Kementrian Lembaga: Bapenda

  • 21 Olahraga Terkena Pajak Hiburan di Jakarta, Mengapa Golf Tidak?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Juli 2025

    21 Olahraga Terkena Pajak Hiburan di Jakarta, Mengapa Golf Tidak? Megapolitan 4 Juli 2025

    21 Olahraga Terkena Pajak Hiburan di Jakarta, Mengapa Golf Tidak?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur Jakarta, Yustinus Prastowo, mengungkap alasan olahraga golf tidak dikenakan rencana
    pajak hiburan
    di Jakarta. 
    Yustinus menerangkan, sebelumnya golf menjadi salah satu cabang olahraga yang dikenakan pajak hiburan sekaligus pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, pada prinsipnya, pajak tak bisa berlaku ganda terhadap objek yang sama.
    Oleh sebab itu, pajak hiburan golf digugat oleh asosiasi pemilik lapangan golf hingga terbit Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2012 yang menyatakan layanan lapangan dan peralatan golf bukan objek pajak hiburan.
    Atas putusan tersebut, saat ini olahraga golf hanya dikenai pengenaan PPN sebesar 11 persen.
    “Prinsipnya tidak boleh pajak berganda karena objeknya sama. Jadi sekarang hanya kena PPN,” ujar Yustinus kepada
    Kompas.com,
    Jumat (4/7/2025).
    Yustinus juga mengungkap, alasan pengenaan pajak hiburan terhadap olahraga padel dan 20 cabang olahraga lainnya adalah untuk menciptakan rasa keadilan.
    Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 telah menyatakan bahwa persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Kemudian, Surat Keputusan (SK) Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025 hanya mendetailkan jenis olahraga yang menjadi objek pajak hiburan.
    “Jadi pengenaan pajak hiburan atas olahraga permainan padel justru untuk menciptakan rasa keadilan, karena pajak hiburan atas berbagai jenis olahraga permainan lainnya telah dikenakan sejak lama,” ungkap Yustinus.
    Menurutnya, yang terpenting adalah pemungutan pajak dilakukan secara adil dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik.
    “Dengan demikian masyarakat tak perlu khawatir. Mari tetap berolahraga agar sehat dan riang gembira, sekaligus bergotong-royong membayar pajak untuk kebaikan bersama,” ujarnya.
    Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta resmi menetapkan olahraga padel sebagai salah satu objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) di sektor hiburan.
    Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda Jakarta Nomor 257 Tahun 2025.
    Dalam keputusan tersebut, tarif PBJT yang dikenakan untuk penggunaan lapangan padel ditetapkan sebesar 10 persen.
    “Betul (dikenakan pajak 10 persen). Lapangan padel termasuk dikenakan pajak daerah sesuai dengan Keputusan Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025,” ujar Ketua Pelaksanaan Penyuluhan Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jakarta, Andri Mauludi Rijal saat dikonfirmasi, Rabu (2/7/2025).
    Tarif pajak sebesar 10 persen diberlakukan untuk transaksi seperti sewa lapangan, tiket masuk, hingga pemesanan melalui platform digital.
    “Pajak dikenakan atas penyediaan jasa hiburan kepada konsumen, termasuk penggunaan sarana dan prasarana olahraga yang dikomersialkan, baik melalui biaya masuk, sewa tempat, atau bentuk pembayaran lain,” kata Andri.
    Termasuk padel, jenis olahraga permainan lain yang dikenakan PBJ, meliputi:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Siap-siap, Tarif Sewa Lapangan Futsal dan Mini Soccer di Jakarta Bisa Naik
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Juli 2025

    Siap-siap, Tarif Sewa Lapangan Futsal dan Mini Soccer di Jakarta Bisa Naik Megapolitan 4 Juli 2025

    Sebelum Padel, Lapangan Futsal dan Mini Soccer di Jakarta Juga Kena Pajak 10 Persen
    Penulis

