Kementrian Lembaga: Bank of America

  • Fakta Resesi AS karena Trump ‘Trumpcession’, Mengapa Bisa Terjadi?

    Fakta Resesi AS karena Trump ‘Trumpcession’, Mengapa Bisa Terjadi?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Prospek perekonomian Amerika Serikat (AS) terus mendapatkan potensi yang gelap. Hal ini disebabkan sejumlah kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menduduki posisi orang nomor satu di negara itu sejak Januari lalu.

    Ketakutan akan penurunan cepat dalam ekonomi terbesar di dunia, yang disebut ‘Trumpcession’, mulai merasuki pasar keuangan di tengah kekhawatiran tentang dampak dari tarif perdagangan yang besar serta pemangkasan belanja pemerintah oleh Presiden AS Donald Trump.

    Setelah serangkaian data ekonomi yang lebih lemah dari Amerika Serikat, pelacak PDB real-time Bank of America menunjukkan ekonomi AS menyusut dengan cepat, dengan ukuran turun menjadi 1,7% pada kuartal ini, dari 2,3% pada periode tiga bulan sebelumnya.

    Lalu, apa saja kebijakan Trump dan sentimen pasar yang mengarahkan AS pada jalur resesi? Berikut faktanya Selasa (11/3/2025).

    1. Tarif Perdagangan

    Penggunaan tarif yang agresif oleh pemerintahan Trump merupakan faktor yang memicu kekhawatiran pasar. Sementara pemikiran ekonomi sebelumnya menyatakan bahwa tarif terutama memicu inflasi dengan menaikkan harga barang impor, pasar sekarang melihatnya sebagai resesi, mengganggu rantai pasokan, mengekang investasi perusahaan, dan membebani pengeluaran konsumen.

    Menurut Budget Lab di Yale University, tarif yang diusulkan untuk Meksiko dan Kanada (sekarang dihentikan sementara), ditambah yang sudah ada untuk China, akan menaikkan tarif efektif AS ke level tertinggi sejak 1943. Mereka memperkirakan tingkat harga yang lebih tinggi dapat membebani rumah tangga hingga US$ 2.000 (Rp 32,6 juta).

    Putaran bea masuk terbaru bertepatan dengan aksi jual tajam di ekuitas, yang menggarisbawahi keresahan investor. Rencana pemerintahan untuk mengurangi pengeluaran federal dan memangkas ribuan pekerjaan pemerintah hanya menambah kekhawatiran tentang kemunduran ekonomi.

    Tracy Chen, seorang manajer portofolio di Brandywine Global Investment Management, memperingatkan bahwa urutan kebijakan di mana Trump dapat tarif terlebih dahulu, pemotongan pajak kemudian dapat memperburuk kelemahan ekonomi.

    “Risiko resesi jelas lebih tinggi karena urutan kebijakan Trump,” tuturnya kepada The Global Tresurer.

    2. Kebijakan Imigrasi

    Tindakan keras Trump terhadap imigrasi mengancam industri-industri utama, termasuk pertanian, konstruksi, dan perawatan kesehatan, yang tengah berjuang untuk merekrut tenaga kerja.=

    “Tindakan keras yang direncanakan terhadap imigran gelap, yang jumlahnya sedikitnya 5% dari angkatan kerja, akan menambah jumlah kehilangan pekerjaan,” tambah ekonomi Inggris Tej Parikh kepada Financial Times.

    Hal yang sama juga disampaikan kepala ekonom di PNC, Gus Faucher, dalam catatan kepada investor pada hari Jumat. Ia mengatakan bahwa imigran saat ini berkontribusi besar untuk sejumlah industri yang cukup penting.

    “Ketidakpastian tentang prospek tarif dapat menyebabkan perusahaan memperlambat perekrutan. Dan pembatasan imigrasi dapat membatasi pasokan tenaga kerja yang tersedia, yang akan membebani perolehan lapangan kerja selama beberapa tahun ke depan.”

    3. Efisiensi

    Langkah efisiensi Trump, yang dimotori oleh Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE), Elon Musk, juga menjadi katalis timbulnya sentimen negatif terhadap ekonomi AS. Musk telah ditugaskan untuk memangkas pemborosan belanja pemerintah sebesar US$ 1 triliun (Rp 16.340 triliun).

    Sejumlah manuver yang dilakukan Musk adalah dengan melakukan pemotongan tenaga kerja. Bank investasi Evercore ISI memperkirakan bahwa upaya pemangkasan biaya sektor publik oleh Elon Musk dapat memangkas total setengah juta lapangan pekerjaan di AS tahun ini. Dalam skenario ekstrem, jumlah tersebut dapat mencapai lebih dari 1,4 juta.

    Kondisi ini pun dapat menjadi beban keuangan rumah tangga. Pekerja yang terdampak yang tidak dapat segera menemukan pekerjaan baru mungkin terpaksa memenuhi kebutuhan hidup tanpa penghasilan tetap.

    “Mayoritas pekerja yang mengalami kehilangan pekerjaan terdampak dalam jangka panjang, karena mereka kesulitan menemukan pekerjaan purna waktu baru dan selanjutnya memperoleh penghasilan lebih sedikit,” menurut sebuah makalah penelitian tahun 2016 oleh profesor emeritus ekonomi di Universitas Princeton, Henry Farber, dikutip CNBC International.

    Direktur ekonomi di Yale University Budget Lab, Ernie Tedeschi, mengungkapkan dampak yang lebih luas. Ia menitikberatkan pada bisnis-bisnis yang akan terganggu karena kekuatan keuangan warga AS, yang berprofesi sebagai PNS, dapat menemui batasan setelah dikeluarkan dari kantornya.

