Kementrian Lembaga: Badan Kebijakan Fiskal

  • CPA Australia Luncurkan Panduan untuk Mendukung UMKM Indonesia Naik Kelas – Halaman all

    CPA Australia Luncurkan Panduan untuk Mendukung UMKM Indonesia Naik Kelas – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto 

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – CPA Australia, badan profesional akuntansi memperkenalkan panduan  untuk mendorong berkembangnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    Panduan ini berisi tips bagi UMKM di berbagai bidang seperti peningkatan operasional, manajemen risiko, tata kelola, dan keberlanjutan bisnis.

    Survei Tahunan Usaha Kecil Asia-Pasifik CPA Australia mendapati temuan bahwa usaha kecil Indonesia termasuk yang tercepat pertumbuhannya di kawasan, meskipun masih terdapat peluang untuk perbaikan.

    Kepala Regional CPA Australia untuk Asia Tenggara Priya Terumalay mengatakan, hasil survei menunjukkan momentum pertumbuhan yang terus kuat di Indonesia selama dua tahun terakhir, mencerminkan kepercayaan terhadap bisnis dan perekonomian.

    “Dengan data survei yang menunjukkan kemungkinan beberapa usaha kecil lokal dapat naik kelas menjadi bisnis besar dan sukses secara global dalam beberapa tahun mendatang, profesi akuntansi perlu mendukung pembangunan kapasitas sebagai mitra dan penasihat terpercaya,” ujarnya, Minggu (15/12/2024).

    Dikatakannya, perangkat ini menyediakan alat dan panduan penting untuk mendukung UMKM membangun ketahanan bisnis dan meningkatkan efisiensi operasional.”

    Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI Adi Budiarso menambahkan pentingnya UMKM dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan dukungan profesional seperti akuntan.

    “Dia mengatakan, UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, menyumbang lebih dari 60 persen PDB dan mempekerjakan 97 persen tenaga kerja.

    Dengan lebih dari 64 juta UMKM pada tahun 2023, mereka sangat penting bagi stabilitas ekonomi dan pembangunan inklusif.

    “Untuk membuka potensi penuh mereka sebagai penggerak transformasi ekonomi, kita harus mendukung mereka dengan kebijakan yang tepat, akses keuangan, digitalisasi, dan praktik berkelanjutan.”

    Menurutnya, Panduan Pengelolaan UMKM dari CPA Australia adalah upaya yang patut diapresiasi untuk memberikan panduan berharga kepada UMKM guna meningkatkan daya saing mereka.

    Perangkat ini diluncurkan pada acara Member Recognition Ceremony untuk memberikan penghargaan kepada anggota CPA Australia yang telah mencapai status CPA setelah berhasil menyelesaikan Program CPA, anggota yang telah mencapai status Fellow, serta anggota senior dengan masa keanggotaan 10 hingga 30 tahun.

  • Bea Cukai Pastikan Harga Jual Eceran Rokok Naik Tahun Depan

    Bea Cukai Pastikan Harga Jual Eceran Rokok Naik Tahun Depan

    ERA.id – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memastikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok konvensional dan rokok elektrik akan mengalami kenaikan mulai 2025. 

    Langkah ini merupakan strategi pemerintah dalam mengelola kebijakan cukai rokok tanpa menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). 

    Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani menyatakan bahwa aturan ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dijadwalkan terbit pekan ini.

    “PMK sudah kami siapkan bersama dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal). Sudah diharmonisasi di Kemenkum dan Insya Allah dalam minggu ini bisa diterapkan. Dan dua PMK, satu PMK mengenai HJE rokok konvensional dan satu lagi PMK mengenai HJE rokok elektrik yang tentunya akan kita pakai untuk landasan kebijakan di tahun 2025,” kata Askolani, dikutip Antara, Kamis (12/12/2024).

