Menteri PANRB Ungkap Penetapan Gaji Tunggal ASN Tunggu RPP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini mengatakan, penerapan gaji tunggal (
single salary
) dan
reward
untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) bakal menunggu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen ASN.
Ia menyebut, penerapannya harus bertahap menunggu aturan lainnya.
Hal ini disampaikan Rini menyusul rencana
single salary
kembali termuat dalam Buku II Nota Keuangan bersama Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pada bagian kebijakan prakiraan maju belanja negara tahun 2026–2029.
“Kan kita menunggu RPP Manajemen ASN dulu kan, harus bertahap, karena sistem karirnya mereka kan kita perbaiki. Ini kan penghargaan dan pengakuan namanya RPP-nya nanti itu,” kata Rini, di Kantor Kementerian PANRB, Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).
Rini menuturkan, sejauh ini pemerintah masih menyusunnya.
Ia tidak memungkiri, hal tersebut sudah menjadi pembicaraan dengan kementerian terkait, termasuk dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
“Sebetulnya sudah ada pembicaraan-pembicaraan dengan kementerian Keuangan, tentunya dengan Administrasi Negara yang memang kita bicara masalah kompetensi. (Skemanya) masih menunggu RPP-nya dulu,” ucap Rini.
Ia menuturkan, Undang-Undang Nomor 5, yang kini digantikan oleh UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, sejatinya menjabarkan lebih luas terkait total
reward
bagi ASN, bukan hanya gaji tunggal.
Ia mengatakan, konsep
gaji tunggal ASN
sejatinya memang ingin diterapkan pemerintah.
Namun, gaji tunggal tidak dimaknai sebagai penyatuan gaji dan tunjangan semata.
Menurut Rini, gaji tunggal ASN merupakan bentuk apresiasi atas kinerja ASN secara menyeluruh.
Penghargaan tersebut tidak hanya bersifat materi, tetapi juga mencakup sistem kerja, suasana kantor, hingga sistem karier.
“UU Nomor 20 lebih luas lagi. Tidak lagi bukan hanya
single salary
, karena ASN itu bukan cuma
single salary
, tapi total
reward
-nya. Diberikan penghargaan, bukan hanya masalah materi tapi sistem karier, kenyamanan dia bekerja, peningkatan kompetensinya, segala macam,” ujar Rini.
“Jadi sebetulnya kita ingin mendorong itu adalah total
reward
untuk para ASN itu,” ujar dia.
Sebelumnya diberitakan, rencana gaji tunggal ASN kembali termuat dalam Buku II Nota Keuangan bersama Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pada bagian kebijakan prakiraan maju belanja negara tahun 2026–2029.
Dalam Buku II Nota Keuangan
RAPBN 2026
, pemerintah menjelaskan bahwa strategi kebijakan fiskal belanja jangka menengah diarahkan pada transformasi tata kelola pemerintahan.
Upaya tersebut dilakukan melalui intervensi belanja kementerian dan lembaga (K/L) dalam rangka penguatan kelembagaan.
Salah satu kebijakan yang disiapkan adalah penerapan sistem gaji tunggal ASN.
Meski tercantum dalam dokumen RAPBN 2026, pemerintah belum merinci waktu penerapan gaji tunggal ASN.
Adapun gaji tunggal ASN merupakan skema penggajian yang memungkinkan PNS dan PPPK menerima satu penghasilan.
Penghasilan tersebut merupakan gabungan dari gaji pokok dan berbagai tunjangan.
Dalam skema ini, tunjangan anak dan istri, tunjangan beras, serta tunjangan lainnya dimasukkan ke dalam komponen gaji pokok.
Sementara itu, tunjangan jabatan atau tunjangan fungsional tetap diatur secara terpisah seperti dalam sistem gaji ASN saat ini.
Besaran gaji tunggal ASN nantinya dapat berbeda-beda, tergantung kelompok atau tingkat jabatan berdasarkan sistem grading.
Grading merupakan peringkat nilai jabatan yang mencerminkan posisi, tanggung jawab, beban kerja, serta risiko pekerjaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: ASN
-
/data/photo/2025/12/15/693fb27d1e7e9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Menteri PANRB Ungkap Penetapan Gaji Tunggal ASN Tunggu RPP Nasional
-

BSU Kemenag 2025 untuk Guru Non ASN: Syarat, Jadwal, dan Pencairan
Bisnis.com, JAKARTA – BSU Kemenag 2025 menjadi perhatian para guru Non ASN, setelah Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) menyiapkan anggaran sekitar Rp270 miliar untuk bantuan subsidi upah bagi guru madrasah non ASN yang belum bersertifikasi.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, Prof. Dr. H. Amien Suyitno menyatakan, program ini menyasar guru Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA) yang selama ini belum menerima tunjangan profesi pendidik.