    “Dampak ekonomi dari PHK bagaikan efek domino yang menyebar ke seluruh perekonomian lokal hingga ke bisnis-bisnis yang tampaknya tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah federal,” tuturnya.

    4. Detoksifikasi

    Dalam tanda yang lebih mengkhawatirkan bagi pasar, Trump telah menghindari mengesampingkan resesi tahun ini dengan mengakui dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada hari Minggu (Senin 10/3/2025) bahwa “diperlukan sedikit waktu” sebelum orang Amerika akan melihat hasil dari kebijakannya.

    “Saya tidak suka memprediksi hal-hal seperti itu,” kata Trump. “Ada masa transisi karena apa yang kita lakukan sangat besar.”

    Hal yang sama juga dilontarkan Menteri Keuangan Scott Bessent. Dalam wawancara baru-baru ini, Bessent menggambarkan perubahan tersebut sebagai ‘periode detoksifikasi’, dengan alasan bahwa ekonomi telah menjadi terlalu bergantung pada belanja pemerintah dan sekarang perlu beralih ke pertumbuhan yang didorong oleh sektor swasta.

    “Pasar dan ekonomi telah terpikat pada belanja pemerintah, dan akan ada periode detoksifikasi,” kata Bessent.

    Ahli strategi nilai tukar mata uang asing di National Australia Bank, Ray Attrill, mengatakan bahwa pernyataan ini diarahkan untuk menitikberatkan bahwa situasi ekonomi yang rusak saat ini disebabkan oleh pendahulunya.

    “Narasi AS tampaknya sedikit berubah dari menyalahkan Joe Biden menjadi tidak ada ruginya, tidak ada untung,” kata Attrill.

    5. Data Ekonomi Suram

    Ketakutan akan resesi telah membebani dolar AS meskipun statusnya sebagai aset aman yang biasanya naik selama periode ketidakpastian. Indeks yang melacak greenback terhadap sekeranjang mata uang utama telah jatuh 4% sejak Trump kembali ke Gedung Putih dan minggu lalu mencapai level terlemah sejak November.

    Kegelisahan itu juga melanda pasar saham AS, dengan indeks acuan S&P 500 turun 3,8% sejak pelantikan Trump dan turun 6% dari rekor tertinggi bulan lalu. Sentimen konsumen juga mencapai titik terendah dalam 15 bulan di tengah kekhawatiran tentang PHK dan kenaikan harga.

    Imbal hasil obligasi pemerintah AS turun pada hari Senin karena investor mencari tempat yang aman karena kekhawatiran akan perlambatan ekonomi meningkat. Imbal hasil 10 tahun turun 9 basis poin menjadi 4,226%. Imbal hasil obligasi pemerintah AS 2 tahun turun hampir 10 basis poin menjadi 3,906%. Satu basis poin sama dengan 0,01%, dan imbal hasil dan harga bergerak berlawanan arah.

    Di sektor lapangan kerja, AS menambah lebih sedikit lapangan pekerjaan daripada yang diperkirakan para ekonom pada bulan Februari. Pengusaha mempekerjakan 151.000 pekerja bulan lalu, kurang dari ekspektasi penambahan 170.000 lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran naik ke 4,1%, yang tetap menjadi angka terendah dalam sejarah.

    Untuk pembelian, belanja konsumen turun 0,2% untuk bulan tersebut. Jika disesuaikan dengan inflasi, belanja akan turun hingga 0,5%. Itu adalah penurunan bulanan terbesar sejak Februari 2021.

    “Harga mulai pulih, naik 0,5% dari Desember, laju tercepat sejak Agustus 2023, sehingga menghasilkan tingkat inflasi tahunan sebesar 3% selama 12 bulan yang berakhir pada Januari,” menurut data Indeks Harga Konsumen terbaru yang dirilis oleh Biro Statistik Tenaga Kerja.

    (sef/sef)

  • Dampak Tarif Impor Trump ke China, DEN: Peluang Relokasi Industri

    Dampak Tarif Impor Trump ke China, DEN: Peluang Relokasi Industri

    Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap impor barang dari China sebesar 10% diharapkan membuat peluang relokasi industri yang dapat menguntungkan perekonomian Indonesia.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menjelaskan dengan penerapan tarif dan juga peluang trade war antara Amerika dengan China membuka peluang basis produksi akan berpindah dari China ke negara-negara yang tidak dikenakan impor tarif. Salah satunya Indonesia.

    Agar dapat memanfaatkan peluang tersebut, DEN merekomendasikan agar Indonesia melakukan perbaikan iklim investasi, meningkatkan kepastian usaha, dan menjaga konsistensi kebijakan.

    “Karena kalau ini yang terjadi, maka posisi Indonesia sebetulnya bisa diuntungkan. Karena ada relokasi dari basis produksi dari China kepada Vietnam dan mungkin kalau Vietnam nanti terlalu penuh akan lari kepada Indonesia,” ujarnya, dikutip dari Antara, Kamis (6/2/2025).

    Menurutnya, sektor-sektor yang berpotensi terdampak relokasi ini mencakup manufaktur dan berbagai industri yang sebelumnya berbasis di China. Tak hanya itu, Chatib menekankan pentingnya reformasi birokrasi melalui digitalisasi guna mempercepat proses administrasi dan meningkatkan daya tarik investasi Indonesia.