    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
    Jakarta
    resmi menetapkan pajak 10 persen untuk penyewaan lapangan padel sebagai bagian dari
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu
    (
    PBJT
    ) sektor hiburan.
    Aturan ini melanjutkan pajak yang telah ada sebelumnya untuk fasilitas olahraga rekreasi yang dikomersialkan, seperti
    futsal
    ,
    mini soccer
    , sepak bola, renang, tenis, dan jenis olahraga lainnya, yang tertuang dalam Perda DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pajak Hiburan.
    Penetapan pajak untuk fasilitas olahraga padel ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda Jakarta Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan dari Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.
    Keputusan ini memperluas cakupan objek pajak hiburan yang sebelumnya telah diberlakukan.
    “Pajak dikenakan atas penyediaan jasa hiburan kepada konsumen, termasuk penggunaan sarana dan prasarana olahraga yang dikomersialkan, baik melalui biaya masuk, sewa tempat, atau bentuk pembayaran lain,” jelas Andri Mauludi Rijal, Ketua Pelaksana Penyuluhan Bapenda Jakarta, Rabu (2/7/2025).
    Pajak 10 persen ini akan diberlakukan pada transaksi seperti penyewaan lapangan, pembelian tiket masuk, hingga pemesanan melalui platform digital.
    Beberapa fasilitas olahraga yang kini dikenai PBJT antara lain:
    Menurut Andri, kebijakan ini berlaku selama aktivitas tersebut memenuhi kategori jasa hiburan dan kesenian.
    Ia menegaskan, bahwa perluasan cakupan PBJT masih akan berlangsung jika ditemukan objek lain yang sesuai dengan klasifikasi hiburan.
    “Nanti kalau ada objek lainnya yang memenuhi kategori-kategori jasa hiburan dan kesenian, kami akan kenakan juga,” kata Andri.
    Penerapan pajak ini sejalan dengan upaya optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) melalui sektor hiburan yang mengalami peningkatan konsumsi masyarakat pasca-pandemi.
    (Reporter: Ruby Rachmadina, Editor: Fitria Chusna Farisa)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tak hanya Padel, pajak hiburan DKI juga jangkau bulutangkis dan tenis

    Tak hanya Padel, pajak hiburan DKI juga jangkau bulutangkis dan tenis

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyebutkan pajak hiburan tak hanya berlaku untuk olahraga padel namun juga termasuk sejumlah olahraga lain seperti bulutangkis hingga tenis.

    “Orang main tenis, main squash, main apa saja termasuk biliar, termasuk apapun, itu memang kena. Nah padel ini termasuk olahraga yang seperti itu,” kata Pram di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat.

    Pram menjelaskan, kebijakan pajak hiburan untuk aktivitas olahraga tertentu sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang dan diterapkan di seluruh daerah, bukan hanya di Jakarta.

    Pram mencontohkan olahraga renang, biliar, hingga bulutangkis juga dikenakan pajak hiburan bila dilakukan secara komersial. Misalnya dengan menyewa lapangan atau kolam renang di fasilitas berbayar.

    Pram mengatakan, pajak hiburan yang diberlakukan untuk olahraga komersial dianggap wajar karena mayoritas pemainnya berasal dari kalangan yang mampu membayar sewa fasilitas.

    “Apalagi yang main padel kan rata-rata orang mampu. Untuk sewa lapangan saja berapa, mampu kan,” kata Pram.

    Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menetapkan fasilitas olahraga padel sebagai salah satu objek pajak daerah dengan tarif sebesar 10 persen.

    Kebijakan ini mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 atas perubahan kedua dari Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

    “Betul olahraga padel dikenakan PBJT Hiburan dan Kesenian dengan tarif 10 persen,” kata Ketua Satuan Pelaksana Penyuluhan Pusat Data dan Informasi Pendapatan Jakarta, Andri M. Rijal.

    Andri menjelaskan bahwa pajak dikenakan atas penyediaan jasa hiburan kepada konsumen, termasuk penggunaan sarana dan prasarana olahraga yang dikomersialkan.

    “Baik melalui biaya masuk, sewa tempat maupun bentuk pembayaran lainnya,” kata Andri.

    Padel masuk dalam kategori olahraga permainan yang menjadi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa kesenian dan hiburan.

