Kementrian Lembaga: Badan Kebijakan Fiskal

  • Wamenkeu Anggito ajak diskusi asosiasi pengusaha tekstil

    Wamenkeu Anggito ajak diskusi asosiasi pengusaha tekstil

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu melakukan pertemuan dengan asosiasi pengusaha tekstil melalui acara “Kemenkeu Mendengar”.

    Dalam kesempatan tersebut, Wamenkeu Anggito menyerap aspirasi sekaligus berdiskusi mengenai industri tekstil di Indonesia.

    “Diskusi ini merupakan salah satu bentuk ikhtiar kami di Kementerian Keuangan untuk terus-menerus melakukan perbaikan dengan mendengarkan saran dan masukan dari para pemangku kepentingan,” kata Anggito dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

    Wamenkeu Anggito mengatakan industri tekstil memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.

    Industri tekstil juga disebut berperan dalam memenuhi kebutuhan sandang dan menyumbang devisa Indonesia.

    Dalam diskusi itu, ia menyebut dialog berjalan secara konstruktif demi satu tujuan besar yang sama, yaitu memperkuat sektor industri tekstil.

    Apresiasi disampaikan Wamenkeu Anggito kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan masukan untuk kemajuan industri tekstil Indonesia.

    “Sinergi ini adalah modal berharga untuk mewujudkan industri tekstil yang lebih berdaya saing dan berkelanjutan,” ujar Anggito.

    Untuk diketahui, program “Kemenkeu Mendengar” merupakan bentuk komitmen Kementerian Keuangan untuk menjalin dialog terbuka dan mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan, serta menerapkan pendekatan multikanal yang memperluas keterlibatan publik dalam proses perumusan kebijakan ekonomi dan fiskal.

    Kegiatan tersebut menjadi wadah bagi Kementerian Keuangan untuk mendengarkan langsung berbagai perspektif dari pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam menyusun kebijakan yang lebih inklusif dan berorientasi pada perkembangan ekonomi saat ini.

    Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan tengah menyiapkan aturan khusus tindakan pengamanan perdagangan (TPP) guna membatasi arus impor pakaian jadi.

    Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (8/11), mengungkapkan langkah ini merupakan upaya bersama antar-kementerian yang bertujuan melindungi industri pakaian jadi lokal dari persaingan produk impor yang semakin deras.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2024

  • Kemenkeu Bongkar Alasan Pemerintah Tak Kasih Insentif Mobil Hybrid

    Kemenkeu Bongkar Alasan Pemerintah Tak Kasih Insentif Mobil Hybrid

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap alasan mengapa pemerintah tak kunjung memberikan insentif mobil hybrid. Padahal, kebijakan tersebut telah dinantikan produsen roda empat sejak lama.

    Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Rustam Effendi mengatakan, pihaknya sempat mempertimbangkan pemberian insentif untuk mobil hybrid. Namun, di tengah jalan, pemerintah memilih fokus ke mobil listrik karena lebih ramah lingkungan.

    “Awalnya kita melakukan transisi energi secara bertahap. Namun ketika sudah berjalan, ditetapkan bahwa kita loncat ke BEV. Ini sudah ditetapkan ketika presiden sebelumnya,” ujar Rustam saat menyampaikan materi dalam forum diskusi yang digelar di Gondangdia, Jakarta Pusat.

    Mobil hybrid. Foto: Istimewa

    Kebijakan mengenai pemberian insentif hybrid tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 yang merevisi PP Nomor 73 Tahun 2019 yang mengatur pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil rendah emisi.

    “Awalnya pemerintah sepakat menyamakan tarif PPnBM antara mobil BEV dengan hybrid, dalam hal ini PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle), yakni sama-sama nol persen,” ungkapnya.

    “Namun itu tidak mendorong percepatan BEV sebagaimana amanat Perpres 79/2023, sementara kita sadari tren global mengarah ke BEV. Sehingga pada waktu itu disepakati antar kementerian bahwa memang perlu ada gap antara BEV dengan hybrid,” tambahnya.

    Maka, dengan begitu, mobil PHEV dikenakan PPnBM mulai dari lima persen. Besarannya tergantung kapasitas mesin dan emisi karbon yang dihasilkan.

    Keberpihakan ‘berlebih’ terhadap mobil hybrid juga membuat pasar mobil listrik bergerak lambat. Bahkan, dia Rustam merasa, pemainnya ketika itu hanya itu-itu saja, yakni Hyundai dan Wuling.