    Hambatan tarif AS terhadap barang impor dari China langsung dibalas oleh Beijing. China mengumumkan pengenaan tarif impor pada sejumlah produk Amerika Serikat (AS) dan akan melakukan penyelidikan terhadap Google. 

    Kebijakan ini merupakan respons China terhadap pengenaan tarif 10% pada barang-barang dari China oleh AS. Mengutip Bloomberg pada Selasa (4/2/2025), China menerapkan pungutan sebesar 15% terhadap ekspor batu bara dan gas alam cair AS, serta menargetkan minyak dan peralatan pertaniannya dengan tarif sebesar 10%. 

    “Pemberlakuan tarif secara sepihak oleh AS merupakan pelanggaran serius terhadap peraturan Organisasi Perdagangan Dunia,” kata Kementerian Keuangan China dalam sebuah pernyataan yang terkait pengumuman tarif tersebut.

    INFLASI GLOBAL

    Sejumlah ekonom global khawatir, semakin sering Presiden Donald Trump mengancam hambatan tarif, semakin besar potensi gelombang inflasi. Hal ini mungkin terjadi, mengingat ada risiko kenaikan harga di tingkat konsumen. 

    “Perang tarif berdampak inflasi, itu tidak dapat diperdebatkan,” kata Carsten Brzeski, kepala penelitian makro global ING, melansir Bloomberg.  

    Menurutnya, di banyak tempat, perang tarif menambah beban perekonomian. Padahal, negara-negara masih menghadapi tantangan inflasi, struktural perekonomian hingga tantangan iklim. 

    Di AS, pasar tenaga kerja yang tangguh membuat Federal Reserve tetap waspada karena kebijakan dan ancaman Trump mendorong imbal hasil obligasi lebih tinggi. Sementara itu, menguatnya dolar AS diproyeksi menghantui pasar berkembang, seperti Indonesia. 

    Sebuah survei Bank of America terhadap manajer dana global pada Januari lalu, menunjukkan munculnya kembali pertumbuhan harga konsumen global sebagai tema utama untuk 2025.

    Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo menilai rupiah masih akan melemah dan inflasi masih terjaga rendah, setidaknya pada Februari 2025. 

    Banjaran pelemahan nilai tukar rupiah beberapa waktu belakangan diakibatkan oleh sentimen eksternal, terutama penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Menurutnya, penerapan sejumlah kebijakan pemerintahan baru AS di bawah presiden Donald Trump yang cenderung proteksionis mendorong penguatan indeks dolar AS. 

    “Rupiah diperkirakan masih melanjutkan tren pelemahan dalam jangka pendek, tertekan oleh sentimen eksternal,” ujar Banjaran kepada Bisnis, Selasa (4/2/2025).

  • FBI Bongkar Modus Hacker Hantu Gasak Rekening Korban, Ini Cara Selamat

    FBI Bongkar Modus Hacker Hantu Gasak Rekening Korban, Ini Cara Selamat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Masyarakat harus berhati-hati dengan peretas hantu. Mereka siap menguras rekening dengan mencoba berbagai cara untuk menipu korbannya.

    Salah satunya dengan mengaku sebagai perwakilan dukungan teknis. Selain itu juga ada yang mengaku sebagai perwakilan perbankan, yang disebut sebagai penipuan paling efektif.

    “Penipu menyamar sebagai perwakilan bank untuk meyakinkan korban adanya peretas menyusup ke rekening mereka” kata FBI dikutip dari Forbes, Rabu (29/1/2025).

    “Korban diminta segera memindahkan uang dengan cepat agar bisa melindungi aset mereka. Nyatanya tidak ada peretas dan uang yang ditransfer dikendalikan penipu”.

    Penipuan lain terungkap meminta korban mengunduh software. Dengan begitu penipu bisa mengakses perangkat milik korban dari jarak jauh.

    Salah satu korban dari kasus di Chicago harus kehilangan US$20 ribu. Seorang pria mengaku bekerja di Bank of America dan uang tersebut lenyap.

    Bank of America mengatakan mencoba menarik dananya. Namun tidak bertanggung atas pencurian tersebut.

    Pihak bank juga mengatakan tidak pernah menelepon nasabah apalagi meminta mengirimkan uang. Menurut Bank of America, hampir tiap tahun ada banyak orang tertipu.

    FBI Kasih Tips Cara Selamat 

    FBI memberikan beberapa tip sebagai langkah pencegahan menjadi korban para hacker hantu.

    Berikut tipsnya:

    1. Jangan mengunduh software dari orang yang tidak dikenal

    2. Jangan mengklik pemberitahuan pop up yang tidak diminta, link dari pesan teks, link email atau lampiran

    3. Jangan menghubungi telepon dalam pop-up, teks atau email

    4. Jangan biarkan orang tidak dikenal mengendalikan komputer Anda

    (dce)

  • Pantau Kebijakan Trump, The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga pada FOMC Januari

    Pantau Kebijakan Trump, The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga pada FOMC Januari

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed, diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya pada Federal Open Market Committee (FOMC) periode Januari 2025.

    Kebijakan tersebut akan memberi The Fed lebih banyak waktu untuk menurunkan inflasi dan menilai dampak kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap perekonomian.

    Pemotongan suku bunga akan dilakukan setelah tiga kali penurunan berturut-turut sejak September yang menurunkan suku bunga acuan Fed sebesar satu poin persentase penuh. Kisaran target mereka sekarang adalah 4,25% hingga 4,5%.