    Adapun fasilitas padel yang dituliskan dalam keputusan Bapenda yang diteken pada 20 Mei 2025 tersebut adalah lapangannya.

    “Ketentuan tersebut terbit karena menyesuaikan dengan perkembangan olahraga atau hiburan yang ada di masyarakat yang merupakan objek pajak daerah,” kata Andri.

    Selain lapangan padel, ada 20 jenis fasilitas olahraga lain yang turut dikenakan pajak serupa, seperti lapangan futsal, tenis, bulutangkis, hingga tempat kebugaran seperti yoga dan pilates.

    Andri mengatakan pajak PBJT untuk padel itu bukan karena olahraga yang sedang viral saat ini. Pihaknya pun akan terus memantau objek lain dari jasa hiburan, yang layak dikenai pajak.

    “Nanti kalau ada objek lainnya yang memenuhi kategori-kategori jasa hiburan dan kesenian kami akan kenakan juga,” kata Andri.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Olahraga Padel Kena Pajak 10 Persen, Ini Penjelasan Bapenda Jakarta – Page 3

    Olahraga Padel Kena Pajak 10 Persen, Ini Penjelasan Bapenda Jakarta – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jakarta bersuara soal pemungutan pajak terhadap olahraga padel. Menurut Bapenda Jakarta, padel adalah olahraga yang sedang digandrungi masyarakat. Bahkan untuk menyewa lapangannya, warga harus antre panjang dan membayar mahal.

    “Lantas kenapa main padel mesti bayar pajak?,” tulis Bapenda Jakarta dalam siaran persnya, Jumat (4/7/2025).

    Menjawab hal itu, Kepala Bapenda Jakarta, Lusiana Herawati, mengatakan hal itu dikarenakan padel termasuk dalam kategori Pajak Hiburan yaitu bagian dari Pajak Daerah dan sejatinya bukan jenis pajak baru. Sebab, jenis pajak tersebut sudah ada sejak tahun 1997, melalui UU 19 Tahun 1997.

    Lusiana menyatakan, pajak adalah wujud gotong royong warga negara dalam membiayai pembangunan dan penyelenggaraan negara. Dia mengatakan, objek pajak daerah umumnya adalah konsumsi atas barang atau jasa. Tak terkecuali hiburan, seperti PPN yang dipungut pemerintah pusat.

    “Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau keramaian yang dinikmati masyarakat dengan dipungut bayaran. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberi contoh yang lebih jelas tentang objek Pajak Hiburan, seperti tontonan film, pagelaran kesenian, musik, pameran, diskotek, permainan bilyar, pacuan kuda, panti pijat, pusat kebugaran, hingga pertandingan olahraga,” jelas Lusiana.

    Lusiana melanjutkan, Perda DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 menyebut beberapa olahraga yang terkena pajak seperti renang, tenis, squash, futsal, dan jenis olahraga lain yang bentuknya permainan yang menghibur sudah menjadi kategori yang terkena pajak.

    “Jadi sebenarnya olahraga permainan sudah dikenai pajak hiburan sejak lama dan tidak ada masalah. Adem ayem tanpa kegaduhan,” beber dia.

  • Stafsus Pramono Beberkan Alasan Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Stafsus Pramono Beberkan Alasan Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Jakarta

    Staf Khusus (Stafsus) Gubernur DKI Jakarta Yustinus Prastowo memberikan penjelasan tentang fasilitas olahraga padel dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam kategori jasa kesenian dan hiburan. Fasilitas olahraga padel seperti lapangan dikenakan pajak sebesar 10%.

    Hal tersebut berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024. Prastowo menjelaskan, sudah sejak lama olahraga berbayar masuk ke dalam objek kena pajak hiburan.

    “Padel mau kena pajak hiburan? Olahraga permainan berbayar kena pajak hiburan itu sudah lama, setidaknya sejak UU 28/2009 (tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah),” kata Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow, Jumat (4/7/2025).

    Eks Stafsus Sri Mulyani itu juga bilang, kebijakan pengenaan pajak terhadap olahraga berbayar juga berlaku di semua daerah. Tidak hanya padel yang ramai seperti saat ini, fasilitas olahraga futsal hingga tenis juga terkena pajak.