    Askolani menjelaskan, penyesuaian HJE tahun depan didasarkan pada sejumlah pertimbangan strategis, termasuk mitigasi terhadap penurunan perdagangan atau downtrading yang terjadi pada 2024. 

    Selain mempertimbangkan perkembangan industri, kondisi tenaga kerja, dan intensitas pengawasan pita cukai, kebijakan ini juga diterapkan sebagai bagian dari upaya pengendalian kesehatan yang menjadi langkah besar pemerintah dalam menata regulasi hasil tembakau. 

    Lebih lanjut, sebagai tindak lanjut dari kebijakan ini, Bea Cukai telah menyelesaikan desain pita cukai untuk 2025. Pita cukai tersebut akan dicetak oleh Perum Peruri.

    “Kami sudah menyiapkan kontraknya juga dengan Peruri, dan Peruri juga sudah menyiapkan sarana-prasarana dan bahan baku untuk pencetakan pita cukai 2025 sehingga harapan kita dalam waktu dekat, pita cukai sudah mulai bisa dijalankan dan disiapkan oleh Peruri untuk bisa dipenuhi di bulan Desember ini,” jelasnya. 

    Adapun Bea Cukai memprediksi permintaan pita cukai pada Desember 2024 akan meningkat signifikan, namun puncaknya diproyeksikan pada Januari 2025 mendatang.

    “Kami sampaikan bahwa di bulan Januari, perkiraan pita cukai yang akan dipesan oleh perusahaan rokok sekitar 15-17 juta pita cukai, yang tentunya selama ini kita dengan Peruri bisa lakukan dan penuhi sesuai dengan ketentuan,” terang Askolani.

  • Deretan Mobil Mewah yang Berpotensi Kena PPN 12%

    Deretan Mobil Mewah yang Berpotensi Kena PPN 12%

    Jakarta

    Sejumlah barang mewah, termasuk mobil mewah bakal kena PPN 12 persen mulai tahun 2025. Apa saja mobil yang berpotensi kena PPN 12 persen?

    Mulai tahun 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik jadi 12 persen. PPN 12 persen itu diusulkan tak kena dibebankan ke semua barang. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco mengungkap, PPN 12 persen itu hanya akan dikenakan ke barang-barang mewah.

    “Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah,” kata Dasco belum lama ini.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menambahkan, barang-barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen itu hanyalah golongan barang yang sebelumnya telah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    “Jadi masyarakat kelas atas lah yang mempunyai kemampuan beli barang mewah itu yang dikenakan,” ungkap Misbakhun.

    Dikutip dari laman Badan Kebijakan Fiskal, PPNBM adalah pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah kepada produsen untuk menghasilkan atau mengimpor barang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. PPnBM ini hanya dikenakan satu kali pada saat penyerahan barang ke produsen.

    Disebutkan barang kena pajak yang tergolong mewah dengan rincian sebagai berikut:
    – barang yang bukan barang kebutuhan pokok
    – barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
    – barang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
    – barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status

    Daftar Barang yang Tergolong Mewah

    Lebih spesifik lagi, ada sejumlah barang yang dikenakan PPnBM berikut ini

    a. kendaraan bermotor, kecuali ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara
    b. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan sejenisnya
    c. Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga
    d. Kelompok balon udara
    e. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara
    f. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata

    Soal PPnBM untuk kendaraan bermotor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.010/2021 tentang Penetapan Jenis Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengenaan Pemberian dan Penatausahaan Pembebasan, dan Pengembalian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    Bila mengacu pada aturan tersebut, hampir semua model mobil dikenakan PPnBM termasuk model LCGC dengan besaran yang berbeda sesuai dengan emisi yang dihasilkan. LCGC misalnya dikenakan PPnBM sekitar 3 persen. Tapi kalau bicara mewah, LCGC boleh dibilang tak termasuk dalam golongan mobil mewah. Mobil tersebut memiliki makna Low Cost Green Car yang berarti biaya rendah dan lebih ‘hijau’. Bisa dilihat dari harganya, di mana model termahal saat ini tak sampai Rp 200 juta.