    Beberapa pembuat kebijakan mengatakan mereka memperkirakan penurunan suku bunga yang lebih sedikit tahun ini setelah data menunjukkan ekonomi AS berada pada posisi yang kokoh dan tingkat inflasi yang lebih tinggi dari yang diantisipasi. Data Desember untuk pengukur inflasi pilihan Fed, indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, akan dirilis pada Jumat (31/1/2025) mendatang.

    Namun, setelah serangkaian data mengejutkan dan ketidakpastian mengenai bagaimana ekonomi AS akan merespons berbagai kebijakan baru Trump terkait perdagangan, perpajakan, imigrasi, dan regulasi, para pejabat cenderung tidak berkomitmen pada jalur suku bunga tertentu.

    “Mereka tidak melakukan pemotongan suku bunga. Tetapi mereka ingin mempertahankan sebanyak mungkin opsi untuk menyesuaikan suku bunga dana federal lebih lanjut sepanjang tahun,” kata Gregory Daco, kepala ekonom untuk EY dikutip dari Bloomberg pada Rabu (29/1/2025).

    Keputusan suku bunga The Fed akan dirilis pada pukul 2 siang waktu Washington pada Rabu waktu setempat atau Kamis (30/1/2025) waktu Indonesia. Ketua The Fed Jerome Powell akan mengadakan konferensi pers pasca-pertemuan 30 menit kemudian. 

    Penyesuaian di Masa Depan

    Pengamat The Fed tidak memperkirakan Federal Open Market Committee (FOMC) melakukan banyak perubahan dalam pernyataan pasca-pertemuan mereka.

    Daco menuturkan, poin yang merujuk pada tingkat dan waktu penyesuaian tambahan saat ini telah memberikan fleksibilitas kepada para pembuat kebijakan untuk mengubah pendekatan mereka sesuai dengan perkembangan ekonomi.

    Powell hampir pasti akan ditanya oleh para wartawan soal bagaimana dia dan koleganya memasukkan kebijakan Trump dalam proyeksi ekonomi mereka. Namun pejabat The Fed baru akan merilis proyeksi ekonomi terbaru dalam pertemuan kebijakan bulan Maret.

    Risalah dari pertemuan bulan Desember menunjukkan sejumlah peserta memasukkan asumsi awal tentang rencana Trump dalam proyeksi mereka, dan hampir semua peserta melihat risiko kenaikan inflasi yang makin meningkat.

    Ketua The Fed Jerome PowellPerbesar

    Menurut Daco, investor juga ingin mendengar lebih banyak dari Powell mengenai “suku bunga netral,” yaitu tingkat suku bunga di mana The Fed tidak merangsang atau memperlambat ekonomi.

    Selama setahun terakhir, para pejabat telah menaikkan perkiraan mereka untuk tingkat netral ini. Jika banyak pembuat kebijakan percaya bahwa suku bunga saat ini sudah mendekati tingkat netral, ini menunjukkan bahwa kecepatan pemotongan akan lebih lambat dan jumlah total pemotongan mungkin lebih sedikit.

    Para wartawan kemungkinan juga akan menekan Powell untuk menjelaskan kondisi apa yang harus terjadi sebelum The Fed kembali menurunkan suku bunga, serta faktor-faktor yang dapat memaksa mereka mempertimbangkan kenaikan suku bunga. Setelah laporan ketenagakerjaan Desember yang sangat kuat, para ekonom di Bank of America Corp. bahkan memperkirakan langkah The Fed berikutnya bisa jadi adalah kenaikan suku bunga.

    Namun, kekhawatiran tersebut mereda setelah indeks harga konsumen utama—yang tidak mencakup makanan dan energi—naik lebih rendah dari perkiraan pada Desember. Hal ini menandai penurunan pertama dalam enam bulan. Para pembuat kebijakan menyambut baik laporan tersebut, tetapi menegaskan bahwa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai target inflasi 2%.

    Tekanan Politik

    Powell juga mungkin akan diminta untuk menanggapi kritik terbaru Trump terhadap bank sentral.

    “Saya rasa saya memahami suku bunga jauh lebih baik daripada mereka, dan saya yakin saya memahaminya lebih baik daripada orang yang terutama bertanggung jawab atas keputusan itu,” kata Trump pada 23 Januari, dalam pernyataan yang tampaknya ditujukan kepada Powell.

    Powell sebelumnya kerap mengabaikan atau menghindari komentar Trump tentang kebijakan moneter, tetapi pernyataan ini, yang datang di pekan pertama Trump kembali menjabat, menunjukkan bahwa ketua The Fed bisa menghadapi tekanan lebih besar dari pemerintahan baru.

    “The Fed kemungkinan harus menghadapi upaya Trump untuk mempengaruhi kebijakan moneter, baik melalui penunjukan pejabat maupun potensi cara lain untuk meningkatkan pengaruhnya terhadap institusi tersebut,” tulis Michael Feroli, kepala ekonom AS di JPMorgan Chase & Co., dalam sebuah catatan email pada Jumat.

    Dia memperkirakan pertemuan minggu ini akan menjadi awal yang membosankan untuk tahun yang penuh gejolak bagi The Fed.

  • Sumbangan Dana Pelantikan Trump Capai Rp 2,7 T, Ini Daftar Donaturnya

    Sumbangan Dana Pelantikan Trump Capai Rp 2,7 T, Ini Daftar Donaturnya

    Jakarta

    Pelantikan Donald Trump sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) pada Senin (20/1) siang waktu setempat tercatat banyak didanai dari sumbangan sejumlah perusahaan raksasa yang beroperasi di Negeri Paman Sam itu.