    “Dulu fitness, futsal, tenis, squash, billiar, softbol, bisbol dan lain-lain. Kini disesuaikan dengan berkembangnya ragam olahraga permainan,” ujarnya.

    Melalui keterangan terpisah, Prastowo juga menjelaskan alasan permainan padel mesti kena pajak. Mulanya ia menerangkan, Pajak Hiburan adalah bagian Pajak Daerah dan sejatinya bukan jenis pajak baru. Pajak tersebut telah ada sejak tahun 1997, melalui UU 19 Tahun 1997.

    Menurutnya, hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau atau keramaian yang dinikmati masyarakat dengan dipungut bayaran. UU 28/2009 memberi contoh yang lebih jelas tentang objek Pajak Hiburan, seperti tontonan film, diskotek, permainan biliar, pacuan kuda, hingga pertandingan olahraga.

    “Sedangkan Perda DKI No 13/2010 menyebut misalnya renang, tenis, squash, futsal, dan jenis olahraga lain. Jadi sebenarnya olahraga permainan sudah dikenai Pajak Hiburan sejak lama dan tidak ada masalah. Adem ayem tanpa kegaduhan,” jelas Prastowo, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima detikcom.

    Melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah mengatur ulang pengelompokan jenis pajak daerah agar tarif yang dibebankan lebih sesuai dengan prinsip keadilan. Muncul nomenklatur baru Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), dengan objek makanan/minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian/hiburan.

    Olahraga yang dikenai Pajak Hiburan adalah olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran. Ada hiburan yang sifatnya mewah dan konsumsinya harus dikendalikan, kena tarif tinggi antara 40% s.d 75%. Namun ada hiburan yang dinikmati masyarakat luas seperti olahraga permainan, hanya dikenai pajak 10%, lebih rendah dari PPN yang tarifnya 11%.

    Pemprov DKI melalui Perda No 1/2024 mengatur olahraga permainan adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya. SK Kepala Bapenda No. 257/2025 hanya mendetailkan jenis olahraga permainan yang menjadi objek Pajak Hiburan.

    Pajak Hiburan dikenakan atas tempat kebugaran (fitness center, yoga, pilates, zumba), lalu lapangan untuk futsal/sepak bola/mini soccer, lapangan tenis/basket/bulu tangkis/voli/tenis meja/squash/panahan/bisbol/softbol/tembak, tempat biliar, tempat panjat tebing/sasana tinju/atletik, jetski, dan terakhir lapangan padel.

    “Jadi pengenaan Pajak Hiburan atas olahraga permainan padel justru untuk menciptakan rasa keadilan, karena Pajak Hiburan atas berbagai jenis olahraga permainan lainnya telah dikenakan sejak lama. Yang penting, pemungutan pajak ini dilakukan secara fair dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” ujar Prastowo.

    (shc/rrd)

  • Ditjen Pajak Jelaskan soal Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Ditjen Pajak Jelaskan soal Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ikut angkat bicara tentang fasilitas olahraga padel yang kini masuk ke dalam salah satu objek pajak dengan tarif 10%. Fasilitas padel seperti lapangan masuk ke dalam kategori Jasa Kesenian dan Hiburan.

    Melalui akun X @DitjenPajakRI, disebutkan bahwa padel sendiri masuk ke dalam objek pajak daerah. Hal ini berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

    “Main padel kena pajak? Iya, tapi pajak daerah,” tulis akun @DitjenPajakRI, dikutip Jumat (4/7/2025).

    DJP menjelaskan, penyewa lapangan padel dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10%. Pajak ini dipungut oleh penyedia jasa dan disetorkan ke Kas Daerah, sesuai UU HKPD 1/2022.