    Mobil Mewah Berpotensi Kena PPN 12%

    Sementara model di luar LCGC, besar PPnBM-nya berbeda tergantung dari emisi gas buang yang dihasilkan. Berbeda dengan mobil berbahan bakar konvensional, salah satu barang yang tergolong mewah namun PPnBM-nya 0 persen adalah kendaraan dengan teknologi battery electric vehicles atau fuel cell vehicles.

    “Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM dengan tarif sebesar 15 persen dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar 0 persen (15% x 0%) dari Harga Jual merupakan kendaraan bermotor yang termasuk program kendaraan bermotor yang menggunakan teknologi battery electric vehicles atau fuel cell electric vehicles,” demikian bunyi pasal 16 PMK tersebut.

    Pun kalau bicara kendaraan mewah di Indonesia dengan kapasitas mesin besar, ada beberapa model yang masuk kategori tersebut. Sebut saja, mobil sekelas Mercedes-Benz, BMW, Lexus, hingga Audi. Mobil itu juga diketahui menyasar kalangan berduit di Tanah Air. Bukan tak mungkin, deretan mobil tersebut bakal dikenakan PPN sebesar 12 persen.

    (dry/din)

  • Daftar Barang Mewah yang Dikenakan PPN 12 Persen

    Daftar Barang Mewah yang Dikenakan PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan, kebijakan multitarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan diterapkan mulai Januari 2025. Kebijakan ini menjadi solusi tengah antara kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), serta mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.

    “Kami (DPR) awalnya mengusulkan sistem multitarif PPN, dan presiden juga sepaham, sehingga koordinasi bisa segera dilakukan,” kata Dasco di Jakarta, Jumat (6/12/2024).

    Dalam skema multitarif PPN, terdapat tiga kategori barang yang dikenakan pajak. Untuk barang yang dikenakan tarif PPN 12 persen adalah barang yang selama ini dikenakan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).

    Mengacu pada laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), barang yang dikenakan PPnBM adalah barang yang bukan kebutuhan pokok, dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, serta menunjukkan status sosial.

    Barang-barang mewah tersebut adalah:

    Kendaraan bermotor, kecuali untuk kendaraan jenazah, kendaraan ambulans, kendaraan tahanan, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara.Kelompok hunian mewah, seperti rumah mewah, kondominium, apartemen, totan house, dan sejenisnya.Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga.Kelompok balon udara.Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata.

    Sementara itu, dalam skema multitarif PPN, untuk kategori barang yang tidak dikenakan PPN sama sekali, seperti bahan makanan, UMKM, pendidikan, transportasi, kesehatan, jasa keuangan dan asuransi, serta listrik dan air bersih untuk pelanggan dengan daya di bawah 6.600 VA. Sedangkan kategori barang yang dikenakan tarif PPN 11 persen, yakni barang-barang yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah.

    Presiden Prabowo Subianto sebelumnya juga telah menegaskan bahwa kebijakan PPN 12 persen yang akan diterapkan mulai 2025 akan diberlakukan secara selektif. PPN 12 persen ini hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah, sementara kebutuhan masyarakat umum akan tetap mendapatkan perlindungan penuh dari pemerintah.

  • PPN Diberlakukan Multitarif, DPR Pastikan Tak Ada Revisi Undang-Undang HPP

    PPN Diberlakukan Multitarif, DPR Pastikan Tak Ada Revisi Undang-Undang HPP

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan pihaknya tidak akan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) setelah menyepakati penerapan multitarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan mulai berlaku pada Januari 2025. Pasalnya, angka multitarif PPN yang diusulkan masih berada dalam rentang yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP, yaitu antara 5 persen hingga 15 persen.

    “Revisi UU HPP tidak diperlukan, karena kenaikan tarif PPN masih dalam rentang yang ditetapkan, yakni antara 5 persen hingga 15 persen,” ujar Dasco di Gedung DPR, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (6/12/2024).