    “Sementara untuk mengundang pemain lainnya agak berat karena perbandingan antara mobil konvensional dengan mobil listrik hampir 150 persen. Apabila ditambah biaya masuk, kala itu 50 persen, ditambah PPnBM 15 persen, tidak mungkin mereka masuk ke Indonesia dalam rangka tes pasar,” tuturnya.

    Rustam menjelaskan, pemerintah melalui Presiden Jokowi sejak awal memang berniat ‘lompat’ langsung dari ICE ke BEV. Sehingga tak melalui perantara PHEV lebih dulu. Sebab, mereka ingin, transisinya bergerak lebih cepat.

    “Pemerintah saya rasa telah memberikan solusi cerdas yaitu dengan memberikan insentif pembebasan bea masuk dan PPnBM BEV impor asalkan berkomitmen untuk produksi lokal melalui Peraturan BKPM No.6/2023,” kata dia.

    (sfn/sfn)

  • Kata Kemenkeu soal Diskon PPnBM Mobil Dihidupkan Lagi di Indonesia

    Kata Kemenkeu soal Diskon PPnBM Mobil Dihidupkan Lagi di Indonesia

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara soal kemungkinan mengadakan lagi diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk mobil penumpang. Kemenkeu masih melihat sejauh mana urgensinya untuk pasar kendaraan di dalam negeri.

    Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Rustam Effendi mengatakan, pemerintah tak menutup kemungkinan memberikan lagi diskon PPnBM untuk mobil penumpang. Lebih lagi, penjualan roda empat di Indonesia sedang turun-turunnya.

    “Soal insentif PPnBM diulang seperti era pandemi kemarin, kalau dari sisi kemungkinan, kan semua mungkin. Kita lihat pertama dampaknya seberapa jauh sih mendistorsi kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong EV,” ujar Rustam dalam forum diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (21/11).

    Diskon PPnBM DTP. Foto: Pradita Utama

    Rustam menegaskan, pemerintah sebenarnya mau-mau saja memberikan diskon PPnBM untuk mobil penumpang di tengah lesunya pasar. Namun, kata dia, fokus pemerintah saat ini mendorong transisi masyarakat ke mobil listrik.

    “Jadi, pemerintah sebenarnya sudah siap berkorban dalam hal penerimaan. Namun, fungsi mengaturnya, karena kita konsisten mendorong mobil listrik,” ungkapnya.

    “Jangan sampai program EV yang sudah kita berikan dalam satu rangkaian, yaitu investasi di dalam negeri, jadi terganggu,” tambahnya.

    Sejumlah pengunjung memilih mobil di pameran Gaikindo Jakarta Auto week, JCC, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (17/3/2023). Pameran GAIKINDO Jakarta Auto Week (GJAW) 2023 diyakini menjadi momen tepat untuk masyarakat membeli mobil baru buat mudik Lebaran tahun ini. Foto: Pradita Utama

    Prinsipnya, kata Rustam, semua kebijakan yang terkait otomotif harus dilihat dampaknya ke pasar mobil listrik. Menurutnya, jangan sampai, kebijakan tersebut justru memperlambat transisi ke energi ramah lingkungan.

    “Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Prinsipnya, selagi tidak mengganggu rencana pemerintah untuk mengembangkan mobil listrik. Dalam rangka menyelesaikan defisit impor BBM, subsidi, kemudian terkait nikel, kalau tidak terganggu, saya pikir oke oke saja,” kata dia.

    Sebagai catatan, insentif PPnBM DTP pernah diterapkan saat Indonesia ditimpa pandemi tiga tahun lalu. Ketika itu, permintaan kendaraan mengalami kenaikan saat daya beli konsumen sedang lemah-lemahnya.

    (sfn/sfn)

  • Cegah Fenomena Downtrading, Harga Jual Eceran Rokok Bakal Disesuaikan

    Cegah Fenomena Downtrading, Harga Jual Eceran Rokok Bakal Disesuaikan

    Jakarta: Pemerintah mengumumkan sejumlah kebijakan penting dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Salah satunya keputusan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT), yang diikuti dengan penyesuaian terhadap Harga Jual Eceran (HJE) rokok untuk tahun depan.
     
    Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, alasan pemerintah tidak menaikkan tarif CHT pada 2025. Ia menyatakan keputusan ini untuk menjaga stabilitas harga dan mendukung kelangsungan usaha di industri hasil tembakau (IHT). 
     
    “Sudah kita sampaikan bulan lalu di APBN 2025 bahwa tidak ada kenaikan tarif CHT. Kami memberikan ruang kepada pelaku usaha,” kata dia usai Konferensi Pers APBN KiTa dilansir, Rabu, 20 November 2024.
    Di sisi lain, penyesuaian HJE rokok sedang dipersiapkan untuk memberikan kepastian kepada pelaku usaha, yang diharapkan mampu menstabilkan harga dan menekan konsumsi tembakau secara bertahap. Kebijakan ini juga untuk mengatasi fenomena downtrading, yakni peralihan ke rokok dengan harga yang lebih murah. 
     
    “Itu yang sedang kita siapkan pengaturannya, terkait dengan HJE, agar memberikan kepastian usaha bagi pelaku usaha,” ungkap Febrio.
     

     
    Sebelumnya, Dirjen Bea Cukai Askolani menjelaskan bahwa kebijakan tarif CHT untuk tahun depan akan difokuskan pada penanganan fenomena downtrading, yang dapat berdampak pada penurunan penerimaan cukai rokok. Apalagi CHT merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara.
     
    “Kebijakan cukai hasil tembakau 2025 ini tentunya bisa mempertimbangkan downtrading,” tuturnya.
     
    Fenomena downtrading tidak hanya berdampak pada merosotnya realisasi target penerimaan negara dari cukai tembakau, namun juga menghambat pengendalian konsumsi. Tingginya konsumsi rokok murah dari golongan 2 dan 3 berpotensi juga mempermudah akses dan keterjangkauan rokok pada anak dan remaja. 
     
    Meski tarif CHT tidak dinaikkan, Askolani mengatakan pemerintah juga akan mengatur HJE rokok di tingkat industri untuk mengatasi fenomena downtrading. Pemerintah akan mempertimbangkan perbedaan antara golongan rokok tersebut dalam merumuskan kebijakan cukai tembakau yang lebih tepat dan efektif. 
     
    “Hal ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara pertumbuhan penerimaan cukai dan keberlanjutan industri tembakau di Indonesia,” ungkap dia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (END)

  • Prabowo Naikkan Kuota FLPP 2025 Jadi 300.000 Unit, Ini Kata Pengembang

    Prabowo Naikkan Kuota FLPP 2025 Jadi 300.000 Unit, Ini Kata Pengembang

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengembang properti berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto merealisasikan rencana penambahan kuota pembiayaan rumah subsidi atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada 2025.

    Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Realestate Indonesia (REI), Joko Suranto mengatakan Presiden Prabowo sebelumnya telah berkomitmen untuk menambah kuota FLPP di tahun depan. Dia pun berharap agar janji tersebut dapat direalisasikan.

    Joko menyebut Prabowo bakal menambah cakupan kuota FLPP hingga 300.000 unit rumah atau meningkat dari kuota FLPP pada 2024 yaitu 200.000 unit.

    “FLPP itu [biasanya hanya sampai sekitar] 220.000 unit, kemudian Tapera 40.000 unit. Komitmen di awal [untuk tahun 2025] akan ada kenaikan [kuota FLPP] menjadi 300.000. Itu tetap kita pegang dan kita yakini,” kata Joko saat ditemui di Kantor DPP REI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

    Joko menyebut, apabila komitmen tersebut benar terealisasi, maka hal itu bakal menjadi katalis positif bagi perekonomian nasional. Di tambah, angka itu juga sedikit banyak bakal menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan masih berada di angka 9,9 juta unit.

    Di sisi lain, penambahan kuota FLPP juga akan menopang realisasi pembangunan 3 juta rumah yang digagas oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.

    “Kami juga nanti di Rakernas akan menambah banyak hal dan kita akan menyiapkan strategi di organisasi kita, menyesuaikan terhadap nomenklatur kementerian-kementerian yang ada, sehingga kita bisa bersama-sama mendorong program 3 juta rumah ini,” ujarnya.

    Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, pemerintah telah menambah kuota FLPP dari 168.000 unit menjadi 200.000 unit untuk 2024.  

    Adapun saat ini, total serapan kuota rumah subsidi tersebut telah mendekati limit, mencapai 178.000 unit.