    Melansir dari Fox Business, Selasa (21/1/2025), berbagai perusahaan yang memberikan donasi tersebut bergerak di berbagai bidang, mulai dari kedirgantaraan dan teknologi hingga otomotif dan keuangan, masih banyak lagi.

    Sebagai contoh dari bidang teknologi ada Google, Meta dan Microsoft yang masing-masing memberikan sumbangan US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar (kurs Rp 16.343/dolar AS). Ada juga Ford, General Motors, hingga Hyundai dan Toyota cabang AS memberi sumbangan sebesar US$ 1 juta.

    Masih belum cukup, ada juga Bank of America yang sudah mengonfirmasi Fox Business bahwa mereka turut memberikan sumbangan untuk pelantikan Trump. Namun salah satu bank terbesar di Negeri Paman Sam itu enggan untuk menyebutkan jumlahnya.

    Kemudian dana pelantikan Trump ini juga dikabarkan menerima sumbangan dari Goldman Sachs, menurut sumber yang mengetahui masalah tersebut. Namun hal ini belum bisa dikonfirmasi karena jumlah sumbangannya yang tidak jelas.

    Selain perusahaan, Fox News Digital melaporkan pada pertengahan Desember bahwa CEO OpenAI, Sam Altman, turut berencana untuk memberi sumbangan pelantikan Trump sebesar US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar.

    Kemudian ada juga Tim Cook yang sedang menjabat sebagai CEO Apple memberikan sumbangan sebesar itu US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar juga. Secara total, diperkirakan sekitar US$ 170 juta atau Rp 2,77 triliun mengalir untuk pelantikan Trump.

    Daftar perusahaan raksasa yang beri sumbangan untuk pelantikan Trump

    1. Boeing US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    2. Google US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    3. Hyundai US$1 juta atau Rp 16,34 miliar

    4. FCA US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    5. Microsoft US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    6. Amazon US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    7. Uber US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    8. Ford US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    9. Toyota Motors Amerika Utara US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    10. Robinhood US$ 2 juta atau Rp 32,68 miliar

    11. General Motors US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    12. Intuit US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar

    13. Delta Airlines US$ 1 juta atau Rp 16,34 miliar.

    (fdl/fdl)

  • Usai Tumbuh 5%, Ekonomi China 2025 Bersiap Hadapi ‘Goncangan’ Tarif Trump

    Usai Tumbuh 5%, Ekonomi China 2025 Bersiap Hadapi ‘Goncangan’ Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonomi China pada 2025 dihadapkan pada risiko pengenaan tarif dari presiden terpilih AS Donald Trump, usai berhasil tumbuh lebih dari yang diharapkan pada 2024 karena adanya stimulus kilat dan ledakan ekspor. 

    Melansir dari Bloomberg, Sabtu (18/1/2025), produk domestik bruto (PDB) China pada kuartal IV/2024 tumbuh 5,4% dan menandai laju tercepat dalam enam kuartal. Lonjakan ini membawa pertumbuhan setahun penuh menjadi 5%. 

    Sekalipun pemerintah China memberikan stimulus pada akhir tahun tersebut, pertumbuhan konsumsi tahunan tetap berada di bawah tingkat sebelum pandemi, investasi properti mengalami kontraksi terbesar sepanjang sejarah dan deflasi berlanjut selama dua tahun berturut-turut. 

    Setelah disesuaikan dengan penurunan harga, PDB nominal hanya tumbuh 4,2% pada 2024, yang paling lambat sejak ekonomi dibuka pada akhir 1970-an, kecuali pandemi.

    Ekonom Societe Generale SA Wei Yao dan Michelle Lam menyampaikan pemulihan ekonomi tersebut hanya bersifat tentatif dan konsumsi masih cukup rapuh.  

    “Para pembuat kebijakan perlu melakukan dorongan fiskal yang lebih kuat pada tahun 2025 untuk memastikan stabilitas pertumbuhan,” ujarnya. 

    Bersiap menghadapi Trump

    China akan mengumumkan target pertumbuhannya untuk 2025 pada sidang parlemen tahunan di bulan Maret. 

    Namun, untuk mencapai pertumbuhan 5% mungkin akan lebih sulit tahun ini bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini. Pasalnya Presiden terpilih AS Donald Trump, yang akan kembali ke Gedung Putih minggu depan, telah mengancam tarif setinggi 60% untuk barang-barang China. 

    Hal ini dapat menghancurkan perdagangan dengan negara Asia tersebut dan merusak pendorong pertumbuhan yang menyumbang sekitar seperempat pertumbuhan pada 2024.

    Kepala ekonom China di BNP Paribas SA Jacqueline Rong melihat titik terang terbesar dalam perekonomian tahun lalu adalah ekspor, yang sangat kuat terutama jika faktor harga dikecualikan.

    “Itu berarti masalah terbesar tahun ini adalah tarif AS,” tuturnya. 

    Ancaman tarif Trump mendorong bisnis global untuk meningkatkan pengiriman dan mendukung ekspansi ekonomi tahun lalu. Namun, dorongan tersebut dapat memudar dalam beberapa bulan mendatang karena potensi pungutan, termasuk dari Uni Eropa dan mitra dagang lainnya, membuat ekspor China menjadi kurang kompetitif.

    Meskipun pemerintah telah mengisyaratkan bahwa mereka memiliki ruang kebijakan yang cukup untuk menstimulasi ekonomi, efektivitas belanja publik telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir. 