    Menurut Dasco, penerapan multitarif PPN ini merupakan hasil kesepakatan antara DPR dan Presiden Prabowo Subianto, yang memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Kesepakatan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh DPR dengan kementerian terkait, khususnya Kementerian Keuangan, sebelum diumumkan secara resmi oleh pemerintah.

    “Pada awalnya kami (DPR) mengusulkan multitarif PPN, dan Presiden pun memiliki pandangan yang sama, sehingga kami bisa segera melakukan koordinasi,” tambah Dasco.

    Dasco menegaskan bahwa pemerintah akan mulai menerapkan multitarif PPN pada Januari 2025. Menurutnya, kebijakan ini merupakan jalan tengah antara kewajiban kenaikan tarif PPN 12 persen menurut UU HPP dan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. DPR akan terus memantau implementasi kebijakan ini.

    “Kami akan melakukan simulasi terlebih dahulu tahun ini, karena berdasarkan ketentuan undang-undang, tarif PPN memang harus naik. Namun, dengan situasi ekonomi yang ada, tidak mungkin semua tarif langsung dinaikkan ke 12 persen,” kata Dasco.

    “Oleh karena itu, kami mencari solusi bersama dengan pemerintah, dan alhamdulillah kesepakatan hampir tercapai,” tambahnya.

    Dalam skema multitarif PPN, terdapat tiga kategori barang yang dikenakan PPN. Pertama, barang yang tidak dikenakan PPN sama sekali, seperti bahan makanan, UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan dan asuransi, serta listrik dan air bersih untuk pelanggan dengan daya di bawah 6.600 VA.

    Kedua, barang yang dikenakan tarif PPN 11 persen, yakni barang-barang yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah. Ketiga, barang yang dikenakan tarif PPN 12 persen adalah barang-barang yang selama ini dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

    Merujuk pada laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), barang yang dikenakan PPnBM adalah barang yang bukan kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, barang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, dan barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status sosial.

    Barang-barang mewah tersebut adalah:
    1. Kendaraan bermotor, kecuali untuk kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara.
    2. Kelompok hunian mewah, seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan sejenisnya
    3. Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga
    4. Kelompok balon udara
    5. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.
    6. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata.

  • Pemerintah Targetkan Kebijakan Perpanjangan PPh Final 0,5 Persen bagi UMKM Rampung sebelum Akhir Desember

    Pemerintah Targetkan Kebijakan Perpanjangan PPh Final 0,5 Persen bagi UMKM Rampung sebelum Akhir Desember

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah sedang mengkaji perpanjangan pemberlakuan pajak 0,5% bagi para pengusaha UMKM dengan omzet tahunan tertentu.  Proses pembahasan kebijakan ini melibatkan kolaborasi antara Kementerian UMKM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

    “Kami sekarang sedang meng-exercise dan ada beberapa skema, tetapi skema pertama memastikan terlebih dahulu perpanjangan pemberlakuan pajak 0,5% gross bagi para pengusaha UMKM,” ucap Menteri UMKM Maman Abdurrahman dalam konferensi pers di Kantor Kementerian UMKM pada Jumat (6/12/2024).

    Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, disebutkan bahwa penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri, yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai PPh yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. 

    Tarif PPh yang bersifat final yang dimaksud sebesar 0,5%. Adapun wajib pajak yang dikenakan tarif PPh final adalah wajib pajak yang tidak memiliki penghasilan di bawah Rp 4,8 miliar.

    “Di dalam aturannya, penjualan hingga Rp 500 juta tidak dikenakan pajak, tetapi untuk yang omzetnya antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar, akan dikenakan pajak 0,5% dari gross income,” kata Maman menanggapi perpanjangan PPh Final UMKM.

