan pelaku UMKM di daerah.

    Sri Mulyani juga menambahkan penguatan pembangunan daerah dilakukan melalui Instruksi Presiden (Inpres) tahun 2025–2026, dengan alokasi anggaran sebesar Rp13,6 triliun.

    Program tersebut mencakup pengoptimalan lahan di 13 provinsi, rehabilitasi jaringan irigasi, hingga pembangunan jalan daerah dengan anggaran Rp10,2 triliun yang tersebar di 37 provinsi.

    “Nanti pelaksanaannya pasti kementerian lembaga sesuai instruksi presiden harus terus bersinergi koordinasi komunikasi dengan daerah. Ini supaya tidak menikmati persepsi seolah-olah anggaran untuk daerah dipotong atau diturunkan karena uang yang ke daerah itu sebetulnya meningkat,” pungkasnya.

  • Dorong Swasembada Pangan, BRI Dukung Program Sapi Merah Putih

    Dorong Swasembada Pangan, BRI Dukung Program Sapi Merah Putih

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI kembali menegaskan komitmennya dalam mendukung swasembada pangan nasional melalui partisipasi dalam Program Sapi Merah Putih.

    Program Sapi Merah Putih merupakan program peningkatan genetik yang dirancang untuk memperkuat industri sapi perah Indonesia dengan fokus pada sistem peternakan rakyat.

    Peluncuran Program Sapi Merah Putih diselenggarakan pada pameran flora dan fauna atau Flona 2025 di Lapangan Banteng, Jakarta, pada Jumat (29/08). Hadir dalam acara tersebut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI Rachmat Pambudy, Direktur Utama BRI Hery Gunardi serta Direktur Network & Retail Funding BRI Aquarius Rudianto.

    Sebagai informasi, meningkatnya kebutuhan susu nasional menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pada tahun 2023, kebutuhan susu mencapai 4,53 juta ton, sementara produksi dalam negeri baru sekitar 18,54% atau 0,84 juta ton. Kekurangan tersebut dipenuhi melalui impor sebesar 3,7 juta ton.

    Untuk mengatasi kebutuhan impor tersebut, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas RI menggandeng PT Moosa Genetika Farmindo (Moosa Genetics) dan IPB menggelar program pengembangan sapi perah unggul yang dinamakan Sapi Merah Putih.

    Direktur Utama BRI, Hery Gunardi mengungkapkan bahwa dukungan BRI terhadap Program Sapi Merah Putih sejalan dengan misi BRI untuk hadir di tengah masyarakat, terutama dalam mendukung sektor pangan dan agribisnis.

    “Sebagai bank yang memiliki fokus pada pemberdayaan segmen UMKM, BRI turut mendorong keberhasilan Program Sapi Merah Putih melalui pembiayaan, pendampingan, serta penguatan ekosistem. Kami percaya, program ini akan berkontribusi besar dalam menciptakan ketahanan pangan, membuka lapangan kerja, dan mengurangi impor sapi,” jelasnya, dikutip Sabtu, (30/8/2025).

    Dukungan BRI diwujudkan dalam bentuk fasilitas transaksi keuangan, pembiayaan untuk modal kerja dan investasi bagi PT Moosa dan mitra bisnisnya. PT Moosa merupakan perusahaan bioteknologi yang berfokus pada peningkatan genetik sapi lokal dan sapi perah melalui teknologi reproduksi hewan, serta molekuler modern.

    Dengan komitmen kuat untuk segmen UMKM serta jaringan kerja BRI yang tersebar di seluruh pelosok negeri, perseroan optimis kontribusi nyata ini akan turut memperkuat basis produksi sapi lokal serta mengurangi impor susu.

    “Kami berharap Program Sapi Merah Putih tidak hanya menjadi simbol swasembada pangan, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan di pedesaan. BRI akan terus berada di garda depan mendukung petani dan peternak Indonesia untuk tumbuh, serta turut menggerakkan roda ekonomi kerakyatan,” pungkas Hery Gunardi.

    (dpu/dpu)

    [Gambas:Video CNBC]