    Para pejabat telah berjuang untuk menemukan proyek-proyek infrastruktur yang cukup tepat untuk dibangun sementara investasi swasta telah menyusut. Dorongan manufaktur lebih lanjut akan berisiko memperburuk kelebihan kapasitas pabrik dan keluhan dari para mitra dagang bahwa negara ini membanjiri pasar global dengan barang-barang murah.

    Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah China berencana untuk memperluas program dengan mensubsidi perusahaan dan konsumen untuk meningkatkan peralatan dan perlengkapan. 

    Uang pensiun dan subsidi untuk asuransi kesehatan beberapa kelompok akan naik dan dapat mendorong rumah tangga untuk membelanjakan uangnya daripada menabung. 

    Pemerintah mengalokasikan 300 miliar yuan (US$40,9 miliar) —yang diperoleh dari penjualan obligasi khusus tahun lalu—untuk mendanai program peningkatan peralatan dan tukar tambah barang konsumen. 

    Langkah tersebut diproyeksi kepala ekonom untuk Greater China di Bank of America Helen Qiao dapat berlipat ganda menjadi 600 miliar yuan tahun ini. 

    Para pejabat juga mengizinkan obligasi lokal khusus untuk digunakan oleh pemerintah kota untuk mengakuisisi rumah-rumah yang tidak terjual dan membeli kembali tanah yang tidak terpakai. 

    Namun, kemajuan telah lambat dalam inisiatif untuk mengurangi persediaan perumahan, serta dalam upaya yang dipimpin oleh pemerintah untuk merenovasi desa-desa perkotaan. 

    Hal ini berkontribusi pada sentimen yang sangat lemah di antara para pengembang China, dengan investasi real estat anjlok 10,6% tahun lalu atau menjadi yang terburuk sejak pencatatan dimulai pada 1987.

    Kepala ekonom China di Nomura Holdings Inc. Lu Ting mengkhawatirkan China tidak akan cukup untuk meningkatkan ekonominya usai tumbuh sesuai target akibat stimulus jumbo. 

    “Sederhananya, terlepas dari data yang optimis hari ini, sekarang bukan waktunya bagi Beijing untuk berpuas diri,” tuturnya. 

  • Mayoritas Wall Street Menguat, tetapi Nasdaq Terkoreksi Akibat Aksi Jual Saham Big Tech

    Mayoritas Wall Street Menguat, tetapi Nasdaq Terkoreksi Akibat Aksi Jual Saham Big Tech

    Jakarta, Beritasatu.com – Mayoritas bursa perdagangan Amerika Serikat (AS) Wall Street mencatatkan kenaikan. Namun, Nasdaq Composite justru merosot tajam akibat aksi jual saham-saham teknologi besar yang sebelumnya menjadi motor penggerak pasar.

    Mengutip CNBC International, Selasa (14/1/2025), Dow Jones Industrial Average melonjak 358,67 poin atau 0,86% ke level 42.297,12. Lonjakan ini dipicu peralihan investor ke saham nonteknologi, seperti Caterpillar, JPMorgan, dan UnitedHealth.

    Sementara itu, S&P 500 juga naik tipis sebesar 0,16% menjadi 5.836,22. Sebaliknya, Nasdaq yang didominasi saham teknologi justru turun 0,38% ke posisi 19.088,10.

    Selama dua pekan terakhir, ketiga indeks utama ini mencatatkan penurunan, yang sebagian besar disebabkan oleh lemahnya kinerja saham teknologi.

    Beberapa saham unggulan Wall Street yang sebelumnya mendukung tren bullish, seperti Palantir dan Nvidia, masing-masing turun lebih dari 3% dan hampir 2% dalam perdagangan hari itu.

    Penurunan ini melanjutkan tren negatif dari pekan lalu, dengan Nvidia melemah hampir 6% dan Palantir anjlok lebih dari 15%. Saham teknologi populer lainnya, seperti Apple dan Micron, juga catat penurunan.

    Di tengah tekanan pada sektor teknologi, sektor energi menunjukkan performa positif dengan kenaikan lebih dari 2%, didorong oleh peningkatan harga minyak. Selain itu, sektor kesehatan dan material juga mengalami penguatan.

    Kenaikan imbal hasil obligasi AS menjadi salah satu faktor utama yang memicu aksi jual pada saham berbasis pertumbuhan. Pada Senin, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun mencapai level tertinggi sejak November 2023, ditutup di angka 4,79%.

    Peningkatan imbal hasil ini terjadi setelah data ketenagakerjaan AS yang lebih kuat dari ekspektasi memunculkan keraguan terhadap rencana pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve.

    Kepala Strategi Teknikal LPL Financial Adam Turnquist menyatakan, dengan potensi imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun menyentuh 5%, pasar saham akan menghadapi tantangan untuk mencatatkan kenaikan signifikan hingga ada stabilitas suku bunga.

    Saat ini, investor menaruh harapan pada musim laporan keuangan kuartal IV untuk mendukung stabilitas pasar. Beberapa bank besar, seperti Citigroup, Goldman Sachs, dan JPMorgan Chase, dijadwalkan merilis laporan keuangan mereka pada Rabu (15/1/2025), sementara Morgan Stanley dan Bank of America akan merilis laporan pada Kamis (16/1/2025).

    Saat Wall Street melemah, investor pekan ini juga menantikan data ekonomi penting, termasuk laporan indeks harga konsumen (CPI) untuk Desember yang akan diumumkan pada Rabu (15/1/2025) pagi, serta laporan indeks harga produsen (PPI) yang dirilis pada Selasa (14/1/2025).