    Maman mengatakan, target pemerintah adalah menyelesaikan pembahasan ini sebelum akhir Desember, agar kebijakan tersebut dapat diterapkan mulai 1 Januari mendatang. “Harus selesai sebelum Desember, karena pada 1 Januari 2025 nanti sudah harus mulai berjalan,” terang Maman.

    Perpanjangan kebijakan pajak 0,5% ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM dalam memenuhi kewajiban pajak mereka, sekaligus mendukung pertumbuhan sektor UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia.

    Dalam regulasi tersebut, jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final paling lama tujuh tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi, empat tahun pajak bagi wajib pajak badan, berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau  perorangan yang didirikan oleh satu orang, dan tiga tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

    Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengatakan, kebijakan perpanjangan pajak UMKM masih digodok Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu.

    Namun, dia tidak memerinci lebih lanjut mengenai penggodokan kebijakan perpanjangan PPh final UMKM tersebut. “Terkait hal tersebut merupakan ranah Badan Kebijakan Fiskal. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan tersebut dapat ditanyakan ke Badan Kebijakan Fiskal,” kata Dwi.

  • Pilah-pilih Kenaikan Tarif PPN jadi 12%, Ini Usulan DPR ke Prabowo

    Pilah-pilih Kenaikan Tarif PPN jadi 12%, Ini Usulan DPR ke Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menerapkan tarif PPN 12% pada tahun 2025. Kenaikan tarif PPN dilakukan di tengah tren stagnasi ekonomi dan penolakan dari sejumlah kalangan mulai dari politikus hingga berbagai lapisan masyarakat. 

    Dalam catatan Bisnis, tarif PPN 12% bersifat mandatori karena telah diatur dalam Undang-undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. Pasal 7 ayat 1 huruf b secara eksplisit mengatur bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% harus dilakukan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Namun demikian dalam beleid tersebut, pemerintah sejatinya memiliki ruang untuk menunda kenaikan tarif PPN 12%. Pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 memberikan rentang tarif PPN minimal 5% dan maksimal 15%. Itu artinya, pemerintah bisa menggunakan rentang tarif tersebut dengan memperhatikan jenis-jenis barang yang dikenakan tarif maksimal dan tarif minimal.

    Adapun Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad telah menemui Presiden Prabowo Subianto untuk meminta pemerintah lebih selektif dalam mengenakan tarif PPN 12%. Tidak semua barang dikenakan tarif PPN sebesar 12%. Dia juga meminta secara khusus kepada Prabowo untuk menurunkan pajak bagi barang kebutuhan pokok. 

    Menurut Dasco Prabowo menyambut baik usulan DPR. Namun demikian, Presiden Prabowo akan terlebih dulu mempertimbangkan dan mengkaji usulan dari DPR itu. “Bapak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji,” ucapnya usai melakukan pertemuan bersama Presiden Prabowo Subianto dengan perwakilan DPR Komisi 11 di Istana Negara, Kamis (5/12/2024).

    Dasco juga melanjutkan Prabowo akan segera meminta jajaran Menteri, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, untuk menghitung secara  detail-detail mengenai kemungkinan ruang pembedaan tarif kepada barang kebutuhan pokok dan barang konsumsi lainnya.

    “Mungkin dalam satu jam ini Presiden akan meminta Menteri Keuangan dan beberapa menteri untuk rapat dalam mengkaji usulan dari masyarakat maupun dari DPR tentang beberapa hal pajak yang harus diturunkan,” katanya.

    Kendati demikian, Dasco tetap memastikan bahwa DPR tetap mengikuti undang-undang bahwa PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal yaitu 1 Januari 2025. Hanya saja skemanya, kemungkinan  barang konsumsi yang sifatnya tersier yang akan dikenakan tarif 12%. Sementara itu barang kebutuhan primer  akan tetap berada di angka sebelumnya yaitu 11%.

    “Pertama, untuk PPN 12% akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah jadi secara selektif. Kedua, barang-barang popok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak 11%,” pungkas Dasco.