    “Saat ini kita pantau, sampai akhir Oktober, itu sudah mencapai realisasi 178.000 unit,” ungkap Febrio dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, dikutip Sabtu (9/11/2024).  

    Dengan demikian, kuota pembangunan rumah subsidi lewat FLPP kini tersisa 22.000 unit lagi. Febrio meyakini, sisa kuota 22.000 unit tersebut bisa tercapai hingga akhir 2024.

    Adapun, kuota FLPP pada 2025 awalnya ditargetkan mencapai 220.000 unit. Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan total nilai alokasi 220.000 unit kuota FLPP tahun anggaran 2025 itu mencapai Rp18,77 triliun yang bersumber dari APBN.

    “Alokasi ini nantinya akan digunakan untuk penyaluran FLPP kepada 220.000 unit rumah dan diharapkan memberi kontribusi sebesar 2,8% terhadap backlog kepemilikan rumah MBR,” kata Heru dalam keterangan resmi, Kamis (5/9/2024).

  • Ramai Penolakan PPN naik jadi 12%, Ini Respons Anak Buah Sri Mulyani

    Ramai Penolakan PPN naik jadi 12%, Ini Respons Anak Buah Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada 2025 ramai mendapatkan penolakan dari sejumlah lapisan masyarakat. Namun, di tengah gelombang penolakan itu, kenaikan PPN masih tetap direncanakan untuk berlaku.

    Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo menegaskan bahwa terkait kenaikan tarif PPN tersebut, pemerintah senantiasa mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan fiskal, serta aspirasi dari masyarakat luas.

    Meski dengan pertimbangan tersebut, Wahyu enggan menyampaikan secara gamblang rencana pemerintah pada tahun depan.

    “Intinya pemerintah akan menentukan pilihan yang optimal bagi masyarakat dan perekonomian,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (19/11/2024). 

    Ketentuan kenaikan PPN menjadi 12% tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam Pasal 7 Bab IV beleid tersebut, tercantum ketentuan terbaru terkait tarif PPN. Di mana tarif PPN naik 1% menjadi sebesar 11% yang telah mulai berlaku sejak 1 April 2022.   

    “Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu.. sebesar 12% [dua belas persen] yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” tulis huruf b ayat (1) Pasal 7 beleid tersebut, dikutip pada Selasa (19/11/2024).

    Untuk diketahui, pemerintah mematok target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 2025 senilai Rp945,12 triliun. Target tersebut 15,4% lebih besar dari outlook tahun ini yang senilai Rp819,2 triliun.

    Target APBN 2025 tersebut pun tercatat masih menggunakan asumsi PPN berada di angka 11%, bukan 12%. Artinya, penerimaan negara dapat jauh lebih besar jika menggunakan PPN 12%.

    Hari-hari menuju 2025, pelaku usaha was-was terhadap daya beli masyarakat yang saat ini sedang tidak baik-baik saja akan semakin anjlok.

    Bahkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Cucun Ahmad Syansurijal mendorong agar rencana tersebut dikaji ulang. Dirinya khawatir akan berdampak terhadap kesejahteraan rakyat karena kenaikan pajak akan memiliki efek domino atau efek turunan.

    “Tentunya hal ini harus dihindari, apalagi kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi. Kenaikan harga-harga kita khawatirkan akan membuat masyarakat semakin sulit, padahal PR negara masih banyak, terutama dari sisi ekonomi kerakyatan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (19/11/2024). 

    Setelah sebelumnya tidak ada kejelasan akan kenaikan tarif PPN tahun depan karena menunggu pergantian pemimpin negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal rencana yang berangkat dari UU HPP tetap berlanjut. 

    “Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujarnya dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Bendahara Negara tersebut pun menegaskan pihaknya tidak akan memungut PPN secara ‘membabi-buta’. Dalam hal kenaikan PPN, menjadi kebutuhan dalam menyehatkan APBN yang jumlahnya tidak sedikit.

    Pasalnya, pada saat bersamaan APBN harus menjalankan berbagai fungsi, termasuk shock absorber dalam merespon kondisi gejolak ekonomi global dan krisis finansial. 

  • PPN Naik Jadi 12% Tahun Depan, Ini Kriteria Barang yang Kena

    PPN Naik Jadi 12% Tahun Depan, Ini Kriteria Barang yang Kena

    Jakarta

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sejauh ini pemerintah masih mengacu kepada peraturan tersebut.