  • Kiprah Alvin Lim Sebelum Jadi Pengacara, Ini Riwayat Penyakitnya Sebelum Meninggal Dunia Siang Tadi – Halaman all

    Kiprah Alvin Lim Sebelum Jadi Pengacara, Ini Riwayat Penyakitnya Sebelum Meninggal Dunia Siang Tadi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengacara Alvin Lim meninggal dunia pada Minggu (5/1/2024) hari ini.

    Kabar tersebut dibenarkan rekan satu profesi Alvin Lim, Farhat Abbas.

     “Benar (Alvin Lim) meninggal dunia,” kata Farhat Abbas saat dihubungi, Minggu.

    Humas sekaligus orang terdekat Alvin, Putra Hendra Giri, juga membenarkan kabar duka itu.

    “(Iya benar meninggal) Jam 12.00 WIB saya dapat kabar bahwa Koh Alvin itu meninggal,” kata Putra dikutip dari Kompas.com.

    Batal Resmikan Kantor di Surabaya

    Putra menyebut Alvin Lim seharusnya meresmikan kantor baru di Surabaya pada 6 Januari 2025.

    Namun, kondisi kesehatan Alvin menurun sebelum keberangkatan ke Surabaya pagi ini.

    “Pagi tadi, rencananya Koh Alvin berangkat dengan pesawat jam 8.45 dari Jakarta ke Surabaya. Tapi waktu dibangunkan istrinya, dia masih lemas di tempat tidur,” ungkap Putra.

    Setelah berdiskusi dengan keluarganya, termasuk istrinya dan rekannya Mario, mereka memutuskan untuk menunda keberangkatan.

    ‘Ya sudah, kita reschedule saja pesawatnya ke sore jam 6,’ begitu katanya,” tambah Putra.

    Namun sayangnya Alvin Lim dinyatakan meninggal dunia pada pukul 12.00 WIB siang tadi.

    Riwayat Gagal Ginjal

    Beberapa waktu lalu, istri Alvin Lim menyebut suaminya menderita gagal ginjal kronis stadium 5

    Hal tersebut dia katakan saat Alvin masih mendekam di penjara Lapas Salemba

    “Suami saya terkena gagal ginjal kronis stadium 5, gagal jantung, dan paru-paru berisi air. Sesak nafas, muntah-muntah tiap hari, dan terakhir ini sering kehilangan kesadaran dan pingsan,” ungkap Istri Alvin Lim, Phioruci dihubungi pada Sabtu (26/3/2023).

    Atas kondisi Alvin Lim, Phioruci mengungkapkan dokter meminta agar suaminya melakukan cuci darah atau hemodialysis. 

    Pihak Lapas Salemba pun telah membawa Alvin Lim ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana berulang kali. 

    Namun, Alvin Lim tidak kunjung dirawat dengan alasan kamar rawat inap penuh sejak dua pekan belakangan. 

    “Suami saya tidak juga dirawat karena alasan kamar penuh, padahal sudah harus pasang selang ke jantung agar darah bisa di cuci ke mesin. Sudah harus cuci darah seminggu 2-3 kali,” ungkapnya sedih. 

    Perasaan sedih bercampur kecewa tengah dirasakannya saat ini.

    Sosok Alvin Lim Sebelum Jadi Pengacara

    Sosok Alvin Lim telah banyak diperbincangkan di berbagai media.

    Dirinya dikenal sebagai pengacara yang vokal dalam menangani sejumlah kasus, termasuk kasus penipuan dan investasi bodong.

    Alvin Lim diketahui merupakan alumni SMA Kristen 3 Gunung Sahari.

    Usai lulus dari SMA, Alvin Lim melanjutkan studi di Santa Barbara City College, Amerika Serikat.

    Di sana, Alvin berhasil meraih GPA sempurna 4.0 dengan nilai A di setiap mata pelajaran. Bahkan, dosen Rojas memberinya dispensasi untuk tidak mengikuti ujian karena Alvin menciptakan sebuah formula matematika inovatif.

    Kemudian, Alvin diterima di UC Berkeley, salah satu universitas terkemuka di dunia, dengan GPA sempurna 4.0.

    Prestasinya ini menjadikannya salah satu mahasiswa Indonesia yang berhasil masuk ke kampus prestisius dan Ivy League.

    Alvin juga masuk dalam daftar Dean’s List of Honor.

    Dulunya Seorang Akuntan

    Jauh sebelum memulai karir di bidang hukum, Alvin Lim sebelumnya merupakan seorang akuntan.

    Bermula sebagai teller, dalam waktu dua tahun, Alvin berhasil menduduki posisi Vice President di Bank of America.

    Alvin Lim menjadi satu-satunya orang Indonesia yang meraih posisi tersebut, bahkan mendapatkan Certificate of Honor dari mantan Wali Kota San Francisco, Willy Brown.

    Penghargaan itu diperoleh atas keberhasilannya mengelola rekening dan keuangan kota San Francisco.

    Alvin berhasil melipatgandakan keuangan kota San Francisco dalam waktu tiga bulan melalui investasi saham dan opsi.

    Setelah kembali ke Indonesia, Alvin Lim memutuskan untuk mendalami hukum.

    Ia lulus dengan gelar Sarjana Hukum (SH) dari STIH Gunung Jati pada tahun 2016 dan melanjutkan pendidikan Magister Hukum di Universitas Pamulang, yang ia selesaikan pada tahun 2022.