    Pemungutan Tak Optimimal, Policy Gap?

    Bisnis telah berulangkali mencatat bahwa kenaikan PPN 12% sejatinya hanya kebutuhan sesaat untuk mengatasi kas negara yang defisit. Apalagi, ketergantungan penerimaan pajak terhadap harga komoditas yang masih sangat tinggi, struktur penerimaan yang masih rapuh, hingga ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak membuat pemungutan pajak tidak optimal.

    Khusus soal PPN, kenaikan tarif PPN hanyalah jalan pintas di tengah kerumitan administrasi pemungutan PPN. Banyaknya pengecualian pajak menjadi biang kerok dari kerumitan penataan administrasi PPN.

    Dalam catatan Bisnis, akibat pengecualian pajak dan berbagai tetek bengeknya, estimasi pemerintah mengenai belanja pajak alias tax expenditure terus mengalami kenaikan. Belaja pajak adalah potensi penerimaan pajak yang seharusnya dipungut namun tidak terpungut karena penerapan suatu kebijakan.

    Data Badan Kebijakan Fiskal atau BKF Kementerian Keuangan tahun 2022 menunjukkan bahwa estimasi belanja pajak PPN terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, misalnya, dari nilai estimasi belanja pajak sekitar Rp246,5 triliun, jumlah belanja pajak untuk konsumsi alias PPN sebesar Rp140,9 triliun. Nilai itu 57% dari total nilai estimasi belanja pajak. 

    Pada tahun 2021 mencapai Rp175,3 triliun atau 56,5% dari total estimasi Rp310 triliun. Sementara itu, tahun 2022 jumlah estimasi belanja pajak PPN tembus di angka Rp192,8 triliun atau menembus 59% dari total Rp323,5 triliun. Proyeksi tahun 2023 dan 2024, persentase belanja PPN dari total belanja pajak akan berada di angka 59,3% dan 60,9%.

    Pekan Depan Diumumkan

    Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan mengumumkan nama barang-barang yang terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pekan depan. 

    “PPN itu akan dibahas dan difinalisasi seperti yang saya sampaikan dalam pertemuan ke depan. Yang dapat saya sampaikan adalah tidak semua barang kena PPN, bahkan itu PPN 11%,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/12/2024).

    Meski begitu, Airlangga membeberkan bahwa untuk beberapa barang memang dikecualikan, utamanya bahan pokok dan penting itu sebagian besar bebas fasilitas tanpa PPN

    Demikian juga untuk pendidikan dan kesehatan, kata Airlangga, memang akan banyak lagi hal-hal yang dikecualikan dari penerapan PPN baru tersebut.

    “Pemerintah sedang siapkan paket kebijakan ekonomi yang akan nanti disiapkan, dan Pak Presiden minta dimatangkan dan mudah-mudahan seminggu ke depan bisa dituntaskan. Nanti diumumin kebijakan baru lewat paket ekonomi lagi. Bentuknya bisa insentif,” pungkas Airlangga.

  • Kabar Baik, Sri Mulyani Disebut Restui Perpanjang PPh UMKM 0,5%

    Kabar Baik, Sri Mulyani Disebut Restui Perpanjang PPh UMKM 0,5%

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menyetujui untuk memperpanjang insentif PPh Final bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM sebesar 0,5%.

    Notabenenya, insentif PPh Final UMKM 0,5% akan berakhir pada 31 Desember 2024. Kendati demikian, Maman mengaku sudah menyurati Sri Mulyani agar insentif tersebut diperpanjang.

    “Secara pembicaraan di level teknis sudah ada kesepahaman. Tinggal nanti saya tindak lanjuti dengan Bu Sri Mulyani,” jelasnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).

    Politisi Partai Golkar ini mengaku baik Kementerian UMKM dan Kementerian Keuangan punya semangat yang sama untuk meringankan beban pelaku usaha kecil-menengah. Apalagi, sambungnya, kondisi perekonomian masih naik-turun.