    Lantas, jika PPN naik menjadi 12% mulai 2025, barang dan jasa apa saja yang terdampak?

    Melansir laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (18/11/2024), subjek PPN ialah pengusaha kena pajak (PKP) baik orang pribadi maupun badan yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

    Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, PPN dikenakan atas:

    – Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
    – Impor barang kena pajak
    – Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
    – Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
    – Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
    – Ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak
    – Ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak
    – Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

    (acd/acd)

  • Prabowo Bisa Batalkan Tarif PPN 12%, Begini Caranya

    Prabowo Bisa Batalkan Tarif PPN 12%, Begini Caranya

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto bisa membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

    Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1%—dari 11% menjadi 12%—sendiri sudah diamanatkan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Dengan alasan amanat UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan mencoba menjalankan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut meski banyak pihak yang mentangnya.

    “Kita perlu siapkan agar itu [kenaikan PPN menjadi 12%] bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Kendati demikian, notabenenya UU HPP juga menambahkan klausul yang memungkinkan penundaan kenaikan tarif PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan tarif PPN 12% pada awal 2025 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

    Caranya dijelaskan dalam Pasal 4 UU HPP:

    Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Artinya, PPN 12% bisa dibatalkan lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Prabowo sesudah disampaikan ke DPR agar disepakati dalam penyusunan RAPBN.

    Lagi pula, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengungkapkan bahwa penyusunan target penerimaan pajak tahun depan seperti yang sudah ditetapkan dalam APBN 2025 masih berdasarkan PPN 11%.

    “Rp2.490 triliun pendapatan negara [pajak + kepabeanan dan cukai], di antaranya itu tidak termasuk PPN 12%,” ucap Said usai Rapat Paripurna DPR, Kamis (19/9/2024).

    Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo tidak menampik bahwa pemerintah belum menggunakan PPN 12% dalam menghitung APBN 2025.

    Menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan berbagai kondisi perekonomian sebelum menerapkan suatu kebijakan.

    “Penyesuaian tarif PPN ke 12% itu sudah masuk UU HPP, namun dalam implementasi tetap mempertimbangkan suasana masyarakat, termasuk daya beli, kondisi ekonomi, dan mungkin momentum yang tepat,” ungkapnya dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/9/2024).

    Kritik Kenaikan PPN

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan kenaikan PPN berpotensi menambah beban pengeluaran rumah tangga masyarakat miskin.

    Dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi ‘Indonesia Economic Outlook 2025’, LPEM UI menunjukkan antara 201—2019 dengan tarif PPN sebesar 10%, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga termiskin adalah sekitar 3,93%.

    Sedangkan, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga kaya mencapai 5,04%.

    Adapun setelah pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, terjadi progresivitas beban PPN di seluruh rumah tangga.

    “Dari tahun 2022 hingga 2023, rata-rata beban PPN untuk 20% kelompok termiskin adalah 4,79%, sedangkan untuk 20% kelompok terkaya adalah 5,64%,” demikian bunyi laporan LPEM FEB UI dikutip pada Sabtu (16/11/2024).

    Hanya saja, LPEM FEB UI menyebu  kenaikan tarif PPN pada 2022 dari 10% menjadi 11% memberikan dampak yang lebih regresif ke masyarakat miskin.

    Kenaikan tarif PPN menyebabkan peningkatan beban belanja sekitar 0,86 poin persentase untuk 20% rumah tangga termiskin. Sedangkan 20% rumah tangga terkaya naik yang lebih kecil, yaitu 0,71 poin persentase.

    Kalangan pengusaha juga sudah mengkritisi wacana kenaikan tarif PPN tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan tersebut karena kondisi perekonomian sedang mengkhawatirkan.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan bahwa sedang terjadi tren penurunan daya beli masyarakat dan jutaan kelas menengah turun kasta. Oleh sebab itu, Ajib menyarankan agar pemerintah mengambil jalan lain apabila ingin mendapatkan tambahan penerimaan negara.

    Menurutnya, ada dua kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tetap menjaga daya beli masyarakat.

    Sesuai dengan PMK No. 101/2016, besaran PTKP yaitu Rp54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan.

    “Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” ungkap Ajib dalam keterangannya, Senin (12/8/2024).

    Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost alias biaya pajak dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi.