Syarat Penerima BSU Kemenag 2025
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Nomor B-374/Dt.I.II/HM/12/2025, tidak seluruh guru Non ASN di bawah naungan Kementerian Agama berhak menerima BSU Kemenag 2025. Terdapat sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi agar dapat ditetapkan sebagai penerima bantuan.
Adapun persyaratan utama yang harus dipenuhi sebagai berikut:
Guru tercatat aktif mengajar di satuan pendidikan di bawah naungan Kemenag.
Memiliki PTK ID yang valid dan terdaftar dalam sistem Simpatika Kemenag.
Data kependudukan, khususnya Nomor Induk Kependudukan (NIK), dinyatakan sah dan telah terverifikasi.
Proses verifikasi dan validasi data calon penerima diselesaikan serta dilaporkan paling lambat Selasa, 16 Desember 2025.Kementerian Agama juga menegaskan bahwa kelengkapan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) menjadi aspek penting dalam proses penetapan penerima BSU. Dokumen ini berfungsi sebagai pernyataan resmi atas keabsahan data sekaligus bentuk tanggung jawab guru terhadap bantuan yang diterima.
Cara Mencairkan BSU Kemenag 2025
Berdasarkan informasi dari Kementerian Agama, proses pencairan Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi guru madrasah non-PNS diawali dengan pemberitahuan melalui akun Simpatika masing-masing guru. Setelah menerima notifikasi tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencairkan bantuan:
Tahap pertama, guru mencetak Surat Keterangan Penerima BSU yang tersedia pada akun Simpatika.
Selanjutnya, guru mencetak Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) melalui Simpatika dan menandatanganinya di atas materai sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Tahap berikutnya, guru mencetak surat kuasa pemblokiran debit dan penutupan rekening yang juga tersedia di Simpatika, kemudian menandatanganinya tanpa materai.
Setelah seluruh dokumen lengkap, guru mendatangi bank penyalur yang telah ditentukan, yaitu BRI atau BRI Syariah dengan membawa dokumen tambahan.
Dokumen yang harus dibawa ke bank meliputi KTP, NPWP (jika sudah memiliki), Surat Keterangan Penerima BSU, SPTJM bermaterai, serta surat kuasa yang telah ditandatangani.
Bagi guru yang belum memiliki rekening, diwajibkan mengisi formulir pembukaan rekening baru di BRI atau BRI Syariah.
Setelah proses pembukaan rekening selesai, pihak bank akan menyerahkan buku rekening dan kartu ATM kepada penerima BSUCara Cek Penerima BSU Kemenag 2025
Pengecekan status penerima BSU Kemenag 2025 dilakukan melalui laman Simpatika Kemenag. Berikut cara mengecek status penerimanya:
Kunjungi https://simpatika.siap.id/madrasah/
Login dengan email dan kata sandi akun PTK
Cari menu “Tunjangan” atau “Bantuan”
Periksa notifikasiApabila terdaftar sebagai penerima, sistem akan menampilkan ucapan selamat disertai tombol untuk mencetak dokumen persyaratan pencairan. Sebaliknya, jika belum memenuhi kriteria, akan muncul pemberitahuan bahwa yang bersangkutan belum ditetapkan sebagai penerima bantuan.
Perbedaan BSU Kemenag dan Kemnaker Serta Besarannya
BSU Kemenag memiliki skema yang berbeda dari bantuan subsidi upah yang dikelola oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Program ini dirancang khusus untuk menyasar guru di bawah naungan Kementerian Agama yang berstatus Non ASN serta belum memiliki sertifikasi pendidik.
Melalui program tersebut, guru Non ASN akan menerima bantuan sebesar Rp300.000 per bulan selama dua bulan, sehingga total dana yang diterima mencapai Rp600.000. Ketentuan mengenai besaran BSU Kemenag ini diatur secara resmi dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 8444 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Subsidi Upah bagi Guru Non Aparatur Sipil Negara pada Raudhatul Athfal dan Madrasah.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5444245/original/086314200_1765774223-ASN_Digital.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cara Login ASN Digital 2025 dan Aktivasi MFA di Asndigital.bkn.go.id
Liputan6.com, Jakarta – Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah meluncurkan platform ASN Digital sebagai bagian dari upaya percepatan transformasi digital birokrasi. Platform ini menjadi kebutuhan penting bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Melalui platform ASN Digital, berbagai layanan kepegawaian terintegrasi dalam satu sistem terpadu, mulai dari data SIASN, MyASN, hingga mekanisme Single Sign-On (SSO) ASN.