    Oleh sebab itu, Maman menyatakan pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pelaku UMKM seperti perpanjangan PPh Final 0,5%.

    Kendati demikian, dia belum bisa mengungkapkan berapa lama perpanjangan insentif tersebut. Menurutnya, pemerintah masih terus melakukan pembicaraan.

    “Kalau saya sih pengennya pasti selama-lamanya, kan dari sisi UMKM kan gitu. Tapi kan kita juga harus melihat dari semua aspek lho, enggak bisa hanya dari satu sisi,” ujar Maman.

    Sebelumnya, Kementerian Keuangan tidak menutup kemungkinan perpanjangan kebijakan insentif pajak untuk UMKM tersebut.

    Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan bahwa pihaknya akan mengecek dampak pelaksanaan kebijakan PPh final UMKM sebesar 0,5% yang sudah berlaku sejak 2018 itu, sebelum memutuskan apakah diperpanjang atau tetap diakhiri pada akhir 2024.

    “Nanti kita lihat arahan Bu Menteri [Sri Mulyani] ya, memang itu pasti akan selalu kita evaluasi,” ujar Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).

    Kendati demikian, menurutnya, Kemenkeu selalu menunjukkan keberpihakan ke UMKM. Bahkan, anak buah Sri Mulyani itu merasa pemerintahan seakan memberikan penghasilan tidak kena pajak kepada UMKM.

    Sebagai informasi, Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018 mengatur jangka waktu tertentu pengenaan PPh final 0,5% paling lama tujuh tahun masa pajak bagi Wajib Pajak (WP) orang pribadi (OP) UMKM terdaftar. Artinya, bagi WP yang terdaftar sejak 2018 akan mulai menggunakan tarif normal pada 2025.

  • Keputusan Relaksasi Pajak UMKM ada di Tangan Sri Mulyani

    Keputusan Relaksasi Pajak UMKM ada di Tangan Sri Mulyani

    Jakarta, Beritasatu.com– Pemerintah tengah mengkaji kembali  perpanjangan skema insentif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dengan tarif 0,5% yang sebelumnya berakhir pada akhir 2024.  Perpanjangan insentif ini sudah diajukan oleh Kementerian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ke Kementerian Keuangan.

    Menteri UMKM  Maman Abdurrahman mengatakan, pemberian relaksasi ini dilakukan agar mengurangi beban pelaku UMKM. Hal ini sudah digodok oleh tim teknis antarkementerian/lembaga (K/L) terkait. Bahkan dalam tim teknis sudah ada  kesepahaman untuk menjalankan perpanjangan insentif PPh ini.

    “Secara pembicaraan di level teknis sudah ada kesepemahaman. Tinggal saya tindak lanjuti dengan Bu (Menteri Keuangan) Sri Mulyani. Semangatnya adalah meringankan beban teman-teman UMKM di tengah kondisi situasi ekonomi yang mungkin masih up and down ,” kata  Maman di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, pada Kamis (28/11/2024).

    Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh  wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai PPh yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. Tarif PPh yang bersifat final sebagaimana dimaksud sebesar 0,5%. Adapun wajib pajak yang dikenakan tarif PPh final adalah wajib pajak yang tidak memiliki penghasilan di bawah Rp 4,8 miliar

    Jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final paling lama tujuh tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi, 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan, berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau  perorangan yang didirikan oleh satu orang, dan 3 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

    Maman mengatakan, pemberian insentif ini harus dilihat dari seluruh pihak. Dia menegaskan relaksasi insentif ini diharapkan dapat dijalankan dengan mengakomodasi  semua  pemangku kepentingan terkait.

    “Hal yang terpenting sudah ada kesepakatan antara kami dengan teman-teman Kemenkeu bahwa akan mencari sebuah titik temu solusi langkah kebijakan yang pro terhadap kepentingan ekonomi rakyat. Tunggu tanggal mainnya yang pasti insyaallah  everybody happy,” terang Maman.