    Dia mencontoh sektor properti hingga sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

    “Namun, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector [sektor swasta] tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan sehingga fiskal bisa tetap prudent,” ujar Ajib.

  • Ada Badan Intelejen Keuangan dari Prabowo untuk Kemenkeu, Sri Mulyani Jelaskan Fungsinya

    Ada Badan Intelejen Keuangan dari Prabowo untuk Kemenkeu, Sri Mulyani Jelaskan Fungsinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan fungsi Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan, yang merupakan organisasi baru di bawahnya

    Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan itu sendiri resmi terbentuk usai Presiden Prabowo Subianto menandatangi Peraturan Presiden (Perpres) No. 158/2024 tentang Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

    Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku notabenenya Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan sudah lama ada di Kemenkeu. Hanya saja, sambungnya, kini fungsinya diperkuat.

    “Selama ini kita sudah memiliki apa yang disebut Center Transformation Office. Itu yang pegang semua pusat intelijen dan teknologi digital di Kemenkeu,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, akhir pekan lalu (8/11/2024).

    Bendahara negara itu mengungkapkan, fungsi utama Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan yaitu untuk mengelola data, analitik, dan meningkatkan kemampuan artificial intelligence alias kecerdasan buatan.

    Selain itu, sambungnya, ada dua organisasi baru lain di Kemenkeu. Pertama, Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal yang merupakan penguatan dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sehingga kini bisa mengeluarkan kebijakan karena sudah berbentuk Dirjen.

    Kedua, Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan yang bertugas menjaga pengembangan sektor keuangan. Apalagi, kata Sri Mulyani, Kemenkeu memiliki peran penting di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

    “Karena ada perubahan nomenklatur, akan ada re-appointment atau appointment terhadap para pejabat, yang tentu kami sampaikan secara transparan,” ujarnya.

  • Awas Kehabisan, Kuota Rumah Subsidi FLPP Semakin Menipis!

    Awas Kehabisan, Kuota Rumah Subsidi FLPP Semakin Menipis!

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mengungkapkan bahwa kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP untuk tahun ini semakin menipis.

    Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, pemerintah telah menambah kuota FLPP dari 168.000 unit menjadi 200.000 unit untuk 2024.

    “Saat ini kita pantau, sampai akhir Oktober, itu sudah mencapai realisasi 178 ribu unit,” ungkap Febrio dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, dikutip Sabtu (9/11/2024).

    Dengan demikian, kuota pembangunan rumah subsidi lewat FLPP kini tersisa 22.000 unit lagi. Febrio meyakini, sisa kuota 22.000 unit tersebut bisa tercapai hingga akhir 2024.

    Sebagai informasi, mengutip laman resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), FLPP merupakan dukungan fasilitas likuiditas perumahan yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

    Singkatnya, FLPP merupakan subsidi KPR yang diberikan pemerintah untuk mendukung para MBR memiliki hunian yang layak. 

    Adapun, program FLPP ditujukan bagi kelompok sasaran dengan batasan penghasilan per bulan maksimal Rp8 juta. Masyarakat yang menerima fasilitas ini akan menikmati suku bunga paling tinggi hanya 5% dengan masa subsidi KPR paling lama akan diberikan selama 20 tahun.

    Sementara itu, sumber dana FLPP berasal dari suntikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah rutin dialokasikan sejak tahun 2010.

    Selain FLPP, sambung Febrio, pemerintah juga memberikan insentif lain untuk sektor perumahan yaitu pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP) sebesar 100%. Insentif PPN-DTP untuk perumahan tersebut juga sudah diperpanjang hingga 31 Desember 2024.

    Hingga 31 Oktober 2024, ujar Febrio, realisasi insentif PPN-DTP perumahan sampai mencapai 31,6 ribu unit rumah. Hingga akhir tahun, pemerintah memproyeksikan realisasinya hingga 54 ribu unit rumah.

    Insentif PPN DTP tersebut sendiri berlaku untuk unit rumah berharga di bawah Rp5 miliar serta dengan batasan pemberian insentif sebesar Rp2 miliar.

    Febrio mengeklaim, salah satu faktor kenaikan pertumbuhan realisasi investasi selama Kuartal III/2024 yaitu karena dua insentif sektor perumahan tersebut. Oleh sebab itu, insentif FLPP dan PPN-DTP perumahan diharapkan juga mendongkrak perekonomian pada sisa tahun ini.