    Berdasarkan pengelolaannya, pajak sendiri terbagi ke dalam pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat sendiri dikelola oleh DJP di bawah Kementerian Keuangan, merujuk pada pajak yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

    Pajak pusat sendiri terdiri atas:

    Pajak Penghasilan (PPh)
    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
    Bea Meterai
    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) P5L
    Khusus PBB sektor perkebungan, perhutanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan mineral atau batubara, dan sektor lainnya.
    Pajak Karbon (akan diimplementasikan).
    Sedangkan untuk pajak daerah sendiri ialah pajak yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Perincian jenis pajaknya sangat banyak. Berikut beberapa contoh pajak yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi sebagai berikut:

    Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
    Pajak Alat Berat (PAB)
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
    Pajak Air Permukaan (PAP)
    Pajak Rokok
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
    Selanjutnya, pajak daerah yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas:

    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
    Pajak Reklame
    Pajak Air Tanah (PAT)
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)
    Pajak Sarang Burung Walet
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
    Lebih lanjut DJP pun memberikan contoh studi kasus. Untuk pajak pusat misalnya PPh, Wajib Pajak Orang Pribadi Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun tidak dikenai PPh.

    Sedangkan studi kasus dari pajak daerah sendiri contohnya seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), termasuk di antaranya pengenaan pajak terhadap fasilitas untuk olahraga padel.

    “Penyewa lapangan padel sebagai konsumen dikenai PBJT sebesar 10% meliputi tiket masuk, sewa lapangan, dan jasa lainnya, dipungut oleh penyedia jasa sewa lapangan, untuk selanjutnya disetorkan ke Kas Daerah, menurut UU HKPD 1/2022,” terang DJP.

    (shc/rrd)

  • Pemutihan Pajak Berakhir, Bakal Ada Operasi Kepatuhan di Jalan

    Pemutihan Pajak Berakhir, Bakal Ada Operasi Kepatuhan di Jalan

    Jakarta

    Pemutihan pajak kendaraan bermotor di Provinsi Jawa Tengah telah berakhir. Selanjutnya, akan ada operasi kepatuhan di jalan untuk menjaring pemilik kendaraan yang tidak patuh dalam hal pembayaran pajak kendaraan.

    Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menggelar program pemutihan pajak kendaraan bermotor sejak 8 April hingga 30 Juni 2025. Lebih dari 1 juta objek pajak telah memanfaatkan program pemutihan.

    Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah (Bapenda) Jateng Nadi Santoso menyebutkan setidaknya ada 1.196.113 objek pajak yang memanfaatkan program tersebut.

    “Artinya, satu juta sekian objek pajak yang dulunya tidak membayar pada tahun 2025 itu membayar,” katanya dikutip Antara.

    Menurutnya, setelah program pemutihan pajak kendaraan selesai, Tim Pembina Samsat Provinsi Jateng di seluruh kabupaten kota akan melaksanakan operasi kepatuhan. Operasi kepatuhan akan digelar di daerah-daerah yang memiliki tunggakan pajak kendaraan bermotor tinggi.

    “Operasi kepatuhan di jalan tentunya ini banyak manfaatnya. Selain soal kepatuhan, juga tentang keselamatan selama berkendara, dan sosialisasi taat pajak,” katanya.

    Selain itu, pihaknya juga telah menyiapkan langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Salah satunya, penghapusan Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor (Regident Ranmor) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 74 hingga pelaksanaan kegiatan Gerakan Disiplin Pajak untuk Rakyat (Gadis Pantura) di instansi pemerintah.

    Sementara itu, dua provinsi lainnya yaitu Jawa Barat dan Banten memperpanjang program pemutihan pajak kendaraan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memperpanjang program pemutihan pajak kendaraan menjadi sampai 30 September 2025. Sedangkan Pemprov Banten memperpanjang program pemutihan menjadi sampai 31 Oktober 2025.

    (rgr/din)

  • Pemkab Banyumas hapus denda PBB P2 tahun 1994-2024 dalam rangka HUT RI

    Pemkab Banyumas hapus denda PBB P2 tahun 1994-2024 dalam rangka HUT RI

    dilakukan berdasarkan Keputusan Bupati Banyumas Nomor 299 Tahun 2025 Tanggal 30 Juni 2025

    Purwokerto (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menghapus sanksi administrasi berupa denda Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) tahun 1994-2024 dalam rangka optimalisasi pendapatan asli daerah serta memperingati Hari Ulang Tahun Ke-80 Republik Indonesia.