Integrasi tersebut memungkinkan ASN mengakses dan mengelola layanan kepegawaian secara lebih mudah, cepat, dan aman tanpa harus berpindah platform.
Mengutip laman resmi BKN, Senin (15/12/2025), ASN Digital dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan sekaligus memperkuat keamanan akses digital bagi jutaan ASN di seluruh Indonesia.
Adapun platform ASN Digital dapat diakses melalui asndigital.bkn.go.id. Di mana, sebagai langkah untuk meningkatkan keamanan, ASN harus mengaktifkan Multi-Factor Authentication (MFA) pada akun ASN Digital.
Multi-Factor Authentication (MFA) adalah metode autentikasi yang mengharuskan pengguna untuk memberikan dua atau lebih faktor verifikasi sebelum mendapatkan akses ke suatu sistem, aplikasi, atau data.
Aktivasi MFA ini sangat penting untuk melindungi data pribadi dan kepegawaian yang sensitif dari ancaman keamanan siber.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5440752/original/002248100_1765443844-1000175606.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hal Ini Jadi Pertimbangan Kementerian PANRB Sebelum Pembukaan Seleksi
Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) masih harus menghitung kebutuhan dari seluruh instansi. Hal tersebut akan menjadi acuan untuk pembukaan seleksi calon Aparatur Sipil Negara (CASN) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau CPNS 2026.
Hal itu disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Rini Widyantini pada Kamis, 11 Desember 2025, dikutip Senin (15/12/2025).
Usai ada 48 kementerian dan lembaga yang ditetapkan, Rini meminta seluruhnya menyetorkan kebutuhan pegawainya. Bukan hitungan biasa, tapi kebutuhan sejalan dengan peta jalan 5 tahun ke depan.
“Tentunya untuk tahun 2026, karena kementeriannya sudah ada 48 kementerian. Saya sudah meminta mereka untuk melakukan analisis kebutuhan sesuai dengan strategi 5 tahun ke depan,” ujar Rini.
Hitungan kebutuhan tersebut akan menjadi acuan terhadap proses rekrutmen nantinya. Rini bilang, setelah kebutuhan itu dihitung, maka bisa memastikan adanya pengurangan atau penambahan pegawai di setiap unitnya.
“Jadi kita supaya bisa lihat apakah nanti akan ada positif growth terhadap jabatan-jabatan tentu. Apakah ada harus minus growth atau memang harus tetap seperti itu. Dan itu tentunya disesuaikan dengan Asta Cita dari Bapak Presiden, program-program Bapak Presiden,” kata dia.
Rini menegaskan, seluruh kementerian/lembaga, baik yang baru maupun yang telah berjalan untuk bisa menyiapkan kebutuhannya. “Tentunya saya juga harus menyiapkan secara nasional posturnya seperti apa, begitu. Kita tunggu ya,” Rini menambahkan.
-
/data/photo/2025/12/15/693f71b205616.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU
Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menilai bahwa Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membolehkan polisi aktif menduduki jabatan sipil 17 kementerian/lembaga bertentangan dengan dua undang-undang.
“Perkap tersebut Perkap (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan dua undang-undang,” ujar Mahfud dalam kanal Youtube MahfudMD, dikutip Senin (15/12/2025).
Pertama, Perpol tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
Polri
).
“Di mana di dalam Pasal 28 ayat (3) (UU Polri) disebutkan bahwa yang anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil itu hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari dinas Polri,” ujar Mahfud.
Pasal 28 ayat (3) UU Polri tersebut semakin dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
Putusan MK tersebut mengatur secara tegas bahwa anggota Polri harus mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dari dinas kepolisian jika akan menduduki jabatan sipil.
“Ketentuan terbatas ini sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2025,” ujar Mahfud.
Perpol 10/2025 itu juga dinilainya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN mengatur, jabatan-jabatan sipil di tingkat pusat dapat diduduki anggota TNI dan Polri sesuai yang diatur dalam UU TNI dan UU Polri.
Mahfud menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI telah mengatur bahwa anggota TNI boleh menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga.
Sedangkan dalam UU Polri, belum mengatur soal anggota polisi aktif boleh menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga mana saja.
“Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang lalu diperluas menjadi 16, sudah mengatur bahwa TNI bisa ke situ. Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan yang bisa diduduki oleh Polri,” ujar Mahfud.