    Secara terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengatakan, kebijakan skema PPh final UMKM masih digodok Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu. Dia tidak memerinci lebih lanjut mengenai penggodokan  kebijakan tersebut.

    “Terkait hal tersebut merupakan ranah Badan Kebijakan Fiskal. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan tersebut dapat ditanyakan ke Badan Kebijakan Fiskal,” kata Dwi.

  • LCGC Hybrid Bisa Kasih Dampak Positif ke Penjualan Mobil: Harga Murah-Minim Emisi

    LCGC Hybrid Bisa Kasih Dampak Positif ke Penjualan Mobil: Harga Murah-Minim Emisi

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) setuju dengan usulan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang meminta produsen mobil di Indonesia membuat low cost green car atau LCGC hybrid.

    Menurut mereka, ada dua dampak baik yang akan dirasakan negara dengan kehadiran LCGC hybrid: bertumbuhnya pasar roda empat dan berkurangnya emisi karbon.

    Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Rustam Effendi mengklaim, usulan Kemenperin soal LCGC hybrid benar-benar bagus. Sebab, secara harga, kendaraan tersebut pasti lebih murah dibandingkan mobil hybrid yang saat ini beredar di pasaran.

    “Jadi memang hybrid perlu didorong. Usulan Kemenperin itu suatu usulan yang bagus bahwa LCGC di-hybrid-kan. Kemudian harganya mendekati LCGC (regular) dan kemudian ini akan menjadi kebutuhan masyarakat luas,” ujar Rustam dalam forum diskusi yang digelar di Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (21/11).

    “Saya rasa ini akan lebih sukses dibandingkan mobil hybrid di pasaran yang harganya lebih mahal,” tambahnya.

    Kemenperin bicara soal LCGC hybrid. Foto: Dok. Toyota Astra Motor

    Di kesempatan yang sama, Kukuh Kumara selaku Sekertaris Umum (Sekum) Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) setuju dengan usulan Kemenperin. Menurutnya, LCGC kini tak lagi bisa dibilang murah. Itulah mengapa, teknologi hybrid tak masalah disematkan ke mobil tersebut.

    “Menarik, itu bisa ke sana kalau volume-nya besar, LCGC volume besar tapi teknologi berubah. Tidak bisa emisinya segitu-gitu saja, jalan keluarnya hybrid,” ungkap Kukuh Kumara.

    “Karena mobil ini bukan low cost lagi, dibandingkan yang lain juga emisinya sudah tinggi. Mau baru atau lama, kalau produk itu bisa diminati konsumen, ya menarik,” tambahnya.

    Mobil Low Cost Green Car (LCGC) di GIIAS 2023 Foto: Ridwan Arifin

    Diketahui, usulan produsen bikin LCGC hybrid disampaikan Dodiet Prasetya selaku Direktur Industri Alat Transportasi Darat Direktorat Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin.

    Dodiet mengatakan, penjualan LCGC cukup tinggi di Indonesia. Dia ingin, catatan baik itu ditingkatkan dengan meluncurkan varian hybrid.

    “Kami mendorong para pabrikan untuk bisa menyematkan teknologi hybrid di LCGC. Poinnya satu, kita ingin meningkatkan pencapaian yang sudah bagus. Kemudian dalam rangka sumbangsih penurunan emisi dan ketahanan energi. Kami ingin meningkatkan apa yang sudah efisien menjadi lebih efisien,” kata dia.

    Sebagai catatan, penjualan LCGC tahun lalu mencapai 204.705 unit dengan market share tembus 20,3 persen. Nominal tersebut mengalami kenaikan 9,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

    Kini, ada lima model LCGC yang saat ini dijual di Indonesia, yakni Toyota Calya, Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Daihatsu Sigra dan Honda Brio Satya.

    (sfn/dry)