    “Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda PBB P2 yang terutang tahun 1994-2024 itu dilakukan berdasarkan Keputusan Bupati Banyumas Nomor 299 Tahun 2025 Tanggal 30 Juni 2025 tentang Penghapusan Sanksi Adminisrasi Berupa Bunga dan/atau Denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang Terhutang Tahun 1994 Sampai Dengan Tahun 2024,” kata Pelaksana tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Banyumas Eko Prijanto di Purwokerto, Banyumas, Selasa.

    Ia mengatakan penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam keputusan tersebut dilakukan melalui penyesuaian pada aplikasi sistem pembayaran mulai tanggal 1 Juli hingga 30 September 2025.

    Menurut dia, penghapusan sanksi administrasi tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (4) huruf a Peraturan Bupati Banyumas Nomor 10 Tahun 2024 tentang Keringanan, Pengurangan, Pembebasan dan Penundaan Pembayaran Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi Pajak dan Retribusi.

    Dalam hal ini, keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok pajak dan/atau sanksi pajak dan retribusi dapat dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan tertentu yang diberikan oleh Bupati Banyumas.

    “Kami harapkan wajib pajak menggunakan kesempatan tersebut untuk dapat membayar PBB P2-nya. Wajib pajak dapat mengecek tagihan PBB-P2 nya melalui laman https://elingpbb.banyumaskab.go.id/ dan membayar PBB-P2 melalui Bank Jateng, Kantor Pos, OVO, Alfamart, Indomart, QRIS, Gopay, Shoppee, dan Tokopedia,” kata Eko.

    Berdasarkan data, jumlah wajib PBB P2 di Kabupaten Banyumas pada tahun 2025 sebanyak 1.140.000 orang atau terdapat kenaikan sebanyak 10.000 wajib pajak dari tahun 2024 yang sebanyak 1.130.000 orang. Peningkatan wajib PBB tersebut berarti ada properti yang kepemilikannya dipecah.

    Dengan adanya kenaikan jumlah wajib pajak tersebut, ketetapan PBB P2 naik dari Rp79 miliar pada tahun 2024 menjadi Rp83 miliar pada tahun 2025.

    Pewarta: Sumarwoto
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kepala Bapenda Semarang Mengaku Setor Rp1,2 Miliar ke Mbak Ita

    Kepala Bapenda Semarang Mengaku Setor Rp1,2 Miliar ke Mbak Ita

    JAKARTA – Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Indriyasari mengaku memberikan uang Rp1,2 miliar kepada mantan Wali Kota (Walkot) Semarang Hevearita G. Rahayu atau Mbak Ita yang bersumber dari iuran kebersamaan pegawai di lembaga pemungut pajak daerah itu.

    “Sesuai dengan permintaan Bu Ita, sebesar Rp300 juta per triwulan,” kata Indriyasari saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap mantan Walkot Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin 30 Juni, disitat Antara.

    Indriyasari menyebut pemberian masing-masing pada bulan Desember 2022, April 2023, Juli 2023, dan pada bulan Oktober 2023.

    Ia mengungkapkan bahwa pemberian uang di luar honor resmi tambahan penghasilan dari upah pungut pajak daerah itu berawal saat Wali Kota Hevearita G. Rahayu menolak menandatangani surat keputusan pencairan tambahan penghasilan upah pungut bagi pegawai Bapenda di akhir Desember 2025

    Menurut dia, hingga menjelang penghujung tahun, Heveraita belum menandatangani surat keputusan tentang tambahan penghasilan itu

    Saksi lantas berinisiatif untuk bertanya kepada Hevearita yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut tentang SK yang harus ditandatangani itu.

    Terdakwa, menurut Indriyasari, sempat bertanya mengapa bagian tambahan penghasilan yang diterimanya hanya sebesar yang tertera dalam SK pengajuan itu. Padahal, jumlah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku, yakni sebesar tujuh kali gaji selama 3 bulan.