“Dengan demikian ketentuan Perkap (Perpol 10/2025) itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam undang-undang, tidak bisa hanya dengan perkap jabatan sipil itu diatur,” sambung mantan ketua MK itu.
TRIBUNNEWS.com Ilustrasi polisi.
Anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.
”
Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan
,” bunyi pasal tersebut.
Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

70% Konsumen Daihatsu Datang dari Pembeli Mobil Pertama
Jakarta –
Daihatsu menjadi ‘gerbang masuk’ bagi mayoritas warga Indonesia yang masuk ke dunia roda empat.
Data internal PT Astra Daihatsu Motor (ADM) mengungkapkan sekitar 70 persen dari total penjualan mereka setiap bulannya disumbang oleh pembeli mobil pertama alias first time buyer.
Hal ini diungkapkan oleh Marketing and Customer Relations Division Head PT Astra International Tbk. Daihatsu Sales Operation,Tri Mulyono, angka 70 persen ini menjadi penegasan citra Daihatsu sangat kuat di mata konsumen yang baru pertama kali memiliki mobil.
“Ya, kebetulan kalau di Daihatsu memang secara persentase 70% pembeli kami adalah pembeli mobil yang pertama,” kata Tri Mulyono ditemui di Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (13/12/2025).
“Artinya pembeli mobil pertama itu kami identifikasi dari database yang kami miliki. Selama ini setiap kali terjadi pembelian selalu kami me-recheck apakah ini sudah ada di database kami atau belum. Nah ternyata dalam setiap bulannya kurang lebih 70% adalah selalu nama customer yang baru,” jelas dia.
Lebih rinci, 30 persen pembeli mobil Daihatsu adalah pengusaha. Kemudian selanjutnya berstatus karyawan.
“Secara umum sebenarnya kalau dengan okupansi yang ada sebenarnya lebih terdatanya bahwa secara proporsi 30% adalah wira usaha,” ungkap Tri.
“Tetapi bidangnya beragam. Lalu porsi berikutnya adalah karyawan. Tetapi memang tidak bisa spesifik ini swasta ataupun ASN,” tambahnya lagi.
Dengan strategi yang fokus pada pembeli mobil pertama dan didukung oleh segmen niaga yang solid, Daihatsu sukses menempati posisi ke-2 dalam klasemen merek terlaris roda empat di Indonesia.
Pada bulan November 2025, Daihatsu membukukan kinerja penjualan ritel yang positif. Tercatat penjualan mencapai angka 12.750 unit, menunjukkan kenaikan sebesar 5% dibanding bulan Oktober lalu sebanyak 12.196 unit. Realisasi penjualan bulan ini sekaligus jadi capaian ritel tertinggi Daihatsu sepanjang semester dua di tahun ini.
Penjualan ini didukung model-model Daihatsu dari tiga segmen utama yang meliputi, commercial low dengan model Gran Max Series, LCGC (Low Cost Green Car) dengan model Sigra dan Ayla, serta segmen SUV Medium dengan model Terios. Model-model tersebut berkontribusi sekitar 92% dari total penjualan Daihatsu di bulan ini dengan kenaikan juga sebesar 5% dibandingkan bulan Oktober 2025.
Pada segmen commercial low, model Gran Max Pick Up catatkan penjualan sebanyak 4.468 unit dan Gran Max Mini Bus sebesar 2.519 unit. Model Gran Max Series tersebut mencatat kontribusi sekitar 55%, serta menunjukkan peningkatan 2% dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian Gran Max Series pada November juga menjadi yang tertinggi sepanjang tahun 2025.
Untuk Segmen LCGC (Low Cost Green Car), model Sigra dan Ayla mencatat penjualan total sebesar 3.394 unit. Secara keseluruhan, kedua model LCGC tersebut menyumbang 27% terhadap total penjualan Daihatsu. Tidak hanya itu, segmen ini juga menunjukkan peningkatan sebesar 9% dibandingkan bulan lalu.
Kinerja segmen SUV Medium juga turut mengalami peningkatan, dimana model Terios mencatat penjualan 1.327 unit, menyumbang 10% dari total penjualan Daihatsu. Capaian ini menandai pertumbuhan sebesar 14% dibandingkan bulan sebelumnya.
(riar/dry)
-
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemerintah Abai Reformasi Polri
Pemerintah Abai Reformasi Polri
Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KEBERADAAN
frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
political will
yang memadai dari pemerintah.
Putusan MK
semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
political will
, di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/09/690feb973f447.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
“
No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
.” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
DALAM
tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
.”
Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
.”
Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
.”
Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