    Pada tahun 2019, Alvin mendirikan LQ Indonesia Lawfirm. 

    Dalam waktu lima tahun, LQ berhasil mengubah industri hukum di Indonesia, terutama dengan motto ‘No Viral, No Justice’ dalam menangani kasus besar, seperti Mega Skandal Indosurya.

    Selain LQ, Alvin Lim juga mendirikan Quotient Center, sebuah pusat layanan media, pelatihan keuangan, dan konsultasi investasi di pasar opsi Amerika.

    Sumber: Warta Kota/Kompas.com/Tribunnews.com

    Sebagian artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Pengacara Alvin Lim Meninggal Dunia, Punya Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Kronis Stadium 5

     

     

  • Mayoritas Wall Street Menguat, tetapi Nasdaq Terkoreksi Akibat Aksi Jual Saham Big Tech

    Wall Street Melemah, Tren Penurunan Berlanjut pada Awal 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks utama Wall Street kembali melemah pada awal 2025 atau Kamis (2/1/2025), melanjutkan tren negatif yang terjadi sejak akhir 2024.

    Indeks S&P 500 turun 0,2%, memperpanjang penurunan empat hari berturut-turut. Setelah sempat bergerak fluktuatif antara kenaikan 0,9% dan penurunan sebesar 0,9%, S&P 500 mencatatkan penurunan terpanjang sejak April 2024.

    Indeks Dow Jones Industrial Average juga melemah 151 poin atau 0,4%, menghapus kenaikan awal 360 poin. Sementara itu, Nasdaq Composite tergelincir 0,2%.

    Secara keseluruhan, S&P 500 turun 13,08 poin menjadi 5.868,55, Dow turun 151,95 menjadi 43.392,27, dan Nasdaq Composite turun 30,00 menjadi 19.280,79.

    Dilansir dari AP, pada saat indeks utama Wall Street melemah, saham Tesla anjlok 6,1% setelah perusahaan tersebut melaporkan pengiriman kendaraan yang lebih rendah dari perkiraan pada kuartal terakhir 2024. Hubungan dekat CEO Elon Musk dengan Donald Trump sempat memicu optimisme investor. Namun, kekhawatiran bahwa valuasi saham terlalu tinggi semakin meningkat.

    Menurut Savita Subramanian, ahli strategi dari Bank of America, tingkat rekomendasi beli oleh analis Wall Street mencapai level tertinggi sejak awal 2022. Hal ini menjadi indikator potensial adanya koreksi harga saham.

    Sementara itu, sektor energi mencatatkan kinerja positif seiring kenaikan harga minyak mentah dan gas alam. Saham Constellation Energy melesat 8,4% setelah memenangkan kontrak senilai lebih dari US$ 1 miliar untuk penyediaan listrik dan program penghematan energi.

    Di sektor teknologi, Nvidia melonjak 3%, melanjutkan kenaikan signifikan dalam dua tahun terakhir. Saham perusahaan ini didorong oleh optimisme terhadap adopsi teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Namun, para analis memperingatkan risiko overvaluasi saham di sektor ini.

    Pada saat Wall Street melemah, pasar saham Asia juga mengalami pelemahan signifikan. Indeks di Hong Kong dan Shanghai masing-masing turun 2,2% dan 2,7% setelah data menunjukkan perlambatan aktivitas manufaktur di Tiongkok. Sebaliknya, bursa saham Eropa mencatatkan penguatan moderat.

  • Donald Trump Tiba-Tiba Bertemu CEO Apple, Bahas Apa?

    Donald Trump Tiba-Tiba Bertemu CEO Apple, Bahas Apa?

    Bisnis.com, JAKARTA – CEO Apple, Tim Cook dikabarkan melakukan pertemuan dengan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Jumat lalu di resor Mar-a-Lago milik Trump di Florida. 

    Melansir dari Reuters, Minggu (15/12/2024) pertemuan ini berlangsung di tengah upaya sejumlah pemimpin bisnis untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan Trump yang akan menjadi Presiden AS pada tahun depan.

    Sejumlah perusahaan besar, termasuk Meta Platforms dan Amazon, telah menunjukkan dukungan terhadap Trump dengan menyumbangkan $1 juta untuk dana pelantikan Trump. 

    Bank of America, pemberi pinjaman terbesar kedua di AS, juga dikabarkan berencana memberikan kontribusi serupa, meskipun jumlah sumbangan meski belum diputuskan.

    Reuters menyebut bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan beberapa isu yang berkaitan dengan bisnis dan kebijakan pemerintah. 

    Seperti yang diketahui bahwa hubungan antara Apple dan Trump terjalin erat, terutama menyusul keluhan Tim Cook pada Oktober 2024 terkait sanksi yang dijatuhkan oleh Uni Eropa terhadap perusahaan pembuat iPhone tersebut. 

    Regulator Eropa telah meluncurkan berbagai penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi besar dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Apple.

    Penylidikan ini guna menanggulangi dominasi pasar yang dianggap tidak sehat dan memastikan adanya persaingan yang adil bagi pesaing yang lebih kecil.

    Cook sebelumnya telah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai dampak dari sanksi-sanksi tersebut terhadap operasi Apple di Eropa. 

    Selain itu, beberapa laporan menunjukkan bahwa Departemen Kehakiman AS juga tengah menyelidiki Apple terkait dugaan praktik antimonopoli, yang semakin memperumit hubungan perusahaan tersebut dengan pihak berwenang.