    Saksi lalu menyampaikan akan memberi tambahan penghasilan upah pungut yang bersumber dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda Kota Semarang.

    Iuran kebersamaan tersebut, kata dia, rata-rata terkumpul Rp800 juta sampai Rp900 juta per 3 bulan.

    Setelah disepakati bersama dengan sejumlah pejabat struktural di Bapenda Kota Semarang, akhirnya pemberian Rp300 juta per 3 bulan untuk terdakwa.

    Terdakwa Hevearita, kata dia, kemudian mengembalikan uang-uang tersebut pada bulan Januari 2024 karena diduga berkaitan dengan adanya penyidikan oleh KPK.

    “Diserahkan kepada saya Rp900 juta, kemudian saya serahkan ke KPK,” katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Gatot Sarwadi.

    Atas kesaksian tersebut, terdakwa Hevearita membantah telah meminta tambahan penghasilan Rp300 juta per triwulan.

    Mbak Ita menyebut saksi Indriyasari yang menyatakan tambahan penghasilan Rp300 juta itu sudah turun-temurun sejak Wali Kota Semarang sebelum dirinya

    Selain itu, terdakwa juga menegaskan sudah mengembalikan seluruh uang pemberian Indriyasari yang berjumlah Rp1,2 miliar tersebut.

    “Yang terakhir bersamaan dengan pengembalian dari Pak Alwin dalam pecahan dolar Singapura yang kalau ditotal sekitar Rp1 miliar,” katanya.

  • Mbak Ita Larang Pegawai Penuhi Panggilan KPK

    Mbak Ita Larang Pegawai Penuhi Panggilan KPK

    SEMARANG –  Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Indriyasari mengungkapkan mantan Wali Kota Hevearita G. Rahayu (Mbak Ita) pernah memerintahkan pegawai lembaga pemungut pajak tersebut agar tidak memenuhi panggilan pemeriksaan oleh KPK atas penyidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Semarang

    “Diminta agar tidak pergi ke pemeriksaan KPK, Bu Ita bilang sudah dikondisikan,” kata Indriyasari saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin, 30 Juni dilansir ANTARA

    Menurut dia, pegawai Bapenda Kota Semarang yang dipanggil oleh KPK diminta untuk pergi ke luar kota.

    “Akhirnya kami pergi ke Surabaya, tetapi sebelumnya kami menyampaikan izin kepada penyidik KPK,” katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Gatot Sarwadi.

    Terhadap rencana pemeriksaan oleh KPK tersebut, saksi juga mengaku terdakwa Hevearita G. Rahayu memerintahkan menghancurkan seluruh barang bukti catatan dan telepon seluler.

    Indriyasari juga menyebut pernah diminta oleh terdakwa Hevearita dan suaminya, Alwin Basri, untuk menemui seseorang, sehari sebelum menghadiri pemeriksaan ulang oleh KPK.

    “Diminta bertemu seseorang, tetapi saya tidak kenal siapa orangnya. Saat sampai ke lokasi, sudah ada Bu Ita dan Pak Alwin,” tambahnya.

     

    Dalam pertemuan itu, Indriyasari mengaku diberi bocoran tentang pertanyaan yang akan ditanyakan saat pemeriksaan KPK.

    “Akan tetapi, ternyata berbeda semua dengan yang ditanyakan oleh penyidik KPK,” katanya.

    Dalam kesaksiannya, Indriyasari mengaku memberikan uang Rp1,2 miliar kepada Hevearita G. Rahayu dan Rp1 miliar untuk Alwin Basri yang disebut sebagai tambahan penghasilan upah pungut pajak.

    Uang yang disetorkan kepada Hevearita dan Alwin Basri berasal dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda Kota Semarang.

    Uang pemberian itu sendiri sudah dikembalikan oleh Hevearita dan Alwin Basri kepada Indriyasari yang selanjutnya disetorkan ke rekening KPK.

    “Saat mengembalikan, Bu Ita menyampaikan ‘iki tak balekke, wes bocor kabeh’ (ini saya kembalikan, sudah bocor semua),” katanya.